"Terima kasih, Hesti," ucap Livy dengan suara pelan."Sama-sama, nggak usah sungkan. Aku memang suka membantu orang. Ngomong-ngomong, sekarang aku antar kamu ke mana? Rumah kamu di mana?" tanya Hesti dengan ramah.Rumah ....Saat ini, Livy tinggal bersama Preston. Jika Hesti sampai tahu, kemungkinan besar akan muncul masalah lain."Kamu ... antar aku ke parkiran saja. Nanti ada yang bisa jemput aku di sana," jawab Livy mencoba menghindari pertanyaan lebih jauh.Melihat kondisi Livy, dia tahu tidak mungkin pulang sendiri. Berdiam di parkiran sambil menunggu Bendy sepertinya adalah pilihan terbaik."Baiklah," jawab Hesti tanpa banyak tanya. Dia mengantar Livy ke parkiran dan memastikan Livy benar-benar baik-baik saja sebelum akhirnya pergi.Pelan-pelan, Livy berjalan menuju mobil Preston dan duduk di sampingnya. Dia menundukkan kepala, mengambil ponselnya, dan mengirim pesan kepada Bendy, menjelaskan secara singkat kejadian dengan Erick.Hesti benar-benar luar biasa tadi. Dengan satu puk
Kantor Preston menjadi kacau.Seiring dengan tindakan kedua orang itu yang semakin tidak senonoh, aroma feromon di dalam ruangan semakin pekat.Saat Preston sampai di depan pintu kantornya, dia melihat dari celah pintu sepasang tubuh yang tampak putih berkilau di bawah lampu yang remang-remang. Preston langsung teringat laporan Bendy sebelumnya yang mengatakan bahwa Livy sedang berada di kantornya untuk menyerahkan dokumen.Apakah itu dia ...?Selain Livy, siapa lagi yang berani melakukan hal seperti ini di kantornya?Dengan amarah yang mendidih, Preston mendorong pintu kantornya hingga terbuka. Aroma tajam feromon langsung menusuk hidungnya, membuat suasana di dalam semakin menjijikkan.Di tengah ruangan, dua orang sedang saling menjerat seperti binatang liar dan tidak menyadari kehadiran Preston sama sekali."Livy ...." Namun, ketika Preston melihat wajah wanita itu, suaranya terhenti.Wanita yang sedang mendesah dengan mata setengah terpejam itu adalah Zoey. Tidak ada sedikit pun da
"Bukan, bukan seperti itu ...!"Zoey berusaha menutupi tubuhnya dengan panik dan hampir menangis. "Pak Bendy, tolong beri tahu Pak Preston, saya dijebak! Pria ini tiba-tiba muncul dan mencoba menodai saya. Ini bukan salah saya, bukan salah saya!"Zoey benar-benar tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Semua rencananya telah diatur dengan sempurna. Orang yang seharusnya bersama dia adalah Preston. Namun, kenapa ini berubah menjadi pria menjijikkan seperti Erick ...?Dalam keputusasaan, Zoey mengambil vas bunga kaca di sampingnya dan melemparkannya dengan keras ke arah Erick sambil berteriak seperti orang gila, "Kamu ... siapa kamu sebenarnya! Aku akan lapor polisi! Aku akan lapor polisi!"Erick yang baru saja sadar sepenuhnya, terkena hantaman di kepalanya. Rasa sakit membuatnya marah sekaligus panik. Dia tahu jika rencana malam ini terbongkar, dia bukan hanya akan kehilangan pekerjaannya tetapi juga menghadapi tuduhan pemerkosaan.Dalam ketakutannya, Erick buru-buru membela d
Bibir Livy terasa perih ketika Preston menggigitnya dengan keras. Rasa sakit itu cukup kuat hingga Livy bisa merasakan jejak darah di antara bibirnya."Pasangan ... kontrak?"Preston menatapnya dengan dingin, suaranya tajam dan penuh ironi. "Hanya itu?""Kalau nggak, apa lagi?" Entah karena efek sisa aromaterapi atau keberanian yang muncul dari rasa frustasi dan tekanan selama beberapa hari terakhir, Livy melawan dengan nada berani yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri."Menurut Pak Preston, hubungan kita seharusnya seperti apa?""Pasangan," jawab Preston dengan tenang dan menatap Livy dalam-dalam sebelum menambahkan, "Setidaknya, saat ini.""Aku sudah bilang, selama kamu masih jadi Nyonya Sandiaga, apa pun masalah yang kamu hadapi, kamu bisa datang padaku."Apakah ini ... cara Preston mencoba menenangkannya?Livy tahu persis seperti apa Preston sebagai seorang pria. Sejak kecil, dia telah menjadi pusat perhatian dan selalu dimanjakan oleh para wanita yang ingin mendekatinya.Fakta b
Di dalam mobil yang remang, wajah Preston yang tegas dan tampan terlihat semakin memikat dalam pencahayaan redup."Hari ini bukan masa suburmu, 'kan?" tanyanya tiba-tiba.Livy langsung merasa ada bahaya mengintai. Dengan refleks, dia bergeser sedikit ke belakang dan mencoba menjauh. Namun, ruang di dalam mobil terbatas dan pintu mobil telah dikunci oleh Preston sebelumnya. Tidak ada jalan keluar bagi Livy."Pak Preston, ini di dalam mobil. Mungkin saja ada yang melihat kita ...," ucap Livy dengan nada gugup."Jendela ini satu arah. Nggak ada yang bisa melihat ke dalam. Lagi pula, nggak ada yang akan datang ke sini," jawab Preston dengan santai sambil mulai melepas dasinya.Gerakannya kasar dan penuh tenaga, hingga kancing paling atas kemejanya terlepas.Leher Preston yang berotot tampak menonjol dan Livy tidak bisa mengalihkan pandangannya. Di bawahnya, otot dadanya yang terlihat sempurna semakin menambah daya tariknya."Pak Preston, aku ....""Panggil aku dengan benar," potong Preston
Livy masih dalam keadaan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.Ketika dia mengangkat kepalanya dengan cepat, pandangannya langsung bertemu dengan mata gelap Preston yang penuh gairah. Sorot matanya yang mendalam dan panas mulai menyebar, membuat Livy terdiam.Dia baru saja ingin mengatakan sesuatu, tetapi ciuman Preston yang panas tiba-tiba datang lagi dan membuat pikirannya kosong.Suhu di kursi belakang mobil terus meningkat.Preston mulai membuka kancing bajunya dengan perlahan. Namun, ketika jarinya mulai membuka kancing baju Livy, dia tiba-tiba berhenti.Tatapan matanya menatap Livy dengan intens, seolah-olah sedang menunggu jawaban. Dengan suara yang serak dan berat karena hasrat, dia berkata, "Livy, kalau kamu benar-benar nggak mau, kamu bisa menolakku."Livy yang sudah setengah kehilangan akal karena ciuman itu, tiba-tiba tersadar oleh ucapannya. Dengan bingung, dia bertanya, "Tapi ... bukankah ini adalah kewajibanku?"Alis Preston sedikit berkerut, tetapi suara
Meskipun tahu bahwa Preston telah mengunci pintu mobil, Livy tetap tidak bisa menahan rasa tegangnya. Tangannya mencengkeram bahu Preston begitu erat hingga nyaris meninggalkan bekas merah.Namun, Preston tampaknya tidak merasa sakit sedikit pun. Sebaliknya, dia hanya tertawa kecil dan suara rendahnya terdengar di dekat telinga Livy."Jangan bersuara," bisiknya dengan nada lembut.Tapi ... orang itu ada di luar!Livy menggigit bibirnya, menatap Preston dengan bingung dan sedikit marah.Apakah semua pria seperti ini? Di hati mereka mencintai satu orang, tetapi tubuh mereka tetap mencari yang lain?Pikiran itu membuat Livy tiba-tiba merasa ingin menyerah. Dia mendorong Preston dengan lemah, mencoba memberinya sinyal bahwa dia tidak ingin melanjutkan.Namun, sebelum Preston bisa menangkap tangannya untuk menghentikannya, ponsel yang tergeletak di dekat mereka tiba-tiba berbunyi dan memenuhi keheningan di dalam mobil yang sempit.Suara dering yang taka sing itu membuat tubuh Livy semakin k
Melihat dirinya sudah selesai mandi, Preston mengangkat Livy keluar dari kamar mandi. Dia membantu Livy mengenakan piama dan menurunkannya di ranjang dengan lembut.Ponsel berbunyi lagi. Itu adalah panggilan dari David. Preston melihat sebentar, lalu segera berjalan ke balkon."Kak Preston, ada masalah besar! Kak Sylvia nggak sengaja terjatuh dari kursi roda dan sekarang sedang dioperasi!"Preston terdiam sejenak, lalu langsung berkata, "Aku akan segera ke sana!"Setelah turun, Preston bertemu dengan Tina yang sedang menyiapkan camilan. "Tuan, kamu pasti capek malam ini. Lebih baik makan dulu ...."Sebelum Tina selesai berbicara, Preston menyela, "Nggak usah bawa ke atas, jangan ganggu tidurnya."Tina buru-buru tersenyum dan menyahut, "Oh, baiklah."Pasangan muda ini sudah lama bertengkar dan akhirnya berdamai.....Malam itu, tidur Livy kurang nyenyak. Sekitar pukul 12 tengah malam, dia terbangun karena bunyi telepon. Itu dari Rivano.Begitu telepon tersambung, terdengar suara Rivano
Setelah hampir sepanjang hari berkeliling pasar, Livy berhasil mendapatkan gambaran harga dari bahan-bahan yang dibutuhkannya. Setelah data terkumpul, dia berencana untuk pulang, menyusun dokumen, dan mulai merancang kerja sama sesuai kebutuhan.Namun, ada yang aneh. Remis yang dimintanya untuk menjemput pada pukul enam, masih belum muncul meskipun waktu sudah lewat lebih dari setengah jam. Saat hendak menelepon untuk menanyakan keberadaannya, sebuah mobil yang dikenalnya berhenti di depannya.Seorang pria yang mengenakan masker berada di balik kemudi. Matanya tampak sedikit gugup saat menatap Livy, lalu berkata, "Apakah ini Bu Livy? Aku adik Remis. Barusan dia mendadak kena radang usus buntu dan harus dibawa ke rumah sakit. Aku datang untuk mengantar Bu Livy pulang.""Baiklah," jawab Livy tanpa berpikir panjang.Remis yang merupakan sopir Keluarga Sandiaga, selalu siap siaga kapan saja. Livy berpikir, mungkin selama ini dia tidak menjaga pola makan dengan baik, sehingga jatuh sakit.S
Setelah mengunjungi beberapa toko bahan, Livy akhirnya tiba di pusat material. Dari kejauhan, dia melihat seseorang yang sangat dikenalnya."Livy, kita ini memang punya jodoh yang unik ya ...." Bahran melangkah besar mantap mendekati Livy.Penampilan seseorang ditentukan oleh cara berpakaiannya. Setelah mengenakan setelan jas, Bahran memang terlihat agak lebih rapi, meskipun tidak bisa menutupi wajahnya yang pucat akibat gaya hidup berlebihan.Rambutnya disisir ke belakang dengan minyak rambut sehingga memberikan kesan necis. Dengan senyuman sinis yang menyiratkan maksud buruk, dia berkata, "Kamu datang untuk urusan Preston, ya? Aneh sekali, punya istri secantik kamu, bukannya dijaga di rumah dengan baik, malah dibiarkan keluar pamer ke mana-mana."Kata-katanya membuat Livy merasa mual. Dia mundur dua langkah tanpa sadar, tapi Bahran tak menyadarinya sama sekali. Dia malah mendekat lagi.Pandangannya tertuju ke leher Livy, lalu berkata, "Oh, ternyata baru bersenang-senang, ya? Tapi sud
Livy menarik napas panjang beberapa kali, berusaha menenangkan dirinya sebelum buru-buru mengoleskan obat dan bergegas pergi bekerja. Untungnya, sopir mengemudi cukup cepat sehingga dia tiba di kantor tepat waktu.Begitu duduk, Sherly datang dengan membawa setumpuk dokumen. Dia bertanya, "Livy, kamu mengurus proyek ini sendirian, pasti capek ya?"Livy tertegun sesaat, mengira Sherly khawatir dia tidak bisa menyelesaikan tugas dan akan dimarahi oleh Preston. Dia segera menyahut "Nggak juga. Memang ada banyak hal yang belum aku pahami, tapi aku pasti bisa mengatasinya.""Pak Preston juga keterlaluan .... Kamu baru 3 tahun di perusahaan ini, tapi dia sudah menyerahkan proyek ini sepenuhnya kepadamu."Sherly menghela napas pelan, menatap Livy dengan agak kasihan. Kemudian, dia berkata, "Kebetulan aku sedang nggak ada kerjaan. Nanti kita kerjakan bersama saja. Kita bagi tugas supaya lebih efisien."Livy langsung berseri-seri mendengar tawarannya. Proyek yang diberikan Preston memang tidak b
Sebelumnya Livy selalu menyambutnya dengan penuh antusiasme. Lantas, kenapa sekarang malah berbeda?Apa mungkin karena Livy telah bertemu Stanley dan pikirannya hanya tertuju pada Stanley, hingga dia tidak ingin berpura-pura lagi di hadapannya?Semakin memikirkan ini, kemarahan dan kecemburuan Preston semakin membara. Hal ini membuat gerakan Preston semakin kasar. Livy yang kesakitan tak kuasa meneteskan air mata. Pada akhirnya, dia mendongak dan menatap Preston dengan keras kepala sekaligus enggan."Ya, aku memang nggak menginginkannya. Apa kamu bisa melepaskanku?" balas Livy. Sebelumnya dia selalu melakukannya dengan sukarela, bahkan dengan senang hati.Namun, Preston yang di bawah pengaruh alkohol hari ini, tampak berbeda. Preston jelas-jelas hanya menganggapnya sebagai alat, sama sekali tidak memberinya kelembutan. Livy tidak menginginkan rasa sakit seperti ini.Namun, Preston tidak berpikir seperti itu. Menurut Preston, Livy ingin menjaga tubuhnya untuk Stanley. Wanita ini menolak
Livy tanpa sadar ingin melawan. Saat ini, terdengar suara Charlene dari ujung telepon. "Ada apa, Livy? Apa Preston pulang? Aku mau kasih tahu kamu sesuatu. Dengar-dengar dari temanku, Preston ini punya hubungan nggak jelas dengan Sylvia, putri Keluarga Widodo. Dia memang bajingan ...."Sebelum Charlene selesai berbicara, ponsel Livy telah direbut oleh Preston dan panggilan dimatikan."Pak ...." Livy masih ingin melawan, tetapi Preston semakin dekat. Ciuman panas terus bergulir di bibirnya, sungguh posesif dan agresif."Kamu mabuk, Pak ...." Livy menahan dada Preston dengan kedua tangannya, untuk mencegah pria itu menyerangnya.Namun, tatapan Preston menjadi sangat dingin. Tangan besarnya langsung menggenggam tangan Livy, lalu diangkat ke atas kepala. Saat berikutnya, Preston menindih tubuh Livy."Livy, ini bukan jam kerja. Kamu nggak seharusnya memanggilku dengan sebutan itu." Preston agak mabuk, tetapi masih punya kesadaran.Mereka seharusnya tidur di kamar masing-masing malam ini tan
Tina membuat banyak makanan enak untuk Livy. Setelah mengamati Livy dengan saksama, Tina menghela napas dan berkata, "Nyonya, sesibuk apa pun kamu, jangan sampai mengabaikan kesehatan.""Mulai sekarang, nggak peduli seberapa larut, kamu tetap pulang saja. Biar sopir yang jemput. Aku akan selalu menyiapkan makanan enak untukmu di rumah."Livy hampir menangis. Setelah neneknya meninggal, jarang ada orang yang begitu perhatian terhadap kesehatannya. Tina sudah seperti anggota keluarga baginya.Dengan terharu, Livy mengangguk dan menghabiskan makanannya. Karena sudah malam, Livy berencana mandi dan tidur.Begitu keluar dari kamar mandi, masuk panggilan dari Charlene. "Livy, akhirnya kamu ada waktu untuk angkat telepon."Charlene mengeluh, "Kamu punya pacar lain atau gara-gara Preston, kamu jadi mengabaikanku?""Mana mungkin!" Livy buru-buru membujuk. Memang belakangan ini dia terlalu sibuk, jadi pesan dari Charlene tidak sempat dibalas.Ketika Charlene menelpon, Livy hanya bisa bicara sebe
Beban yang ada di dalam hati Preston semakin berat. Perasaan peduli Preston terhadap Livy kini sirna tanpa jejak."Karena kamu sudah terbiasa dengan lembur, proyek selanjutnya akan kuserahkan kepadamu," ujar Preston sambil melemparkan sebuah berkas dengan santai.Livy menerima berkas itu dan melihatnya. Matanya agak berbinar-binar. Dia segera berkata, "Baik, aku mengerti, Pak."Setelah itu, Livy membawa berkas itu dan pergi dengan senang hati. Proyek ini mungkin bukan proyek yang sangat penting di Grup Sandiaga. Namun bagi Livy, ini adalah kesempatan yang baik untuk naik jabatan.Jika berhasil dikerjakan dengan baik, kemungkinan besar dia akan dipromosikan. Bahkan jika hasilnya biasa-biasa saja, bonus dari proyek ini pasti tidak sedikit. Apa pun hasilnya, ini jelas hanya akan menguntungkan Livy.Livy merasa senang karena mengira Preston memberinya kesempatan untuk naik jabatan. Sementara itu di dalam kantor, Preston memegang cangkir kopinya dengan erat. Urat-uratnya sampai terlihat.To
Livy tidak berani bertindak sembarangan. Dia hanya duduk dengan patuh, memegang cangkir teh hangat yang belum tersentuh, lalu menyeruput dengan perlahan.Meskipun sebagian besar perhatian Preston terfokus pada dokumen di hadapannya, sesekali matanya akan melirik ke arah Livy. Setelah lembur dua malam, Livy memang terlihat kelelahan.Semalam setelah mengantar Sylvia pulang, Preston berniat singgah untuk melihat Livy sebentar. Namun, ketika dia sampai di kantor, hari sudah tengah malam dan Livy sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ingin beristirahat. Dia terus melanjutkan pekerjaannya.Karena gengsi, Preston tidak langsung muncul. Sebaliknya, dia kembali ke ruangannya. Dia turun beberapa kali dan khawatir akan bertemu dengan Livy. Pada akhirnya, Livy tidur pada pukul 2 dini hari lewat.Preston pun mengambil jas yang tertinggal oleh Bendy dan menyelimuti Livy dengan jas itu. Saat melihatnya begitu lelah, sedikit rasa iba muncul dalam hati Preston. Dia tidak seharusnya menggunakan car
Bendy? Livy semakin bingung. Apa mungkin Bendy juga lembur sampai dini hari kemarin? Bekerja di bawah Preston memang sangat melelahkan. Namun, bagaimana bisa Bendy tiba-tiba memberinya jas?Sebelum Livy sempat menemukan jawaban, suara Ivana yang penuh semangat terdengar lagi. "Livy, aku sudah bilang, kamu dan Pak Bendy sangat serasi! Meskipun kalian bertengkar, dia tetap nggak melupakanmu dan diam-diam peduli padamu! Ahhh, aku bisa mati melihat cinta kalian!"Ha .... Livy merasa canggung dan hanya bisa tersenyum. Kini, dia merasa jas itu benar-benar panas. Bendy tidak mungkin tertarik padanya. Mungkin dia hanya kasihan melihat Livy tidur di meja, jadi memberinya jas agar tidak kedinginan. Pasti hanya seperti itu.Livy mencari alasan untuk menenangkan dirinya, lalu mengambil barang yang sudah disiapkan oleh Ivana dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Untungnya, setelah lembur semalam, dia berhasil menyelesaikan dokumennya dengan cukup lancar. Sekitar pukul 10 pagi, dokumen i