Di dalam mobil yang remang, wajah Preston yang tegas dan tampan terlihat semakin memikat dalam pencahayaan redup."Hari ini bukan masa suburmu, 'kan?" tanyanya tiba-tiba.Livy langsung merasa ada bahaya mengintai. Dengan refleks, dia bergeser sedikit ke belakang dan mencoba menjauh. Namun, ruang di dalam mobil terbatas dan pintu mobil telah dikunci oleh Preston sebelumnya. Tidak ada jalan keluar bagi Livy."Pak Preston, ini di dalam mobil. Mungkin saja ada yang melihat kita ...," ucap Livy dengan nada gugup."Jendela ini satu arah. Nggak ada yang bisa melihat ke dalam. Lagi pula, nggak ada yang akan datang ke sini," jawab Preston dengan santai sambil mulai melepas dasinya.Gerakannya kasar dan penuh tenaga, hingga kancing paling atas kemejanya terlepas.Leher Preston yang berotot tampak menonjol dan Livy tidak bisa mengalihkan pandangannya. Di bawahnya, otot dadanya yang terlihat sempurna semakin menambah daya tariknya."Pak Preston, aku ....""Panggil aku dengan benar," potong Preston
Livy masih dalam keadaan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.Ketika dia mengangkat kepalanya dengan cepat, pandangannya langsung bertemu dengan mata gelap Preston yang penuh gairah. Sorot matanya yang mendalam dan panas mulai menyebar, membuat Livy terdiam.Dia baru saja ingin mengatakan sesuatu, tetapi ciuman Preston yang panas tiba-tiba datang lagi dan membuat pikirannya kosong.Suhu di kursi belakang mobil terus meningkat.Preston mulai membuka kancing bajunya dengan perlahan. Namun, ketika jarinya mulai membuka kancing baju Livy, dia tiba-tiba berhenti.Tatapan matanya menatap Livy dengan intens, seolah-olah sedang menunggu jawaban. Dengan suara yang serak dan berat karena hasrat, dia berkata, "Livy, kalau kamu benar-benar nggak mau, kamu bisa menolakku."Livy yang sudah setengah kehilangan akal karena ciuman itu, tiba-tiba tersadar oleh ucapannya. Dengan bingung, dia bertanya, "Tapi ... bukankah ini adalah kewajibanku?"Alis Preston sedikit berkerut, tetapi suara
Meskipun tahu bahwa Preston telah mengunci pintu mobil, Livy tetap tidak bisa menahan rasa tegangnya. Tangannya mencengkeram bahu Preston begitu erat hingga nyaris meninggalkan bekas merah.Namun, Preston tampaknya tidak merasa sakit sedikit pun. Sebaliknya, dia hanya tertawa kecil dan suara rendahnya terdengar di dekat telinga Livy."Jangan bersuara," bisiknya dengan nada lembut.Tapi ... orang itu ada di luar!Livy menggigit bibirnya, menatap Preston dengan bingung dan sedikit marah.Apakah semua pria seperti ini? Di hati mereka mencintai satu orang, tetapi tubuh mereka tetap mencari yang lain?Pikiran itu membuat Livy tiba-tiba merasa ingin menyerah. Dia mendorong Preston dengan lemah, mencoba memberinya sinyal bahwa dia tidak ingin melanjutkan.Namun, sebelum Preston bisa menangkap tangannya untuk menghentikannya, ponsel yang tergeletak di dekat mereka tiba-tiba berbunyi dan memenuhi keheningan di dalam mobil yang sempit.Suara dering yang taka sing itu membuat tubuh Livy semakin k
Melihat dirinya sudah selesai mandi, Preston mengangkat Livy keluar dari kamar mandi. Dia membantu Livy mengenakan piama dan menurunkannya di ranjang dengan lembut.Ponsel berbunyi lagi. Itu adalah panggilan dari David. Preston melihat sebentar, lalu segera berjalan ke balkon."Kak Preston, ada masalah besar! Kak Sylvia nggak sengaja terjatuh dari kursi roda dan sekarang sedang dioperasi!"Preston terdiam sejenak, lalu langsung berkata, "Aku akan segera ke sana!"Setelah turun, Preston bertemu dengan Tina yang sedang menyiapkan camilan. "Tuan, kamu pasti capek malam ini. Lebih baik makan dulu ...."Sebelum Tina selesai berbicara, Preston menyela, "Nggak usah bawa ke atas, jangan ganggu tidurnya."Tina buru-buru tersenyum dan menyahut, "Oh, baiklah."Pasangan muda ini sudah lama bertengkar dan akhirnya berdamai.....Malam itu, tidur Livy kurang nyenyak. Sekitar pukul 12 tengah malam, dia terbangun karena bunyi telepon. Itu dari Rivano.Begitu telepon tersambung, terdengar suara Rivano
Setelah berkata demikian, Rivano segera merendahkan suaranya. Dengan setengah lembut setengah mengancam, dia meneruskan, "Livy, Zoey memang melakukan kesalahan, tapi kita tetap keluarga. Kondisinya sedang nggak stabil. Kalau dia mengatakan hal-hal yang nggak seharusnya di depan Pak Preston, kami juga nggak bisa mengendalikannya.""Omong-omong, aku dengar wanita yang dinikahi Stanley adalah keponakan Pak Preston, 'kan? Meskipun itu sudah masa lalu, kalau ...."Lagi-lagi ancaman? Livy merasa sangat jengkel. "Ya sudah, kamu bilang saja. Aku sudah setuju untuk membantu Zoey masuk ke Grup Sandiaga. Dia sendiri yang nggak bekerja dengan baik dan malah menggunakan metode tercela seperti ini. Masa masih mau aku bantu? Paling-paling aku dan Preston cerai dan Zoey keluar dari perusahaan bersamaku."Rivano terdiam sejenak, lalu akhirnya melembutkan suaranya. "Livy, tolonglah, anggap ayahmu memohon padamu ya? Kamu selalu ingin gelang emas ibumu, 'kan? Kalau kamu bantu kali ini, aku langsung ambilk
Zoey bisa masuk ke Grup Sandiaga karena permohonan Livy. Dia juga paham, Bendy mempertahankan Zoey demi dirinya. Meskipun Livy bukan istri Preston yang sesungguhnya, dia masih memiliki sedikit kekuasaan.Sesuai dugaan, Rivano langsung takut. Dia menggigit bibirnya dan berucap dengan enggan, "Ya sudah, kamu tunggu sebentar di sini."Setelah itu, Rivano naik ke lantai atas. Begitu masuk ke kamar, dia langsung melihat Zoey yang menangis dan mengeluh, "Ayah, lihat Livy! Dia kira dia Nyonya Sandiaga yang bermartabat? Pak Preston nggak menyukainya dan cuma anggap dia teman tidur! Kalau bukan karena aku, malam ini ....""Sudah, kamu merasa malam ini belum cukup memalukan ya!" Rivano yang kesal pun membentak, "Aku sudah menyuruhmu bersikap baik dan fokus pada kerjaan, jangan pikir macam-macam! Sekarang lihat, kamu bukan cuma tidur dengan pria berengsek itu, tapi Pak Preston juga melihat semua. Gimana pendapat Pak Preston terhadapmu sekarang?""Aku ... aku cuma ingin membantu Ayah! Kenapa malah
Sementara itu, di bangsal, Preston yang sedang merawat Sylvia pun menerima panggilan dari Livy. Suaranya agak serak. "Ada apa?"Livy ragu-ragu sejenak, lalu akhirnya bertanya dengan terbata-bata, "Ini ... tentang adikku, Zoey. Aku ingin tanya. Apa posisinya bisa ...?"Sebelum Livy selesai bicara, Preston sudah menurunkan suara dan menyela dengan dingin: "Livy, aku sudah sangat baik karena mempertahankan Zoey di Grup Sandiaga. Sebaiknya jangan minta terlalu banyak!"Telepon langsung diakhiri. Livy termangu memandang layar ponselnya yang menampilkan nama "Pak Preston". Dia sungguh bingung.Preston marah ... karena masalah Zoey? Ya, benar. Dia sudah berulang kali memohon kepada Preston demi Zoey. Zoey malah sama sekali tidak menghargai itu dan malah membuat masalah besar saat perayaan ulang tahun perusahaan.Mungkin kesabaran Preston terhadapnya juga sudah habis. Hanya karena sedikit kelembutan tadi malam, Livy mengira Preston memperlakukannya dengan sedikit berbeda.Livy meremas ponselny
Preston yang gusar, kini semakin marah kepada Livy setelah mendengar apa yang dikatakan Sylvia. Dengan alis yang berkerut, dia menekan emosinya. Akal sehatnya masih berfungsi. "Livy nggak akan berani melakukan hal seperti itu."Mendengar Preston masih membela Livy, Sylvia hampir menggertakkan giginya hingga patah. Dia sampai mengorbankan dirinya untuk menjebak Livy, tetapi ternyata Preston masih memihak pada Livy!Mereka belum mengenal lama, bagaimana bisa wanita itu begitu penting di hati Preston? Seketika, Sylvia mengubah sikapnya.Dengan kepala sedikit terangkat, mata Sylvia mulai berkaca-kaca. Dia terlihat sangat menyedihkan. "Maafkan aku, Preston. Mungkin aku salah paham pada Bu Livy."Preston hanya menjawab dengan suara datar, "Mungkin dia nggak tahu tentang hal ini, tapi dia tetap punya tanggung jawab.""Bukan begitu, Preston." Sylvia segera menggeleng dan berkata, "Tadi aku salah bicara. Bu Livy pasti nggak bersalah. Jangan salahkan dia. Sebelumnya Zoey mengejekku sebagai orang
Setelah hampir sepanjang hari berkeliling pasar, Livy berhasil mendapatkan gambaran harga dari bahan-bahan yang dibutuhkannya. Setelah data terkumpul, dia berencana untuk pulang, menyusun dokumen, dan mulai merancang kerja sama sesuai kebutuhan.Namun, ada yang aneh. Remis yang dimintanya untuk menjemput pada pukul enam, masih belum muncul meskipun waktu sudah lewat lebih dari setengah jam. Saat hendak menelepon untuk menanyakan keberadaannya, sebuah mobil yang dikenalnya berhenti di depannya.Seorang pria yang mengenakan masker berada di balik kemudi. Matanya tampak sedikit gugup saat menatap Livy, lalu berkata, "Apakah ini Bu Livy? Aku adik Remis. Barusan dia mendadak kena radang usus buntu dan harus dibawa ke rumah sakit. Aku datang untuk mengantar Bu Livy pulang.""Baiklah," jawab Livy tanpa berpikir panjang.Remis yang merupakan sopir Keluarga Sandiaga, selalu siap siaga kapan saja. Livy berpikir, mungkin selama ini dia tidak menjaga pola makan dengan baik, sehingga jatuh sakit.S
Setelah mengunjungi beberapa toko bahan, Livy akhirnya tiba di pusat material. Dari kejauhan, dia melihat seseorang yang sangat dikenalnya."Livy, kita ini memang punya jodoh yang unik ya ...." Bahran melangkah besar mantap mendekati Livy.Penampilan seseorang ditentukan oleh cara berpakaiannya. Setelah mengenakan setelan jas, Bahran memang terlihat agak lebih rapi, meskipun tidak bisa menutupi wajahnya yang pucat akibat gaya hidup berlebihan.Rambutnya disisir ke belakang dengan minyak rambut sehingga memberikan kesan necis. Dengan senyuman sinis yang menyiratkan maksud buruk, dia berkata, "Kamu datang untuk urusan Preston, ya? Aneh sekali, punya istri secantik kamu, bukannya dijaga di rumah dengan baik, malah dibiarkan keluar pamer ke mana-mana."Kata-katanya membuat Livy merasa mual. Dia mundur dua langkah tanpa sadar, tapi Bahran tak menyadarinya sama sekali. Dia malah mendekat lagi.Pandangannya tertuju ke leher Livy, lalu berkata, "Oh, ternyata baru bersenang-senang, ya? Tapi sud
Livy menarik napas panjang beberapa kali, berusaha menenangkan dirinya sebelum buru-buru mengoleskan obat dan bergegas pergi bekerja. Untungnya, sopir mengemudi cukup cepat sehingga dia tiba di kantor tepat waktu.Begitu duduk, Sherly datang dengan membawa setumpuk dokumen. Dia bertanya, "Livy, kamu mengurus proyek ini sendirian, pasti capek ya?"Livy tertegun sesaat, mengira Sherly khawatir dia tidak bisa menyelesaikan tugas dan akan dimarahi oleh Preston. Dia segera menyahut "Nggak juga. Memang ada banyak hal yang belum aku pahami, tapi aku pasti bisa mengatasinya.""Pak Preston juga keterlaluan .... Kamu baru 3 tahun di perusahaan ini, tapi dia sudah menyerahkan proyek ini sepenuhnya kepadamu."Sherly menghela napas pelan, menatap Livy dengan agak kasihan. Kemudian, dia berkata, "Kebetulan aku sedang nggak ada kerjaan. Nanti kita kerjakan bersama saja. Kita bagi tugas supaya lebih efisien."Livy langsung berseri-seri mendengar tawarannya. Proyek yang diberikan Preston memang tidak b
Sebelumnya Livy selalu menyambutnya dengan penuh antusiasme. Lantas, kenapa sekarang malah berbeda?Apa mungkin karena Livy telah bertemu Stanley dan pikirannya hanya tertuju pada Stanley, hingga dia tidak ingin berpura-pura lagi di hadapannya?Semakin memikirkan ini, kemarahan dan kecemburuan Preston semakin membara. Hal ini membuat gerakan Preston semakin kasar. Livy yang kesakitan tak kuasa meneteskan air mata. Pada akhirnya, dia mendongak dan menatap Preston dengan keras kepala sekaligus enggan."Ya, aku memang nggak menginginkannya. Apa kamu bisa melepaskanku?" balas Livy. Sebelumnya dia selalu melakukannya dengan sukarela, bahkan dengan senang hati.Namun, Preston yang di bawah pengaruh alkohol hari ini, tampak berbeda. Preston jelas-jelas hanya menganggapnya sebagai alat, sama sekali tidak memberinya kelembutan. Livy tidak menginginkan rasa sakit seperti ini.Namun, Preston tidak berpikir seperti itu. Menurut Preston, Livy ingin menjaga tubuhnya untuk Stanley. Wanita ini menolak
Livy tanpa sadar ingin melawan. Saat ini, terdengar suara Charlene dari ujung telepon. "Ada apa, Livy? Apa Preston pulang? Aku mau kasih tahu kamu sesuatu. Dengar-dengar dari temanku, Preston ini punya hubungan nggak jelas dengan Sylvia, putri Keluarga Widodo. Dia memang bajingan ...."Sebelum Charlene selesai berbicara, ponsel Livy telah direbut oleh Preston dan panggilan dimatikan."Pak ...." Livy masih ingin melawan, tetapi Preston semakin dekat. Ciuman panas terus bergulir di bibirnya, sungguh posesif dan agresif."Kamu mabuk, Pak ...." Livy menahan dada Preston dengan kedua tangannya, untuk mencegah pria itu menyerangnya.Namun, tatapan Preston menjadi sangat dingin. Tangan besarnya langsung menggenggam tangan Livy, lalu diangkat ke atas kepala. Saat berikutnya, Preston menindih tubuh Livy."Livy, ini bukan jam kerja. Kamu nggak seharusnya memanggilku dengan sebutan itu." Preston agak mabuk, tetapi masih punya kesadaran.Mereka seharusnya tidur di kamar masing-masing malam ini tan
Tina membuat banyak makanan enak untuk Livy. Setelah mengamati Livy dengan saksama, Tina menghela napas dan berkata, "Nyonya, sesibuk apa pun kamu, jangan sampai mengabaikan kesehatan.""Mulai sekarang, nggak peduli seberapa larut, kamu tetap pulang saja. Biar sopir yang jemput. Aku akan selalu menyiapkan makanan enak untukmu di rumah."Livy hampir menangis. Setelah neneknya meninggal, jarang ada orang yang begitu perhatian terhadap kesehatannya. Tina sudah seperti anggota keluarga baginya.Dengan terharu, Livy mengangguk dan menghabiskan makanannya. Karena sudah malam, Livy berencana mandi dan tidur.Begitu keluar dari kamar mandi, masuk panggilan dari Charlene. "Livy, akhirnya kamu ada waktu untuk angkat telepon."Charlene mengeluh, "Kamu punya pacar lain atau gara-gara Preston, kamu jadi mengabaikanku?""Mana mungkin!" Livy buru-buru membujuk. Memang belakangan ini dia terlalu sibuk, jadi pesan dari Charlene tidak sempat dibalas.Ketika Charlene menelpon, Livy hanya bisa bicara sebe
Beban yang ada di dalam hati Preston semakin berat. Perasaan peduli Preston terhadap Livy kini sirna tanpa jejak."Karena kamu sudah terbiasa dengan lembur, proyek selanjutnya akan kuserahkan kepadamu," ujar Preston sambil melemparkan sebuah berkas dengan santai.Livy menerima berkas itu dan melihatnya. Matanya agak berbinar-binar. Dia segera berkata, "Baik, aku mengerti, Pak."Setelah itu, Livy membawa berkas itu dan pergi dengan senang hati. Proyek ini mungkin bukan proyek yang sangat penting di Grup Sandiaga. Namun bagi Livy, ini adalah kesempatan yang baik untuk naik jabatan.Jika berhasil dikerjakan dengan baik, kemungkinan besar dia akan dipromosikan. Bahkan jika hasilnya biasa-biasa saja, bonus dari proyek ini pasti tidak sedikit. Apa pun hasilnya, ini jelas hanya akan menguntungkan Livy.Livy merasa senang karena mengira Preston memberinya kesempatan untuk naik jabatan. Sementara itu di dalam kantor, Preston memegang cangkir kopinya dengan erat. Urat-uratnya sampai terlihat.To
Livy tidak berani bertindak sembarangan. Dia hanya duduk dengan patuh, memegang cangkir teh hangat yang belum tersentuh, lalu menyeruput dengan perlahan.Meskipun sebagian besar perhatian Preston terfokus pada dokumen di hadapannya, sesekali matanya akan melirik ke arah Livy. Setelah lembur dua malam, Livy memang terlihat kelelahan.Semalam setelah mengantar Sylvia pulang, Preston berniat singgah untuk melihat Livy sebentar. Namun, ketika dia sampai di kantor, hari sudah tengah malam dan Livy sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ingin beristirahat. Dia terus melanjutkan pekerjaannya.Karena gengsi, Preston tidak langsung muncul. Sebaliknya, dia kembali ke ruangannya. Dia turun beberapa kali dan khawatir akan bertemu dengan Livy. Pada akhirnya, Livy tidur pada pukul 2 dini hari lewat.Preston pun mengambil jas yang tertinggal oleh Bendy dan menyelimuti Livy dengan jas itu. Saat melihatnya begitu lelah, sedikit rasa iba muncul dalam hati Preston. Dia tidak seharusnya menggunakan car
Bendy? Livy semakin bingung. Apa mungkin Bendy juga lembur sampai dini hari kemarin? Bekerja di bawah Preston memang sangat melelahkan. Namun, bagaimana bisa Bendy tiba-tiba memberinya jas?Sebelum Livy sempat menemukan jawaban, suara Ivana yang penuh semangat terdengar lagi. "Livy, aku sudah bilang, kamu dan Pak Bendy sangat serasi! Meskipun kalian bertengkar, dia tetap nggak melupakanmu dan diam-diam peduli padamu! Ahhh, aku bisa mati melihat cinta kalian!"Ha .... Livy merasa canggung dan hanya bisa tersenyum. Kini, dia merasa jas itu benar-benar panas. Bendy tidak mungkin tertarik padanya. Mungkin dia hanya kasihan melihat Livy tidur di meja, jadi memberinya jas agar tidak kedinginan. Pasti hanya seperti itu.Livy mencari alasan untuk menenangkan dirinya, lalu mengambil barang yang sudah disiapkan oleh Ivana dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Untungnya, setelah lembur semalam, dia berhasil menyelesaikan dokumennya dengan cukup lancar. Sekitar pukul 10 pagi, dokumen i