"Chloe?" Sylvia mengerutkan alisnya. "Tentu saja kenal, dia keponakan Preston."Annie melanjutkan, "Aku sudah menyelidikinya. Sebelumnya Chloe sudah menikah, 'kan?""Terus?" Sylvia merasa bingung dengan Annie yang tiba-tiba membahas hal tidak penting ini. Akan tetapi, kalimat berikutnya yang keluar dari mulut Annie langsung mengejutkan Sylvia."Jadi, apa kamu tahu, pria yang menikahi Chloe adalah mantan pacar Livy?"Sylvia termangu sejenak sebelum sorot matanya menjadi penuh kebanggaan. Dia tertawa dengan gembira. "Aku nggak nyangka kamu berguna juga."Bagaimanapun, Preston adalah seorang pria. Jika dia tahu suami dari keponakannya adalah mantan pacar istrinya, entah apa yang akan terjadi?Oh, benar. Kabarnya Preston bahkan membawa Livy ke pernikahan Chloe sebelumnya. Sungguh akting yang sangat bagus!....Setelah memesan ruang privat, Livy segera pergi untuk menjemput Charlene. Waktunya sangat pas.Livy membuka pintu dan segera keluar dari mobil. Di sampingnya, Nicky yang berkemudi ju
Livy ragu-ragu sejenak, lalu akhirnya mengangkat telepon. Di ujung sana, suara Preston terdengar agak dingin. "Di mana?""Makan sama teman," jawab Livy.Preston tertawa dingin. "Pria atau wanita?""Dua-duanya." Livy menjawab, lalu bertanya dengan agak penasaran. "Apa ada yang mendesak?"Di sisi lain, Preston melihat jalanan yang ramai dengan kendaraan. Wajahnya tampak sangat serius, suaranya juga terdengar dingin. "Livy, apa ada yang ingin kamu katakan?""Apa yang harus kukatakan?" Livy benar-benar tidak tahu apa yang harus dikatakan. Dia bingung sejenak, lalu berkata dengan ragu, "Aku mungkin akan pergi jalan-jalan setelah selesai makan. Aku sudah lama nggak ketemu sahabatku. Jadi, aku mungkin pulang agak larut. Kamu ...."Panggilan tiba-tiba diakhiri tanpa alasan. Livy tertegun dan menatap layar ponselnya dengan heran. Ini adalah kedua kalinya Preston mengakhiri panggilan hari ini. Pria ini benar-benar membenciku? Padahal, semalam dia sangat lembut ...."Livy, kamu baik-baik saja?" C
Awalnya, Nicky merasa senang jika Livy bisa mendapatkan kebahagiaan. Namun, setelah melihat sikap Preston terhadap Livy serta berbagai hal lainnya, Nicky benar-benar menyesal dan merasa pernikahan ini tidak akan bertahan lama. Mungkin, dia masih memiliki kesempatan."Eh, eh, eh, Nicky, kamu nggak boleh pilih kasih begitu. Kita juga teman, kenapa kamu nggak bantu aku?" Charlene menyela sambil bercanda untuk mengalihkan perhatian. "Nanti malam kita ke KTV. Livy, gimana kalau kita minum malam ini?"Livy berpikir, dia sudah lama tidak bertemu dengan Charlene. Mereka hanya pergi ke KTV untuk berkumpul dengan teman, seharusnya tidak masalah. Jadi, Livy menyetujuinya.Namun, saat mereka sampai di KTV, Livy terkejut. Begitu masuk, dia langsung melihat Stanley dan kelompoknya. Karena sudah saling kenal sejak kecil, jadi lingkaran pertemanan mereka hampir sama.Teman-teman Stanley yang melihat Livy dan Nicky langsung melambaikan tangan dan memanggil, "Livy, Nicky, kebetulan banget. Ayo gabung!"
Stanley awalnya mengira masalah yang terjadi sebelumnya sudah selesai. Dia bekerja keras untuk menenangkan situasi. Namun, beberapa hari kemudian, wanita itu kembali mengungkit masalah lama.Saat emosi memuncak, Chloe malah mengalami keguguran. Stanley masih bisa menerima dirinya dipukuli dan dimarahi karena dia memang bersalah. Setidaknya, dia bekerja keras untuk melayani Chloe selama beberapa waktu.Namun, begitu sembuh, Chloe langsung pergi ke luar negeri dengan sahabatnya untuk mencari model pria. Bahkan, Chloe mengunggah foto dan video dengan konten yang sangat vulgar, seperti ciuman, menyentuh otot perut, dan lain-lain.Semua itu diposting di internet, sementara yang lebih buruk tentu tidak diposting. Entah apa lagi yang dilakukan wanita itu untuk menghina dirinya! Situasi itu benar-benar membuatnya malu!"Hahaha, Livy memang semakin cantik dan memesona. Tsk, tsk, kalian nggak lihat cupang di leher Livy?""Oh ya? Jadi, Livy sudah pacaran? Dengan siapa? Livy wanita yang lembut dan
Livy jelas-jelas tidak melakukan hal-hal yang kelewatan. Lantas, kenapa dia tidak boleh berada di sisi Charlene? Selain itu, untuk apa dia pulang?Preston saja boleh berada di sisi Sylvia tanpa memberinya penjelasan apa pun. Apa Livy tidak punya hak untuk berteman?Perasaan kesal dan sedih bergejolak di dalam hati Livy. Namun, pada akhirnya akal sehatnya yang menang.Sekalipun mereka akan bercerai, perceraian harus dilakukan secara damai. Livy tidak ingin semuanya berakhir dengan buruk karena hal ini akan memengaruhi kariernya.Segera, Livy mengetik pesan dan mencoba menjelaskan dengan sabar.[ Pak, mungkin aku terlalu emosional tadi. Tapi, aku nggak bermaksud menyakiti Bu Sylvia. Hari ini aku cuma berkumpul dengan temanku. Aku akan pulang agak larut. ]Preston tidak membalas lagi. Mungkin dia sudah menyetujuinya. Livy pun menghela napas lega dan becermin. Setelah memastikan wajahnya tidak terlihat murung, dia baru keluar."Livy!" Tiba-tiba, Terdengar suara yang sangat familier dari se
Stanley berbicara dengan penuh semangat. Mulutnya yang bau alkohol itu hampir menempel di wajah Livy.Saat berikutnya, sebuah pukulan datang. "Stanley!" Nicky segera menarik Livy ke belakangnya.Nicky awalnya khawatir karena Livy tak kunjung kembali. Dia mengira Livy muntah-muntah di kamar mandi, jadi pergi membeli obat dan hendak mencarinya. Siapa sangka, dia malah melihat Stanley bersikap lancang kepada Livy!"Nicky?" Stanley terhuyung. Kemudian, nada bicaranya terdengar tidak sabar. "Ini urusanku dengan Livy. Apa hakmu ikut campur? Pergi sana!"Wajah Nicky menjadi sangat suram. Suaranya juga tegas. "Stanley, sudah kubilang Livy adalah temanku. Aku nggak akan tinggal diam. Selain itu, hubungan kalian sudah berakhir. Kamu harus menghormatinya. Lihat apa yang kamu lakukan!"Setelah mengucapkan peringatan seperti itu, Nicky pun tahu hubungan persahabatannya dengan Stanley sudah berakhir sepenuhnya. Namun, dia tidak menyesal.Dulu, Nicky tidak tahu Stanley adalah orang seperti ini. Sekar
"Livy!" Suara yang sangat dingin terdengar di telinga Livy. Namun, suara itu sangat familier. Sepertinya itu adalah suara Preston.Livy memandang dengan bingung, berusaha keras untuk melihat dengan jelas. Pada akhirnya, dia berhasil melihat wajah Preston. Namun anehnya, kepala Preston ada dua."Kemari!" Preston tidak dapat mengendalikan amarahnya. Hari ini dia sibuk sepanjang hari, lalu menunggu Sylvia selesai menjalani operasi dan menemaninya untuk menenangkannya. Malamnya, dia masih harus bertemu klien.Namun, saat dia pulang, Livy malah tidak ada di rumah. Wanita ini berkumpul dengan temannya sampai tengah malam?Preston berusaha bersabar. Meskipun ada perselisihan di antara mereka, dia tetap datang untuk mencari Livy. Namun, apa yang dia lihat? Melihat Livy terjatuh ke pelukan pria lain!Apa ini yang disebut berkumpul dengan teman? Jika dia terlambat sedikit, mereka mungkin telah berbaring di ranjang bersama!"Pak Preston, ini nggak seperti yang kamu kira. Livy mabuk, jadi aku ....
Ketika Livy terbangun, hari sudah siang. Kepalanya terasa sangat sakit, seluruh tubuhnya juga terasa lemas. Terutama bagian pergelangan tangannya yang bengkak dan merah. Kelihatannya sangat mengerikan."Nyonya sudah bangun?" Tina masuk dengan hati-hati, membawakan semangkuk bubur. Suaranya terdengar lembut. "Kenapa semalam minum alkohol sebanyak itu? Makan dulu bubur hangat agar perutmu terasa lebih baik.""Terima kasih, Bi." Livy menerima bubur itu, tetapi pergelangan tangannya tiba-tiba terasa sangat sakit. Dia hampir menjatuhkan mangkuk itu.Rasa sakit itu membuat pikirannya kembali fokus. Livy mulai mengingat kejadian semalam. Dalam ingatannya, semalam dia dan Preston bertengkar.Di dalam mobil yang sempit, Preston mengamati sekujur tubuhnya dengan tatapan dingin sekaligus penuh amarah."Livy, ini terakhir kalinya kamu bermasalah dengan Sylvia. Kalau sampai terjadi lagi, aku nggak akan membiarkanmu begitu saja."Livy berusaha keras menjelaskan kepada Preston, tetapi yang dia dapat
Mimpi buruk yang menakutkan perlahan memudar.Di depannya, hanya ada Preston. Tangannya digenggam erat oleh tangan besar Preston, memberikan rasa tenang yang perlahan mengusir rasa takutnya. Suaranya yang dalam dan tegas terdengar di telinganya."Margo sudah aku tangani. Nggak perlu khawatir lagi.""Baik ...." Livy akhirnya merasa sedikit lega. Namun, genggamannya semakin erat, seolah-olah tidak ingin melepas tangan Preston. Dengan suara lemah, dia bertanya, "Siapa yang kusinggung sebenarnya? Kenapa aku harus mengalami ini?"Preston menuangkan segelas air hangat dan menyerahkannya pada Livy. Dengan nada dingin dan berat, dia menjawab, "Bahran. Kamu bertemu dengannya sore tadi, bukan?"Nada bicaranya begitu dingin seperti air dari laut terdalam yang penuh kegelapan, membuat siapa pun yang mendengarnya merasa gentar."Bahran ...." Livy terdiam sesaat. Setelah beberapa detik, dia mengangguk pelan. "Ya, aku bertemu dengannya. Dia menyuruhku mengganti pemasok bahan. Aku menolak. Aku pikir i
"Apa yang mau dimainkan?" Nada bicara Preston tetap sedingin es. Tanpa memberi kesempatan pada Bahran untuk menjawab, dia menambahkan dengan dingin, "Main-main dengan nyawamu, Kak?"Suara penuh amarah itu membuat Bahran tercekat. Dia terdiam sesaat sebelum mencoba menutupi rasa takutnya dengan kemarahan palsu. "Hei, apa maksudmu?"Namun, Preston tidak berniat melanjutkan percakapan. Dia langsung memutuskan telepon tanpa sepatah kata pun.....Setelah menutup telepon, Preston kembali ke kamar. David baru saja selesai memeriksa kondisi Livy dan langsung memberi laporan begitu dia masuk."Semua cuma luka luar, nggak ada yang kena tulang. Setelah diobati dan beristirahat beberapa hari, kondisinya akan membaik," kata David."Baik." Preston menjawab singkat sambil mengarahkan pandangannya pada Livy yang terbaring di tempat tidur. Matanya dipenuhi rasa sakit yang mendalam.Melihat itu, David mendekatinya dan bertanya dengan suara pelan, "Kak Preston, kalau tadi memang sampai terjadi sesuatu y
Suara yang tidak asing itu masuk ke telinga Livy, membuat matanya yang sudah memerah menjadi lebih berkaca-kaca. Emosi yang lama dia tahan akhirnya menyeruak.Pria yang sedang melakukan kekerasan padanya, Margo, mendadak terdiam. Wajahnya berubah drastis menjadi penuh ketakutan. Dengan suara gemetar, dia berkata, "Pak Preston ...?"Bugh!Sebuah pukulan keras mendarat di wajah Margo, diikuti dengan tendangan brutal yang mengenai bagian bawah tubuhnya. Preston tidak menunjukkan belas kasihan. Tendangan itu membuat Margo terjatuh ke lantai dan merintih kesakitan sambil memegangi tubuhnya."Preston ...." Livy menatap kosong ke arah pria yang semakin dekat dengannya. Suaranya serak dan sulit didengar setelah semua penderitaan yang dia alami. "A ... akhirnya kamu datang ...."Preston segera melepas jasnya dan menyelimutkannya ke tubuh Livy yang gemetar. Saat Livy bersandar di dadanya yang hangat, semua ketahanannya hancur. Air matanya mengalir deras."Aku ... aku pikir kamu nggak akan datang
Sebagai karyawan di departemen sekretaris, Livy tahu bahwa ponselnya tidak boleh dimatikan dalam keadaan apa pun. Lagi pula, dia juga bukan tipe orang yang mematikan ponsel, bahkan saat tidur.Preston berdiri dengan cepat, ekspresinya menjadi semakin dingin. Dia memastikan, "Dia nggak ada di kantor? Apa dia bilang dia lembur di kantor?""Ng-nggak," jawab Tina gugup. "Nyonya cuma bilang akan pulang lebih lambat."Nada Tina semakin penuh kecemasan. "Tuan, biasanya Nyonya nggak pernah seperti ini, tiba-tiba nggak bisa dihubungi. Jangan-jangan dia ...."Kata-kata Tina terputus. Dia buru-buru meludah beberapa kali, mencoba menepis pikiran buruk. "Nggak mungkin, nggak mungkin ada sesuatu yang terjadi pada Nyonya."Namun, Preston tidak lagi mendengarkan. Dengan penuh ketegangan, dia menutup telepon dengan cepat dan segera menghubungi anak buahnya. "Cari tahu di mana Livy! Kalau dalam satu jam kalian nggak menemukannya, kalian nggak perlu kembali lagi!"....Sementara itu, di dalam ruangan sem
Setelah hampir sepanjang hari berkeliling pasar, Livy berhasil mendapatkan gambaran harga dari bahan-bahan yang dibutuhkannya. Setelah data terkumpul, dia berencana untuk pulang, menyusun dokumen, dan mulai merancang kerja sama sesuai kebutuhan.Namun, ada yang aneh. Remis yang dimintanya untuk menjemput pada pukul enam, masih belum muncul meskipun waktu sudah lewat lebih dari setengah jam. Saat hendak menelepon untuk menanyakan keberadaannya, sebuah mobil yang dikenalnya berhenti di depannya.Seorang pria yang mengenakan masker berada di balik kemudi. Matanya tampak sedikit gugup saat menatap Livy, lalu berkata, "Apakah ini Bu Livy? Aku adik Remis. Barusan dia mendadak kena radang usus buntu dan harus dibawa ke rumah sakit. Aku datang untuk mengantar Bu Livy pulang.""Baiklah," jawab Livy tanpa berpikir panjang.Remis yang merupakan sopir Keluarga Sandiaga, selalu siap siaga kapan saja. Livy berpikir, mungkin selama ini dia tidak menjaga pola makan dengan baik, sehingga jatuh sakit.S
Setelah mengunjungi beberapa toko bahan, Livy akhirnya tiba di pusat material. Dari kejauhan, dia melihat seseorang yang sangat dikenalnya."Livy, kita ini memang punya jodoh yang unik ya ...." Bahran melangkah besar mantap mendekati Livy.Penampilan seseorang ditentukan oleh cara berpakaiannya. Setelah mengenakan setelan jas, Bahran memang terlihat agak lebih rapi, meskipun tidak bisa menutupi wajahnya yang pucat akibat gaya hidup berlebihan.Rambutnya disisir ke belakang dengan minyak rambut sehingga memberikan kesan necis. Dengan senyuman sinis yang menyiratkan maksud buruk, dia berkata, "Kamu datang untuk urusan Preston, ya? Aneh sekali, punya istri secantik kamu, bukannya dijaga di rumah dengan baik, malah dibiarkan keluar pamer ke mana-mana."Kata-katanya membuat Livy merasa mual. Dia mundur dua langkah tanpa sadar, tapi Bahran tak menyadarinya sama sekali. Dia malah mendekat lagi.Pandangannya tertuju ke leher Livy, lalu berkata, "Oh, ternyata baru bersenang-senang, ya? Tapi sud
Livy menarik napas panjang beberapa kali, berusaha menenangkan dirinya sebelum buru-buru mengoleskan obat dan bergegas pergi bekerja. Untungnya, sopir mengemudi cukup cepat sehingga dia tiba di kantor tepat waktu.Begitu duduk, Sherly datang dengan membawa setumpuk dokumen. Dia bertanya, "Livy, kamu mengurus proyek ini sendirian, pasti capek ya?"Livy tertegun sesaat, mengira Sherly khawatir dia tidak bisa menyelesaikan tugas dan akan dimarahi oleh Preston. Dia segera menyahut "Nggak juga. Memang ada banyak hal yang belum aku pahami, tapi aku pasti bisa mengatasinya.""Pak Preston juga keterlaluan .... Kamu baru 3 tahun di perusahaan ini, tapi dia sudah menyerahkan proyek ini sepenuhnya kepadamu."Sherly menghela napas pelan, menatap Livy dengan agak kasihan. Kemudian, dia berkata, "Kebetulan aku sedang nggak ada kerjaan. Nanti kita kerjakan bersama saja. Kita bagi tugas supaya lebih efisien."Livy langsung berseri-seri mendengar tawarannya. Proyek yang diberikan Preston memang tidak b
Sebelumnya Livy selalu menyambutnya dengan penuh antusiasme. Lantas, kenapa sekarang malah berbeda?Apa mungkin karena Livy telah bertemu Stanley dan pikirannya hanya tertuju pada Stanley, hingga dia tidak ingin berpura-pura lagi di hadapannya?Semakin memikirkan ini, kemarahan dan kecemburuan Preston semakin membara. Hal ini membuat gerakan Preston semakin kasar. Livy yang kesakitan tak kuasa meneteskan air mata. Pada akhirnya, dia mendongak dan menatap Preston dengan keras kepala sekaligus enggan."Ya, aku memang nggak menginginkannya. Apa kamu bisa melepaskanku?" balas Livy. Sebelumnya dia selalu melakukannya dengan sukarela, bahkan dengan senang hati.Namun, Preston yang di bawah pengaruh alkohol hari ini, tampak berbeda. Preston jelas-jelas hanya menganggapnya sebagai alat, sama sekali tidak memberinya kelembutan. Livy tidak menginginkan rasa sakit seperti ini.Namun, Preston tidak berpikir seperti itu. Menurut Preston, Livy ingin menjaga tubuhnya untuk Stanley. Wanita ini menolak
Livy tanpa sadar ingin melawan. Saat ini, terdengar suara Charlene dari ujung telepon. "Ada apa, Livy? Apa Preston pulang? Aku mau kasih tahu kamu sesuatu. Dengar-dengar dari temanku, Preston ini punya hubungan nggak jelas dengan Sylvia, putri Keluarga Widodo. Dia memang bajingan ...."Sebelum Charlene selesai berbicara, ponsel Livy telah direbut oleh Preston dan panggilan dimatikan."Pak ...." Livy masih ingin melawan, tetapi Preston semakin dekat. Ciuman panas terus bergulir di bibirnya, sungguh posesif dan agresif."Kamu mabuk, Pak ...." Livy menahan dada Preston dengan kedua tangannya, untuk mencegah pria itu menyerangnya.Namun, tatapan Preston menjadi sangat dingin. Tangan besarnya langsung menggenggam tangan Livy, lalu diangkat ke atas kepala. Saat berikutnya, Preston menindih tubuh Livy."Livy, ini bukan jam kerja. Kamu nggak seharusnya memanggilku dengan sebutan itu." Preston agak mabuk, tetapi masih punya kesadaran.Mereka seharusnya tidur di kamar masing-masing malam ini tan