Livy baru saja ingin menjelaskan, tetapi Erick menyela, "Aku dan Bu Livy belum pacaran. Pak, kalau aku berhasil mengejarnya, aku akan langsung ajukan pindah ke cabang. Tenang saja, aku tahu aturan perusahaan."Livy mengernyit. Sesuai dugaan, dia bisa melihat ekspresi Preston yang berangsur dingin. Penjelasan Erick tidak sesederhana yang terdengar. Dia mengklarifikasi hubungan keduanya, tetapi juga menunjukkan kepercayaan dirinya terhadap perkembangan hubungan mereka di masa depan.Penjelasan ini akan membuat orang mengira Livy menerima perhatian dan pengejaran Erick. Livy merasa sangat terganggu. Namun, dia tidak bisa membantah apa pun karena penjelasan Erick terlalu sempurna."Oh ya?" Preston menatap Erick dengan tatapan tajam, lalu beralih menatap Livy lekat-lekat.Kemudian, tatapan Preston tertuju pada tas di tangan Livy. Dia bertanya dengan nada bicara agak menyindir, "Livy, kamu sudah mau pulang kerja? Kamu nggak berniat fokus pada kerjaanmu lagi?"Seketika, dada Livy terasa sakit
Livy memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi. Segera, dia tiba di ruang kantor presdir.Saat Livy hendak mengetuk pintu, dia malah melihat wajah samping Sylvia. Sylvia sedang menghadap ke arahnya, tetapi tatapannya tertuju pada Preston. Dengan suara lembut, dia berkata, "Preston, cepat sedikit. Aku lapar."Usai mengatakan itu, Sylvia menoleh. Ketika melihat Livy, dia sama sekali tidak terkejut. Meskipun begitu, dia tetap berpura-pura terkejut. "Bu Livy, kamu juga ikut?"Nada bicara Sylvia terdengar agak aneh. Sementara itu, tersembunyi penghinaan dan permusuhan di balik matanya. Livy bisa merasakannya dengan jelas."Preston, aku sudah reservasi tempat. Kamu juga tahu makan di Restoran Barban harus pesan dulu. Tapi, aku cuma pesan tempat untuk dua orang. Aku nggak tahu Bu Livy bakal ikut." Sylvia menunduk sedikit, seolah-olah merasa bersalah."Nggak apa-apa, dia nggak ikut." Preston menatap Livy yang berdiri di depan pintu. Alisnya sedikit berkerut. Ekspresinya bahkan menunjukkan sedi
Livy lembur sedikit untuk menyelesaikan pekerjaannya. Setelah pulang ke rumah, dia mendapati hanya ada dirinya.Livy makan malam sendirian. Selesai makan, tiba-tiba ponselnya berdering. Ternyata Erick yang meneleponnya.Tanpa pikir panjang, Livy hendak mengakhiri panggilan. Namun, dia dan Erick masih punya urusan pekerjaan. Dia khawatir Erick mencarinya untuk membahas masalah pekerjaan, jadi terpaksa menerima panggilan."Ada urusan apa?" Nada bicara Livy terdengar sopan, tetapi sedikit dingin dan kesal.Di sisi lain, Erick seolah-olah tidak menyadarinya. Dia berkata dengan ramah, "Livy, aku tahu kamu belum tidur. Aku lagi di pasar malam Jalan Selata. Kamu mau kemari nggak? Kita makan bersama."Livy merasa agak gusar. Dia sudah memperjelas semuanya kepada Erick, tetapi Erick masih mengganggunya."Erick, biar kuperjelas sekali lagi. Kalau nggak ada urusan pekerjaan, tolong jangan ganggu aku," tegas Livy.Erick malah tertawa ringan, lalu berkata dengan suara agak manja, "Livy, aku nggak g
"Kenapa bicara begitu?" tanya Livy yang tidak bisa bereaksi untuk sesaat."Soalnya kamu lagi pacaran sama Erick." Preston melirik wajah Livy dengan ekspresi datar. Tatapannya suram dan mendalam, sungguh mengerikan.Preston marah! Livy tak kuasa bergidik. Meskipun Preston tidak banyak bicara, Livy bisa merasakan auranya yang suram. Dia tidak pernah melihat ekspresi seperti ini dari Preston.Livy termangu beberapa saat sebelum bereaksi kembali. Jelas, percakapannya dengan Erick didengar oleh Preston."Bu ... bukan begitu ...." Livy buru-buru menjelaskan.Namun, Preston hanya melirik dengan dingin. Jarinya yang ramping menarik dasinya dengan gusar. Kancing paling atas sampai terbuka karena gerakannya yang kasar. Jakunnya yang bergerak membuatnya terlihat sangat menggoda."Jadi, yang kudengar tadi cuma halusinasi?" tanya Preston.Livy ragu-ragu sejenak. Setelah mengingat kembali, sepertinya dia terus menyuruh Erick untuk mundur tadi. Mereka sama sekali tidak membahas hal romantis. Sepertin
Livy sontak membuka matanya lebar-lebar. Dia secara naluriah meletakkan kedua tangan di depan tubuhnya untuk melindungi diri. Tubuhnya agak meringkuk. Dia mundur beberapa langkah.Preston memicingkan matanya yang makin dingin. Livy berkata secara spontan, "Aku kurang enak badan hari ini."Livy memang sedang tidak mood. Karena tidak mood, sekujur tubuhnya terasa lemas. Dia tidak punya niat untuk melayani dan menghadapi Preston."Kulihat kamu nggak seperti orang sakit waktu bertelepon tadi." Kesabaran Preston mulai menipis. Sepasang matanya yang hitam menatap Livy lekat-lekat.Livy menggigit bibirnya. "Aku serius ....""Kamu seharusnya menjalankan kewajiban seorang istri." Preston menunduk, lalu menggendong Livy ke kamar. Dia menahan Livy di dinding tanpa menghiraukan penolakannya. Gerakannya sangat lugas dan kasar. Dia sama sekali tidak peduli pada perasaan Livy."Ah! Sakit ...." Livy kesakitan hingga matanya berkaca-kaca. Ini pertama kalinya Presto benar-benar memperlakukannya sebagai
Sementara itu, Livy hanya seorang wanita tanpa latar belakang apa pun. Bagaimana bisa dia dibandingkan dengan Sylvia? Jelas sekali, pertanyaan ini hanya merendahkan dirinya sendiri.Sebenarnya, Livy bukan sekadar ingin bertanya. Namun, dia ingin mengingatkan Preston tentang keberadaan Sylvia.Setelah dipikir-pikir, Livy merasa dirinya berpikir terlalu jauh. Jika Preston peduli pada perasaan Sylvia, dia tidak mungkin melakukan hal seperti ini. Bagaimanapun, Sylvia tahu hubungan Livy dengan Preston. Terlihat jelas juga bahwa Sylvia sangat membenci Livy.Preston merasa ada yang tidak beres. Alisnya sedikit berkerut. Sylvia hanya temannya dan Preston berutang budi padanya. Sementara itu, Livy ....Status keduanya jelas berbeda dan tidak bisa dibandingkan. Entah kenapa Livy tiba-tiba mengungkit tentang Sylvia. Mungkin, Livy merasa canggung dan mencari topik pembicaraan.Bagaimanapun, Preston kehilangan kendali tadi. Livy pasti merasa tidak nyaman.Preston menatap tubuh Livy. Tubuh yang seha
Selesai mandi, Preston naik ke ranjang bersama Livy. Kali ini, Preston tidak mengganggu Livy lagi, melainkan memeluknya dan memejamkan mata untuk tidur.Di depannya adalah wajah pria tampan yang dingin. Jarak mereka sangat dekat. Jantung Livy berdebar kencang.Di tengah kegelapan, Livy bisa merasakan napas Preston yang berangsur tenang. Pada akhirnya, dia pun mengantuk.....Keesokan pagi, Livy bangun dan berangkat ke perusahaan. Hari ini, dia tidak terlambat. Meskipun Preston sudah pergi saat dia bangun, Preston tetap mengatur sopir untuk mengantarnya."Livy!" Begitu Livy duduk di kursinya dan belum sempat melakukan apa pun, tiba-tiba muncul sebuket bunga segar di pelukannya. Bunga mawar yang merah itu terlihat sangat menyala.Namun, Livy tidak suka bunga mawar. Sejak kecil, dia alergi terhadap bunga ini. "Achoo!"Livy bersin dengan keras. Erick pun berpura-pura memberi perhatian. "Kenapa, Livy? Kamu flu ya?"Livy menggosok hidungnya, lalu buru-buru meletakkan bunga mawar itu. "Bukan,
Preston masih duduk di meja kerjanya. Tangannya yang berotot memegang gelas. Suaranya terdengar penuh perhatian. "Kalau ada yang sakit, jangan dipaksakan.""Tenang saja. Kalau aku sakit, aku pasti langsung kasih tahu kamu. Aku nggak mungkin menahannya sendiri. Kamu berutang budi padaku."Suara Sylvia terdengar jernih bak bulu tipis yang melayang di hati Livy. Seketika, Livy merasa geli dan sesak.Livy memegang erat laporan di tangannya, lalu mengetuk pintu."Masuk.""Selamat siang, Pak. Aku datang untuk melaporkan pekerjaan." Livy tersenyum. Ketika melirik Sylvia, senyumannya menjadi agak kaku.Preston yang sedang melihat laptop segera mengangkat kepalanya. "Hm."Perbedaan sikap ini membuat hati Livy makin mencelos. Dia memaksakan diri untuk tidak berpikir yang aneh-aneh dan fokus pada laporannya.Setelah selesai melaporkan, Livy melirik Preston. Preston masih sibuk dengan dokumennya. Pada akhirnya, dia berujar dengan singkat, "Letakkan saja dokumennya."Livy maju dua langkah dan melet
Livy sama sekali tidak menyangka Stanley bisa sehina itu.Livy bahkan masih berpikir untuk mencari cara menjelaskan hubungannya dengan Stanley, tetapi apa yang didengarnya membuat darahnya mendidih. Dengan panik, Livy berteriak, "Stanley, jangan mengada-ada!""Aku nggak mengada-ada!" Stanley kini sudah kehilangan akal sehat. Satu-satunya cara untuk melindungi dirinya adalah dengan menjatuhkan Livy.Meski dia muak dengan Chloe yang sibuk mencari pria model dan selalu bersikap seperti putri, Stanley mengingat bagaimana Livy dulu begitu lembut, perhatian, dan selalu ada untuknya. Jelas, Livy jauh lebih baik dibanding Chloe dalam banyak hal.Namun, Livy tidak memiliki status sosial seperti Chloe. Selain itu, Chloe punya hubungan dengan Keluarga Sandiaga. Jika dia sampai merusak hubungan ini, bisnis keluarganya yang kecil itu pasti akan hancur total.Setelah mempertimbangkan semuanya, Stanley memutuskan untuk terus menyalahkan Livy."Paman Preston, aku dan Livy memang pernah berpacaran. Kam
Setelah berkata demikian, Stanley tiba-tiba meraih tangan Livy.Seolah tersentuh sesuatu yang menjijikkan, Livy buru-buru melepaskan tangannya. Dia berdiri dengan tegas dan menatap Stanley dengan penuh amarah."Stanley, aku sudah bilang dengan sangat jelas. Hubungan kita sudah benar-benar selesai. Mulai sekarang, hiduplah dengan Chloe dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!""Livy, apa kamu masih marah?" tanya Stanley sambil memaksakan senyuman. Dia tiba-tiba mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya.Sebelum Livy sempat bereaksi, Stanley sudah berlutut dengan satu kaki di hadapannya."Livy, dulu kamu pernah marah karena selama bertahun-tahun kita bersama, aku nggak pernah melamarmu. Sekarang aku sadar betapa salahnya aku. Hubunganku dengan Chloe adalah sebuah kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal. Bisa nggak kita memulai semuanya dari awal?""Stanley, kamu gila, ya?!" Livy benar-benar panik. Dia mencoba menarik Stanley untuk berdiri.Namun, tepat pada saat itu, sebuah suara ding
Sylvia memesan restoran mewah di dalam pusat perbelanjaan.Livy tahu restoran ini sangat terkenal. Tempat seperti ini memerlukan reservasi jauh-jauh hari dan harganya juga sangat mahal. Restoran ini sering dianggap sebagai tempat yang eksklusif.Hanya beberapa hidangan saja di restoran ini sudah setara dengan gajinya selama sebulan."Livy, kamu jarang sekali punya kesempatan makan di tempat sebagus ini. Jadi, pesan saja apa yang kamu mau. Anggap ini pengalaman langka buatmu," ujar Sylvia sambil perlahan menyesap air hangat. Nada bicaranya penuh sindiran dan merendahkan.Bagi Sylvia, Livy hanyalah gadis tanpa latar belakang yang tidak pantas berada di tempat seperti ini.Livy tahu Sylvia sengaja meremehkannya. Namun, wajah Livy tetap tenang. Dia sudah terbiasa dengan perilaku Sylvia yang selalu tampak manis di luar tetapi penuh racun di dalam.Livy melirik jam di pergelangan tangannya. Jika makan siang ini selesai, waktunya akan bertepatan dengan jam pulang kerja. Dia hanya perlu bertah
"Nggak perlu. Selain itu, Bu Livy adalah orang yang sangat penting bagimu. Aku ingin menjalin hubungan baik dengannya," kata Sylvia dengan tenang. "Jangan khawatir, aku akan berusaha untuk bergaul dengan Bu Livy.""Pak Preston, sebenarnya aku punya jadwal lain sore ini. Bu Sylvia jelas bisa ...." Livy mencoba menyisipkan penjelasan, berharap bisa menyampaikan keinginannya untuk kembali bekerja.Namun, Preston tampaknya tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. Wajahnya berubah dingin dan suaranya menjadi ketus, "Livy, pekerjaanmu hari ini adalah menemani Sylvia. Kalau kamu nggak mau bekerja di Grup Sandiaga, kamu bisa langsung mengundurkan diri.""Pak Preston, bukan begitu, aku hanya ingin tetap di kantor sore ini ...." Livy berusaha menjelaskan dengan penuh perjuangan.Namun, Sylvia sudah mulai bertindak manja. Dia meraih ujung jas Preston dan memohon dengan nada lembut, "Preston, peluk aku ke mobil, ya.""Baik."Begitu ucapan itu dilontarkan, Preston langsung membun
Ekspresi Livy langsung berubah.Sylvia jelas bukan meminta untuk "dibantu", tetapi ingin Livy menggendong Sylvia yang beratnya hampir sama dengan dirinya ke dalam mobil! Selain itu, Livy sama sekali tidak berniat meremehkan Sylvia hanya karena kondisinya."Bukan begitu, Preston. Aku nggak pernah meremehkan Sylvia ...," jelas Livy dengan tergagap.Namun, entah apa yang dikatakan Preston di telepon, mata Sylvia yang sebelumnya memerah karena berpura-pura menangis, kini perlahan-lahan kembali cerah. Meski begitu, nadanya tetap terdengar tersedu-sedu."Preston, aku tahu. Kamu nggak perlu menghiburku. Demi kamu, aku nggak pernah menyesal. Tapi aku nggak ingin jadi beban siapa pun. Kalau kamu juga merasa aku merepotkan, aku nggak akan muncul lagi di hadapanmu."Tubuh Livy terasa dingin seketika. Dia mendengar percakapan Sylvia yang sengaja dibuat agar terdengar olehnya. Suara Preston terdengar jelas dan tegas dari telepon."Sylvia, kamu nggak akan pernah jadi beban bagiku. Jangan menangis la
"Kelilingi semua bagian saja, ya. Maaf merepotkan Bu Livy untuk mendorongku. Oh, ya, setelah selesai mengunjungi Grup Sandiaga, sore ini akum au jalan-jalan juga. Jadi, aku perlu Bu Livy menemaniku."Apa? Mau jalan-jalan pula?Livy tetap berusaha sabar dan mengingatkan dengan nada sopan, "Bu Sylvia, tugasku dari Pak Preston cuma menemanimu berkeliling Grup Sandiaga. Untuk jalan-jalan, kamu mungkin bisa mengajak teman atau sahabatmu."Sylvia tertawa kecil dengan nada menyindir, "Sepertinya aku tahu kenapa Bu Livy nggak bisa naik ke posisi yang lebih tinggi. Bahkan maksud tersirat dari atasan pun nggak bisa dipahami.""Maksud Preston adalah hari ini pekerjaanmu adalah menemaniku. Atau ... apakah aku perlu menelepon Preston sekarang untuk memastikannya?""Nggak perlu," jawab Livy cepat. Dia tahu, jika Sylvia benar-benar menelepon Preston, hasilnya hanya akan membuat Preston berpihak pada Sylvia. Jika itu terjadi, Livy hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.Dengan senyum terpaksa, Livy
Untuk sesaat, seisi ruangan itu sunyi senyap. Livy berdiri perlahan, pandangannya tanpa sadar tertuju pada kedua orang yang baru saja masuk. Tebersit rasa getir yang samar di dadanya."Preston, jadi ini departemen sekretaris, ya? Kelihatannya memang bagus." Suara Sylvia terdengar begitu lembut dan memikat hingga semua orang yang mendengarnya merasa tersentuh.Kalau saja Livy tidak tahu Sylvia pernah sengaja mencoreng namanya sebelumnya, mungkin dia juga akan menganggap Sylvia sebagai wanita yang anggun dan penuh kelembutan."Hmm, ada delapan orang di sini, mereka bertugas menangani berbagai urusan," jelas Preston dengan nada datar. "Apa ada tempat lain yang ingin kamu lihat?""Tentu saja ada," jawab Sylvia dengan senyuman manis. Dia berkedip lembut dengan tatapan yang tampak begitu pengertian."Aku sudah lama nggak kembali ke negara ini, jadi belum sempat benar-benar melihat-lihat Grup Sandiaga. Tapi aku tahu kamu sibuk, Preston. Aku nggak bisa terus merepotkanmu. Gimana kalau aku menc
Nicky, Stanley ….Preston tidak percaya bahwa Livy tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka!"Livy."Mendengar namanya tiba-tiba dipanggil Preston, Livy menoleh. "Ada apa?" tanyanya."Ada sesuatu yang sebaiknya kamu akui sendiri terlebih dulu." Tatapan Preston sangat tajam seolah-olah bisa menebak isi pikiran orang.Livy tiba-tiba merasa bersalah. Setelah memikirkannya dengan saksama sejenak, dia berkata dengan tulus, "Sayang, aku nggak mengerti apa maksudmu."Mau terus terang apaan? Dia tidak pernah melakukan apa pun sama sekali. Sebaliknya, justru Preston yang terus menerus berlari ke arah Sylvia. Meski mereka hanya dalam hubungan kontrak, bukankah Preston seharusnya memberitahunya?Setidaknya katakan bahwa hubungan mereka dengan Sylvia akan segera berakhir. Dengan begitu, Livy bisa segera menarik kembali perasaan yang seharusnya tidak dia miliki. Bukan seperti sekarang, terus terombang-ambing antara rasa sakit dan momen-momen kehangatan yang diberikan Preston.....Hari Senin t
Ekspresi Preston tetap dingin tanpa emosi. Namun, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti menghujam tepat ke titik lemah Bahran.Pernikahan bisnis yang dulu dijalani Bahran dengan istrinya tidak dilandasi cinta. Selama bertahun-tahun, hubungan mereka hanya menghasilkan seorang putri.Meski demikian, latar belakang istrinya cukup kuat, sehingga dia memiliki watak yang keras dan sulit dihadapi. Setiap ulah Bahran di luar rumah selalu sampai ke telinganya, dan setiap kali hal itu terjadi, pasti diikuti oleh pertengkaran besar."Preston, kamu ini terlalu ikut campur!" Bahran yang merasa harga dirinya diinjak, mulai kehilangan kendali.Dengan nada penuh amarah, dia berkata, "Kenapa berpura-pura di depanku? Kamu dan Livy sama sekali nggak punya cinta yang sebenarnya! Aku cuma ngasih tahu Livy cara terbaik untuk mengamankan posisinya, yaitu dengan punya anak. Sama seperti ibumu dulu. Setidaknya, dia mendapatkan sesuatu, bukan?"Kata-kata itu langsung menyulut kemarahan Preston. Aura din