Siang hari yang terik, kantin markas militer dipenuhi prajurit yang sedang menikmati makan siang mereka. Suara gemerincing piring dan sendok mencampur aduk dengan percakapan riuh di ruangan. Di salah satu meja, sekelompok prajurit sedang asyik membahas tentang kondisi Jenderal Bryan, pemimpin mereka. "Kabar mengatakan, Jenderal sedang sakit parah," ujar Stuart, prajurit berwajah bulat yang duduk di tengah-tengah kelompok tersebut. "Iya, katanya selama ini Jenderal dirawat di rumah sakit. Lihat saja, wajahnya terlihat pucat dan badannya semakin kurus," sambung Ethuan, teman sejawat Stuart yang sedang menikmati makanannya. "Mungkin juga, sudah lama Jenderal tidak muncul di markas. Mudah-mudahan tidak apa-apa dan cepat pulih," timpal Sandro. prajurit berambut ikal yang duduk di sebelah Ethuan. Di sudut kantin, seorang prajurit muda bernama Santoz sedang menyantap makan siangnya sendirian. Ia sedang mendengar percakapan kelompok Ethuan. Dengan tatapan tajam dan ingin tahu tentang Br
Di sebuah ruangan gelap di markas, Santoz terikat erat di sebuah tiang. Tubuhnya penuh luka dan lebam, hasil dari cambukan yang berkali-kali mendera tubuhnya. Setiap cambukan yang menghantam kulitnya, suara jeritan kesakitan Santoz menggema di seluruh ruangan. "Aah!" jerit Santoz yang tak sanggup menahan rasa sakit yang menghantam setiap serat tubuhnya. Edward, pemimpin markas, berdiri dengan tatapan tajam dan dingin di hadapan Santoz yang terkapar lemah. Ia menatap Santoz dengan penuh kebencian dan kemarahan. "Sudah lama kau bersama kami, ternyata hanya rencanamu saja. Kenapa tidak bertindak dari awal? Apakah sedang menunggu waktu?" tanya Edward dengan nada mencemooh. Santoz menatap Edward dengan mata yang sembab dan penuh darah, namun ia tetap berusaha menunjukkan keberaniannya. "Aku... Aku bukan mata-mata, Aku selalu setia pada kalian," ucap Santoz dengan suara parau dan terengah-engah. Namun, Edward tak percaya. Ia mengangkat tangan yang memegang tali cambuk, menunjukkan niat
Jhones sambil menunduk dan mengatakan," Silakan perintah, Tuan!"Tidak tahu apa rencana Billy, Jhones keluar setelah menerima perintah!***Bryan dan Dokter Cale duduk berseberangan di sebuah kafe yang tenang dan nyaman, mereka menikmati secangkir kopi hangat yang baru saja disajikan oleh pelayan. Wajah Bryan tampak bersemangat, sedangkan Dokter Cale terlihat santai namun serius. "Apakah Anda akan kembali ke Jerman?" tanya Bryan dengan nada penasaran. "Benar, saat itu aku datang hanya untuk menjalankan tugas sebagai dokter pribadi Anda. Sekarang tugas-ku telah selesai," jawab Dokter Cale sambil menyesap kopinya perlahan. "Terima kasih! Kalau bukan karena Anda, mungkin saat itu aku benar-benar gagal melewati masa kritis," ucap Bryan dengan mata berkaca-kaca, mengingat betapa beratnya perjuangan yang telah dilaluinya. Dokter Cale tersenyum lembut, lalu mengangguk. "Kamu adalah pasienku, sudah seharusnya aku mengobatimu. Dokter Emily juga berjasa. Selama ini dia selalu setia menjagam
"Dia tidak akan peduli dengan apa yang kamu lakukan, Jangan membuang waktu?" ujar Vivian.Marcus mendekati Vivian yang terikat di kursi," Kita lihat saja nanti, Apa reaksinya setelah mengetahui kamu di sini."Dua hari berlalu, dan Billy merasa semakin gelisah. Ia sudah berulang kali mencoba menghubungi Vivian, namun nomornya terus tidak aktif. Dengan langkah tergesa-gesa, Billy kemudian menekan nomor resepsionis hotel tempat Vivian bekerja. Tak lama kemudian, seorang wanita dengan suara lembut menjawab panggilan tersebut. "Hallo, dengan saya Yuniz dari hotel. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya. Dalam nada dingin, Billy langsung menanyakan keberadaan Vivian. "Apakah Vivian Alexander ada di sana?" tanyanya. Mendengar pertanyaan tersebut, Yuniz tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "Vivian sudah dua hari tidak masuk kerja, Tuan. Nomornya juga tidak aktif. Saya tidak tahu pasti keberadaannya." Billy merasa aneh dan penasaran, Tanpa berpikir panjang, ia langsung memutuskan panggil
"Kali ini aku akan Jerman untuk memastikan sesuatu, setelah selesai aku akan kembali. Andaikan pria itu serius mencintai Vivian aku akan kembali. Jika pria itu berniat jahat padanya...aku akan merebut dia kembali," kata Bryan dengan tekad."Aku yakin Emily pasti sedih dan kecewa," kata Alexa yang merasa simpatiMicheal menatap tajam pada Alexa," Kenapa kamu peduli padanya? Sejak awal dia sudah berniat memisahkan Bryan dan Vivian. Saat itu mereka masih suami istri. Buka matamu besar-besar. Jangan karena dia seorang dokter yang cantik kau malah merasa simpati padanya!" kata Micheal dengan nada kesal."Aku tahu maksudmu, Aku hanya simpati saja bukan berniat lain," jawab Alexa."Jangan lupa, kamu sudah memiliki seorang istri, Jangan sampai tergoda oleh air mata buaya!" ucap Micheal dengan tegas."Aku bukan tipe pria yang tidak setia, tenang saja!" jawab Alexa dengan yakin.***Celine duduk di kursi ruang kerjanya, matanya terus melihat layar handphone yang tergeletak di atas meja. Sudah
Jhones yang menerima perintah langsung, Beranjak dari sana. Sementara Billy juga pergi dengan terburu-buru. ia ingin segera menemukan keberadaan Vivian.Di sisi lain, Celine yang menerima panggilan dari Marcus segera menyediakan uang sesuai permintaannya. Dengan bantuan Alex, supirnya. ia menarik sejumlah uang dari bank di hari itu juga. Sesampai di bandara ia langsung mengabulkan permintaan Marcus."Direktur, bagaimana kalau kita menghubungi polisi?" tanya Alex yang mengangkas tas uang ini dan dimasukan ke dalam bagasi mobil.Celine yang cemas dan duduk di belakang mobil, ia menjawab," Sudah terlambat, aku tidak ingin nyawa Vivian terancam.""Apakah Jenderal akan tiba pada waktunya?" tanya Alex yang sedang menyetir.Celine mengeleng kepalanya dan berkata," Tidak akan sempat lagi, semalam Bryan menghubungiku. Dia akan mengutuskan anggotanya untuk melindungi kita. Aku merasa aneh dan penasaran dengan sesuatu," jawab Celine."Tentang apa?" tanya Alex."Suara pria yang menculik Vivian s
Marcus tersenyum sinis dan mengejek," Sudah lama tidak bertemu, tidak kusangka kita bertemu di sini. kelihatannya kamu sudah kaya."Celine menatap kesal pada pria itu," Kau adalah orang yang menculik putriku?" tanya Celine dengan nada ketus.Marcus terdiam sejenak dan menatap hina pada Celine," Menculik putrimu? Maksudmu wanita itu adalah putrimu? Pria mana yang begitu sial menikahimu? Aku tidak menyangka kamu bisa melahirkan lagi," kata Marcus dengan menghina.Tatapan tajam Vivian menembus Marcus yang tersenyum sinis sambil mengejek. Ia seakan ingin membunuh lelaki itu hanya dengan pandangannya. Wajah Vivian merah padam, amarah yang mendalam terpancar dari setiap pori-porinya. "Jaga mulutmu!" ketus Vivian yang ditahan oleh dua anggota Marcus yang menggenggam erat lengannya. "Vivian," seru Celine dengan suara parau, mencemaskan putrinya yang sedang berada dalam bahaya. "Ma, aku tidak apa-apa, lapor polisi saja. Tidak usah berikan uangnya!"kata Vivian dengan suara lantang, mencoba me
Billy tertawa keras dan jelas. "Hahaha...karma ini adalah karmamu," ejeknya sambil menatap Marcus dengan tatapan sinis. Raut wajah Marcus berubah menjadi kebingungan, kesal, dan kemarahan. "Apa yang lucu?" tanya Marcus dengan suara bergetar, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. Billy tersenyum mengejek, "Kau mengancam putrimu sendiri, Bukankah ini adalah karmamu? Lepaskan Vivian atau kau yang akan kehilangan nyawamu." Dia melirik ke sekeliling, memberi kode kepada anggota gengnya yang sekarang mengarahkan senapan mereka ke arah Marcus. Wajah Marcus semakin pucat, keringat dingin bercucuran di keningnya, dan kakinya mulai lemas. Dia merasa terpojok dan tidak memiliki pilihan lain selain melepaskan Vivian. Vivian, yang baru sadar siapa pria itu, Dengan mata berkaca-kaca dan suara penuh kemarahan, dia berkata, "Kalau kau adalah papaku, Maka, kau adalah orang yang paling tidak layak dimaafkan. Aku membencimu." Marcus terpaku mendengar kata-kata Vivian, seolah sebuah pukulan keras