"Sudah waktunya kita selesaikan masalah kita," jawab Billy yang menatap Vivian. Wanita yang paling dia cintai.Bryan menghadap Billy dengan tatapan penuh amarah, sementara Vivian tampak bingung."Apa kau sudah gila, Ini masalah antara kita. Kenapa harus melibatkan Vivian," ujar Bryan dengan suara yang bergetar karena emosi. Billy tersenyum sinis, memandang Vivian dengan tatapan yang sulit ditebak. "Billy, apa yang kamu ingin lakukan?" tanya Vivian dengan suara bergetar."Vivian, aku pernah bertanya padamu, Apakah kamu mencintaiku? Tapi, kamu tidak pernah memberiku jawaban. Aku tahu orang yang kamu cintai ada di hadapanmu. Hari ini aku masih ingin memastikan. Apakah kamu memiliki sedikit saja perasaan untukku?" tanya Billy yang mengenakan sarung tangan hitam, menunjukkan keseriusannya dalam situasi ini. Vivian menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Billy. Namun, sebelum dia sempat menjawab, Bryan bersuara dengan keras, "Billy Maxwel, yang sehar
Suasana tegang menyelimuti sekeliling markas Billy Maxwel. Pasukan militer yang bersenjata lengkap mulai menyusup masuk ke dalam gedung tersebut. Dinding-dinding mewah yang pernah menjadi simbol kekuasaan Billy kini terasa dingin dan sunyi. Tak ada sudut yang luput dari pengintaian pasukan militer. Mereka memeriksa setiap celah, tembok, dan lantai, mencari tanda-tanda adanya ruang rahasia yang mungkin digunakan oleh Billy untuk menyimpan sesuatu atau ruangan rahasia.Beberapa prajurit menyeret kursi dan meja dari tempatnya, menciptakan kekacauan di dalam ruangan. Salah satu prajurit, yang terus menggali informasi, akhirnya menemukan sesuatu yang mencurigakan. Ia menyingkirkan kursi dan meja yang ada di salah satu sudut ruangan, kemudian mengetuk lantai di bawahnya. Suara gema yang berbeda terdengar, menandakan bahwa ada ruang hampa di bawah lantai tersebut. Dengan cepat, prajurit tersebut memanggil rekan-rekannya untuk membantu membongkar lantai tersebut. Setelah beberapa menit berus
"Jenderal, Kita akan selalu mencari keberadaan anggotanya. Jangan khawatir!" ujar Murfy."Asistennya, Jhones, apakah masih memilih diam?" tanya Bryan."Dia mengatakan tidak tahu semua itu, Dia hanya bagian perusahaan dan mengatur pertemuan Billy dengan pebisnis lainnya. Tidak tahu apakah benar apa tidak," jawab Murfy."Aku harus bertemu dengannya, seorang asisten kepercayaan tidak mungkin tidak tahu. Apa lagi dia paling sering pergi bersama Billy," kata Bryan."Iya, Jenderal!" jawab Murfy.Andrew yang penasaran dengan sesuatu, ia pun bertanya," Tuan, bagaimana dengan nyonya? Apakah baik-baik saja?" Bryan menghela nafas panjang," Billy bunuh diri di depannya, Mana mungkin baik-baik saja. Brengsek itu walau sudah tewas masih saja membuat orang sulit melupakan kejadian itu," jawab Bryan."Selain itu, dia juga di makam dengan baik, Aku tidak menyangka nyonya melakukannya demi dia," ujar Andrew.***Vivian berdiri tegak di hadapan makam yang baru saja terisi oleh jasad Billy. Udara yang s
Di pagi yang cerah, berita yang mengejutkan memecahkan kesejukan udara. Jhones, asisten Billy yang menjadi tahanan, ditemukan telah meninggal dunia akibat gantung diri di dalam penjara. Berita tersebut menyebar dengan cepat dan sampailah ke telinga Bryan yang sedang berada di mansionnya. Bryan tampak terkejut dan mengepal erat tangannya. Di ruangan yang mewah itu, suasana menjadi mencekam seketika. "Lebih memilih mati daripada mengkhianati bosnya, apakah aku harus memujinya?" ucap Andrew dengan nada sinis. Bryan menatap Andrew dengan pandangan yang datar. "Sepertinya tidak semudah itu, dia sudah memindahkan keluarganya ke luar negeri. Itu berarti biayanya juga tidak murah. Mungkin saja dia telah menerima ancaman dari Billy," timpal Bryan, mencoba menganalisa situasi. Andrew mengangguk, mencoba memahami sudut pandang Bryan. "Tapi tetap saja, dia memilih jalan keluar yang tragis. Apakah kita harus mencari keberadaan keluarganya?" Bryan menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Ti
Fredy menunduk dan menjawab," Iya, aku hanya menerima perintah dari tuan Anderson. Mengenai alasannya aku tidak tahu."Vivian terdiam dan mengingat kembali saat terjadi perceraian mereka."Saat itu aku menolak semua pemberian dari Bryan, Apakah karena ini sebabnya dia meminta mamaku untuk menyuruh ku bekerja di sini?" batin Vivian.Mansion Bryan.Bryan sedang mengemas pakaiannya ke dalam koper, Ia akan kembali ke negaranya bersama Andrew.Dalam seketika ia terdiam dan memandang ke arah tiket pesawat yang tergeletak di atas meja samping kasurnya."Vivian, Apakah kamu akan datang besok? Aku berharap bisa pulang bersamamu." Bryan berdiri diam sambil merindukan Vivian. Ia mengeluarkan cincin pernikahan yang dia simpan selama ini dari sakunya."Aku sangat ingin menyarungkan cincin ini ke jari manismu," ucap Bryan sambil menatap cincin tersebut.Keesokan harinya, Bryan dan Andrew tiba di bandara dengan membawa barang-barang mereka. Mereka berjalan menuju pintu keberangkatan, mengantre untuk
Celine menunggu di ruang kunjungan penjara, berharap untuk segera berbicara dengan pria yang telah menghancurkan hidupnya. Tak lama kemudian, seorang pria berseragam tahanan keluar dari balik pintu, diiringi oleh petugas penjara yang tangkas. Tangannya terborgol erat, menunjukkan betapa berbahayanya dia di mata hukum. Pria itu duduk berseberangan dengan Celine, menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan. Wajahnya yang dulu tampan kini pucat dan lesu, tak ada lagi semangat yang pernah ada di matanya. Dia adalah Marcus, mantan suami Celine yang kini mendekam di balik jeruji besi. "Bagaimana perasaanmu setelah menjadi tahanan tetap? Kamu menerima balasan atas semua perbuatanmu," ujar Celine dengan tatapan kesal pada Marcus. Hatinya masih terluka karena pengkhianatan yang dilakukan pria itu. "Maaf, atas kesalahan yang aku lakukan," ucap Marcus dengan suara yang lemah, mencoba mencari simpati dari Celine. Wajahnya memerah, tahu betul bahwa ia tak pantas meminta ampun setelah apa yang tel
Bryan telah meninggalkan tempat itu, sementara pria misterius itu masih sedang berdiri di sana memperhatikannya.Hari-hari berlalu begitu cepat, hubungan Bryan dan Vivian semakin erat dan mesra sejak mereka bersatu kembali. Di tengah kesibukan Bryan mengurus urusan negara, Vivian tak pernah lelah menjaga kesehatan suaminya. Setiap hari, Vivian memastikan makanan yang disajikan untuk Bryan sehat dan bergizi. Tak hanya itu, Vivian juga selalu memeriksa suhu tubuh Bryan untuk memastikan kondisinya prima. Demi suaminya, Vivian bahkan rela pergi sendiri ke pusat perbelanjaan untuk membeli kebutuhan dapur dan makanan. yang biasanya dilakukan oleh pekerja rumah tangga. Suatu hari, ia berjalan menyusuri lorong-lorong supermarket, menggumamkan rencana masakannya, "Makanan yang akan kusediakan adalah makanan sehat, Bryan sangat menyukai ikan." Dengan penuh semangat, Vivian memilih berbagai jenis ikan segar dan sayuran yang akan diolah menjadi hidangan spesial untuk Bryan. Ia juga memastikan u
Bryan merasa gelisah, ia telah mencoba berkali-kali menghubungi sahabatnya, Alexa. Namun, upayanya sia-sia, panggilan teleponnya terus gagal. Semakin lama, kecemasan itu menguasai pikirannya. Maka, ia pun memutuskan untuk menghubungi Micheal. "Hallo," sahut Micheal yang di seberang sana. "Micheal, nomor Alexa tidak bisa dihubungi. Apa kamu bisa coba mencarinya?" tanya Bryan dengan suara yang terdengar cemas. "Baiklah, kebetulan aku akan pulang kerja. Aku akan singgah ke rumahnya!" jawab Micheal dengan penuh semangat. Tak lama kemudian mereka memutuskan panggilan. Bryan merasa lega, namun kecemasannya belum juga reda. Ia terus menatap layar ponselnya dengan harap-harap cemas. "Bryan, apakah kamu takut terjadi sesuatu padanya?" tanya Vivian. "Iya, Alexa tidak pernah mematikan handphonenya. Ini sangat aneh," jawab Bryan sambil menghela napas. "Jangan khawatir! Alexa pasti baik-baik saja. Mungkin dia sibuk atau kehabisan baterei," kata Vivian yang berusaha menenangkan suaminya."Ak