Fredy menunduk dan menjawab," Iya, aku hanya menerima perintah dari tuan Anderson. Mengenai alasannya aku tidak tahu."Vivian terdiam dan mengingat kembali saat terjadi perceraian mereka."Saat itu aku menolak semua pemberian dari Bryan, Apakah karena ini sebabnya dia meminta mamaku untuk menyuruh ku bekerja di sini?" batin Vivian.Mansion Bryan.Bryan sedang mengemas pakaiannya ke dalam koper, Ia akan kembali ke negaranya bersama Andrew.Dalam seketika ia terdiam dan memandang ke arah tiket pesawat yang tergeletak di atas meja samping kasurnya."Vivian, Apakah kamu akan datang besok? Aku berharap bisa pulang bersamamu." Bryan berdiri diam sambil merindukan Vivian. Ia mengeluarkan cincin pernikahan yang dia simpan selama ini dari sakunya."Aku sangat ingin menyarungkan cincin ini ke jari manismu," ucap Bryan sambil menatap cincin tersebut.Keesokan harinya, Bryan dan Andrew tiba di bandara dengan membawa barang-barang mereka. Mereka berjalan menuju pintu keberangkatan, mengantre untuk
Celine menunggu di ruang kunjungan penjara, berharap untuk segera berbicara dengan pria yang telah menghancurkan hidupnya. Tak lama kemudian, seorang pria berseragam tahanan keluar dari balik pintu, diiringi oleh petugas penjara yang tangkas. Tangannya terborgol erat, menunjukkan betapa berbahayanya dia di mata hukum. Pria itu duduk berseberangan dengan Celine, menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan. Wajahnya yang dulu tampan kini pucat dan lesu, tak ada lagi semangat yang pernah ada di matanya. Dia adalah Marcus, mantan suami Celine yang kini mendekam di balik jeruji besi. "Bagaimana perasaanmu setelah menjadi tahanan tetap? Kamu menerima balasan atas semua perbuatanmu," ujar Celine dengan tatapan kesal pada Marcus. Hatinya masih terluka karena pengkhianatan yang dilakukan pria itu. "Maaf, atas kesalahan yang aku lakukan," ucap Marcus dengan suara yang lemah, mencoba mencari simpati dari Celine. Wajahnya memerah, tahu betul bahwa ia tak pantas meminta ampun setelah apa yang tel
Bryan telah meninggalkan tempat itu, sementara pria misterius itu masih sedang berdiri di sana memperhatikannya.Hari-hari berlalu begitu cepat, hubungan Bryan dan Vivian semakin erat dan mesra sejak mereka bersatu kembali. Di tengah kesibukan Bryan mengurus urusan negara, Vivian tak pernah lelah menjaga kesehatan suaminya. Setiap hari, Vivian memastikan makanan yang disajikan untuk Bryan sehat dan bergizi. Tak hanya itu, Vivian juga selalu memeriksa suhu tubuh Bryan untuk memastikan kondisinya prima. Demi suaminya, Vivian bahkan rela pergi sendiri ke pusat perbelanjaan untuk membeli kebutuhan dapur dan makanan. yang biasanya dilakukan oleh pekerja rumah tangga. Suatu hari, ia berjalan menyusuri lorong-lorong supermarket, menggumamkan rencana masakannya, "Makanan yang akan kusediakan adalah makanan sehat, Bryan sangat menyukai ikan." Dengan penuh semangat, Vivian memilih berbagai jenis ikan segar dan sayuran yang akan diolah menjadi hidangan spesial untuk Bryan. Ia juga memastikan u
Bryan merasa gelisah, ia telah mencoba berkali-kali menghubungi sahabatnya, Alexa. Namun, upayanya sia-sia, panggilan teleponnya terus gagal. Semakin lama, kecemasan itu menguasai pikirannya. Maka, ia pun memutuskan untuk menghubungi Micheal. "Hallo," sahut Micheal yang di seberang sana. "Micheal, nomor Alexa tidak bisa dihubungi. Apa kamu bisa coba mencarinya?" tanya Bryan dengan suara yang terdengar cemas. "Baiklah, kebetulan aku akan pulang kerja. Aku akan singgah ke rumahnya!" jawab Micheal dengan penuh semangat. Tak lama kemudian mereka memutuskan panggilan. Bryan merasa lega, namun kecemasannya belum juga reda. Ia terus menatap layar ponselnya dengan harap-harap cemas. "Bryan, apakah kamu takut terjadi sesuatu padanya?" tanya Vivian. "Iya, Alexa tidak pernah mematikan handphonenya. Ini sangat aneh," jawab Bryan sambil menghela napas. "Jangan khawatir! Alexa pasti baik-baik saja. Mungkin dia sibuk atau kehabisan baterei," kata Vivian yang berusaha menenangkan suaminya."Ak
Alexa yang sedang bicara dengan seseorang di ponselnya, ia keluar dari mobil dengan wajahnya yang murung dan gelisah."Kenapa kau melakukan ini padaku? Kita adalah teman dan kau mengunakan aku untuk menghilangkan rasa kesepianmu. Apa kau sudah gila?" bentak Alexa dengan kesal sambil mengacak rambutnya.Di saat yang sama Micheal sedang berdiri di taman dan mendengar pembicaraan Alexa dengan seseorang.Sesaat setelah memutuskan panggilan teleponnya, Alexa menahan emosi yang memuncak. Tangan kanannya yang dibalut perban meninju pintu mobilnya dengan keras. "Sial," desis Alexa geram. Mata Alexa memanas, ia menggenggam setir mobil dan segera menjauh dari taman itu. Micheal yang merasa ada yang tidak beres dengan sikap temannya, tak ingin melepaskan begitu saja. Dengan hati-hati, ia mengikuti Alexa dari jarak yang aman. Beberapa menit kemudian, Alexa menghentikan laju mobilnya tepat di depan sebuah gedung rumah sakit. Pintu mobil terbuka, dan Alexa segera berlari menuju pintu masuk rumah
Alexa terkejut melihat ekspresi Bryan dan Micheal yang menatapnya tajam, seolah-olah mereka mengetahui sesuatu yang seharusnya tidak mereka ketahui. Keningnya berkerut, mencoba mencari tahu apa yang salah. "Ada apa dengan kalian? Apa yang terjadi?" tanya Alexa dengan wajah kusut, merasa tidak nyaman dengan tatapan mereka. Micheal tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dia bangkit dari kursinya dan langsung melayangkan pukulan keras setrum wajah temannya itu. Bruk! Suara pukulan itu bergema di ruangan. "Aahh!" jeritan Alexa yang kesakitan. Tangannya meraba wajahnya yang terasa panas akibat pukulan tadi. "Kenapa kamu memukulku?" tanyanya dengan nada terluka. "Supaya kamu bisa sadar, Kamu adalah pria yang telah menikah. Kenapa masih dekat dengan Emily? Bagaimana dengan istrimu?" tanya Micheal dengan suara keras, menunjukkan betapa kecewanya pada Alexa. Alexa terdiam sejenak, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja dia terima. "Kenapa kamu bisa tahu? Kamu mengikutiku?" tanyanya d
Malam itu, langit berbalut indah dengan bintang-bintang yang berkelap-kelip. bibir Bryan dan Vivian bertemu dalam sebuah ciuman mesra, dan kedua lengan mereka saling merangkul erat satu sama lain. Ciuman tersebut terasa begitu hangat, penuh cinta dan kepercayaan. Namun, tak lama kemudian, Vivian melepaskan pelukannya dan menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan suara lembut namun tegas, "Bryan, aku ingin kamu berjanji satu hal denganku!" Bryan menatapnya dengan penuh perhatian, lalu menjawab, "Katakan saja, aku akan menurut permintaanmu!" Vivian menggenggam tangan Bryan erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya. "Apa pun yang terjadi, jangan pernah menyembunyikan dariku lagi. Biarkan aku tetap di sisimu. Di saat kamu menjadi lemah, sakit atau lumpuh. Jangan membiarkan aku menjauh darimu!" ucapnya dengan mata yang semakin berkaca-kaca. Bryan terenyuh mendengar permintaan Vivian. Ia menatap istri tercintanya dengan mata yang penu
Bryan berada di ruang tamu kediamannya bersama Andrew dan Michael, ketiganya tampak serius membahas sesuatu. Tiba-tiba Bryan membaca hasil tes DNA Alexa yang mengandung obat perangsang, ia langsung mengepal tangannya dengan marah. "Emily Dowson sudah bosan dengan hidupnya," ketus Bryan, wajahnya merah padam karena kemarahan yang mendalam. "Kita harus segera menghentikan dia, agar tidak ada yang terjadi pada Tuan Alexa," ujar Andrew dengan tegas.Namun, tiba-tiba suara Alexa terdengar di pintu ruang tamu, "Cena akan menceraikan aku," katanya lesu, wajahnya pucat pasi. "Ada apa denganmu?" tanya Michael dengan khawatir, melihat keadaan Alexa yang tak seperti biasanya. "Cena sudah tahu, dan ingin menggugat cerai," jawab Alexa dengan putus asa, air mata mengalir deras di pipinya. "Cena hanya salah paham denganmu, beri dia waktu untuk memahami semuanya," kata Bryan sambil menepuk bahu Alexa yang duduk di sofa."Aku telah memberitahu semuanya, Tapi, Cena tetap tidak bisa memaafkan aku.
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Rysa berdiri dengan gemetar, menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. "Tuan, Aku tidak mengerti maksudmu, Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ujar Rysa yang ketakutan dan berusaha membela diri. Bryan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. Ia melempar foto dan data ke wajah Rysa sehingga berterbangan dan jatuh berserakan di lantai. Rysa menunduk, merasa terhina, dan memungut foto-foto tersebut dengan tangan gemetar. "Kalau bukan karena kau pergi ke rumah mewah itu, Aku masih tidak tahu ternyata kamu adalah utusan Lion, yang sebelumnya menyamar sebagai pekerja di toko bunga. Apa kau masih tidak mengaku?" tanya Bryan dengan suara keras dan penuh kemarahan. "Tuan, aku...," ucap Rysa terdiam, ketakutan. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya terus gemetar. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Bryan bahwa ia tidak bersalah, namun terasa sulit. Bryan melangkah mendekat, membuat Rysa mu
Vivian menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengeluarkan lembaran laporan medis milik Bryan dari amplop besar itu. Dia membacanya dengan seksama, dan hampir tidak percaya dengan laporan tersebut. Menurut laporan itu, Bryan telah melakukan vesektomi, prosedur pembedahan yang dilakukan untuk membuatnya mandul secara permanen.Bryan melihat kebingungan di wajah Vivian dan menghela napas sebelum berbicara, "Sebelum Hanz meninggal, aku meminta bantuannya. Aku tahu...melakukan ini tanpa sepengatahuanmu adalah salahku. Saat itu kamu baru keguguran. Aku tidak ingin kamu semakin tertekan." Mata Vivian membelalak, tak menyangka suaminya menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. "Kamu selalu berharap bisa memiliki seorang anak denganku. Tapi aku bukan tidak mau. Aku tidak ingin anak kita sama menderitanya denganku. Cukup aku saja yang menderita!" ungkap Bryan dengan suara bergetar."Lalu, untuk apa kamu memberitahu aku sekarang?" tanya Vivian yang memasukan kembali laporan tersebut.
Malam itu, langit diliputi awan tebal dan rembulan menyembunyikan diri. Bryan terbaring di atas kasurnya dengan pikiran yang kalut, merenung tentang permasalahan dalam rumah tangganya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan dan sosok Rysa muncul dari baliknya. Dalam diam, Rysa menghampiri Bryan yang tampak lelah dan terlelap. Setiap langkahnya begitu hati-hati, tak ingin membangunkan pria itu. Begitu dekat dengannya, Rysa mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, menampakkan tubuh putih mulusnya yang begitu menggoda. Dua gundukan besar di dada Rysa terlihat menonjol, dan bagian bawah tubuhnya juga terbuka lebar, memancarkan aura yang memikat. Rysa menatap Bryan dengan tatapan penuh nafsu, lalu berbisik dalam hati, "Bryan Anderson, malam ini juga aku akan membuatmu melupakan istrimu itu." Perlahan, Rysa mencium wajah Bryan yang masih terlelap, namun tiba-tiba pria itu terbangun dan menatap Rysa dengan ekspresi terkejut. Dia segera menahan tangan wanita itu dan bertanya dengan nada ke
Lily kemudian memberitahu apa saja yang dia ketahui selama ini," Nyonya, mengetahui setiap larut malam Rysa mendatangi ruangan pribadi Anda. Nyonya hanya diam dan tidak ingin menganggu. Walau pun begitu sebenarnya nyonya selalu menangis di setiap malam. Saya juga selalu melihat nyonya menolak bantuan dari Rysan. Walau pun nyonya sudah tidak nyaman dengan keberadaan Rysa. Tapi nyonya tetap diam dan bungkam. Tidak tahu apa yang dipikirkan nyonya!" Bryan semakin merasa bersalah terhadap istrinya, Ia mengingat kembali permintaan Vivian yang tidak membutuhkan Rysa. Akan tetapi Bryan bersikeras menolak permintaannya."Ternyata karena kesalahpahaman sehingga Vivian meminta dia pergi, kenapa aku tidak bisa membaca pikiran istriku sendiri," sesal Bryan sambil mengusap wajahnya."Vivian, Aku akan membuktikan padamu, bahwa aku sama sekali tidak mengkhianatimu. Secantik apa pun atau sesempurna apa pun wanita lain. Mereka tidak sebandingmu di mataku," batin Bryan.Di sisi lain, Rysa melangkah den
Vivian kembali ke kamarnya, matanya terasa sembab setelah sepanjang hari menangis. Begitu memasuki kamar, ia segera mengambil semua botol obat yang ada di atas meja. Ia membuka tutup botol-botol itu satu per satu, dan menggenggam butiran obat yang beraneka warna dalam tangannya. Dengan mengunakan kursi roda, ia menuju ke kamar mandi dan membuang semua obat tersebut ke dalam toilet. Vivian menatap pil-pil yang hanyut di dalam air, kemudian menekan tombol siram. Butiran obat langsung tenggelam, seakan membawa perasaan putus asa yang melanda dirinya. Dada Vivian sesak saat ia merenungkan betapa suaminya, Bryan, ternyata telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Baginya, kondisi tubuhnya yang cacat kini sudah tidak penting sama sekali. Ia merasa sudah kehilangan segalanya, dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan tersebut. Ia duduk di kursi roda dan masih berada di kamar mandi, menangis sambil menahan suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Kemarahan dan kekes
Keesokan harinya.Vivian hanya duduk sambil menatap Rysa yang merapikan kamarnya. Ia masih berbayang suaminya yang begitu peduli pada wanita itu."Nyonya, air sudah saya sediakan, Saya akan mengambil pakaian Anda sekarang," kata Rysa yang membuka pintu lemari dan mengambil pakaian Vivian.Tanpa beralih pandangan, Vivian memperhatikan Rysa dari atas hingga ujung kaki. Ia merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki wanita itu. Dibandingkan dirinya yang sama sekali bukan tandingannya.Vivian hanya bisa kecewa pada dirinya, yang tidak mampu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Walau ia sangat cemburu dengan Rysa yang kini telah menjadi perhatian suaminya. Akan tetap ia tetap memilih diam."Aku akan mandi sendiri, Kamu pergilah lakukan pekerjaanmu yang lain!" perintah Vivian."Nyonya, Saya harus membantu Anda mandi. Kalau tidak akan bahaya kalau Anda sendiri berada di kamar mandi," kata Rysa.Vivian menatap wanita itu dengan senyum paksa," Aku ingin melakukannya sendiri, Supaya