Hanz menatap temannya yang hanya diam tanpa kata-kata," Apa kalian baik-baik saja?" "Aku tidak ada masalah sama sekali," jawab Charlie yang memandang lautan."Aku hanya berharap kalian tidak canggung saat bertemu nanti," ujar Hanz."Untuk apa harus canggung, Bagiku bukan masalah sama sekali. Aku juga tidak ingin mengingat masa lalu. Lagi pula, aku sudah menikah dengan wanita yang aku cintai," jawab Charlie dengan tegas."Baiklah, Aku merasa lega kamu bicara seperti itu," ujar Hanz. ," Aku pergi dulu! Kalau ada apa-apa hubungi aku!" lanjut Hanz."Sampai jumpa!" ucap Charlie.Hanz ingin segera kembali ke rumah sakit setelah meninggalkan villa. Dalam perjalanan, ia mengemudi mobilnya dengan pikiran yang tenang. Sambil fokus pada jalan, ia tak menyadari bahwa ia semakin mendekati persimpangan jalan yang ramai. Tiba-tiba saja, sebuah mobil truk melaju kencang dari arah samping dan menabrak mobil Hanz dengan keras. "Brak!" suara benturan itu begitu keras hingga membuat Hanz hampir kehilang
Para pengawal berdiri tegap di gerbang masuk kediaman, bersiap untuk menyambut kepulangan Jenderal yang baru saja kembali. Begitu melihat sosok Jenderal yang gagah berani melangkah masuk, mereka segera memberi hormat dengan tangan di dada, seraya berseru, "Jenderal!" Charlie, sang Jenderal, mengangguk dengan anggun sebagai balasan hormat. Setelah itu, ia melangkah dengan langkah pasti menuju Hendy, adiknya yang sedang berdiri di sana menatap Charlie dengan tatapan penuh kebencian dan amarah. Hendy, dengan rasa sakit hati yang mendalam, berdiri tegak dan menatap tajam pada kakaknya. Tinjunya terkepal erat, menahan emosi yang meluap-luap. Wajahnya memerah, seolah akan meledak kapan saja. Charlie berhenti tepat di depan Hendy, menatapnya dengan ekspresi tenang namun tegas. Dengan suara yang berwibawa, ia berkata, "Masih berani menunjukkan mukamu di hadapanku." Kedua bersaudara itu saling menatap, saling beradu pandang, menahan ledakan emosi yang hanya menunggu waktu untuk meledak. Uda
Charlie dan Vivian melaju secepat mungkin menuju rumah sakit tempat sahabat mereka, Hanz, sedang berjuang antara hidup dan mati.Wajah Charlie terlihat sangat cemas, mengetahui kondisi Hanz yang kritis akibat kecelakaan mengerikan itu.Sementara itu, di ruang gawat darurat rumah sakit, para dokter dan suster yang merupakan rekan Hanz berusaha mati-matian menyelamatkan nyawanya. Darah mengalir deras keluar dari hidung dan mulut Hanz yang tidak sadarkan diri. Kepalanya mengalami gegar otak yang parah, sehingga mereka harus menggunakan alat canggih dan teknik medis terkini untuk berusaha menyelamatkan rekan mereka. Dokter Utama, yang juga merupakan teman baik Hanz, mengarahkan timnya dengan tegas. Wajahnya pucat dan tegang, namun ia berusaha tetap fokus dan tidak membiarkan perasaan pribadi mengganggu tugasnya. Suster-suster yang bekerja sama dengan Hanz juga tampak khawatir, namun mereka tetap menjalankan tugas dengan hati-hati dan cekatan. Charlie dan Vivian akhirnya sampai di rumah
"Aku tidak rela Hanz meninggal karena dibunuh, Aku lebih berharap ini hanya kecelakaan tabrak lari," ucap Alexa.Charlie, Micheal, dan Alexa berdiri di sekitar mobil yang pernah dibawa Hanz sebelum kecelakaan itu terjadi. Mereka memeriksa kerusakan yang cukup parah pada mobil tersebut. Bodi mobil penyok di beberapa tempat, kaca depan pecah berantakan, dan ban mobil terlihat mengalami kebocoran. "Kenapa tidak ada dasbornya?" tanya Charlie dengan alis berkerut, sambil memegang laporan dari polisi yang menyatakan bahwa barang-barang milik korban ditemukan di lokasi kejadian. Laporan tersebut diberikan oleh Micheal yang berperan sebagai Jaksa yang menangani kasus kecelakaan ini "Sepertinya kecelakaan ini memang telah direncanakan. Dasbornya hilang. Lokasi kejadian tidak ada kamera pengawas sama sekali. Pelakunya langsung kabur. Sulit bagi kita menemukan bukti," ujar Alexa dengan nada khawatir, memandangi mobil yang hancur itu. Micheal, dengan mata tajamnya, memperhatikan kondisi mobil
"Pria yang ku kenal selama ini adalah seorang Jenderal yang tangguh dan angkuh, Tidak ku sangka hari ini dia benar-benar terpuruk. Dokter Hanz yang meninggal dalam usia muda sangat disayangkan. Negara ini kehilangan seorang dokter hebat dan baik. Tidak tahu betapa sakitnya yang dirasakan oleh Charlie saat ini," batin Vivian.Charlie yang sedikit mabuk karena telah menghabiskan minuman alkohol.Tubuh Charlie terasa ringan dan langkah kakinya sempoyongan karena menghabiskan minuman keras sepanjang malam. Begitu memasuki kamar, Charlie yang sedikit mabuk langsung mencium bibir istri tercintanya, Vivian, dengan penuh nafsu. Hatinya sedih karena masalah yang sedang dihadapi, dan malam itu ia ingin melampiaskan semua perasaannya pada istri tercinta. Dalam keadaan tidak sadar, Charlie meraih pakaian Vivian dan melepaskannya satu per satu hingga wanita itu berbaring di bawahnya tanpa balutan apa pun. Tangannya meraba dan meremas gundukan dada Vivian dengan lembut, lalu turun ke perut wanita
"Kenapa banyak sekali wanita cantik yang datang menghampirimu? Sebelumnya Sunny dan sekarang Emily. Siapa lagi seterusnya yang akan mencarimu?" tanya Vivian.Charlie tertawa saat melihat ekspresi istrinya itu," Apakah istriku sedang cemburu?" kata Charlie yang mengusik istrinya."Aku semakin hilang rasa percaya diri," jawab Vivian yang murung. Charlie meraih tangan Vivian, memandang matanya dengan penuh kejujuran dan ketulusan. "Honey, kamu hanya perlu percaya padaku. Aku akan membuktikan padamu. Pernikahan kita bukan hanya ikatan janji. Tapi, juga kesetiaan. Aku akan membuktikan bahwa di hatiku hanya kamu satu-satunya," ucap Charlie dengan lembut. Vivian, yang terlihat sedih dan ragu, menatap suaminya, "Apakah aku boleh tahu siapa dia dan di mana dia?" tanya Vivian yang masih merasa cemas. "Tentu saja bisa, kamu adalah istriku dan berhak mengetahuinya. Dia adalah dokter yang sama dengan Hanz. Menangani pasien CIPA," jawab Charlie dengan sabar. Mendengar jawaban itu, wajah Vivian
Kabar penangkapan Hendy Parkitson menyebar bagai api yang menghanguskan hutan. Tak butuh waktu lama, berita itu sampai ke telinga Ronald, perdana menteri yang sedang duduk santai di ruang kerjanya. Namun, ketenangan itu seketika sirna saat ia mendengar putra bungsunya ditangkap oleh pihak kejaksaan yang bekerja sama dengan Departemen Kepolisian Los Angeles. Wajah Ronald memerah, jantungnya berdebar kencang dan perasaan amarah tak terbendung. "Charlie Parkitson, kelihatannya kau sengaja menantangku habis-habisan!" bentak Ronald dengan keras sambil membanting jam antik miliknya ke lantai yang membuatnya pecah berkeping-keping. Stone, asisten pribadinya, tampak terkejut mendengar amarah Ronald yang meledak-ledak. Ia berusaha untuk tenang dan memberikan informasi penting lainnya. "Pak, situasi semakin memanas, Di luar banyak warga yang demo dan meminta anda segera turun," ujar Stone dengan hati-hati. Ronald mengepalkan tangannya hingga nampak urat-urat yang membengkak, menahan rasa ma
Setelah setengah jam berlalu, Ronald meninggalkan ruangan konferensi dengan langkah tegap, diiringi oleh pengawalnya. Sejak awal hadir dalam acara tersebut, ia merasa risih dan menahan emosi akibat berbagai pertanyaan yang menghujam hatinya. Mata Ronald memerah, menahan amarah yang menggebu. Raut wajahnya mencerminkan kekesalan dan rasa malu yang mendalam karena berita yang menimpa anak bungsunya, Hendy. Langkahnya semakin cepat, hendak segera mengakhiri segala permasalahan yang mendera keluarganya. Begitu sampai di ruangan kantornya, Ronald menutup pintu dengan keras, diikuti oleh Stone yang setia menemaninya. Napas Ronald terengah-engah, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum memberikan perintah penting. "Perintahkan mereka segera bebaskan Hendy, dan hentikan semua berita yang menyudutkannya!" ucap Ronald dengan nada tinggi, penuh emosi. "Pak, masalahnya adalah..." Stone mencoba menjelaskan, namun suaranya terpotong oleh tatapan tajam Ronald yang menuntut kepastian dan penyelesa