Para pengawal berdiri tegap di gerbang masuk kediaman, bersiap untuk menyambut kepulangan Jenderal yang baru saja kembali. Begitu melihat sosok Jenderal yang gagah berani melangkah masuk, mereka segera memberi hormat dengan tangan di dada, seraya berseru, "Jenderal!" Charlie, sang Jenderal, mengangguk dengan anggun sebagai balasan hormat. Setelah itu, ia melangkah dengan langkah pasti menuju Hendy, adiknya yang sedang berdiri di sana menatap Charlie dengan tatapan penuh kebencian dan amarah. Hendy, dengan rasa sakit hati yang mendalam, berdiri tegak dan menatap tajam pada kakaknya. Tinjunya terkepal erat, menahan emosi yang meluap-luap. Wajahnya memerah, seolah akan meledak kapan saja. Charlie berhenti tepat di depan Hendy, menatapnya dengan ekspresi tenang namun tegas. Dengan suara yang berwibawa, ia berkata, "Masih berani menunjukkan mukamu di hadapanku." Kedua bersaudara itu saling menatap, saling beradu pandang, menahan ledakan emosi yang hanya menunggu waktu untuk meledak. Uda
Charlie dan Vivian melaju secepat mungkin menuju rumah sakit tempat sahabat mereka, Hanz, sedang berjuang antara hidup dan mati.Wajah Charlie terlihat sangat cemas, mengetahui kondisi Hanz yang kritis akibat kecelakaan mengerikan itu.Sementara itu, di ruang gawat darurat rumah sakit, para dokter dan suster yang merupakan rekan Hanz berusaha mati-matian menyelamatkan nyawanya. Darah mengalir deras keluar dari hidung dan mulut Hanz yang tidak sadarkan diri. Kepalanya mengalami gegar otak yang parah, sehingga mereka harus menggunakan alat canggih dan teknik medis terkini untuk berusaha menyelamatkan rekan mereka. Dokter Utama, yang juga merupakan teman baik Hanz, mengarahkan timnya dengan tegas. Wajahnya pucat dan tegang, namun ia berusaha tetap fokus dan tidak membiarkan perasaan pribadi mengganggu tugasnya. Suster-suster yang bekerja sama dengan Hanz juga tampak khawatir, namun mereka tetap menjalankan tugas dengan hati-hati dan cekatan. Charlie dan Vivian akhirnya sampai di rumah
"Aku tidak rela Hanz meninggal karena dibunuh, Aku lebih berharap ini hanya kecelakaan tabrak lari," ucap Alexa.Charlie, Micheal, dan Alexa berdiri di sekitar mobil yang pernah dibawa Hanz sebelum kecelakaan itu terjadi. Mereka memeriksa kerusakan yang cukup parah pada mobil tersebut. Bodi mobil penyok di beberapa tempat, kaca depan pecah berantakan, dan ban mobil terlihat mengalami kebocoran. "Kenapa tidak ada dasbornya?" tanya Charlie dengan alis berkerut, sambil memegang laporan dari polisi yang menyatakan bahwa barang-barang milik korban ditemukan di lokasi kejadian. Laporan tersebut diberikan oleh Micheal yang berperan sebagai Jaksa yang menangani kasus kecelakaan ini "Sepertinya kecelakaan ini memang telah direncanakan. Dasbornya hilang. Lokasi kejadian tidak ada kamera pengawas sama sekali. Pelakunya langsung kabur. Sulit bagi kita menemukan bukti," ujar Alexa dengan nada khawatir, memandangi mobil yang hancur itu. Micheal, dengan mata tajamnya, memperhatikan kondisi mobil
"Pria yang ku kenal selama ini adalah seorang Jenderal yang tangguh dan angkuh, Tidak ku sangka hari ini dia benar-benar terpuruk. Dokter Hanz yang meninggal dalam usia muda sangat disayangkan. Negara ini kehilangan seorang dokter hebat dan baik. Tidak tahu betapa sakitnya yang dirasakan oleh Charlie saat ini," batin Vivian.Charlie yang sedikit mabuk karena telah menghabiskan minuman alkohol.Tubuh Charlie terasa ringan dan langkah kakinya sempoyongan karena menghabiskan minuman keras sepanjang malam. Begitu memasuki kamar, Charlie yang sedikit mabuk langsung mencium bibir istri tercintanya, Vivian, dengan penuh nafsu. Hatinya sedih karena masalah yang sedang dihadapi, dan malam itu ia ingin melampiaskan semua perasaannya pada istri tercinta. Dalam keadaan tidak sadar, Charlie meraih pakaian Vivian dan melepaskannya satu per satu hingga wanita itu berbaring di bawahnya tanpa balutan apa pun. Tangannya meraba dan meremas gundukan dada Vivian dengan lembut, lalu turun ke perut wanita
"Kenapa banyak sekali wanita cantik yang datang menghampirimu? Sebelumnya Sunny dan sekarang Emily. Siapa lagi seterusnya yang akan mencarimu?" tanya Vivian.Charlie tertawa saat melihat ekspresi istrinya itu," Apakah istriku sedang cemburu?" kata Charlie yang mengusik istrinya."Aku semakin hilang rasa percaya diri," jawab Vivian yang murung. Charlie meraih tangan Vivian, memandang matanya dengan penuh kejujuran dan ketulusan. "Honey, kamu hanya perlu percaya padaku. Aku akan membuktikan padamu. Pernikahan kita bukan hanya ikatan janji. Tapi, juga kesetiaan. Aku akan membuktikan bahwa di hatiku hanya kamu satu-satunya," ucap Charlie dengan lembut. Vivian, yang terlihat sedih dan ragu, menatap suaminya, "Apakah aku boleh tahu siapa dia dan di mana dia?" tanya Vivian yang masih merasa cemas. "Tentu saja bisa, kamu adalah istriku dan berhak mengetahuinya. Dia adalah dokter yang sama dengan Hanz. Menangani pasien CIPA," jawab Charlie dengan sabar. Mendengar jawaban itu, wajah Vivian
Kabar penangkapan Hendy Parkitson menyebar bagai api yang menghanguskan hutan. Tak butuh waktu lama, berita itu sampai ke telinga Ronald, perdana menteri yang sedang duduk santai di ruang kerjanya. Namun, ketenangan itu seketika sirna saat ia mendengar putra bungsunya ditangkap oleh pihak kejaksaan yang bekerja sama dengan Departemen Kepolisian Los Angeles. Wajah Ronald memerah, jantungnya berdebar kencang dan perasaan amarah tak terbendung. "Charlie Parkitson, kelihatannya kau sengaja menantangku habis-habisan!" bentak Ronald dengan keras sambil membanting jam antik miliknya ke lantai yang membuatnya pecah berkeping-keping. Stone, asisten pribadinya, tampak terkejut mendengar amarah Ronald yang meledak-ledak. Ia berusaha untuk tenang dan memberikan informasi penting lainnya. "Pak, situasi semakin memanas, Di luar banyak warga yang demo dan meminta anda segera turun," ujar Stone dengan hati-hati. Ronald mengepalkan tangannya hingga nampak urat-urat yang membengkak, menahan rasa ma
Setelah setengah jam berlalu, Ronald meninggalkan ruangan konferensi dengan langkah tegap, diiringi oleh pengawalnya. Sejak awal hadir dalam acara tersebut, ia merasa risih dan menahan emosi akibat berbagai pertanyaan yang menghujam hatinya. Mata Ronald memerah, menahan amarah yang menggebu. Raut wajahnya mencerminkan kekesalan dan rasa malu yang mendalam karena berita yang menimpa anak bungsunya, Hendy. Langkahnya semakin cepat, hendak segera mengakhiri segala permasalahan yang mendera keluarganya. Begitu sampai di ruangan kantornya, Ronald menutup pintu dengan keras, diikuti oleh Stone yang setia menemaninya. Napas Ronald terengah-engah, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum memberikan perintah penting. "Perintahkan mereka segera bebaskan Hendy, dan hentikan semua berita yang menyudutkannya!" ucap Ronald dengan nada tinggi, penuh emosi. "Pak, masalahnya adalah..." Stone mencoba menjelaskan, namun suaranya terpotong oleh tatapan tajam Ronald yang menuntut kepastian dan penyelesa
Stone menatap sang Jenderal sambil berkata," Jenderal, untuk apa melawan beliau? Tidak ada keuntungannya sama sekali. Beliau adalah ayah dari Jenderal dan tuan muda Hendy.""Ini adalah urusan keluargaku, sebagai orang luar tidak perlu ikut campur. Bawahan selamanya hanya penjaga pintu. Ingin aku membebaskan putra kesayangannya setelah dia menimbulkan keributan di rumahku? Jangan bermimpi!" ucap Charlie.Keesokan harinya.Ronald berjalan dengan langkah tegap memasuki kediaman Jenderal, Begitu melangkah masuk, pandangannya langsung tertuju pada Vivian yang tengah sibuk menyediakan hidangan di ruang makan. Tanpa sadar, emosi Ronald langsung memuncak, dan ia menatap tajam pada wanita itu dengan penuh kebencian. "Wanita sialan, kau adalah penghancur keluargaku, tidak seharusnya kau menginjak kaki di sini. Hanya setumpuk rumput liar. Tapi, malah ingin berkuasa," bentak Ronald dengan suara keras. Emosinya tak terbendung, tangan kanannya menyapu hidangan yang tersaji di atas meja, membuat pi
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Rysa berdiri dengan gemetar, menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. "Tuan, Aku tidak mengerti maksudmu, Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ujar Rysa yang ketakutan dan berusaha membela diri. Bryan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. Ia melempar foto dan data ke wajah Rysa sehingga berterbangan dan jatuh berserakan di lantai. Rysa menunduk, merasa terhina, dan memungut foto-foto tersebut dengan tangan gemetar. "Kalau bukan karena kau pergi ke rumah mewah itu, Aku masih tidak tahu ternyata kamu adalah utusan Lion, yang sebelumnya menyamar sebagai pekerja di toko bunga. Apa kau masih tidak mengaku?" tanya Bryan dengan suara keras dan penuh kemarahan. "Tuan, aku...," ucap Rysa terdiam, ketakutan. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya terus gemetar. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Bryan bahwa ia tidak bersalah, namun terasa sulit. Bryan melangkah mendekat, membuat Rysa mu
Vivian menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengeluarkan lembaran laporan medis milik Bryan dari amplop besar itu. Dia membacanya dengan seksama, dan hampir tidak percaya dengan laporan tersebut. Menurut laporan itu, Bryan telah melakukan vesektomi, prosedur pembedahan yang dilakukan untuk membuatnya mandul secara permanen.Bryan melihat kebingungan di wajah Vivian dan menghela napas sebelum berbicara, "Sebelum Hanz meninggal, aku meminta bantuannya. Aku tahu...melakukan ini tanpa sepengatahuanmu adalah salahku. Saat itu kamu baru keguguran. Aku tidak ingin kamu semakin tertekan." Mata Vivian membelalak, tak menyangka suaminya menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. "Kamu selalu berharap bisa memiliki seorang anak denganku. Tapi aku bukan tidak mau. Aku tidak ingin anak kita sama menderitanya denganku. Cukup aku saja yang menderita!" ungkap Bryan dengan suara bergetar."Lalu, untuk apa kamu memberitahu aku sekarang?" tanya Vivian yang memasukan kembali laporan tersebut.
Malam itu, langit diliputi awan tebal dan rembulan menyembunyikan diri. Bryan terbaring di atas kasurnya dengan pikiran yang kalut, merenung tentang permasalahan dalam rumah tangganya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan dan sosok Rysa muncul dari baliknya. Dalam diam, Rysa menghampiri Bryan yang tampak lelah dan terlelap. Setiap langkahnya begitu hati-hati, tak ingin membangunkan pria itu. Begitu dekat dengannya, Rysa mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, menampakkan tubuh putih mulusnya yang begitu menggoda. Dua gundukan besar di dada Rysa terlihat menonjol, dan bagian bawah tubuhnya juga terbuka lebar, memancarkan aura yang memikat. Rysa menatap Bryan dengan tatapan penuh nafsu, lalu berbisik dalam hati, "Bryan Anderson, malam ini juga aku akan membuatmu melupakan istrimu itu." Perlahan, Rysa mencium wajah Bryan yang masih terlelap, namun tiba-tiba pria itu terbangun dan menatap Rysa dengan ekspresi terkejut. Dia segera menahan tangan wanita itu dan bertanya dengan nada ke
Lily kemudian memberitahu apa saja yang dia ketahui selama ini," Nyonya, mengetahui setiap larut malam Rysa mendatangi ruangan pribadi Anda. Nyonya hanya diam dan tidak ingin menganggu. Walau pun begitu sebenarnya nyonya selalu menangis di setiap malam. Saya juga selalu melihat nyonya menolak bantuan dari Rysan. Walau pun nyonya sudah tidak nyaman dengan keberadaan Rysa. Tapi nyonya tetap diam dan bungkam. Tidak tahu apa yang dipikirkan nyonya!" Bryan semakin merasa bersalah terhadap istrinya, Ia mengingat kembali permintaan Vivian yang tidak membutuhkan Rysa. Akan tetapi Bryan bersikeras menolak permintaannya."Ternyata karena kesalahpahaman sehingga Vivian meminta dia pergi, kenapa aku tidak bisa membaca pikiran istriku sendiri," sesal Bryan sambil mengusap wajahnya."Vivian, Aku akan membuktikan padamu, bahwa aku sama sekali tidak mengkhianatimu. Secantik apa pun atau sesempurna apa pun wanita lain. Mereka tidak sebandingmu di mataku," batin Bryan.Di sisi lain, Rysa melangkah den
Vivian kembali ke kamarnya, matanya terasa sembab setelah sepanjang hari menangis. Begitu memasuki kamar, ia segera mengambil semua botol obat yang ada di atas meja. Ia membuka tutup botol-botol itu satu per satu, dan menggenggam butiran obat yang beraneka warna dalam tangannya. Dengan mengunakan kursi roda, ia menuju ke kamar mandi dan membuang semua obat tersebut ke dalam toilet. Vivian menatap pil-pil yang hanyut di dalam air, kemudian menekan tombol siram. Butiran obat langsung tenggelam, seakan membawa perasaan putus asa yang melanda dirinya. Dada Vivian sesak saat ia merenungkan betapa suaminya, Bryan, ternyata telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Baginya, kondisi tubuhnya yang cacat kini sudah tidak penting sama sekali. Ia merasa sudah kehilangan segalanya, dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan tersebut. Ia duduk di kursi roda dan masih berada di kamar mandi, menangis sambil menahan suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Kemarahan dan kekes
Keesokan harinya.Vivian hanya duduk sambil menatap Rysa yang merapikan kamarnya. Ia masih berbayang suaminya yang begitu peduli pada wanita itu."Nyonya, air sudah saya sediakan, Saya akan mengambil pakaian Anda sekarang," kata Rysa yang membuka pintu lemari dan mengambil pakaian Vivian.Tanpa beralih pandangan, Vivian memperhatikan Rysa dari atas hingga ujung kaki. Ia merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki wanita itu. Dibandingkan dirinya yang sama sekali bukan tandingannya.Vivian hanya bisa kecewa pada dirinya, yang tidak mampu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Walau ia sangat cemburu dengan Rysa yang kini telah menjadi perhatian suaminya. Akan tetap ia tetap memilih diam."Aku akan mandi sendiri, Kamu pergilah lakukan pekerjaanmu yang lain!" perintah Vivian."Nyonya, Saya harus membantu Anda mandi. Kalau tidak akan bahaya kalau Anda sendiri berada di kamar mandi," kata Rysa.Vivian menatap wanita itu dengan senyum paksa," Aku ingin melakukannya sendiri, Supaya