Wanita itu, pemilik nama Carlina, merasakan jantungnya berdebar kencang saat bagian dada seksinya disentuh oleh tangan pria itu, Charlie. Tubuhnya merinding, dan sebuah desahan lembut terlontar dari bibirnya. "Aahhh! Lakukan lagi! Aku berharap kamu memilikinya sekarang," goda Carlina dengan suara yang penuh nafsu, sambil mendesah pelan. Charlie dengan cepat menarik tangannya dari tubuh Carlina. Wajahnya tampak marah dan kecewa, lalu ia mendorong wanita itu hingga terjatuh dan terkapar di lantai. "Kamu ini sudah gila, Carlina?!" bentaknya dengan nada tegas. Carlina menatap Charlie dengan wajah sedih, matanya berkaca-kaca. "Kenapa kamu begitu tega padaku? Apakah kamu tidak penasaran dengan tubuhku? Aku belum pernah disentuh oleh siapa pun," ujarnya dengan suara getir, merasakan rasa sakit dalam hatinya. Charlie menarik nafas dalam-dalam, berusaha meredam amarahnya. "Carlina, satu kesalahan besar kalau kamu menuruti nafsu semata. Kamu harus menghargai dirimu sendiri dan jangan sampai
Setelah meninggalkan hotel, Charlie melajukan mobilnya menuju ke kediaman lainnya. Ia langsung menghubungi temannya mencari sesuatu untuk dirinya. Pria itu semakin kepanasan sehingga melepaskan semua pakaiannya. Tanpa menunggu lama ia pun langsung berendam di dalam bathub. Tidak lama kemudian Micheal, Andrew dan Alexa langsung mendatangi kediamannya sambil membawa es batu dan menuangkan ke dalam bathub. Charlie masih melawan efek obat yang sangat kuat yang membuatnya mengila.Micheal yang sedang menuangkan es batu ke dalam bathub ikut merasa cemas melihat kondisi temannya itu,"Siapa yang meracunimu, kenapa bisa seperti ini?" tanya Micheal."Carlina," jawab Charlie yang memejamkan matanya."Kenapa jal*ng itu melakukan ini? Dia keterlaluan," ketus Alexa."Selama ini dia mencintai tuan, dan sekarang dia mengunakan cara ini untuk mendapatkan tuan," kata Andrew."Efek obat ini sangat kuat, dia mengolahnya menjadi parfum," ucap Charlie yang melawan efek obat itu yang membuatnya sangat men
"Apakah Charlie akan melakukannya, kenapa sangat sunyi. Tidak ada suara sama sekali," kata Alexa yang penasaran. Ia mendekatkan telingannya ke pintu."Aku yakin dia pasti melakukannya, sebagai seorang pria normal pasti tidak akan bisa menahan na*su yang sudah memuncak. Charlie sudah bertahan selama berjam-jam lamanya," jawab Micheal."Aku saja harus empat kali dalam seminggu dengan istriku. Apa lagi terkena obat yang memiliki efek kuat. Pasti deritanya menusuk jantung," ujar Alexa.Andrew mengenggam kedua tangannya dengan cemas,"Mudah-mudahan setelah ini, Tuan baik-baik saja!" ucap Andrew."Apakah kamu mencemaskan hubungan Charlie dan istrinya?" tanya Micheal pada Andrew."Tentu saja! Andaikan ketahuan, hubungan mereka pasti hancur," jawab Andrew."Sebagai prajurit terkadang memiliki banyak wanita, karena mereka lebih banyak di luar dari rumah. Jadi, bila menikahi seorang prajurit...sebagai seorang istri harus siap-siap," ujar Micheal.Alexa mengeleng kepalanya dan berkata,"Aku tidak
Charlie sedikit kesal saat ia mengingat malam sebelumnya. "Wanita itu, Kalian yang mengirimnya, bukan aku yang memintanya," jawab Charlie tegasAlexa menatap Charlie dengan pandangan sinis, "Kami membayarnya dengan harga yang tinggi, Tapi, kau malah menghajarnya hingga babak belur. Untung saja dia tidak mengalami patah tulang," ujar Alexa, menunjukkan foto wanita yang wajah dan tubuhnya penuh memar. Charlie tersenyum santai seakan tidak merasa bersalah, "Aku bisa membayar biaya pengobatannya," kata Charlie, berusaha menyelesaikan masalah ini. Alexa melengos, raut wajahnya penuh kekecewaan. "Bukan masalah biaya, Tapi, kamu telah menyakitinya sehingga begitu parah," ujar Alexa, suaranya sedikit kesal. Charlie menghela napas, menatap Alexa dengan pandangan tajam. "Lebih baik aku menyakiti wanita lain, dari pada menyakiti istriku," jawab Charlie, mengejutkan Alexa dengan kejujurannya. "Kamu hanya ingin menyelamatkan dirimu, saat itu hanya dia yang bisa menghilangkan obat perangsang ya
"Menyembunyikan sesuatu? Apa maksudmu?" tanya Ronald yang penasaran."Saat aku bertanya, Dokter Hanz hanya menjawab bahwa kakak pergi ke sana hanya untuk periksa kesehatan. Tapi, aku malah merasa Dokter itu sepertinya membohongiku," jawab Hendy."Apakah Charlie yang memintanya? Atau memang kesehatannya ada masalah?" tanya Meliza."Aku akan mengutuskan seseorang untuk memastikannya," jawab Ronald. ***Stone berjalan tenang menemui Dokter Hanz di rumah sakit LA, Sesampainya di depan pintu ruangan praktek, ia mengetuknya dengan lembut. Dokter Hanz, yang sedang memantau perkembangan pasiennya, menoleh dan tersenyum ramah. "Silakan masuk," ucapnya. "Saya adalah Stone, asisten Pak Perdana Menteri," kata Stone sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Dokter Hanz. "Ada yang perlu saya bantu?" tanya dokter itu, raut wajahnya tampak penasaran. "Ada hal penting yang ingin saya tanyakan, Apakah Dokter bisa memberi saya sedikit waktu?" tanya Stone dengan sopan. "B
"Apakah dia ingin mencari kelemahanku untuk menjatuhkan aku?" kata Charlie dengan nada keras, matanya memancarkan kemarahan yang membara. Ia merasa tertekan dengan tindakan Stone yang terus mengintai kehidupan pribadinya, mencoba mencari celah untuk menjatuhkannya. "Dokter Hanz sudah tahu apa yang harus dia lakukan, Andaikan mereka menemuinya lagi.""Biarkan saja dia melakukan apa yang dia inginkan, Kalau kita menghalanginya, dia akan semakin dia curiga!" jawab Charlie."Tuan, kalau Pak Perdana Menteri terus menyelidiki, cepat atau lambat beliau akan tahu kondisi Anda," ujar Andrew."Andrew, Untuk saat ini aku lebih penasaran hubungan kami. Apakah...kami akan menjadi musuh atau tetap sebagai ayah dan anak," jawab Charlie.Malam itu, Andrew dan Charlie duduk di ruang tamu yang remang-remang, berbicara tentang rencana mereka selanjutnya. Wajah mereka tampak tegang, namun penuh tekad. "Mengenai masalah ini, hanya orang itu yang bisa memberi jawabannya. Semoga saja dia masih hidup. Kalau
Di ruangan tamu yang luas dan mewah itu, Ronald menatap putranya, lalu menghela napas sebelum membuka pembicaraan. "Bukankah kamu sudah memegang kendali kekuasaan sebagian Angkatan Militer? Kenapa kamu memintanya lagi?" tanya Ronald penasaran. Tidak biasanya putranya itu meminta sesuatu yang hampir mustahil."Untuk persiapan, Aku mendengar informasi pihak musuh sedang melatih tentara mereka. Aku tidak ingin lengah. Sebagai seorang Jenderal aku harus bersiap atas segala hal. Mental prajuritku dan semua senjata yang dibutuhkan. Papa pasti mengerti maksudku," jawab Charlie. "Kalau itu tujuanmu, Papa tidak akan membantah. Kalahkan musuh dan mengharumkan negara kita. Ada satu permintaan yang papa harap kamu bisa mengabulkannya!""Tentang apa?" tanya Charlie."Tentang adikmu, Hendy," jawab Ronald.Charlie terdiam sejenak."Apakah dia sudah kuat melihat darah atau pun mayat?" tanya Charlie yang telah memahami isi hati ayahnya itu."Dia butuh latihan.""Pa, di medan perang bukan tempat latih
"Tuan, sebagian kebenaran sudah terungkap, Selanjutnya apa yang harus kita lakukan?" tanya Andrew."Apakah orang itu masih hidup atau sudah meninggal, Kalau sudah meninggal maka jawaban yang aku ingin tahu tidak akan terungkap selamanya," ucap Charlie putus asa."Belum ada yang menemukan jasadnya, Jadi, aku yakin dia pasti masih hidup," jawab Andrew yang berusaha menenangkan atasannya."Orang yang mengidap penyakit Congenital insensitivity to pain with Anhydrosis, tidak akan bertahan lebih lama," ujar Charlie."Walaupun begitu, kita akan tetap mencarinya sampai dapat, Kalau kasus ini ada hubungan dengan Pak Perdana Menteri. Kita hanya perlu mengawasinya," ujar Andrew."Tuan, aku baru ingat sesuatu yang mungkin penting untuk kasus ini. Kematian istrinya juga misteri. Dulu dokter mengatakan dia meninggal akibat bun*h diri karena suaminya yang hilang. Akan tetapi, info yang saya dapatkan berbeda dengan yang diberitakan," ungkap Andrew. Charlie mengernyitkan dahinya, "Apakah, dia dibunuh
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Rysa berdiri dengan gemetar, menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. "Tuan, Aku tidak mengerti maksudmu, Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ujar Rysa yang ketakutan dan berusaha membela diri. Bryan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. Ia melempar foto dan data ke wajah Rysa sehingga berterbangan dan jatuh berserakan di lantai. Rysa menunduk, merasa terhina, dan memungut foto-foto tersebut dengan tangan gemetar. "Kalau bukan karena kau pergi ke rumah mewah itu, Aku masih tidak tahu ternyata kamu adalah utusan Lion, yang sebelumnya menyamar sebagai pekerja di toko bunga. Apa kau masih tidak mengaku?" tanya Bryan dengan suara keras dan penuh kemarahan. "Tuan, aku...," ucap Rysa terdiam, ketakutan. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya terus gemetar. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Bryan bahwa ia tidak bersalah, namun terasa sulit. Bryan melangkah mendekat, membuat Rysa mu
Vivian menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengeluarkan lembaran laporan medis milik Bryan dari amplop besar itu. Dia membacanya dengan seksama, dan hampir tidak percaya dengan laporan tersebut. Menurut laporan itu, Bryan telah melakukan vesektomi, prosedur pembedahan yang dilakukan untuk membuatnya mandul secara permanen.Bryan melihat kebingungan di wajah Vivian dan menghela napas sebelum berbicara, "Sebelum Hanz meninggal, aku meminta bantuannya. Aku tahu...melakukan ini tanpa sepengatahuanmu adalah salahku. Saat itu kamu baru keguguran. Aku tidak ingin kamu semakin tertekan." Mata Vivian membelalak, tak menyangka suaminya menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. "Kamu selalu berharap bisa memiliki seorang anak denganku. Tapi aku bukan tidak mau. Aku tidak ingin anak kita sama menderitanya denganku. Cukup aku saja yang menderita!" ungkap Bryan dengan suara bergetar."Lalu, untuk apa kamu memberitahu aku sekarang?" tanya Vivian yang memasukan kembali laporan tersebut.
Malam itu, langit diliputi awan tebal dan rembulan menyembunyikan diri. Bryan terbaring di atas kasurnya dengan pikiran yang kalut, merenung tentang permasalahan dalam rumah tangganya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan dan sosok Rysa muncul dari baliknya. Dalam diam, Rysa menghampiri Bryan yang tampak lelah dan terlelap. Setiap langkahnya begitu hati-hati, tak ingin membangunkan pria itu. Begitu dekat dengannya, Rysa mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, menampakkan tubuh putih mulusnya yang begitu menggoda. Dua gundukan besar di dada Rysa terlihat menonjol, dan bagian bawah tubuhnya juga terbuka lebar, memancarkan aura yang memikat. Rysa menatap Bryan dengan tatapan penuh nafsu, lalu berbisik dalam hati, "Bryan Anderson, malam ini juga aku akan membuatmu melupakan istrimu itu." Perlahan, Rysa mencium wajah Bryan yang masih terlelap, namun tiba-tiba pria itu terbangun dan menatap Rysa dengan ekspresi terkejut. Dia segera menahan tangan wanita itu dan bertanya dengan nada ke
Lily kemudian memberitahu apa saja yang dia ketahui selama ini," Nyonya, mengetahui setiap larut malam Rysa mendatangi ruangan pribadi Anda. Nyonya hanya diam dan tidak ingin menganggu. Walau pun begitu sebenarnya nyonya selalu menangis di setiap malam. Saya juga selalu melihat nyonya menolak bantuan dari Rysan. Walau pun nyonya sudah tidak nyaman dengan keberadaan Rysa. Tapi nyonya tetap diam dan bungkam. Tidak tahu apa yang dipikirkan nyonya!" Bryan semakin merasa bersalah terhadap istrinya, Ia mengingat kembali permintaan Vivian yang tidak membutuhkan Rysa. Akan tetapi Bryan bersikeras menolak permintaannya."Ternyata karena kesalahpahaman sehingga Vivian meminta dia pergi, kenapa aku tidak bisa membaca pikiran istriku sendiri," sesal Bryan sambil mengusap wajahnya."Vivian, Aku akan membuktikan padamu, bahwa aku sama sekali tidak mengkhianatimu. Secantik apa pun atau sesempurna apa pun wanita lain. Mereka tidak sebandingmu di mataku," batin Bryan.Di sisi lain, Rysa melangkah den
Vivian kembali ke kamarnya, matanya terasa sembab setelah sepanjang hari menangis. Begitu memasuki kamar, ia segera mengambil semua botol obat yang ada di atas meja. Ia membuka tutup botol-botol itu satu per satu, dan menggenggam butiran obat yang beraneka warna dalam tangannya. Dengan mengunakan kursi roda, ia menuju ke kamar mandi dan membuang semua obat tersebut ke dalam toilet. Vivian menatap pil-pil yang hanyut di dalam air, kemudian menekan tombol siram. Butiran obat langsung tenggelam, seakan membawa perasaan putus asa yang melanda dirinya. Dada Vivian sesak saat ia merenungkan betapa suaminya, Bryan, ternyata telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Baginya, kondisi tubuhnya yang cacat kini sudah tidak penting sama sekali. Ia merasa sudah kehilangan segalanya, dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan tersebut. Ia duduk di kursi roda dan masih berada di kamar mandi, menangis sambil menahan suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Kemarahan dan kekes
Keesokan harinya.Vivian hanya duduk sambil menatap Rysa yang merapikan kamarnya. Ia masih berbayang suaminya yang begitu peduli pada wanita itu."Nyonya, air sudah saya sediakan, Saya akan mengambil pakaian Anda sekarang," kata Rysa yang membuka pintu lemari dan mengambil pakaian Vivian.Tanpa beralih pandangan, Vivian memperhatikan Rysa dari atas hingga ujung kaki. Ia merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki wanita itu. Dibandingkan dirinya yang sama sekali bukan tandingannya.Vivian hanya bisa kecewa pada dirinya, yang tidak mampu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Walau ia sangat cemburu dengan Rysa yang kini telah menjadi perhatian suaminya. Akan tetap ia tetap memilih diam."Aku akan mandi sendiri, Kamu pergilah lakukan pekerjaanmu yang lain!" perintah Vivian."Nyonya, Saya harus membantu Anda mandi. Kalau tidak akan bahaya kalau Anda sendiri berada di kamar mandi," kata Rysa.Vivian menatap wanita itu dengan senyum paksa," Aku ingin melakukannya sendiri, Supaya