Hendy memandang ayahnya yang berdiri di hadapannya," Pa, apakah mama benar-benar membunuh anak dalam kandungan kakak?" tanya Hendy yang hampir tidak percaya.Ronald menghela napas," Benar! Mamamu telah membunuh anak Charlie. Oleh karena itu mama mu harus dihukum sesuai undang-undang negara," jawab Ronald."Berapa lama hukumannya?" tanya Hendy dengan suara lesu."Walau masih bayi, Akan tetap kesalahannya tidak bisa dimaafkan atau diberi keringanan oleh pihak hakim. Lebih kurang harus sepuluh tahun. Apa lagi kalau pihak Jaksa yang memutuskan hukuman itu karena pengaruh kakakmu yang seorang jenderal...bisa saja mamamu tidak akan bisa keluar seumur hidupnya," jawab Ronald.Hendy semakin hancur setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu, Rasa tidak percaya begitu tega sang ibunya membunuh bayi yang belum dilahirkan.Hendy berusaha bangkit dan berdiri di hadapan ayahnya," Pa, Apa bisa aku memohon pada kakak, agar meringankan hukuman mama?" tanya Hendy yang berharap.Ronald menepuk bahu putr
Charlie mengambil ponselnya dan menekan nomor tujuan. Sesaat kemudian seseorang menjawab panggilannya tersebut "Hallo!" suara seorang pria yang di seberang sana."Hanz, Aku butuh bantuanmu," ucap Charlie."Katakan saja!" jawab Hanz.Setelah memberitahu apa yang harus dilakukan, Charlie pun memutuskan panggilannya.Di sisi lain Andrew mendatangi Rumah sakit tempat Mike Anderson dirawat bersama anak buahnya. Mereka melangkah dengan cepat dan mengenakan topi dengan wajah yang tertutup rapat. Di lorong rumah sakit, suasana hening dan sunyi. Andrew dan rekan-rekannya berjalan dengan langkah hati-hati menuju sebuah kamar pasien yang tertutup rapat. Di depan pintu kamar tersebut, dua sosok penjaga berdiri tegak dengan wajah sangar. Mereka adalah anak buah Ronald yang diperintahkan untuk mengawasi Mike Anderson, yang sedang terbaring lemah di dalam kamar itu. Saat melihat Andrew dan kawan-kawan muncul dari ujung lorong, kedua penjaga itu segera menoleh dengan ekspresi curiga. Mereka mengg
"Aku tidak peduli dengan kekuasaan, Aku juga tidak peduli dengan kekayaan. Di mana pun kamu berada jangan membiarkan aku menunggumu terlalu lama," jawab Vivian dengan senyum.Charlie menatap dalam pada istrinya, "Apa pun yang terjadi, Kamu akan tetap di sisiku?" Vivian mengangguk pelan," Iya. Jadi, kamu juga jangan pernah mengkhianatiku. Jangan sia-siakan kepercayaanku padamu!" jawab Vivian."Vivian, Andaikan suatu saat tubuhku mulai lemah dan lumpuh, Apa yang akan kau lakukan?" "Aku akan merawatmu sampai sembuh," jawab Vivian dengan yakin.Charlie merasa hatinya berdebar kencang saat mendengar jawaban dari wanita yang selama ini dicintainya. "Terima kasih!" ucapnya dengan senyum yang merekah, menunjukkan betapa bahagianya ia. Dalam kebahagiaan itu, ia menggendong istrinya dengan penuh cinta, berjalan menuju ke kamar mereka. Sesampai di kamar, Charlie dengan penuh kelembutan menidurkan istrinya di atas kasur yang empuk. Ia mendekatkan wajahnya, mencium bibir wanita itu dengan penuh
Malam itu, Charlie masih melakukan penyatuan dengan istrinya. Ia terus teringat akan tubuh istrinya yang menggoda, membuat hasratnya kembali memuncak. Ia tidak tahan lagi dan ingin segera melepaskan hasratnya.Keesokan harinya, Charlie terbangun karena mendengar getaran handphone miliknya. ia mengambil handphone yang tergeletak di samping tempat tidur dan melihat notifikasi pesan masuk. Mata Charlie terbelalak saat membaca pesan tersebut. Ia menggenggam erat handphone, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "99,9% Positif, Hasil DNA," ucap Charlie dengan suara bergetar, menahan tangis. Hatinya serasa diremas-remas oleh kesedihan dan kekecewaan yang mendalam. "Ronald Parkitson, Apakah ini alasannya kau mengurungnya selama ini?" gumam Charlie dalam hati, terbayang wajah pria yang selama ini ditahan oleh perdana menteri.Vivian terbangun dari tidurnya dan melihat suaminya, Charlie, duduk diam di sampingnya sambil menatap pe
Charlie, Vivian, Andrew, dan Hanz duduk bersama di ruang tamu, suasana hening memenuhi ruangan. Hanz, yang merupakan dokter yang menangani Mike Anderson, ayah kandung Charlie, tampak serius saat menjelaskan kondisi pasien tersebut. "Selama tiga puluh tahun lebih, pasien jarang sekali memeriksakan diri. Setiap kali penyakitnya kambuh, dia hanya bisa menahannya. Kalau bukan karena tekad yang kuat, aku rasa tidak mungkin dia bisa bertahan hingga sekarang," ujar Hanz dengan nada yang berat. Charlie merasakan dada terasa sesak mendengar penjelasan Hanz. Tangannya bergetar saat mencoba menahan emosi yang meluap. Vivian merasakan kepedihan yang dialami oleh suaminya. Ia memegang tangan Charlie dengan erat.Wajah Hanz terlihat pucat, menunjukkan betapa buruknya kondisi Mike Anderson. "Aku akan terus berusaha untuk membantu pasien. tapi kondisinya memang sangat memprihatinkan," tambah Hanz dengan suara yang lembut. Air mata mulai menggenang di mata Charlie, namun dia berusaha keras untuk me
Vivian menatap Charlie dengan ekspresi terkejut dan prihatin. "Apakah kamu mencurigai Ronald terlibat dengan kematian ibu kandungmu?" tanyanya dengan suara pelan. Charlie menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca saat mengingat kejadian yang menimpa keluarganya,"Iya, kejadiannya sangat mencurigakan. Mereka mengetahui bahwa Mike Anderson, ayahku, memiliki seorang anak laki-laki. Saat itu aku baru umur dua tahun," jawabnya dengan nada berat.Kemarahan membara dalam hati Charlie saat mengingat segala perbuatan Ronald. "Aku yakin hanya Ronald yang dalang utamanya. Dia menahan ayahku dengan paksa, membunuh ibuku yang tak berdosa, dan mengadopsiku sebagai anaknya sendiri. Semua demi posisinya sebagai perdana menteri masa depan," ungkap Charlie sambil mengepalkan tinjunya. Vivian menatap Charlie dengan simpati, merasakan kesedihan dan amarah yang memenuhi hatinya. "Apa yang akan kamu lakukan, Charlie?" tanyanya dengan lembut, berusaha memberikan dukungan pada suaminya itu. Charlie meng
"Aku tidak sabar ingin bekerja sama denganmu," ucap wanita itu.Hanz tersenyum," Aku yakin setelah Charlie mengetahui kepulanganmu. Dia pasti akan gembira.""Apakah dia masih marah padaku? Aku takut dia membenciku.""Sudah sepuluh tahun, tidak ada alasan dia membencimu. Kalian saling kenal sejak masih kecil. Mana mungkin dia masih menyimpan dendam padamu," jawab Hanz.Di sisi lain, Hendy berjalan lesu menuju kediamana Charlie, kakak tirinya, setelah mendengar hasil persidangan singkat ibunya, Meliza. Hatinya berkecamuk, namun tekadnya kuat untuk menyelamatkan ibunya. Sesampainya di kediaman tersebut, ia melihat Charlie sedang berdiri di perkarangan sambil bermain dengan burung peliharannya. Angin sore meniupkan rambutnya yang hitam legam, menambah kesan angkuh pada sosok Jenderal tersebut. Mengumpulkan keberanian, Hendy langsung berlutut di hadapan Charlie, memohon agar diberi kesempatan untuk menggantikan ibunya di penjara. "Kakak, biarkan aku yang menggantikan mama di penjara. Aku
"Charlie, Kamu berencana menjatuhkan perdana menteri?" tanya Vivian."Iya, selangkah demi selangkah dia akan semakin terpuruk, Menghukum mati istrinya hanya bagian dari awal rencana. Selanjutnya putra kesayangannya," jawab Charlie yang dipenuhi rasa kebencian. Tatapannya memiliki aura membunuh. Sehingga Vivian merasakan aura tersebut"Apa yang akan terjadi, Kalau Charlie memang berniat menjatuhkan perdana menteri? Dia adalah seorang petinggi. Mana mungkin begitu mudah diturunkan," batin Vivian.Beberapa hari berlalu, Meliza, tersangka pembunuhan, dibawa ke lokasi eksekusi. Siang itu, nasib tragis menunggu perempuan ini, hukuman mati dengan cara ditembak. Di kejauhan, seorang pria merekam kejadian tersebut menggunakan kameranya. Meliza, yang merupakan istri dari Perdana Menteri, tampak berlutut dengan kedua tangan terikat erat. Raut wajahnya penuh ketakutan, dan menangis tanpa berhenti.Seorang polisi berdiri di hadapannya menodongkan senjatanya tepat mengarah ke jantung wanita itu.