Vivian menatap Charlie dengan ekspresi terkejut dan prihatin. "Apakah kamu mencurigai Ronald terlibat dengan kematian ibu kandungmu?" tanyanya dengan suara pelan. Charlie menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca saat mengingat kejadian yang menimpa keluarganya,"Iya, kejadiannya sangat mencurigakan. Mereka mengetahui bahwa Mike Anderson, ayahku, memiliki seorang anak laki-laki. Saat itu aku baru umur dua tahun," jawabnya dengan nada berat.Kemarahan membara dalam hati Charlie saat mengingat segala perbuatan Ronald. "Aku yakin hanya Ronald yang dalang utamanya. Dia menahan ayahku dengan paksa, membunuh ibuku yang tak berdosa, dan mengadopsiku sebagai anaknya sendiri. Semua demi posisinya sebagai perdana menteri masa depan," ungkap Charlie sambil mengepalkan tinjunya. Vivian menatap Charlie dengan simpati, merasakan kesedihan dan amarah yang memenuhi hatinya. "Apa yang akan kamu lakukan, Charlie?" tanyanya dengan lembut, berusaha memberikan dukungan pada suaminya itu. Charlie meng
"Aku tidak sabar ingin bekerja sama denganmu," ucap wanita itu.Hanz tersenyum," Aku yakin setelah Charlie mengetahui kepulanganmu. Dia pasti akan gembira.""Apakah dia masih marah padaku? Aku takut dia membenciku.""Sudah sepuluh tahun, tidak ada alasan dia membencimu. Kalian saling kenal sejak masih kecil. Mana mungkin dia masih menyimpan dendam padamu," jawab Hanz.Di sisi lain, Hendy berjalan lesu menuju kediamana Charlie, kakak tirinya, setelah mendengar hasil persidangan singkat ibunya, Meliza. Hatinya berkecamuk, namun tekadnya kuat untuk menyelamatkan ibunya. Sesampainya di kediaman tersebut, ia melihat Charlie sedang berdiri di perkarangan sambil bermain dengan burung peliharannya. Angin sore meniupkan rambutnya yang hitam legam, menambah kesan angkuh pada sosok Jenderal tersebut. Mengumpulkan keberanian, Hendy langsung berlutut di hadapan Charlie, memohon agar diberi kesempatan untuk menggantikan ibunya di penjara. "Kakak, biarkan aku yang menggantikan mama di penjara. Aku
"Charlie, Kamu berencana menjatuhkan perdana menteri?" tanya Vivian."Iya, selangkah demi selangkah dia akan semakin terpuruk, Menghukum mati istrinya hanya bagian dari awal rencana. Selanjutnya putra kesayangannya," jawab Charlie yang dipenuhi rasa kebencian. Tatapannya memiliki aura membunuh. Sehingga Vivian merasakan aura tersebut"Apa yang akan terjadi, Kalau Charlie memang berniat menjatuhkan perdana menteri? Dia adalah seorang petinggi. Mana mungkin begitu mudah diturunkan," batin Vivian.Beberapa hari berlalu, Meliza, tersangka pembunuhan, dibawa ke lokasi eksekusi. Siang itu, nasib tragis menunggu perempuan ini, hukuman mati dengan cara ditembak. Di kejauhan, seorang pria merekam kejadian tersebut menggunakan kameranya. Meliza, yang merupakan istri dari Perdana Menteri, tampak berlutut dengan kedua tangan terikat erat. Raut wajahnya penuh ketakutan, dan menangis tanpa berhenti.Seorang polisi berdiri di hadapannya menodongkan senjatanya tepat mengarah ke jantung wanita itu.
"Dari sejak lama kau sudah buat persiapan Bukankah begitu?" tanya Micheal."Benar! Ketika lawan kita memiliki posisi teratas, kita harus membuat persiapan dari awal. Menghancurkan dia secara perlahan. Perselingkuhannya selama ini tidak ada yang tahu. Karena wanita itu ibu angkatku harus berbaring lemah di rumah sakit. Aku ingin Ronald merasakan sakit di saat kehilangan," kata Charlie.Micheal menuangkan minuman untuk sahabatnya," Aku mengerti perasaanmu. Aku hanya ingin mengingatkanmu. Ronald tidak akan diam saja setelah ini. Dia akan mengetahui bahwa rekaman itu adalah ulahmu," ujar Micheal.Charlie tersenyum sinis," Aku penasaran bagaimana dengan kondisinya sekarang, Takut atau masih bisa duduk dengan santai," jawab Charlie.***Berita tentang perselingkuhan Ronald dengan Meliza menyebar luas di media, terlebih setelah kematian Meliza yang dihukum mati. Semua kejadian masa lalu terungkap, membuat Ronald yang menjabat sebagai perdana menteri menjadi sasaran utama reporter dan warga L
Hanz menatap temannya yang hanya diam tanpa kata-kata," Apa kalian baik-baik saja?" "Aku tidak ada masalah sama sekali," jawab Charlie yang memandang lautan."Aku hanya berharap kalian tidak canggung saat bertemu nanti," ujar Hanz."Untuk apa harus canggung, Bagiku bukan masalah sama sekali. Aku juga tidak ingin mengingat masa lalu. Lagi pula, aku sudah menikah dengan wanita yang aku cintai," jawab Charlie dengan tegas."Baiklah, Aku merasa lega kamu bicara seperti itu," ujar Hanz. ," Aku pergi dulu! Kalau ada apa-apa hubungi aku!" lanjut Hanz."Sampai jumpa!" ucap Charlie.Hanz ingin segera kembali ke rumah sakit setelah meninggalkan villa. Dalam perjalanan, ia mengemudi mobilnya dengan pikiran yang tenang. Sambil fokus pada jalan, ia tak menyadari bahwa ia semakin mendekati persimpangan jalan yang ramai. Tiba-tiba saja, sebuah mobil truk melaju kencang dari arah samping dan menabrak mobil Hanz dengan keras. "Brak!" suara benturan itu begitu keras hingga membuat Hanz hampir kehilang
Para pengawal berdiri tegap di gerbang masuk kediaman, bersiap untuk menyambut kepulangan Jenderal yang baru saja kembali. Begitu melihat sosok Jenderal yang gagah berani melangkah masuk, mereka segera memberi hormat dengan tangan di dada, seraya berseru, "Jenderal!" Charlie, sang Jenderal, mengangguk dengan anggun sebagai balasan hormat. Setelah itu, ia melangkah dengan langkah pasti menuju Hendy, adiknya yang sedang berdiri di sana menatap Charlie dengan tatapan penuh kebencian dan amarah. Hendy, dengan rasa sakit hati yang mendalam, berdiri tegak dan menatap tajam pada kakaknya. Tinjunya terkepal erat, menahan emosi yang meluap-luap. Wajahnya memerah, seolah akan meledak kapan saja. Charlie berhenti tepat di depan Hendy, menatapnya dengan ekspresi tenang namun tegas. Dengan suara yang berwibawa, ia berkata, "Masih berani menunjukkan mukamu di hadapanku." Kedua bersaudara itu saling menatap, saling beradu pandang, menahan ledakan emosi yang hanya menunggu waktu untuk meledak. Uda
Charlie dan Vivian melaju secepat mungkin menuju rumah sakit tempat sahabat mereka, Hanz, sedang berjuang antara hidup dan mati.Wajah Charlie terlihat sangat cemas, mengetahui kondisi Hanz yang kritis akibat kecelakaan mengerikan itu.Sementara itu, di ruang gawat darurat rumah sakit, para dokter dan suster yang merupakan rekan Hanz berusaha mati-matian menyelamatkan nyawanya. Darah mengalir deras keluar dari hidung dan mulut Hanz yang tidak sadarkan diri. Kepalanya mengalami gegar otak yang parah, sehingga mereka harus menggunakan alat canggih dan teknik medis terkini untuk berusaha menyelamatkan rekan mereka. Dokter Utama, yang juga merupakan teman baik Hanz, mengarahkan timnya dengan tegas. Wajahnya pucat dan tegang, namun ia berusaha tetap fokus dan tidak membiarkan perasaan pribadi mengganggu tugasnya. Suster-suster yang bekerja sama dengan Hanz juga tampak khawatir, namun mereka tetap menjalankan tugas dengan hati-hati dan cekatan. Charlie dan Vivian akhirnya sampai di rumah
"Aku tidak rela Hanz meninggal karena dibunuh, Aku lebih berharap ini hanya kecelakaan tabrak lari," ucap Alexa.Charlie, Micheal, dan Alexa berdiri di sekitar mobil yang pernah dibawa Hanz sebelum kecelakaan itu terjadi. Mereka memeriksa kerusakan yang cukup parah pada mobil tersebut. Bodi mobil penyok di beberapa tempat, kaca depan pecah berantakan, dan ban mobil terlihat mengalami kebocoran. "Kenapa tidak ada dasbornya?" tanya Charlie dengan alis berkerut, sambil memegang laporan dari polisi yang menyatakan bahwa barang-barang milik korban ditemukan di lokasi kejadian. Laporan tersebut diberikan oleh Micheal yang berperan sebagai Jaksa yang menangani kasus kecelakaan ini "Sepertinya kecelakaan ini memang telah direncanakan. Dasbornya hilang. Lokasi kejadian tidak ada kamera pengawas sama sekali. Pelakunya langsung kabur. Sulit bagi kita menemukan bukti," ujar Alexa dengan nada khawatir, memandangi mobil yang hancur itu. Micheal, dengan mata tajamnya, memperhatikan kondisi mobil