Wilson menghela napas berat, mencoba bersabar menghadapi Juliet yang makin tidak terkendali. Dengan cekatan, dia membuka pintu mobil, lalu berkeliling ke sisi Juliet berada. “Ini benar-benar kacau sekali...” gumamnya sambil mengangkat tubuh Juliet yang terasa lemas. Sepanjang jalan menuju apartemen, Juliet terus mengoceh tidak jelas, karuan. “Kau... pemeras... kau... lintah darat... tikus dompet... perampok besar... tapi, karena kau tampan... ya sudah aku maafkan...” katanya dengan suara serak sambil menunjuk wajah Wilson yang sedang kesulitan membawanya. Wilson mendengus, berusaha mengabaikan ocehan itu. “Kalau aku pemeras, kenapa aku repot-repot menjemputmu, hah? Memeras orang seperti mu juga tidak ada untungnya sama sekali, tahu!” gerutunya pelan. Begitu sampai di apartemen, Wilson membuka pintu dengan kakinya, lalu membawa Juliet masuk ke dalam. Dia menurunkan Juliet ke ranjang
Wilson dan Juliet sama-sama terkejut. Segera bangkit dari posisinya, Wilson tidak ingin situasi menjadi semakin gugup. Wilson berdehem, mengusir rasa gugup dan canggung yang dirasakan. “Kita... buat sarapan saja dulu.” Setelah mengatakan itu, Wilson langsung meninggalkan kamarnya Juliet. Dug dug! Juliet memegangi dadanya yang berdebar kencang. Kenapa dia menjadi aneh sekali setelah berciuman dengan Wilson? Mereka sudah pernah melakukan itu, bahkan lebih jauh daripada hanya sebuah ciuman. Tapi Kenapa begitu mendebarkan sampai Juliet sendiri tidak bisa mengontrol hal itu? Situasi yang sama juga dirasakan oleh Wilson. Bukan hanya kali ini saja, beberapa kali sebelumnya juga dia merasakan jantungnya berdegup sangat cepat. Wilson pun menggelengkan kepalanya. Dia harus melakukan sesuatu, tidak boleh terus berfokus dengan dadanya yang berpacu tanpa kenal ampun. Beberapa saat kemudian. Setelah Juliet keluar dari kamar mandi dengan wajah masih memerah, ia mendapati
Argan datang ke rumah Juliet dengan langkah ragu-ragu, berharap bisa bertemu langsung dengan wanita yang pernah ia sakiti dan kini dia harapkan bisa kembali bersama. Namun, yang membukakan pintu bukan Juliet, melainkan Thom yang langsung menatap menatap Argan dengan sorot mata tajam. “Argan? Ada keperluan apa datang ke sini?” tanya Thom dengan nada datar namun tegas. “Cari siapa?” “Aku... aku hanya ingin bertemu Juliet. Aku ingin berbicara dengannya,” jawab Argan, berusaha terdengar tenang meski sorot matanya gelisah. Thom menyilangkan tangan di dada, menyandarkan tubuhnya ke ambang pintu dengan tatapan mencibir. “Lucu sekali. Datang ke sini seolah-olah tidak pernah menyakitinya. Kak Juliet hampir hancur karena perbuatan mu, dan sekarang kau datang lagi? Untuk apa? Meminta maaf dan berharap semuanya kembali seperti semula? Cih!” “Aku sudah tahu kok kalau
Saat mereka sedang bicara, tiba-tiba saja sebuah mobil hitam dagang. Beberapa pria dewasa, tinggi besar, keluar dari sana. Remaja laki-laki itu nampak sangat terkejut. Juliet yang masih kebingungan tak sempat bertanya apa pun ketika remaja laki-laki itu tiba-tiba menggenggam tangannya erat dan menariknya menjauh dari trotoar. “Ayo lari, cepat!!” teriaknya panik. Beberapa pria dewasa bersetelan rapi turun dari mobil hitam yang baru saja berhenti. Tatapan mereka tajam dan langkahnya cepat, jelas mereka sedang mengejar. Juliet menoleh ke belakang, makin bingung tapi ikut berlari secepat yang ia bisa agar tak terjatuh. Hah! Sungguh, entah apa yang sebenarnya sedang dilakukannya. “Nanti saja aku jelaskan!” seru remaja itu saat melihat wajah panik Juliet. Napas mereka tersengal, kaki mereka menerjang jalanan sempit dan gang kecil, melewati tukang jahit, salon, dan warung yang hampir tutup. Juliet mulai merasa lelah tapi genggaman tangan itu tidak pernah mengendur. Setelah bebera
Juliet mengernyitkan kening kala merasakan pandangannya kabur.Belum lagi, kepalanya sakit, seperti dihantam palu baja berulang kali.Wanita bermata almond itu mengerjap beberapa kali–mencoba mengumpulkan kesadarannya, hingga ia tersadar bahwa ruangan tempatnya ini sangatlah asing.“Aku ada di mana…?” bisiknya, hampir tak terdengar.Ingatan Juliet benar-benar terputus setelah meminum wine di Bar Starlight.Ya, semalam, Juliet sebenarnya berencana memberikan kejutan ulang tahun untuk kekasihnya. Sebuah jam mahal yang diinginkan pria itu telah dia persiapkan.Namun siapa sangka, Juliet justru menemukan pria itu berselingkuh dengan sahabat Juliet sendiri. Entah sejak kapan perselingkuhan diantara mereka terjadi. Semakin Juliet mengingat, semakin sesak dadanya. Patah hati dan marah, Juliet membalas dendam dengan mencampur lem perekat ke dalam pelumas yang mereka gunakan untuk saat berhubungan intim secara diam-diam. Tidak peduli apa yang akan terjadi dengan mereka, sakit dihatinya be
“Aku dengar kekasih tercintamu itu ulang tahun kemarin. Kenapa kau justru ada di bar sendirian?” Mendengar ucapan Wilson, Juliet yang memang sudah mengenakan pakaiannya seketika lesu. Setelah meminum segelas air mineral yang tersedia, Juliet mulai mengingat dengan jelas apa yang terjadi semalam.Dia benar-benar menyerang Wilson!Bisa-bisanya Juliet seperti singa betina yang kelaparan mencium Wilson, membuka bajunya, menyentuh tubuh kekar pria itu, bahkan….“Apa Kau diam karena sedang merasa bersalah sudah mengkhianatinya?” tanya Wilson lagi menyadarkan Juliet dari lamunan.Merasa bersalah?Yang benar saja! Kalau bukan karena pria itu, dia tak akan kehilangan akal, hingga berakhir seperti ini!“Aku ingin memberikan kejutan untuknya, tapi malah aku yang terkejut menemukannya berselingkuh,” jawab Juliet tampak menahan emosi.Di sisi lain, Wilson menyembunyikan senyumnya.Setiap kali dia melihat Argan, dia pasti akan melihat Juliet.Wanita itu selalu mengantar-jemput Argan dari perusaha
Kalau saja Juliet tidak sadar posisinya, dia yakin sudah memelintir usus besar CEO tampan itu!Hanya saja, Juliet mendadak teringat sesuatu!“Maaf, apakah aku bisa ikut ke kantor Pak CEO saja? Aku mau menemui Argan dan meminta kunci mobil,” ucapnya.Wilson tampak menoleh padanya sebelum menganggukkan kepala.Tidak butuh waktu lama, mereka pun tiba dan berpisah.Wilson langsung menuju ruangannya, meninggalkan Juliet yang menunggu di lobby perusahaan. Menunggu Argan, wanita itu mondar-mandir di dekat pintu lobi perusahaan dengan perasaan gelisah.Juliet bahkan tidak peduli penampilannya masih lusuh ataupun tubuhnya yang seperti tertimpa truk tronton. Selain tidak ingin buang-buang waktu lagi untuk mengambil kembali mobilnya, Juliet juga ingin memastikan keadaan dua pengkhianat itu.Bukan kenapa-kenapa, Juliet hanya takut berakhir dipenjara jika Argan dan Rania gancet!Untungnya, semua sirna kala Juliet akhirnya melihat Argan datang di depan halaman perusahaan.Pria itu tampak sangat k
“Ya ampun! Tolong tolong!” Sadar akan situasi, Juliet kembali berpura-pura panik. Semua yang datang langsung mendekat dengan penasaran. “... Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya satu diantara mereka. Juliet menggelengkan kepalanya. “Tidak tahu. Aku cuma memeluknya, tapi dia malah seperti itu.” “Lebih baik kita telepon ambulans, bawa saja ke rumah sakit!” ucap salah satu karyawan yang kebetulan di sana. Juliet menggigit bibir bawahnya. Itu tidak boleh terjadi! Ia pun langsung mencoba untuk menenangkan orang-orang yang ada di sana. “Tidak usah, pacar tersayang ku ini sangat ketakutan dengan rumah sakit. Aku akan urus dia sendiri saja, deh...” “Kau yakin? Dia terlihat kesakitan sekali, loh. Takutnya terjadi sesuatu yang serius dengan miliknya.” Juliet kembali tersenyum. “Pokoknya, Kalian tidak perlu khawatir. Kalian bisa lanjut untuk masuk ke kantor, sudah akan terlambat.” “Baiklah. Ayo kita masuk!” Argan menatap mereka semua yang pergi dengan tatapan tidak rela, tapi dia juga
Saat mereka sedang bicara, tiba-tiba saja sebuah mobil hitam dagang. Beberapa pria dewasa, tinggi besar, keluar dari sana. Remaja laki-laki itu nampak sangat terkejut. Juliet yang masih kebingungan tak sempat bertanya apa pun ketika remaja laki-laki itu tiba-tiba menggenggam tangannya erat dan menariknya menjauh dari trotoar. “Ayo lari, cepat!!” teriaknya panik. Beberapa pria dewasa bersetelan rapi turun dari mobil hitam yang baru saja berhenti. Tatapan mereka tajam dan langkahnya cepat, jelas mereka sedang mengejar. Juliet menoleh ke belakang, makin bingung tapi ikut berlari secepat yang ia bisa agar tak terjatuh. Hah! Sungguh, entah apa yang sebenarnya sedang dilakukannya. “Nanti saja aku jelaskan!” seru remaja itu saat melihat wajah panik Juliet. Napas mereka tersengal, kaki mereka menerjang jalanan sempit dan gang kecil, melewati tukang jahit, salon, dan warung yang hampir tutup. Juliet mulai merasa lelah tapi genggaman tangan itu tidak pernah mengendur. Setelah bebera
Argan datang ke rumah Juliet dengan langkah ragu-ragu, berharap bisa bertemu langsung dengan wanita yang pernah ia sakiti dan kini dia harapkan bisa kembali bersama. Namun, yang membukakan pintu bukan Juliet, melainkan Thom yang langsung menatap menatap Argan dengan sorot mata tajam. “Argan? Ada keperluan apa datang ke sini?” tanya Thom dengan nada datar namun tegas. “Cari siapa?” “Aku... aku hanya ingin bertemu Juliet. Aku ingin berbicara dengannya,” jawab Argan, berusaha terdengar tenang meski sorot matanya gelisah. Thom menyilangkan tangan di dada, menyandarkan tubuhnya ke ambang pintu dengan tatapan mencibir. “Lucu sekali. Datang ke sini seolah-olah tidak pernah menyakitinya. Kak Juliet hampir hancur karena perbuatan mu, dan sekarang kau datang lagi? Untuk apa? Meminta maaf dan berharap semuanya kembali seperti semula? Cih!” “Aku sudah tahu kok kalau
Wilson dan Juliet sama-sama terkejut. Segera bangkit dari posisinya, Wilson tidak ingin situasi menjadi semakin gugup. Wilson berdehem, mengusir rasa gugup dan canggung yang dirasakan. “Kita... buat sarapan saja dulu.” Setelah mengatakan itu, Wilson langsung meninggalkan kamarnya Juliet. Dug dug! Juliet memegangi dadanya yang berdebar kencang. Kenapa dia menjadi aneh sekali setelah berciuman dengan Wilson? Mereka sudah pernah melakukan itu, bahkan lebih jauh daripada hanya sebuah ciuman. Tapi Kenapa begitu mendebarkan sampai Juliet sendiri tidak bisa mengontrol hal itu? Situasi yang sama juga dirasakan oleh Wilson. Bukan hanya kali ini saja, beberapa kali sebelumnya juga dia merasakan jantungnya berdegup sangat cepat. Wilson pun menggelengkan kepalanya. Dia harus melakukan sesuatu, tidak boleh terus berfokus dengan dadanya yang berpacu tanpa kenal ampun. Beberapa saat kemudian. Setelah Juliet keluar dari kamar mandi dengan wajah masih memerah, ia mendapati
Wilson menghela napas berat, mencoba bersabar menghadapi Juliet yang makin tidak terkendali. Dengan cekatan, dia membuka pintu mobil, lalu berkeliling ke sisi Juliet berada. “Ini benar-benar kacau sekali...” gumamnya sambil mengangkat tubuh Juliet yang terasa lemas. Sepanjang jalan menuju apartemen, Juliet terus mengoceh tidak jelas, karuan. “Kau... pemeras... kau... lintah darat... tikus dompet... perampok besar... tapi, karena kau tampan... ya sudah aku maafkan...” katanya dengan suara serak sambil menunjuk wajah Wilson yang sedang kesulitan membawanya. Wilson mendengus, berusaha mengabaikan ocehan itu. “Kalau aku pemeras, kenapa aku repot-repot menjemputmu, hah? Memeras orang seperti mu juga tidak ada untungnya sama sekali, tahu!” gerutunya pelan. Begitu sampai di apartemen, Wilson membuka pintu dengan kakinya, lalu membawa Juliet masuk ke dalam. Dia menurunkan Juliet ke ranjang
Wilson baru saja tiba di apartemennya. Ia mengernyitkan dahi saat mendapati bahwa Juliet belum juga pulang, padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Perasaan tidak tenang langsung menyelimutinya. Takut kalau Juliet pingsan di jalan. Tanpa menunggu lebih lama, Wilson mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi Juliet. Namun, panggilan itu hanya berakhir tanpa jawaban. Ia mencoba sekali lagi, hasilnya masih saja tetap sama. Merasa semakin khawatir, Wilson kemudian mengetikkan beberapa pesan singkat padanya. “Di mana kau sekarang?” “Kenapa belum pulang? Apa ada yang terjadi?” “Hubungi aku segera begitu kau lihat pesan ini. Jangan membuat ku kesal. Resikonya adalah hutang mu akan digandakan.” Namun menit demi menit berlalu, dan tidak ada satu pun balasan dari Juliet yang datang. Wilson berjalan mondar-mandir di ruang tamu, dadanya terasa sesak oleh kecemasan yang semakin menjadi begitu menyebalkan. Entah mengapa, perasaan gelisah Wilson semakin menjadi-jad
Esok harinya, Juliet kembali ke kantor setelah sehari penuh beristirahat di apartemen Wilson. Tubuhnya memang belum sepenuhnya pulih, namun semangatnya jauh lebih baik dari pada sebelumnya. Hari itu, suasana di kantor terasa sangat berbeda. Pekerjaan yang biasanya terasa berat kini terasa jauh lebih ringan. Senyuman kecil tidak lepas dari wajah Juliet saat ia membuka email laporan harian, angka penjualan produk perusahaan mereka melonjak tinggi, jauh melebihi target yang sebelumnya telah ditetapkan. Usaha keras seluruh tim, mulai dari perencanaan produksi, strategi pemasaran, hingga layanan pelanggan, akhirnya berbuah manis. Juliet merasa bangga bisa menjadi bagian dari pencapaian besar ini, meski kontribusinya mungkin hanya sebagian kecil saja dari mereka semua. Teman-temannya di divisi pemasaran pun tampak lebih ceria. Ada yang saling memberi selamat, ada yang sibuk mengetik laporan dengan ekspresi puas. Manajer divisi mereka bahkan menga
Setelah menguatkan diri, Juliet perlahan membuka pintu kamarnya. Aroma harum roti panggang dan kopi menyambutnya, membuat perutnya yang kosong langsung berbunyi pelan.“Wah, aku kira Pak Wilson memasak bubur,” pikir Juliet. Di dapur, Wilson tengah sibuk membalik roti di atas wajan. Ia mengenakan kaus santai berwarna abu-abu dan celana training gelap, terlihat begitu berbeda dari sosoknya yang biasanya rapi dengan setelan jas. Meskipun sudah beberapa kali melihatnya, rasanya Juliet masih belum terbiasa. Yah... Memang benar Wilson itu ketampannya akan bertambah berkali lipat saat menggunakan pakaiannya santai. Juliet berdiri sejenak di ambang pintu, merasa canggung harus bertemu dengan Wilson setelah apa yang terjadi semalam. Ia memainkan ujung lengan bajunya, ragu untuk melangkah masuk. Wilson akhirnya menoleh dan tersenyum kecil. “Kau sudah bangun? Bagaimana perasaanmu? Apa sudah membaik?” tanyanya sambil menuangkan kopi ke dalam ca
Tubuh Juliet menggigil pelan di balik selimut, napasnya memburu dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Di dalam tidurnya yang gelisah, ia terus mengigau, suaranya lirih, jelas, namun penuh dengan kesedihan. “Ibu... Ayah...” lirih Juliet, tangannya berusaha meraih sesuatu di udara, seolah mencari kehangatan yang tidak kunjung ia temukan. “Aku sakit... kenapa kalian tidak ada di sini? Kenapa?” gumamnya dengan suara serak. Tangis perlahan pecah dari bibirnya, suara sesenggukan menggema di ruangan yang sunyi itu. “Kenapa Ayah tidak peluk aku...” isaknya, suaranya begitu rapuh. “Kenapa Ibu tidak menyuapiku obat... kenapa kalian meninggalkan aku begitu saja?” Juliet menggeliat dengan resah, tubuhnya tampak semakin lemah. Air mata menetes dari sudut matanya, membasahi pipinya yang pucat. “Kenapa Tuhan sekali? Kenapa mengambil Ayah dan Ibu...” suaranya nyaris tidak terdengar,
Malam itu, Juliet kembali ke apartemen Wilson dengan tubuh lelah dan mata yang nyaris tidak mampu untuk terbuka. Meskipun begitu, ia tahu benar bahwa dirinya tidak bisa berleha-leha. Ada “hutang” yang harus ia lunasi, bukan dalam bentuk uang, melainkan rasa tanggung jawab atas tempat tinggal yang diberi secara cuma-cuma.“Sudahlah... nanti juga membaik,” pikirnya. Dengan sigap, Juliet menyalakan robot pembersih lantai, lalu memisahkan cucian berdasarkan warna sebelum memasukkannya ke dalam mesin cuci. Sambil menunggu, ia membersihkan sofa menggunakan mesin penyedot debu. Apartemen yang tadinya terlihat tenang dan sunyi, perlahan berubah menjadi tempat yang penuh aktivitas meski hanya dilakukan oleh satu orang saja di dalam sana. Begitu semua urusan bersih-bersih selesai, Juliet melangkah ke dapur. Ia membuka kulkas, melihat bahan makanan yang tersedia, lalu mencari inspirasi melalui internet. Meski kemampuan memasaknya masih jauh dari sempur