Setelah mendapatkan anggukan dari Sean, pak Sadin langsung berbalik dan meninggalkan ruangan kerjanya. Sementara lelaki itu langsung fokus pada tumpukan map di hadapannya. Setiap lembar map tersebut tak luput dari perhatiannya.
Sean tak boleh melewatkan semuanya. Ia harus memastikan semua rencana berjalan dengan lancar dan mengumpulkan semua bukti agar developer tersebut tak bisa membatalkan perjanian sesuka hatinya. Lelaki tampan itu bisa saja langsung mendatangi tempat hotel barunya yang sedang dalam proses pembangunan itu dan meminta pertanggungjawaban pihak developer itu, tetapi ia lebih baik mempersiapkan segalanya agar bisa menuntutnya secara hukum.
Ya, sesiap itu Sean dalam menyiapkan segalanya. Ia bisa saja tinggal memberi perintah pada pak Sadin dan anak buahnya yang lain, tetapi Sean lebih suka memeriksanya sendiri. Dengan cara itu juga, ia bisa melihat perkembangan semua hotel miliknya.
Lama ia berkutat dengan
Setelah kedua anak buahnya meninggalkan ruangannya, Sean langsung memasukkan ponsel dan flashdisk tersebut ke dalam jasnya di saku yang berbeda. Ia akan memeriksanya nanti setelah tumpukan map di hadapannya selesai diperiksa. Tentu saja, agar fokus pikirannya tak terbagi.Tak sampai satu jam, lelaki itu sudah selesai memeriksa tumpukan mapnya. Sean menghela napas lega dan puas. Ia sudah memisahkan beberapa map yang menurutnya penting dan catatannya disatukan dalam map terpisah. Tangan Sean kembali menekan tombol telepon kabel di sudut meja kerjanya.“Pak Sadin, kita berangkat sekarang! Sebaiknya pakai supir saja, ada yang harus kita bahas selama dalam perjalanan ke hotel itu,” perintah Sean lantang.“Baik, Tuan. Saya akan panggil supir,” sahut pak Sadin dari ba
David bangkit dari duduk nyamannya. Ia lantas menerima uluran tangan Sean dan menjabatnya dengan cepat. “Tentu saja, Sean. Tolong jangan sungkan karena saya juga tidak akan segan padamu,” ujarnya seraya melepaskan uluran tangannya.Keduanya lantas saling bertukar senyuman lebar, tetapi berbeda dengan tatapan keduanya yang dipenuhi intimidasi. Beberapa orang yang ada ruangan depan lobi itu seolah merasakan ketegangan yang diciptakan kedua orang itu. Tuan David menunjuk sofa di samping Sean, memberi isyarat pada lelaki muda nan tampan itu untuk duduk.“Silahkan duduk!” ucapnya santun.Sean menaikan satu ujung alisnya. Ia kemudian menoleh pada lelaki yang berdiri di samping pak Sadin. Bukankah lelaki itu pemilik gedung developer itu, jadi seharusnya dia lah yang mempersilahkan dirinya untuk duduk, bukan tuan David.“Ah, silahkan duduk, Tuan Sean! Sa—saya akan buatkan kopi untuk Tuan,” ucapnya sedikit gagap.“Terima kasih, Pak Deka. Tolong buatkan untuk Pak Sadin juga,” sahut Sean santai.
Tentu saja Sean tersentak dan menoleh pada tuan David. Ia hampir kehilangan kesabarannya. Sean tahu siapa yang dimaksud lelaki tua itu.Belum sempat Sean bereaksi, lelaki itu sudah berjalan meninggalkan dirinya. Pak Sadin langsung memegangi pundaknya, hingga kesadaran Sean langsung kembali. Ya, ia harus fokus pada masalah di depannya dulu. Tuan David hanya mencoba memprovokasinya.“Tuan Sean!” panggil pak Sadin kembali menyadarkan dirinya.Sean menghela napas panjang. Ia merenggangkan ikatan dasinya dengan menariknya sedikit, kemudian membuka kancing kerahnya. Lelaki pemilik gedung itu langsung menundukkan wajahnya kikuk di hadapan Sean. Mungkin ia mengira Sean akan meledakan emosinya padanya.“Duduklah! Saya menuntut penjelasan Anda!” titah Sean kesal. “Anda tahu ‘kan resikonya membatalkan semua perjanjian dengan saya? Apalagi saya sudah melunasi semua pembelian tanah itu,” geramnya.Kedua bibir pak Deka gemetar. Mungkin ia baru melihat tatapan kemarahan Sean. Padahal Sean lebih muda
Bibir pak Deka bergetar mengiringi kepergian Sean. Kemudian indera penglihatannya langsung dialihkan pada cangkir kopi yang belum disentuh oleh tamunya. Ancaman Sean berhasil menciptakan keringat dingin di wajahnya.Sementara Sean yang sudah memasuki mobilnya dengan tatapan penuh percaya diri langsung mendapatkan senyuman dari pak Sadin yang sudah di sampingnya. Tampaknya lelaki itu tak perlu menjelaskan rencananya pada asistennya. Mungkin, lelaki paruh baya berkacamata bulat itu adalah seorang cenayan yang bisa menebak jalan pikiran Sean.“Saya sudah meminta pak Dirman, mandor yang berada di sana untuk mengumpulkan warga yang berdemo,” lapor pak Sadin, kemudian ia menoleh pada lelaki yang duduk di kursi kemudi. “Kita ke hotel dulu, Pak!” titahnya pada si supir.
Sean tersenyum puas. Warga saling bersahutan, hingga akhirnya terdiam dan menerima penjelasan CEO muda pemilik hotel tersebut. Pak Sadin, tiba-tiba mendekati dirinya dan menunjukkan ponselnya, hingga membuat Sean terdiam sejenak.Lelaki beriris keperakan itu menghela napas panjang. Pesan yang ditunjukan pak Sadin hampir membuatnya tersentak. Namun, ia berhasil menguasai dirinya untuk lebih tenang dan kembali tersenyum.“Satu hal pasti dan harus Bapak-bapak dan Ibu-ibu ketahui, saya sudah melunasi semua tanah yang akan saya bangun ini. Semuanya sudah selesai ke proses alih nama, karena itulah saya terkejut, tiba-tiba mendengar kabar, ada pemilik tanah yang membatalkan proses jual beli tersebut padahal saya sudah membayar lunas,” ungkap Sean tegas.Fokus Sean kembali pada layar proyektor di belakangnya yang menampilkan dirinya dan beberapa warga di dalam sebuah ruangan. Sebuah foto yang bergantian menunjukan beberapa warga dengan memegang sebuah sertifikat. Para warga saling menunjuk wa
Selesai menangani warga tentang masalah tanah, Sean maminta pak Sadin menemui Resa. Tentu saja, ia masih punya urusan dengan ibu dari gadis kecilnya. Apalagi jika bukan masalah ponselnya.Senja hari tak menyurutkannya untuk menemui wanita paruh baya itu. Biarlah gadis kecilnya menunggu larut. Zia juga memerlukan waktu untuk mengistirahatkan tubuhnya.Walaupun Sean tidak yakin, Zia akan beristirahat. Ya, saat ini pasti gadis kecilnya masih menulis tentang dirinya, tentang perjalanannya menjadi pengusaha muda yang sukses. Bukankah itu yang sedang dikerjakan gadis kecilnya, menulis biografi hidupnya.“Sebaiknya Pak Sadin pulang saja dan siapkan semua berkas yang berhubungan dengan jual beli tanah itu! Saya akan menuntutnya agar masalahnya cepat ditangani, nanti saya pulang dengan supir,” perintah Sean pada asistennya yang duduk di sampingnya saat ia sudah melihat gedung rumah sakit tempat Resa dirawat.&n
Kedua lelaki itu saling bertukar pandang panik. Namun, keduanya memilih berbalik dan bersiap untuk kabur. Tentu saja, Sean tak akan membiarkannya.Tangan Sean langsung sigap menjangkau salah satu lengan dari mereka, seraya kakinya menendang kaki lelaki itu. Gerakan Sean terlalu cepat, hingga targetnya tak menyadarinya atau memang mereka mengira kalau CEO muda itu tak punya kemampuan melumpuhkan musuh. Lelaki itu langsung tumbang dengan posisi tubuh telungkup di lantai, sementara satu orangnya hanya bisa diam di antara anak tangga dan menatapnya cemas.Lutut Sean langsung menahan punggung targetnya, sementara tangannya memelintir tangan target ke belakang hingga lelaki itu mengerang kesakitan. “Saya tidak tahu siapa yang mengirimmu untuk mengikuti saya, tapi saya sedang tidak ada waktu untuk meladeni kalian! Katakan pada bos kalian, jangan main-main dengan saya atau mengusik saya!” gertak Sean penuh ancaman.L
Sean memberikan ponsel wanita paruh baya itu. Lagi pula ia sudah mempunyai salinannya, ‘kan. CEO muda dengan tinggi 182 cm itu hanya perlu tambahan informasi dari Resa.“Ponsel Bu Resa ditemukan di dalam selokan, jadi terpaksa harus diperbaiki dulu,” jelas Sean saat menyerahkan benda pipih tersebut.Kedua bola mata Resa langsung membulat sempurna, hingga ia langsung bangkit dari pembaringannya. Tampaknya wanita paruh baya itu sudah benar-benar sehat. Ia tak meringis menahan sakit pada bahunya, seperti kejadian tadi malam pikir Sean.“Ya ampun, isinya pasti rusak dong?” tanyanya panik seraya menyambar cepat ponsel miliknya.“Tenang saja, isinya masih bisa dipulihkan,” jawab Sean santai seraya menarik bangku besi bulat dan mendudukinya menghadap wanita paruh baya itu.Resa menghela napas lega. Ia lantas menimang-nimang ponsel kesayangannya. Tangannya juga langsung menyalakan ponsel miliknya dan memeriksa isinya.“Ternyata kamu bisa diandalkan juga,” guman Resa diikuti senyuman puasnya.
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.
“Tuan David, polisi menunggu di luar,” lapor anak buahnya tuan David saat menemuinya di ruang kerja.Baru saja lelaki tua itu menoleh. Istri dan anaknya langsung memasuki ruang kerjanya yang berada di rumah. Wajah mereka tampak cemas dan panik serta ketakutan.“Papi, ada apa ini? Kenapa polisi bilang Papi terlibat dalam kasus pembunuhan dan mafia tanah?” cecar Agnes dengan tatapan tak percaya.Tuan David tak langsung menjawab. Ia lalu menghampiri anak perempuannya dan tersenyum wibawa. Lelaki tua nan gagah itu pun menghapus air matanya lembut.“Sepertinya Papi salah memilih lawan, Sayang. Papi titip Mami, ya! Yang nurut sama Mami dan jadilah anak yang baik! Mulai saat ini Papi sudah tidak lagi bisa melindungimu, Sayang. Maafkan, Papi,” ucapnya lembut diakhiri tetes air mata pilunya.Agnes langsung menghambur pada pelukan ayahnya. Begitu juga dengan istri tuan David, ia menghambur pilu. Puas memeluk anak dan istri tercintanya, tuan David langsung melepaskan pelukan keduanya. “Papi har
“Nona Zia melewatkan sarapannya dan juga wajahnya sembam setelah tuan Alan menemuinya. Maafkan saya Tuan Sean, saya hanya cemas pada nona Zia.” Bi Asti menjelaskan dengan nada berat dan sedih dari balik panggilan telepon.“Tuan Alan? Ayahku datang ke mansion? Kapan ayahku datang?” tanya Sean mencoba tenang.Lelaki tampan itu memastikan ia tak salah menangkap penjelasan bi Asti sembari mengatur napasnya agar tidak panik. Sean menatap jam tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang.“Sekitar 15 menit setelah tuan Sean berangkat kerja. Nona Zia bahkan mengunci pintu kamarnya,” lapor bi Asti makin membuat Sean cemas.
"Aku memintamu baik-baik demi kebaikan Sean, karena aku tahu anak itu tidak akan mau melepaskan kamu, Nona Zia."Air mata Zia mendadak berhenti mendengar ucapan lelaki tua di hadapannya. Ia terlalu syok hingga bukan hanya air mata saja yang terhenti, tetapi napas dan jantungnya terasa berhenti. Zia menatap tak percaya pada tuan Alan.“Aku minta maaf jika harus berkata seperti ini, Nona Zia. Aku tahu kalau aku sangat egois, tetapi hanya Sean lah yang aku miliki. Kamu pasti tahu ‘kan kalau aku sendiri menjebloskan Felicia dan Niko ke penjara. Itu semua karena rasa sayangku pada Sean, jadi aku mohon padamu, Nona Zia!” Tuan Alan menautkan kedua tangannya di depan dada.Lelaki tua itu memohon diikuti air matanya yang menetes. Air mata Zia langsung membanjiri lagi. Ia tak akan tega melihat seorang ayah yang memohon padanya. Zia dilema.“Tuan Alan,” suara Zia parau dan lirih.Sakit hati dan tak tega. Tuan Alan terus menatapnya dengan air matanya yang banjir seperti dirinya. Sesak rasanya, te