Bibir pak Deka bergetar mengiringi kepergian Sean. Kemudian indera penglihatannya langsung dialihkan pada cangkir kopi yang belum disentuh oleh tamunya. Ancaman Sean berhasil menciptakan keringat dingin di wajahnya.Sementara Sean yang sudah memasuki mobilnya dengan tatapan penuh percaya diri langsung mendapatkan senyuman dari pak Sadin yang sudah di sampingnya. Tampaknya lelaki itu tak perlu menjelaskan rencananya pada asistennya. Mungkin, lelaki paruh baya berkacamata bulat itu adalah seorang cenayan yang bisa menebak jalan pikiran Sean.“Saya sudah meminta pak Dirman, mandor yang berada di sana untuk mengumpulkan warga yang berdemo,” lapor pak Sadin, kemudian ia menoleh pada lelaki yang duduk di kursi kemudi. “Kita ke hotel dulu, Pak!” titahnya pada si supir.
Sean tersenyum puas. Warga saling bersahutan, hingga akhirnya terdiam dan menerima penjelasan CEO muda pemilik hotel tersebut. Pak Sadin, tiba-tiba mendekati dirinya dan menunjukkan ponselnya, hingga membuat Sean terdiam sejenak.Lelaki beriris keperakan itu menghela napas panjang. Pesan yang ditunjukan pak Sadin hampir membuatnya tersentak. Namun, ia berhasil menguasai dirinya untuk lebih tenang dan kembali tersenyum.“Satu hal pasti dan harus Bapak-bapak dan Ibu-ibu ketahui, saya sudah melunasi semua tanah yang akan saya bangun ini. Semuanya sudah selesai ke proses alih nama, karena itulah saya terkejut, tiba-tiba mendengar kabar, ada pemilik tanah yang membatalkan proses jual beli tersebut padahal saya sudah membayar lunas,” ungkap Sean tegas.Fokus Sean kembali pada layar proyektor di belakangnya yang menampilkan dirinya dan beberapa warga di dalam sebuah ruangan. Sebuah foto yang bergantian menunjukan beberapa warga dengan memegang sebuah sertifikat. Para warga saling menunjuk wa
Selesai menangani warga tentang masalah tanah, Sean maminta pak Sadin menemui Resa. Tentu saja, ia masih punya urusan dengan ibu dari gadis kecilnya. Apalagi jika bukan masalah ponselnya.Senja hari tak menyurutkannya untuk menemui wanita paruh baya itu. Biarlah gadis kecilnya menunggu larut. Zia juga memerlukan waktu untuk mengistirahatkan tubuhnya.Walaupun Sean tidak yakin, Zia akan beristirahat. Ya, saat ini pasti gadis kecilnya masih menulis tentang dirinya, tentang perjalanannya menjadi pengusaha muda yang sukses. Bukankah itu yang sedang dikerjakan gadis kecilnya, menulis biografi hidupnya.“Sebaiknya Pak Sadin pulang saja dan siapkan semua berkas yang berhubungan dengan jual beli tanah itu! Saya akan menuntutnya agar masalahnya cepat ditangani, nanti saya pulang dengan supir,” perintah Sean pada asistennya yang duduk di sampingnya saat ia sudah melihat gedung rumah sakit tempat Resa dirawat.&n
Kedua lelaki itu saling bertukar pandang panik. Namun, keduanya memilih berbalik dan bersiap untuk kabur. Tentu saja, Sean tak akan membiarkannya.Tangan Sean langsung sigap menjangkau salah satu lengan dari mereka, seraya kakinya menendang kaki lelaki itu. Gerakan Sean terlalu cepat, hingga targetnya tak menyadarinya atau memang mereka mengira kalau CEO muda itu tak punya kemampuan melumpuhkan musuh. Lelaki itu langsung tumbang dengan posisi tubuh telungkup di lantai, sementara satu orangnya hanya bisa diam di antara anak tangga dan menatapnya cemas.Lutut Sean langsung menahan punggung targetnya, sementara tangannya memelintir tangan target ke belakang hingga lelaki itu mengerang kesakitan. “Saya tidak tahu siapa yang mengirimmu untuk mengikuti saya, tapi saya sedang tidak ada waktu untuk meladeni kalian! Katakan pada bos kalian, jangan main-main dengan saya atau mengusik saya!” gertak Sean penuh ancaman.L
Sean memberikan ponsel wanita paruh baya itu. Lagi pula ia sudah mempunyai salinannya, ‘kan. CEO muda dengan tinggi 182 cm itu hanya perlu tambahan informasi dari Resa.“Ponsel Bu Resa ditemukan di dalam selokan, jadi terpaksa harus diperbaiki dulu,” jelas Sean saat menyerahkan benda pipih tersebut.Kedua bola mata Resa langsung membulat sempurna, hingga ia langsung bangkit dari pembaringannya. Tampaknya wanita paruh baya itu sudah benar-benar sehat. Ia tak meringis menahan sakit pada bahunya, seperti kejadian tadi malam pikir Sean.“Ya ampun, isinya pasti rusak dong?” tanyanya panik seraya menyambar cepat ponsel miliknya.“Tenang saja, isinya masih bisa dipulihkan,” jawab Sean santai seraya menarik bangku besi bulat dan mendudukinya menghadap wanita paruh baya itu.Resa menghela napas lega. Ia lantas menimang-nimang ponsel kesayangannya. Tangannya juga langsung menyalakan ponsel miliknya dan memeriksa isinya.“Ternyata kamu bisa diandalkan juga,” guman Resa diikuti senyuman puasnya.
Sayangnya, senyuman puas Sean justru membuat Resa cemas. Namun, ia tak punya pilihan lain selain menceritakannya ‘kan? Pemuda tampan itu bisa lebih curiga jika ia menutupinya.“Apakah itu sulit?” tanya Sean tak sabar.Bukan tidak sabar. Wajah Resa makin jelas menunjukan rasa cemasnya. Tentu saja, Sean makin yakin kalau wanita paruh baya di hadapannya pasti menyimpan rahasia tentang David, dan ia yakin di luar dugaannya.“Ah, bukan begitu, Tampan,” sahut Resa seraya mengukir senyuman canggung. “Apa itu tidak akan berakibat buruk padamu nantinya?” kilahnya.“Maksudnya?” tanya Sean mencoba tenang.Resa berdeham sebentar. Kemudian ia mengatur posisi duduknya senyaman mungkin. Setidaknya ia harus mencoba membuat lelaki tampan di hadapannya untuk tak terlibat dengan David. Tentu saja, anak gadisnya sangat mencintai Sean.&nbs
Perlahan ia menarik kacamata bulat yang masih terselip di atas hidung mungilnya Zia. Ia tak boleh membangunkan gadis kecilnya. Secara perlahan dan hati-hati, ia menggeser tubuh Zia dan meraih pinggang serta kakinya, lalu menggendongnya.Ya, Sean harus memindahkan tubuh Zia ke atas ranjangnya. Tubuh gadis kecilnya terasa ringan dalam gendongannya, tetapi ia tetap menurunkan tubuh Zia secara perlahan setelah berada di atas kasur empuknya. Tangannya bergerak secara lembut meletakan kepala gadis kecilnya di atas bantal.Kemudian ia memasukan kakinya Zia ke dalam selimut dan menarik ujung hingga menutupi dada gadis kecilnya. Tangannya menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah cantiknya Zia. Namun, tiba-tiba ia menghentikan gerak bibirnya yang hendak mengecup bibir mungil gadis kecilnya.
Zia menggeliat diikuti suara seraknya. Perlahan kedua bola matanya terbuka. Ia mengedarkan indera penglihatannya pada sekeliling ruang kamarnya sembari mengumpulkan kesadarannya.“Siapa yang memindahkan aku ke kasur?” tanyanya pada dirinya heran.Gadis itu lalu menoleh pada meja di dekat ranjang empuknya. Tampaknya kesadaran gadis itu mulai terkumpul. Mejanya sudah rapi. Tak ada buku yang terbuka dan laptopnya pun sudah tertutup.“Jangan-jangan paman yang memindahkan aku ke kasur dan merapikan meja,” duganya seraya membawa tubuhnya turun dari ranjang yang dilapisi seprai putih polos.Kakinya langsung melangkah mendekati meja tersebut. Tangannya langsung meraih kertas tempel di atas laptopnya. Tampaknya Sean meninggalkan catatan untuknya.“Selamat pagi, Gadis Kecil. Kamu pasti ketiduran karena menunggu saya pulang? Saya belikan es krim gelato kesukaanmu dan sudah saya masukan ke freezer. Makanlah jika kamu sudah bangun! I love you,”Wajah Zia tersipu malu saat ia membaca tulisan tangan
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.
“Tuan David, polisi menunggu di luar,” lapor anak buahnya tuan David saat menemuinya di ruang kerja.Baru saja lelaki tua itu menoleh. Istri dan anaknya langsung memasuki ruang kerjanya yang berada di rumah. Wajah mereka tampak cemas dan panik serta ketakutan.“Papi, ada apa ini? Kenapa polisi bilang Papi terlibat dalam kasus pembunuhan dan mafia tanah?” cecar Agnes dengan tatapan tak percaya.Tuan David tak langsung menjawab. Ia lalu menghampiri anak perempuannya dan tersenyum wibawa. Lelaki tua nan gagah itu pun menghapus air matanya lembut.“Sepertinya Papi salah memilih lawan, Sayang. Papi titip Mami, ya! Yang nurut sama Mami dan jadilah anak yang baik! Mulai saat ini Papi sudah tidak lagi bisa melindungimu, Sayang. Maafkan, Papi,” ucapnya lembut diakhiri tetes air mata pilunya.Agnes langsung menghambur pada pelukan ayahnya. Begitu juga dengan istri tuan David, ia menghambur pilu. Puas memeluk anak dan istri tercintanya, tuan David langsung melepaskan pelukan keduanya. “Papi har
“Nona Zia melewatkan sarapannya dan juga wajahnya sembam setelah tuan Alan menemuinya. Maafkan saya Tuan Sean, saya hanya cemas pada nona Zia.” Bi Asti menjelaskan dengan nada berat dan sedih dari balik panggilan telepon.“Tuan Alan? Ayahku datang ke mansion? Kapan ayahku datang?” tanya Sean mencoba tenang.Lelaki tampan itu memastikan ia tak salah menangkap penjelasan bi Asti sembari mengatur napasnya agar tidak panik. Sean menatap jam tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang.“Sekitar 15 menit setelah tuan Sean berangkat kerja. Nona Zia bahkan mengunci pintu kamarnya,” lapor bi Asti makin membuat Sean cemas.
"Aku memintamu baik-baik demi kebaikan Sean, karena aku tahu anak itu tidak akan mau melepaskan kamu, Nona Zia."Air mata Zia mendadak berhenti mendengar ucapan lelaki tua di hadapannya. Ia terlalu syok hingga bukan hanya air mata saja yang terhenti, tetapi napas dan jantungnya terasa berhenti. Zia menatap tak percaya pada tuan Alan.“Aku minta maaf jika harus berkata seperti ini, Nona Zia. Aku tahu kalau aku sangat egois, tetapi hanya Sean lah yang aku miliki. Kamu pasti tahu ‘kan kalau aku sendiri menjebloskan Felicia dan Niko ke penjara. Itu semua karena rasa sayangku pada Sean, jadi aku mohon padamu, Nona Zia!” Tuan Alan menautkan kedua tangannya di depan dada.Lelaki tua itu memohon diikuti air matanya yang menetes. Air mata Zia langsung membanjiri lagi. Ia tak akan tega melihat seorang ayah yang memohon padanya. Zia dilema.“Tuan Alan,” suara Zia parau dan lirih.Sakit hati dan tak tega. Tuan Alan terus menatapnya dengan air matanya yang banjir seperti dirinya. Sesak rasanya, te