“Paman, bangun!”
Sean refleks membuka matanya mendengar panggilan gadis kecilnya. Indera penglihatannya langsung menangkap senyuman Zia. Tubuhnya langsung bergerak cepat bangun dari pembaringannya.
Tangannya bahkan mengucek matanya berkali-kali, memastikan gadis di hadapannya adalah Zia. “Gadis Kecil, kamu sudah sadar?” tanyanya dengan tatapan cemas.
Benar, Zia memang yang membangunkan dirinya. Namun, ia masih dihinggapi rasa cemas. Bukankah gadis kecilnya sedang berjuang menahan dirinya mengendalikan reaksi obat perangsangnya hingga efeknya menghilang.
“Tentu saja sudah,” jawab Zia.
Kemudian Zia menunjuk jendela kamar tersebut. Wajah lelaki itu melongo. Tampaknya ia tertidur lama, hingga tak menyadari sudah sang surya sudah menerobos melewati celah tingkap.
“Saya ketiduran,” gumannya saat mengikuti
Air mata haru Zia mengalir deras. Ia tak kuasa menahannya, dan memilih menyembunyikan wajahnya dalam pelukan Sean. Lelaki itu lantas membelai lembut rambut gadis kecilnya.“Kamu percaya ‘kan?” tanya Sean seraya terus membelai rambut Zia.“Aku percaya, Paman,” jawab Zia dalam isak harunya.“Maafkan saya, karena sudah membuatmu tersiksa, Gadis Kecil,” ucap Sean lirih.Tak terasa ia pun meneteskan air mata kekesalannya. Lama Zia tenggelam dalam pelukan Sean. Setelah hatinya tenang dan air matanya tak ada yang keluar, barulah ia melepaskan pelukan pamannya.Sean meraih dagu Zia dan mensejajarkan pandangan mereka. Kemudian ia menghapus sisa air mata pada kedua pipi gadis kecilnya. Wajahnya tampak sembab, tetapi tetap terlihat cantik di matanya.“Saya akan memesan sarapan dan menghubungi pak Sadin untuk mengantarmu pulang, yah,” tawar Sean seraya merapikan helaian rambut Zia yang menutupi wajahnya.Kedua bola mata Zia refleks membulat. Wajahnya berubah cemas. Ia sedikit cemas dengan masakan
Sean sudah bersiap dengan jas formalnya di depan pintu ruang jumpa pers. Tatapannya tajam dan menahan rasa kesal yang terpendam dalam. Sementara pak Sadin tersenyum bangga melihat kegigihan atasannya tersebut.“Nona Zia sudah sampai di mansion, Tuan,” laporan pak Sadin langsung membuat wajah Sean sedikit lega.“Terima kasih, Pak Sadin,” sahut Sean seraya mengukir senyuman tulus.“Sean!”Suara panggilan untuk lelaki itu langsung menghilangkan senyumannya. Sean tak menoleh, ia tetap berada pada posisi berdirinya menghadap pintu besar yang menjadi penghalang dirinya dan ruang pers. Hingga si pemilik suara mendekati dirinya dan berdiri di hadapannya, lantas memberikan senyuman untuknya.“Kamu sudah siap, Agnes?” tanya Sean tersenyum tipis.Wanita di hadapannya memutar kedua bola matanya sebentar. “Apa kita per
“Bagaimana tanggapan Nona Agnes Putri? Apakah benar yang dikatakan Tuan Sean?” Sean menjauhkan wajahnya dari mikrofon kecil di hadapannya saat mendengar pertanyaan dari salah satu wartawan yang bertanya pada Agnes. Wanita di sampingnya bersiap menjawab pertanyaannya, ia bahkan berdam sebanyak dua kali sebelum menjawab.Tiba-tiba Sean menggerakkan kepalanya mendekat pada telinga Agnes. “Saya lupa memberitahu padamu. Jika kamu menyanggah ucapan saya, kamu akan dikenal sebagai seorang model yang tergila-gila pada lelaki, dan jangan lupakan posisi saya sebagai seorang pengusaha sukses. Itu akan membuat karirmu hancur dalam sekejap,” bisiknya pelan sekali, tetapi langsung membuat wajah Agnes merah padam.“Perhatikan wajahmu! Kita sedang berada di acara jumpa pers yang tersiar langsung. Kamu pasti tidak ingin wajah cantikmu terlihat jelek, ‘kan?” tandas Sean mengakhiri bisikannya.Bisikan Sean yang terakhir berhasil membuat wajah Agnes tak karuan. Namun, wanita itu memilih mengatur napasny
Sean menghentikan langkah kakinya. Ia lantas berbalik dan tersenyum penuh kemenangan. “Tentu saja. Silahkan kita bicara di ruangan kerja saya!” ucap Sean seraya mengulurkan tangannya ke arah depannya.Wajah Agnes merah padam. Namun, ia menahan dirinya agar emosinya tidak meledak di sana. Wanita cantik itu mengekori Sean menuju ruang kerjanya.“Apa maksudmu, Sean?” berang Agnes setelah pintu ruangan kerjanya Sean tertutup.“Silahkan duduk dulu!” Sean menunjuk sofa di depan meja kerjanya dan tersenyum sinis pada wanita di hadapannya.Plak! Agnes menangkis kasar lengan Sean yang menunjukkan letak sofa padanya. Tubuhnya terasa memanas melihat senyuman lelaki di hadapannya. Agnes dapat menebak, memang itulah rencananya.“Jangan sok baik! Jelaskan padaku apa tujuanmu?” geram Agnes seraya melentikkan telunjuknya tepat pada w
Benar. Sean tahu Agnes dan keluarganya. Mereka terkenal arogan dan tak mau kalah. Tampaknya ia harus bersiap.Atensi Sean buyar saat mendengar ketukan pintu ruangan kerjanya. “Masuk!” teriaknya.Pak Sadin muncul setelah Sean berteriak. Langkah sekretarisnya langsung tertuju pada sofa tempat Sean masih bersandar. Ia lalu menyerahkan sebuah map pada atasannya.“Ini adalah informasi tentang wartawan yang selama ini mengikutimu, Tuan,” jelas pak Sadin.Sean menghela napas panjang lagi. Tampaknya ia tak berniat membukanya. Lelaki itu fokus pada map yang belum diserahkan sekretarisnya.“Ah, yang ini adalah informasi tentang keluarganya Arya, Tuan.” Pak Sadin menyerahkan map yang lebih membuat Sean tertarik.“Sepertinya Arya mendapatkan bayaran mahal. Saya memeriksa kekayaan milik keluarganya. Beberapa aset yang baru saja mereka beli bern
“Wah, ternyata si tampan itu seorang CEO?” Resa menatap layar kaca LED datar di hadapannya yang tengah menampilkan Sean. Acara jumpa pers yang tengah tersiar secara langsung di televisi sedang disaksikan oleh Resa dan anak buahnya di kamar pegawai bordil. Kegiatan rutin mereka, bersantai menonton acara tv sebelum malamnya bekerja menjajakan tubuh mereka.“Mami, kenal CEO itu?” tanya salah satu gadis yang paling muda.“Tapi, kayaknya tampangnya tidak asing deh,” sahut wanita yang tampak sebaya dengan Resa.Resa terdiam sesaat. Tentu saja ia mengenal Sean, tetapi ia sudah berjanji untuk pura-pura tak mengenalnya, ‘kan? Ya, wanita itu sudah menerima uang dari CEO tersebut sewaktu di rumah sakit.“Aku ingat. CEO pernah nemuin Mami, kan? Sebelum ada penggerebekan polisi itu,” celetuk salah satu gadis di sana saat Resa tengah berpikir.Sontak saja semua wanita dan gadis muda yang ada di sana menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan penasaran. Kedua bola mata Resa bergerak ke kanan dan
Prang! Suara piring yang meluncur terjun ke atas lantai. Zia tampak syok. Piring tersebut lepas dari tangannya saat ia baru saja melangkah dari meja makan dan hendak membawanya ke tempat cuci piring. “Nona Zia?” suara bi Asti terdengar panik mendekati dirinya. “Nona tidak apa-apa?” tanyanya panik. Wajah Zia terlihat pucat. Ia merasakan tubuhnya seperti melemas. Bi Asti langsung meraih lengan dan pinggangnya, lalu membawa Zia kembali duduk di kursi tadi. “Duduk dulu, Nona!” perintah bi Asti setelah memastikan Zia duduk dengan baik. Wanita di hadapan Zia memeriksa tubuhnya dengan teliti. “Nona, ada yang terluka, ‘kan? Wajah Nona pucat sekali?” tanya Bi Asti dengan tatapan cemas. Zia hanya menggeleng. Ia lantas mengatur napasnya perlahan. Kemudian bi Asti meraih gelas kosong di hadapan Zia dan mengisinya dengan air mineral, lalu memberikannya pada gadis tersebut. &
Sayangnya bi Asti tak memenuhi janjinya pada Zia. Setelah satu jam mengantarkan gadis itu pada kamarnya, ia menghubungi Sean dan mengabarkan kondisi gadis tersebut. Tentu saja, lelaki itu bersedia pulang hanya untuk memeriksa kondisi gadis kecilnya.Sean tak hanya pulang seorang diri. Ia datang dengan dokter pribadinya. Sama seperti dugaan Zia, Sean juga mengira sakitnya Zia karena efek samping obat perangsang. Ia menceritakan hal tersebut pada dokter pribadinya.“Maafkan saya, Tuan. Kalau sudah membuat Tuan khawatir, tapi tadi nona Zia benar-benar pucat sekali,” adu bi Asti dengan tatapan cemasnya.“Tidak apa-apa, Bi Asti. Saya seharusnya berterima kasih, kamu sudah menjaga Zia,” sahut Sean ramah. Kemudian Sean menoleh pada dokter lelaki di sampingnya.
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.
“Tuan David, polisi menunggu di luar,” lapor anak buahnya tuan David saat menemuinya di ruang kerja.Baru saja lelaki tua itu menoleh. Istri dan anaknya langsung memasuki ruang kerjanya yang berada di rumah. Wajah mereka tampak cemas dan panik serta ketakutan.“Papi, ada apa ini? Kenapa polisi bilang Papi terlibat dalam kasus pembunuhan dan mafia tanah?” cecar Agnes dengan tatapan tak percaya.Tuan David tak langsung menjawab. Ia lalu menghampiri anak perempuannya dan tersenyum wibawa. Lelaki tua nan gagah itu pun menghapus air matanya lembut.“Sepertinya Papi salah memilih lawan, Sayang. Papi titip Mami, ya! Yang nurut sama Mami dan jadilah anak yang baik! Mulai saat ini Papi sudah tidak lagi bisa melindungimu, Sayang. Maafkan, Papi,” ucapnya lembut diakhiri tetes air mata pilunya.Agnes langsung menghambur pada pelukan ayahnya. Begitu juga dengan istri tuan David, ia menghambur pilu. Puas memeluk anak dan istri tercintanya, tuan David langsung melepaskan pelukan keduanya. “Papi har
“Nona Zia melewatkan sarapannya dan juga wajahnya sembam setelah tuan Alan menemuinya. Maafkan saya Tuan Sean, saya hanya cemas pada nona Zia.” Bi Asti menjelaskan dengan nada berat dan sedih dari balik panggilan telepon.“Tuan Alan? Ayahku datang ke mansion? Kapan ayahku datang?” tanya Sean mencoba tenang.Lelaki tampan itu memastikan ia tak salah menangkap penjelasan bi Asti sembari mengatur napasnya agar tidak panik. Sean menatap jam tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang.“Sekitar 15 menit setelah tuan Sean berangkat kerja. Nona Zia bahkan mengunci pintu kamarnya,” lapor bi Asti makin membuat Sean cemas.
"Aku memintamu baik-baik demi kebaikan Sean, karena aku tahu anak itu tidak akan mau melepaskan kamu, Nona Zia."Air mata Zia mendadak berhenti mendengar ucapan lelaki tua di hadapannya. Ia terlalu syok hingga bukan hanya air mata saja yang terhenti, tetapi napas dan jantungnya terasa berhenti. Zia menatap tak percaya pada tuan Alan.“Aku minta maaf jika harus berkata seperti ini, Nona Zia. Aku tahu kalau aku sangat egois, tetapi hanya Sean lah yang aku miliki. Kamu pasti tahu ‘kan kalau aku sendiri menjebloskan Felicia dan Niko ke penjara. Itu semua karena rasa sayangku pada Sean, jadi aku mohon padamu, Nona Zia!” Tuan Alan menautkan kedua tangannya di depan dada.Lelaki tua itu memohon diikuti air matanya yang menetes. Air mata Zia langsung membanjiri lagi. Ia tak akan tega melihat seorang ayah yang memohon padanya. Zia dilema.“Tuan Alan,” suara Zia parau dan lirih.Sakit hati dan tak tega. Tuan Alan terus menatapnya dengan air matanya yang banjir seperti dirinya. Sesak rasanya, te