Sean sudah bersiap dengan jas formalnya di depan pintu ruang jumpa pers. Tatapannya tajam dan menahan rasa kesal yang terpendam dalam. Sementara pak Sadin tersenyum bangga melihat kegigihan atasannya tersebut.
“Nona Zia sudah sampai di mansion, Tuan,” laporan pak Sadin langsung membuat wajah Sean sedikit lega.
“Terima kasih, Pak Sadin,” sahut Sean seraya mengukir senyuman tulus.
“Sean!”
Suara panggilan untuk lelaki itu langsung menghilangkan senyumannya. Sean tak menoleh, ia tetap berada pada posisi berdirinya menghadap pintu besar yang menjadi penghalang dirinya dan ruang pers. Hingga si pemilik suara mendekati dirinya dan berdiri di hadapannya, lantas memberikan senyuman untuknya.
“Kamu sudah siap, Agnes?” tanya Sean tersenyum tipis.
Wanita di hadapannya memutar kedua bola matanya sebentar. “Apa kita per
“Bagaimana tanggapan Nona Agnes Putri? Apakah benar yang dikatakan Tuan Sean?” Sean menjauhkan wajahnya dari mikrofon kecil di hadapannya saat mendengar pertanyaan dari salah satu wartawan yang bertanya pada Agnes. Wanita di sampingnya bersiap menjawab pertanyaannya, ia bahkan berdam sebanyak dua kali sebelum menjawab.Tiba-tiba Sean menggerakkan kepalanya mendekat pada telinga Agnes. “Saya lupa memberitahu padamu. Jika kamu menyanggah ucapan saya, kamu akan dikenal sebagai seorang model yang tergila-gila pada lelaki, dan jangan lupakan posisi saya sebagai seorang pengusaha sukses. Itu akan membuat karirmu hancur dalam sekejap,” bisiknya pelan sekali, tetapi langsung membuat wajah Agnes merah padam.“Perhatikan wajahmu! Kita sedang berada di acara jumpa pers yang tersiar langsung. Kamu pasti tidak ingin wajah cantikmu terlihat jelek, ‘kan?” tandas Sean mengakhiri bisikannya.Bisikan Sean yang terakhir berhasil membuat wajah Agnes tak karuan. Namun, wanita itu memilih mengatur napasny
Sean menghentikan langkah kakinya. Ia lantas berbalik dan tersenyum penuh kemenangan. “Tentu saja. Silahkan kita bicara di ruangan kerja saya!” ucap Sean seraya mengulurkan tangannya ke arah depannya.Wajah Agnes merah padam. Namun, ia menahan dirinya agar emosinya tidak meledak di sana. Wanita cantik itu mengekori Sean menuju ruang kerjanya.“Apa maksudmu, Sean?” berang Agnes setelah pintu ruangan kerjanya Sean tertutup.“Silahkan duduk dulu!” Sean menunjuk sofa di depan meja kerjanya dan tersenyum sinis pada wanita di hadapannya.Plak! Agnes menangkis kasar lengan Sean yang menunjukkan letak sofa padanya. Tubuhnya terasa memanas melihat senyuman lelaki di hadapannya. Agnes dapat menebak, memang itulah rencananya.“Jangan sok baik! Jelaskan padaku apa tujuanmu?” geram Agnes seraya melentikkan telunjuknya tepat pada w
Benar. Sean tahu Agnes dan keluarganya. Mereka terkenal arogan dan tak mau kalah. Tampaknya ia harus bersiap.Atensi Sean buyar saat mendengar ketukan pintu ruangan kerjanya. “Masuk!” teriaknya.Pak Sadin muncul setelah Sean berteriak. Langkah sekretarisnya langsung tertuju pada sofa tempat Sean masih bersandar. Ia lalu menyerahkan sebuah map pada atasannya.“Ini adalah informasi tentang wartawan yang selama ini mengikutimu, Tuan,” jelas pak Sadin.Sean menghela napas panjang lagi. Tampaknya ia tak berniat membukanya. Lelaki itu fokus pada map yang belum diserahkan sekretarisnya.“Ah, yang ini adalah informasi tentang keluarganya Arya, Tuan.” Pak Sadin menyerahkan map yang lebih membuat Sean tertarik.“Sepertinya Arya mendapatkan bayaran mahal. Saya memeriksa kekayaan milik keluarganya. Beberapa aset yang baru saja mereka beli bern
“Wah, ternyata si tampan itu seorang CEO?” Resa menatap layar kaca LED datar di hadapannya yang tengah menampilkan Sean. Acara jumpa pers yang tengah tersiar secara langsung di televisi sedang disaksikan oleh Resa dan anak buahnya di kamar pegawai bordil. Kegiatan rutin mereka, bersantai menonton acara tv sebelum malamnya bekerja menjajakan tubuh mereka.“Mami, kenal CEO itu?” tanya salah satu gadis yang paling muda.“Tapi, kayaknya tampangnya tidak asing deh,” sahut wanita yang tampak sebaya dengan Resa.Resa terdiam sesaat. Tentu saja ia mengenal Sean, tetapi ia sudah berjanji untuk pura-pura tak mengenalnya, ‘kan? Ya, wanita itu sudah menerima uang dari CEO tersebut sewaktu di rumah sakit.“Aku ingat. CEO pernah nemuin Mami, kan? Sebelum ada penggerebekan polisi itu,” celetuk salah satu gadis di sana saat Resa tengah berpikir.Sontak saja semua wanita dan gadis muda yang ada di sana menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan penasaran. Kedua bola mata Resa bergerak ke kanan dan
Prang! Suara piring yang meluncur terjun ke atas lantai. Zia tampak syok. Piring tersebut lepas dari tangannya saat ia baru saja melangkah dari meja makan dan hendak membawanya ke tempat cuci piring. “Nona Zia?” suara bi Asti terdengar panik mendekati dirinya. “Nona tidak apa-apa?” tanyanya panik. Wajah Zia terlihat pucat. Ia merasakan tubuhnya seperti melemas. Bi Asti langsung meraih lengan dan pinggangnya, lalu membawa Zia kembali duduk di kursi tadi. “Duduk dulu, Nona!” perintah bi Asti setelah memastikan Zia duduk dengan baik. Wanita di hadapan Zia memeriksa tubuhnya dengan teliti. “Nona, ada yang terluka, ‘kan? Wajah Nona pucat sekali?” tanya Bi Asti dengan tatapan cemas. Zia hanya menggeleng. Ia lantas mengatur napasnya perlahan. Kemudian bi Asti meraih gelas kosong di hadapan Zia dan mengisinya dengan air mineral, lalu memberikannya pada gadis tersebut. &
Sayangnya bi Asti tak memenuhi janjinya pada Zia. Setelah satu jam mengantarkan gadis itu pada kamarnya, ia menghubungi Sean dan mengabarkan kondisi gadis tersebut. Tentu saja, lelaki itu bersedia pulang hanya untuk memeriksa kondisi gadis kecilnya.Sean tak hanya pulang seorang diri. Ia datang dengan dokter pribadinya. Sama seperti dugaan Zia, Sean juga mengira sakitnya Zia karena efek samping obat perangsang. Ia menceritakan hal tersebut pada dokter pribadinya.“Maafkan saya, Tuan. Kalau sudah membuat Tuan khawatir, tapi tadi nona Zia benar-benar pucat sekali,” adu bi Asti dengan tatapan cemasnya.“Tidak apa-apa, Bi Asti. Saya seharusnya berterima kasih, kamu sudah menjaga Zia,” sahut Sean ramah. Kemudian Sean menoleh pada dokter lelaki di sampingnya.
“Sepertinya efek demam, jadi ucapanmu ngelantur,” ucap Sean seraya bangkit dari duduknya di tepi ranjang. “Sebaiknya kamu istirahat saja dan jangan banyak pikiran!”Sean bahkan tak menatap wajah Zia yang tengah menatapnya lemas. Lelaki itu memilih merapikan selimut pada tubuh gadis kecilnya, menyembunyikan rasa marah dan kesalnya. Tangan Zia langsung meraih tangan pamannya sebelum lelaki itu memutar tubuhnya.“Paman, marah padaku?” tanya Zia lirih.Pamannya terdiam. Sean masih enggan menatap wajah gadis kecilnya. Ia bahkan mengalihkan pandangannya pada botol infus di dekat kepalanya seraya mengatur napasnya agar emosinya mereda.“Sudahlah, istirahat saja!” pinta Sean memberanikan diri menatap Zia.Zia menatap lesu pada lelaki di hadapannya. “Paman, jangan marah padaku! Aku hanya—““Hanya
Zia tersenyum. Sayangnya Sean hanya terdiam. Ia seperti tengan mencari kesungguhan pada wajah gadis kecilnya. Hingga Zia pun memasang wajah sedih.“Paman, nggak percaya padaku?” pancing Zia.Sean berdesis pelan, kemudian tersenyum. “Tapi kamu harus janji kalau—““Aku janji, Paman. Aku tidak akan mengatakan kalimat itu lagi, aku janji akan tetap berada di samping Paman dan menemani Paman,” Zia memasang wajah sungguh-sungguh. “Paman percaya ‘kan padaku?”Sean tersenyum. Ia lalu mengangguk setelah yakin dengan ucapan gadis kecilnya. Kemudian ia mendekatkan satu tangannya pada wajah Zia, menghapus sisa air mata pada kedua pipi gadis kecilnya.“Saya harus pergi ke kantor lagi, kamu istirahat yah!” ucap Sean lembut dan langsung dijawab anggukan Zia.Zia membawa tangan kiri Sean yang berada dala