Prang! Suara piring yang meluncur terjun ke atas lantai. Zia tampak syok. Piring tersebut lepas dari tangannya saat ia baru saja melangkah dari meja makan dan hendak membawanya ke tempat cuci piring. “Nona Zia?” suara bi Asti terdengar panik mendekati dirinya. “Nona tidak apa-apa?” tanyanya panik. Wajah Zia terlihat pucat. Ia merasakan tubuhnya seperti melemas. Bi Asti langsung meraih lengan dan pinggangnya, lalu membawa Zia kembali duduk di kursi tadi. “Duduk dulu, Nona!” perintah bi Asti setelah memastikan Zia duduk dengan baik. Wanita di hadapan Zia memeriksa tubuhnya dengan teliti. “Nona, ada yang terluka, ‘kan? Wajah Nona pucat sekali?” tanya Bi Asti dengan tatapan cemas. Zia hanya menggeleng. Ia lantas mengatur napasnya perlahan. Kemudian bi Asti meraih gelas kosong di hadapan Zia dan mengisinya dengan air mineral, lalu memberikannya pada gadis tersebut. &
Sayangnya bi Asti tak memenuhi janjinya pada Zia. Setelah satu jam mengantarkan gadis itu pada kamarnya, ia menghubungi Sean dan mengabarkan kondisi gadis tersebut. Tentu saja, lelaki itu bersedia pulang hanya untuk memeriksa kondisi gadis kecilnya.Sean tak hanya pulang seorang diri. Ia datang dengan dokter pribadinya. Sama seperti dugaan Zia, Sean juga mengira sakitnya Zia karena efek samping obat perangsang. Ia menceritakan hal tersebut pada dokter pribadinya.“Maafkan saya, Tuan. Kalau sudah membuat Tuan khawatir, tapi tadi nona Zia benar-benar pucat sekali,” adu bi Asti dengan tatapan cemasnya.“Tidak apa-apa, Bi Asti. Saya seharusnya berterima kasih, kamu sudah menjaga Zia,” sahut Sean ramah. Kemudian Sean menoleh pada dokter lelaki di sampingnya.
“Sepertinya efek demam, jadi ucapanmu ngelantur,” ucap Sean seraya bangkit dari duduknya di tepi ranjang. “Sebaiknya kamu istirahat saja dan jangan banyak pikiran!”Sean bahkan tak menatap wajah Zia yang tengah menatapnya lemas. Lelaki itu memilih merapikan selimut pada tubuh gadis kecilnya, menyembunyikan rasa marah dan kesalnya. Tangan Zia langsung meraih tangan pamannya sebelum lelaki itu memutar tubuhnya.“Paman, marah padaku?” tanya Zia lirih.Pamannya terdiam. Sean masih enggan menatap wajah gadis kecilnya. Ia bahkan mengalihkan pandangannya pada botol infus di dekat kepalanya seraya mengatur napasnya agar emosinya mereda.“Sudahlah, istirahat saja!” pinta Sean memberanikan diri menatap Zia.Zia menatap lesu pada lelaki di hadapannya. “Paman, jangan marah padaku! Aku hanya—““Hanya
Zia tersenyum. Sayangnya Sean hanya terdiam. Ia seperti tengan mencari kesungguhan pada wajah gadis kecilnya. Hingga Zia pun memasang wajah sedih.“Paman, nggak percaya padaku?” pancing Zia.Sean berdesis pelan, kemudian tersenyum. “Tapi kamu harus janji kalau—““Aku janji, Paman. Aku tidak akan mengatakan kalimat itu lagi, aku janji akan tetap berada di samping Paman dan menemani Paman,” Zia memasang wajah sungguh-sungguh. “Paman percaya ‘kan padaku?”Sean tersenyum. Ia lalu mengangguk setelah yakin dengan ucapan gadis kecilnya. Kemudian ia mendekatkan satu tangannya pada wajah Zia, menghapus sisa air mata pada kedua pipi gadis kecilnya.“Saya harus pergi ke kantor lagi, kamu istirahat yah!” ucap Sean lembut dan langsung dijawab anggukan Zia.Zia membawa tangan kiri Sean yang berada dala
“Pekerjaan? Kamu jangan mencoba mengubah topik, Sean! Aku tahu siapa kamu. Kamu belum pernah bersikap seperti ini pada seorang gadis,” cicit dokter Ryan.Tangan Sean merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah plastik berisi botol beling kecil, lalu memberikannya pada dokter di sampingnya. Dokter Ryan mengerutkan dahinya seraya menerima pemberian sahabatnya. Ia lalu menatap Sean bingung.“Itu adalah botol yang berisi obat perangsang. Seharusnya makanan yang sudah dicampur obat perangsang itu aku yang memakannya, tetapi gadis itu lah yang memakannya. Seharusnya saya yang memakan hidangan berisi obat perangsang itu,” terang Sean lugas.Kedua bola mata lelaki di sampingnya membulat sempurna. Ia menatap tajam dan teliti pada botol super kecil yang terbungkus plastik. Sean memperhatikan wajah dokter Ryan dengan seksama.“Jadi gadis itu...,” dokter Ryan tak meneruskan ka
Indera penglihatan Sean mengikuti arah telunjuk pak Sadin. Kedua bola mata lelaki tampan itu membulat sempurna. Ia tampak terkejut seperti asisten pribadinya.“Tiara Dewi?” “Benar, Tuan. Saya yakin itu nona Tiara Dewi, pelayan yang menerobos masuk ke kamar rahasia Tuan Sean,” pak Sadin membenarkan dugaan atasannya. “Perlukan saya keluar untuk mematikannya?”Sean mengangkat tangan kanannya, isyarat tak menyetujui penawaran pak Sadin. Ia lantas mengatur napasnya sejenak. Sementara indera penglihatannya terus menatap pada wanita tersebut. Tiara, pelayan yang sudah ia pecat tengah menemui seorang lelaki. Sean meneliti lebih jeli pada wajah lelaki itu. Namun, sayang lelaki yang ditemui Tiara memakai topi hitam hingga menutupi matanya. Tak lama senyuman Sean menyimpul tipis saat menyadari wajah Tiara tampak gelisah, dan lelaki yang ditemuinya menaiki motornya, lantas meninggalkan wanita itu. “Ikuti lelaki yang ditemui wanita itu!” perintah Sean saat menyadari Tiara.“Tapi, Tuan. Bagaiman
Tubuh Sean bergerak dari sandaran duduknya. Ia kembali merapikan jas kasualnya. Kemudian Sean menatap pak Sadin dan tersenyum lebar. “Semoga berjalan lancar, Tuan,” ucap pak Sadin membalas senyuman atasannya. “Terima kasih, Pak Sadin,” sahut Sean santai. Pak Sadin langsung keluar dari mobilnya. Kemudian ia bergegas menuju pintu belakang, tempat Sean berada untuk membukakan pintunya. Sean pun keluar dari mobilnya dengan percaya diri. Langkah kaki Sean berjalan penuh wibawa menuju gedung yang dimasuki pemotor tadi. Sementara pak Sadin yang mengekori atasannya, tak kalah menawan dari Sean. Hanya jauh lebih tua dari Sean saja. Saat mendekat pada pintu lobi gedung, pak Sadin mendahului langkah Sean hanya untuk membukakan pintu untuknya. Tentu saja hal itu agar Sean terlihat lebih berwibawa di mata orang lain. Lelaki tua itu juga tak keberatan, karena memang itu adalah salah satu tugasnya. Ternyata pemimpin redaksi gedung tersebut sudah berdiri di dalam lobi. Apalagi kalau bukan untuk
“Bagaimana, Tuan Sean? Apakah ada yang kurang dari anggota staf saya?” pertanyaan pak Simon langsung membuat fokus Sean pada lelaki itu terputus. Cepat-cepat Sean mengukir senyuman lebar dan menatap pak Simon. “Saya menyukai semangat bekerja mereka. Tampaknya mereka fokus dan mencintai pekerjaan mereka ... mm, saya tak melihat wajah penuh beban pada wajah mereka,” jawabnya dan menimpali dengan candaan. Pak Simon tertawa kecil. Tentu saja Sean ikut tertawa kecil pula. Tawa Sean terhenti saat lelaki yang tadi berdiri di depan mesin fotocopy sudah selesai dengan pekerjaannya. Tampaknya jalan satu-satunya yang harus dilewati lelaki itu adalah melintas di hadapan Sean. Ya, itu adalah kesempatan Sean untuk mencari tahu nama lelaki itu. Pak Sadin pun tampaknya bersiap membaca dan menghafalkan namanya pada tanda karyawan yang mengalung pada lehernya. Anwar Fuadi, nama yang berhasil Sean dan pak Sadin ingat. &