Kanya POV
Setelah pergi meninggalkan Samuel di restoran dengan marah, aku bahkan tak mengangkat panggilan telepon pria itu dan langsung mematikan ponselku. Aku tahu dia khawatir padaku, tapi aku paling tidak suka jika sahabatku sendiri tidak percaya padaku.
Dia hanya bergeming menatapku dengan manik matanya yang tak memiliki kepercayaan padaku. Dulu Samuel akan percaya pada setiap perkataanku, aku tahu dia menganggapku setengah gila dan pasti akan menyuruhku pergi menemui psikiater.
Tak terasa sekarang sudah jam 9 malam, aku masih duduk di bawah pohon kelapa sejak kedatanganku ke pantai ini. Orang-orang masih ramai bermain dengan ombak bersama pasangan mereka.
Sedang, aku sendiri meratapi nasibku yang dianggap setengah gila.
Tunggu. Jam 9 malam dan di pantai?
“Gue harus pulang sekarang. Gue belum nulis dari pagi, malah sibuk ngurus hantu. Hehe.” Terkekeh garing karena baru menyadari kalau hari ini aku belum menulis chapter selanjutnya dari novel keduaku.
Jika malam ini aku tidak dapat menyelesaikan satu chapter, maka popularitas besok pasti akan menurun.
Sebelum bangkit dari dudukku, aku mengambil ponsel dan menyalakannya kembali. Mencari aplikasi taksi online dan semoga kali ini respon mereka cepat agar aku bisa kembali ke apartemen dengan segera.
“Selesai. Katanya harus tunggu 10 menit. 10 menit, oke!”
Aku bangkit dari dudukku dan berjalan sebentar ke arah tepi pantai, berhenti di sana dan membiarkan ombak menyapu kakiku meninggalkan butiran-butiran pasir halus di atas punggung kakiku.
Malam ini sangat dingin, aku hanya memakai blouse tipis. Angin pantai membelai rambutku yang terjuntai, aku sengaja menggerainya agar tengkuk dan leherku lebih hangat. Air pantai yang menyapu kakiku masih terasa hangat karena panas terik matahari yang menyengat tadi siang.
Tadi siang aku belum sempat makan, saat ini aku merasa lambungku butuh diisi oleh makanan hangat dan lezat. Aku mengusap perutku yang lapar sembari membayangkan kebodohanku. Hanya karena marah aku tidak jadi makan siang dan meninggalkan Samuel dengan amarah.
“Sam pasti udah nungguin gue di apartemen. Biarin aja.” Melirik pada jam tanganku, sebentar lagi taksi online yang aku pesan akan segera tiba. Sebelum beranjak dari sana, aku mendongak mengamati kerlip bintang. Langit nampak cerah dihiasi oleh jutaan manik-manik berwarna putih yang disebut bintang.
Menghela napas pelan sembari menatap benda langit itu. “Gue juga pengen bersinar, dan satu hal lagi; gue nggak gila. Kenapa nggak ada yang percaya sama gue? Kalau Eros nggak percaya wajar aja karena kita baru kenal, tapi Sam ... kita sudah lama bersahabat dan dia malah nggak percaya sama gue?” menepuk dahiku keras agar aku tersadar. “Mau ada yang percaya atau nggak. Gue nggak lagi berhalusinasi.”
Beranjak dari tempatku berdiri, melangkahkan kaki ke tempat parkir dan menunggu kedatangan taksi online yang kupesan tadi. Beberapa saat kemudian sebuah mobil menghampiriku.
“Mbak Kanya yang pesan taksi online tadi?” pengemudi bertanya ramah setelah dia menurunkan kaca mobilnya.
“Iya.” Sahutku singkat.
“Silahkan masuk Mbak.”
***
Dari pantai menuju apartemenku yang berada di tengah kota hanya memakan waktu sekitar 35 menit menggunakan mobil, namun jalan yang kami lalui saat ini sungguh sepi. Meski hanya setengah jam lebih, namun aku merasa kami sudah berkendara selama berjam-jam.
Aku merasa jenuh di dalam mobil dan memutuskan untuk memutar MP3 pada ponselku, sebelum sopir taksi bertanya padaku.
“Mbak ngapain pergi ke pantai sendirian malam-malam begini?”
“Cari angin segar, pak. Pikiran saya mumet.” Sahutku seraya membenarkan headset yang melilit bagaikan benang kusut di tanganku.
Kupasang kedua headset tersebut dan menyumbat kedua indra pendengaranku, mentap lurus ke depan—ke jalan sepi yang akan kami lewati sebentar lagi. Agar menghemat waktu perjalanan, kami mengambil jalan pintas setelah sopir bertanya tadi dan aku memberinya ijin.
Tidak menyangka kalau jalan ini akan sangat sepi dan nampak mencekam. Mengedarkan pandanganku ke sekitar dari kanan ke kiri, berharap tidak ada sesuatu yang buruk menghadang di depan kami.
“Mbak takut, ya? Nggak usah takut Mbak, saya sudah sering lewat sini.” Sambil tersenyum menatapku dari kaca spion depan. Sopir taksi meyakinkanku bahwa tidak ada yang menghadang jalan kami.
Bukan manusia yang aku pikirkan saat ini karena kita bisa memanggil polisi. Kantor polisi juga tidak begitu jauh, yang aku takutkan bagaimana kalau hantu tadi siang menghadang di depan atau mengikuti di belakang mungkin.
Jika aku mengatakan hal itu, apakah dia juga akan menganggapku gila?
“Begitu, ya?” terkekeh garing aku menyadarkan kepalaku ke sandaran kursi. “Bapak fokus aja nyetir, saya mau istirahat sebentar.”
“Iya, Mbak.”
Aku berusaha memejamkan mataku karena jalan di depan kami terasa amat mencekam dan nampak angker. Aku bisa melihat kabut putih di depan atau mataku yang bermasalah? Menggeleng pelan tanpa sengaja aku mengarahkan pandangan ke samping kanan.
Mataku membelalak, sementara mulutku menganga memperhatikan seseorang berdiri agak jauh di pinggir jalan mengenakan jas hujan berwarna merah sangat mencolok, tangan kirinya membawa sebuah sekop. Wajahnya tak tertangkap oleh netraku karena mobil melaju dengan cepat.
Merasa ada yang aneh dan cuaca malam ini cerah-cerah saja, mengapa orang itu memakai jas hujan?
“Pak tadi lihat ada orang berdiri agak jauh di pinggir jalan, dia pakai jas hujan warna merah?” tanganku gemetar, segera bertanya pada sopir.
Sopir melirikku dari kaca spionnya, “Nggak ada Mbak, cuaca cerah begini mana ada yang pakai jas hujan. Apalagi warna merah pasti langsung tertangkap mata saya. Tapi tadi saya benar-benar nggak lihat.”
Aneh. Apakah tadi hanya orang iseng atau lagi-lagi halusinasiku?
Menengok ke belakang hanya untuk melihat orang tersebut dan pengelihatanku mendapati hal tak terduga. Orang berjas hujan merah dengan sekop ditangannya sedang berdiri di tengah jalan. Kini tangan kanannya menenteng sebuah kepala dengan rambut panjang.
“Ahk!!!”
***
Setelah menahan ketakutanku, akhirnya sampai di depangedung apartemenku. Sopir taksi online hanya bisa menggelengkan kepala saat mendengar teriakanku tadi.
Aku tak kuasa menahan rasa takutku karena orang berjas hujan merah itu, padahal mobil sudah berhenti dan sopir memeriksa tidak ada apa-apa, tidak ada siapa-siapa di belakang kami, jauh di jalan sana tidak ada siapa pun. Padahal aku melihatnya dengan sangat jelas.
“Turun Mbak, kita sudah sampai.” Ujarnya kesal.
“Ma-makasih Pak, dan juga maaf.” Suaraku bergetar, aku segera turun dari mobil dan melangkah sempoyongan masuk ke dalam gedung seraya pandanganku berpendar ke segala arah.
Berjalan cepat masih dengan kaki yang gemetar, aku melihat pintu lift akan segera menutup. Segera aku berlari dan menghentikan pintu tersebut, lalu masuk ke dalam.
“Kamu baru pulang?”
Deg! Jantungku terasa akan keluar dari tempatnya ketika suara itu menyapa. Suara pria yang sudah tidak asing lagi di telingaku. Eros.
“Iya, baru pulang.” Jawabku singkat.
Sungguh aku tidak menyangka akan bertemu dengannya dan malah satu lift dengan pria ini. Apakah aku bisa mengulang waktu dan keluar dari sini?
“Kamu gemetar. Apa kamu takut?” tanyanya dengan nada bicara yang tak sama seperti sebelumnya.
“Nggak takut.”
“Kalau begitu lihat aku!” pintanya dengan nada datar.
“Kenapa gue harus lihat elo?” saat ini aku memeluk tas selempangku dengan erat, berharap agar lift segera berhenti di lantai 3, namun waktu sepertinya sangat tak bersahabat. Dahiku sudah berkeringat dingin karena aura pria di belakangku saat ini sangat mencekam bagiku.
“Lihat saja!”
Eros begitu memaksa agar aku menengok ke belakang. Tidak ada pilihan lain selain menengok ke belakang sesuai dengan permintaannya. Menarik napas dalam sebelum aku melihat Eros di belakangku.
Kelopak mataku tak dapat berkedip ketika orang di belakangku tengah bermandikan darah dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Kyaaaaa!”
Bersambung
Aku sadar dengan memaksakan perasaanku merupakan kesalahan terbesarku. — Apple Leaf
Eros POVDasar gila! Itulah yang bisa aku katakan pada Kanya yang berteriak histeris setelah melihatku di dalam lift. Apakah aku begitu menyeramkan sehingga dia pingsan?Aku rela menggendongnya ala bridal karena dia tak kunjung sadar dari pingsannya. Kurasa dia tertidur, dan satu hal lagi aku tak tahu sandi apartemennya. Bagaimana caraku membawanya masuk ke dalam apartemennya?Meminta kunci manual kepada keamanan dan membiarkannya tergeletak sendirian di depan pintu apartemennya? Bagaimana kalau nanti ada orang yang membawanya pergi? Mengapa aku memiliki banyak pertanyaan dan merasa dilema? Ataukah aku harus membawanya ke apartemenku dulu?Setelah berpikir lama, akhirnya aku memutuskan untuk membawanya ke apartemenku sementara waktu sampai Kanya sadar. Ya, itu lebih baik daripada dia dijamah para nyamuk di luar sini.Sembari berjalan pelan menuju apartemenku, aku mengamati bibir Kanya yang merah ala
Kanya POVTuhan!Aku memekik dalam hati setelah memberi jarak antara wajahku dan wajah Eros. Mataku membulat masih tak percaya bahwa aku berada di dalam kamar mandi bersama seorang pria dengan keadaan pakaian dilucuti, dan pria itu adalah pria tidak jelas antara manusia atau makhluk halus.Apakah Eros telah melepas pakaianku tadi dan mengapa aku bisa berada di kamar mandi bersamanya?Tunggu sebentar. Tadi pagi ketika aku akan menyentuh tangannya, dia sangat tidak nyaman dan tadi siang dia membiarkan aku memeluknya sambil menangis. Saat ini kulit kami sedang bersentuhan dan Eros tidak masalah dengan hal itu?Tapi sekarang aku yang bermasalah, wajahku mulai panas ketika memperhatikan mata Eros bagaikan elang yang siap menerkam mangsanya. Mungkinkah tubuhku terlihat menggoda di matanya? Ada sedikit rasa bangga dalam diriku, namun rasa malu telah menggerogotiku.“Lepaskan aku! Kamu pria mesum. Hantu mesum.”
Eros POVMembulatkan mata tak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Aku seperti pria yang tak berdaya di bawah paksaan kedua tangan Kanya yang memeluk erat leherku. Kanya memaksa mendaratkan bibirnya pada bibirku tanpa aba-aba, seketikan membuat tubuhku mematung. Aku bahkan tak bisa mengerjapkan mata ketika melihat bulu mata lentiknya.Kanya memejamkan mata dan bibirnya beramain pada bibirku. Anehnya, aku malah membiarkannya begitu saja. Membiarkan perempuan ini menunudukan kepalaku dan memaksakan dirinya padaku. Bisa kuanggap dia memaksakan diri.Bibirnya terasa halus ketika menyentuh permukaan bibirku dan bibir kami saat ini saling beradu dituntun oleh Kanya, sedang aku hanya diam dan membiarkannya. Kanya memeluk leherku dengan kedua lengannya saling bertautan, beberapa saat dia masih belum melpaskan bibirku dan menikmati aksinya. Mataku masih terbuka melihatnya yang sangat berani mencium seorang pria yang baru di kenalnya—di
Eros POVPekatnya malam di luar sana, juga dinginnya udara yang masuk menelusup melalui pintu balkon yang terbuka melambaikan tirai putih sedikit demi sedikit. Dinginnya angin tersebut tak membuat kamar apartemenku menjadi sejuk.Suhu hangat dari kedua badan yang saling bersentuhan satu sama lain, membuat udara dalam kamar terasa panas untuk kami berdua.Desahan Kanya terdengar merdu ketika aku perlahan membenamkan ciuman panas pada bola kenyal miliknya selama sepersekian menit, mata Kanya telah terpejam menerima hujaman dari bibirku. Lidahku bermain di atasnya dengan berani, setelahnya menggigit kedua bola itu satu per satu tak meninggalkan ruang di sana tanpa bekas bibirku. Terasa lembut seperti permen kapas yang meleleh tiba-tiba di dalam mulutku, juga terasa manis untuk pertama kalinya aku berada di atas tubuh seorang perempuan, dan perempuan ini masih cukup asing karena aku baru mengenalnya sehari.“Ah~” Kanya
Kanya POVSakit!Remuk!Semua tulang-tulangku terasa telah dipotong-potong dengan pisau tajam. Kelopak mataku bergerak-gerak, memaksa untuk terbuka karena rasa nyeri menjalar di seluruh tubuhku saat ini.Ketika netraku telah terbuka dan menangkap langit-langit kamar asing tak seperti langit-langit pada kamarku yang berwarna kuning; khusus aku cat dengan warna kuning, tapi langit-langit kamar ini berwarna putih.Kepalaku amat sakit dan lapar melandaku saat ini; hembusan angin terasa begitu dekat menyapa leherku, serta selimut yang aku gunakan entah kenapa begitu hangat?Aku menoleh ke sampingku dan mendapati seorang pria tertidur pulas dengan napas lembut teratur menyapa leherku. Kupenjamkan mata sejenak; seketika itu memori semalam membanjiri pikiranku saat ini.“Eros sialan!” makiku pelan pada pria dengan bulu mata lentik bak bulu mata wanita. Wajah lelapnya nampak
Kanya POVPunggungku seketika membeku layaknya dihujam oleh ketajaman es batu. Suara itu datang dari belakang, serta hembusan angin membelai rambutku dari arah suara tersebut.Napasku masih sesak terasa sebuah tekanan kuat menghimpit paru-paruku, tidak membiarkan oksigen masuk ke dalamnya. Menyebabkanku memaksa bernapas menggunakan mulut.“Masih mau kabur?”Suara itu lagi semakin mendekati indra pendengaranku, tapi tak terdengar langkah kaki yang membarengi suara tersebut. Suara pria itu terdengar berat dan yang pasti bukanlah suara Eros—pria itu masih tertidur pulas di kamar apartemennya saat ini.“S-si-siapa?” tanyaku terbata-bata belum berani menengok ke belakang.Jika kakiku dapat bergerak, maka aku sudah berlari ke pintu apartemenku yang tinggal beberapa langkah lagi. Sudah di depan mata, tetapi tubuhku malah membeku dan tak bisa digerakkan. Mungkin karena ketakutan akan
Eros POVAku merasakan sesuatu yang lembab dalam genggaman tanganku saat ini. Perlahan membuka kelopak mataku yang masih ingin tertutup. Sesuatu berwarna merah dilema nampak dalam pandanganku seperti pernah kulihat sebelumnya.Perlahan aku menegakkan badan dengan mata yang masih mengerjap lelah. Aku membawa benda tersebut ke dalam pandanganku dan ... undewear seorang wanita yang aku dapati dalam genggamanku. Segera kulemparkan benda keramat itu.Kedua manik mataku menoleh ke samping karena aku baru sadar kalau Kanya telah menghilang. Dia tidak ada di tempat tidurku, padahal dia tertidur lelap semalam di atas bantal lenganku.Kukucek mataku, setelahnya mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar, tetapi perempuan itu memang sudah tidak ada.“Kanya?” panggilku pelan.Mungkinkah dia ada di kamar mandi? Aku menerka-nerka sejenak berharap kalau dia masih ada di apartemenku saat ini. Semala
Kanya POVTidak mungkin aku berhalusinasi ketika orang itu nampak sangat nyata, bahkan bau darah yang aku sentuh menggunakan jari tengahku juga asli dan berbau amis layaknya darah manusia.Mungkinkah mata Eros bermasalah atau orang berjas hujan merah pembawa sekop merupakan hantu yang hanya aku sendiri dapat melihat?“Jangan takut lagi. Aku bersamamu.”Eros Darwin saat ini sedang mencoba menenangkan aku yang masih ketakutan, tubuhku bergetar hebat dalam pelukan pria ini. Awalnya karena takut akan mimpi buruk berulangku, aku berharap dapat menjauh dari Eros. Namun apa yang aku lakukan tadi di apartemen Eros tidaklah mungkin membuatku bisa menjauh darinya.Kami baru saja saling mengenal dalam satu hari dan sudah tidur bersama. Apakah semua ini masuk akal? Bahkan kami tidak memiliki perasaan satu sama lain. Apalagi hubungan asmara, dan lagi orang tadi membuatku benar-benar ketakutan setengah mati
Eros POVKanya sudah tertidur lelap setelah aku membacakan dongeng untuknya. Seperti anak kecil saja, tumben sekali dia memintaku membacakan dongeng untuknya.Kuperhatikan wajah Kanya yang tertidur pulas di atas lenganku. Aku tidak bisa membantu, tapi menanamkan beberapa kecupan pada wajahnya.Sangat manis dan sangat indah. Andai saja aku bisa melihat wajahnya yang tertidur pulas setiap hari; maka hari-hariku akan dipenuhi kebahagiaan, ‘kan?Akan tetapi, masih ada beberapa masalah yang belum selesai. Aku yakin kalau ambisi Siska tidak akan berhenti sampai di sini. Memang dia belum berhenti mengejarku, bahkan setelah aku permalukan.Mungkin saja dia akan menjadi lebih berkulit tebal.“Aku harus bangun dan berbicara pada Rudy, juga kedua orang bodoh itu.”Aku mengangkat kepala Kanya perlahan-lahan dengan lembut, agar dia t
Kanya POVIni seperti mimpi yang aku alami ketika menginap di apartemen Eros, tapi sekarang aku menyaksikan pria itu secara nyata. Aku ragu untuk menceritakannya pada Eros. Takut kalau dia tidak akan percaya pada cerita.Orang-orang menganggapku aneh, menyarankan agar aku menemui psikiater secepatnya. Namun, aku baik-baik saja dan tidak ingin merepotkan diri bertemu dengan psikiater. Apalagi sekarang yang aku lihat bukanlah ilusi, melainkan kenyataan.Tanpa aku sadari, telapak tangan Eros menyentuh pipiku, “Tidak apa-apa Kanya. Aku tahu kamu pasti berpikir kalau aku tidak akan mempercayaimu, ‘kan? Kamu hanya perlu menceritakannya padaku, bukankah kamu tahu kalau aku selalu mempercayaimu? Lalu mengapa sekarang kamu ragu?”Aku menempatkan tanganku di atas punggung tangan Eros, “Aku takut kamu nggak percaya dan menganggap aku gila.”Eros menggeleng, &ld
Eros POVPria itu ingin membunuh Kanya?Siapa?Siapa yang berani menyentuh wanitaku?“Tenanglah Kanya. Selama aku ada di sisimu, tidak akan ada yang berani menyentuhmu.”Aku menenangkan Kanya untuk beberapa saat, sambil memeluk dan juga menepuk punggungnya. Tubuhnya yang menggigil ketakutan sudah agak lebih tenang.“Tidak apa-apa, kamu bisa membuka matamu sekarang.”Aku membebaskan diri dari pelukan Kanya, lalu mengamati wajahnya. Matanya masih tertutup dan alisnya yang cantik itu berkerut.Jemari tanganku perlahan menyentuh alis cantik milik Kanya, lalu menekannya dengan lembut dan meluruskannya kembali.Dia tampak ketakutan berlebih. Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Kenapa dia mengalami hal-hal tidak terduga yang membuatnya amat ketakutan?“
Kanya POVSamar-samar aku melihat sinar ketika perlahan-lahan membuka kelopak mataku. Namun, masih terasa berat untuk kubuka, aku membiarkan mataku terpejam kembali selama beberapa saat, sebelum aku siap membuka mataku kembali.Aku merasakan kepalaku seolah terbentur keras ke lantai yang menyebabkan kepalaku saat ini menjadi sakit. Ngomong-ngomong, aku masih memejamkan mata, tetapi kesadaranku telah pulih. Tampaknya aku pingsan dan sangat lama, dapat aku rasakan dari badanku yang mati rasa karena tidak bergerak untuk waktu yang lama.Jika aku mengingat kembali, pada saat itu, aku berada di kamar 333 di dalam gedung Sun dan pria berjas hujan merah itu yang merencanakan semua itu. Pria itu benar-benar nyata, bukanlah ilusiku.Kalau aku katakan pada Eros bahwa, pria itu memang nyata dan berniat untuk membunuhku; apakah dia akan percaya padaku? Ataukah dia akan menatapku dengan sorot mata jijik?&
Eros POVHuh!Aku berhasil!Pada akhirnya, aku berhasil meyakinkan kakek. Kalau saja kakek mau mendengarkanku sejak awal, maka aku tidak perlu mengeluarkan usaha untuk menolak dan mempermalukan Siska.Meskipun begitu, aku cukup senang telah memberikan balasan pada wanita ular itu. Setelah aku keluar dari ruangan kakek, aku mendengar Siska menangis tersedu-sedu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak peduli, dan membiarkan kakek mengatasinya sendiri.Kakek yang memulainya dan memberikan harapan pada Siska, maka itu bukanlah urusanku lagi.Aku harap kakek tidak akan mengubah pikirannya lagi karena air mata wanita itu. Bahkan air matanya tidaklah keluar dari lubuk hatinya. Maksudku, dia sama sekali tidak tulus dan hanya berpura-pura saja.“Aku harus merayakannya dengan Kanya. Bagaimana kalau mengajaknya makan malam?”
Kanya POV“Sial!”Aku memaki, dan mencoba membuka pintu itu, berusaha dengan sekuat tenaga, tapi melebihi kemampuanku. Sepertinya aku akan terjebak di sini kalau dua bodyguard itu tidak datang untuk menolongku.Rupanya benar semua ini adalah jebakan. Namun sampai sekarang tidak ada yang keluar dan mereka benar-benar menakuti.“Keluar kalian semua! Gue bakal lapor polisi setelah gue keluar dari sini.”“Keluar dari sini?”Jantungku tiba-tiba hampir berhenti berdetak, mendengar pertanyaan dari suara yang begitu dingin. Perlahan tengkuku mulai dingin, keringat dingin juga sudah membasahi dahi, apalagi tubuhku. Layaknya dimandikan oleh keringat akan ketakutan.Aku tidak bisa bohong kalau saat ini, begitu sulit bagiku untuk sekadar menelan saliva. Tubuhku perlahan-lahan menggigil ketika kesadaranku telah kemb
Eros POVAku keluar mengejar Siska untuk melihat aktingnya. Dia berjalan agak lambat sambil menangis tersedu, memperlihatkan pada mereka semua kalau aku telah membuatnya kecewa. Hatinya pasti sakit, seperti ditusuk-tusuk ribuan kali.“Pak Direktur.”“Kayaknya mereka berantem.”“Kita pura-pura nggak tahu saja.”“Tapi, tadi sekretaris Siska bilang; wanita itu. Maksudnya Pak Direktur punya wanita lain?”“Pak Direktur selingkuh?”“Shht! Diam semuanya.”Aku dapat mendengar semua yang mereka bisikkan. Siska juga pasti dengar dengan jelas, dan aku sudah dapat mengira ekspresinya saat ini. Dia pasti senang dan mengira kalau akan menyesal, sehingga aku keluar untuk menyusulnya. Aku mau lihat seberapa bagus aktingnya.Siska berhenti, la
Kanya POVAku bosan diganggu oleh wanita itu, dengan berat hati aku memutuskan untuk pergi ke gedung Sun. Memang tidak jauh dari gedung apartemenku, tapi aku menggunakan taksi juga.Entah apa yang akan aku temukan di sana karena wanita itu mengatakan paket itu penting, dan juga berhubungan dengan sahabatku, tapi aku hanya punya satu sahabat di sini, dan itu adalah Samuel. Dia sedang di luar kota sekarang, dan sakit pula.Kemungkinan ada yang mengirim paket padanya, dan meninggalkannya di gedung Sun, atau mungkin ada yang berniat jahat pada Samuel.Sepertinya aku harus mencari tahu, dan keputusanku untuk datang mungkin bisa benar, bisa juga salah. Serius, aku tidak tahu apa yang menungguku di dalam sana.Aku sudah berada di depan gedung Sun, dan dua bodyguard itu tengah mengawasi aku dari jauh. Jika terjadi sesuatu padaku, mereka bisa menolongku dan juga menelepon Eros kalau aku t
Eros POV“Eros!” Siska menggebrak meja.Amarahnya tampak menggebu-gebu. Tadi dia bersikap layaknya seorang istri yang dibuang oleh suaminya. Benar, tadi dia hanya berakting polos di depan kakek. Wanita ular tetaplah wanita ular, dia tidak akan bisa menjadi manusia seutuhnya.“Heh, sudah selesai berakting?” aku mencibir.Wanita ini penuh akan kepura-puraan. Dia tidak perlu diberikan hati sama sekali. Mereka semua buta setelah melihat wajah polos dan aktingnya. Namun, dia tidak akan bisa membohongiku, mau sekeras apa pun dia berusaha.Sekarang sudah terlihat jelas kalau dia marah setelah aku permalukan di restoran tadi. Dia sendiri tidak menolak ketika kakek mengajaknya, dan malah dengan senang hati menerima. Aku tidak segan untuk mempermalukannya di depan banyak orang.Mungkin lain kali, aku akan mempermalukannya lebih dari ini agar kes