"Sek Mas, sek sek," ucap Jiya yang tidak bisa menjawab pertanyaan Iwan dulu karena ada hal yang lebih penting.Iwan pun mengerutkan dahinya melihat Jiya yang saat ini mengusap-usap layar ponsel di tangannya. "Halo," ucap Jiya yang saat ini menelepon seseorang."Iya," sahut laki-laki di dalam panggilan itu dengan santai."Mas, apa maksud kamu mengirim uang sebanyak itu ke rekeningku?Biayanya kan sudah aku perlihatkan ke kamu," ucap Jiya karena baru saja Adam mengirim uang 20 juta ke rekening Jiya."Bukankah ada acara-acara yang harus dilakukan saat seorang anak di sunat?" Adam bertanya balik.Kemudian Jiya menatap ke arah Iwan. "Mas, apa di sini ada acara kalau anak laki-laki di sunat?" tanyanya."Acara apa?" tanya Iwan balik."Acara apa ya," gumam Jiya sambil berpikir. "Oh, mungkin semacam gendoren iku loh, Mas. Di sini ada nggak yo Kenduri untuk orang sunat?""Kalau memang mau mengadakan kenduri juga nggak apa-apa, kan itu juga untuk tanda bersyukur dan bagi-bagi rezeki, sepertinya
Sepuluh menit berlalu, saat ini Adam sedang berada di restoran yang ada di depan perusahaan. Tidak lama kemudian seorang laki-laki datang sambil membawa sebuah file ke dalam restoran itu. Dan ketika sampai di meja Adam, kemudian laki-laki itu duduk begitu saja sambil menyodorkan file itu dengan kasar."Hah, apa lagi yang kamu mau?" tanya Dimas dengan ekspresi kesal di wajahnya."Minum kopimu," ucap Adam sambil menunjuk ke arah kopi yang dia pesan untuk sahabatnya itu.Langsung saja Dimas mengambil cangkir kopi tersebut dan kemudian menyesapnya. "Untung aku ini orang baik," cicit Dimas sambil meletakkan cangkir itu kembali ke tatakannya."Apa yang membuatmu bisa berkata seperti itu?" tanya Adam dengan santai sambil ikut mengangkat cangkirnya dan kemudian menyesapnya perlahan."Kamu bertanya 'apa'? Kamu tahu, sejak kamu menarikku dari perusahaan cabang, aku harus bekerja ekstra untuk kamu. Kamu memberiku target waktu seperti yang lainnya, tetapi di sisi lain kamu juga seenaknya m
Semua orang menoleh ke arah laki-laki yang baru saja turun dari taksi. Seperti Jiya semua orang pun terkejut melihat kedatangan laki-laki itu, terutama Raka yang terlihat sangat tidak senang saat ini."Tuan Adam, syukurlah kalau kamu sudah sampai dengan selamat," ucap Bi Sumi dengan senyum cerah di wajahnya.Jiya langsung menoleh ke arah Bi Sumi. 'Jadi dia tahu kalau Adam akan datang?' batin Jiya.Kemudian Adam menyahut, "Iya."Setelah itu Adam pun melangkah masuk ke dalam halaman rumah itu dengan santai sambil menggendong tas punggungnya. Dengan kaos, celana jeans dan sepatu kets-nya dia berjalan dengan penuh percaya diri ke arah Jiya. Sedangkan Jiya hanya melongo melihat penampilan Adam tersebut karena sudah lama tidak melihat Adam menggunakan pakaian seperti itu."Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Adam yang kini sudah berdiri di hadapan Jiya.Jiya pun langsung salah tingkah. "Itu aku …." Dia kemudian menoleh ke arah Dila dan langsung menggenggam tangan Dila. "Aku akan
"Apakah Om pernah melanggar janji Om kepada kamu sampai kamu marah seperti ini?" tanya Raka sambil tersenyum hangat ke arah Bumi.Namun tiba-tiba Bumi melengos. "Jangan bertindak seolah kita ini dekat, Om," ketusnya."Hei, jadi kamu marah karena Om tidak pernah menemanimu? Om janji kalau kamu sudah sembuh kita bisa jalan-jalan ke mana pun yang kamu," bujuk Raka agar Bumi tidak terlalu sinis dengan dirinya.Bumi melirik ke arah Raka. "Janji?" tanya Bumi.Adam yang melihat tingkah Bumi ini langsung mengerutkan keningnya. 'Apa yang ingin dia lakukan?' batinnya yang penasaran, karena tidak mungkin Bumi bisa dibujuk semudah itu."Tentu saja," sahut Raka dengan senyum hangat di wajahnya."Untuk apa kamu dekat-dekat dengan anak nakal itu?" bisik Nyonya Desi."Dia itu keponakanku juga, apa salahnya?" sahut Raka dengan santai.Sedangkan Bumi saat ini terus tersenyum menatap ke arah Raka. 'Huh, seenaknya sok dekat denganku, pasti dia mau mengambil wanita cerewet itu dengan cara mendekatiku. L
Satu jam berlalu. Saat ini para tamu undangan mulai berdatangan ke rumah itu. Jiya, Dila dan Bi Sumi sedang sibuk di dapur, sedangkan Nyonya Titi dan Adam sedang berada di depan untuk menerima para tamu undangan."Jiya," panggil seorang laki-laki yang baru saja masuk ke dalam dapur."Iya," sahut Jiya sambil menoleh ke arah laki-laki yang baru saja memanggilnya."Apa kuenya sudah selesai ditata?" "Iya, Mas. Tolong kamu bawa nampan ini, biar aku yang nurunin nanti," ucap Jiya sambil menunjuk ke arah nampan yang sudah berisi beberapa piring jajanan.Iwan pun dengan cepat mengangkat nampan itu, lalu berjalan di belakang Jiya untuk membawa nampan itu ke ruang tamu. "Maaf," ucap Jiya sambil mulai menurunkan piring jajanan itu di tengah-tengah para tamu undangan yang sudah duduk bersila di sana.Tetapi setiap Jiya akan menurunkan piring, dia harus membetulkan kerudungnya karena ujung kerudungnya terlalu menjuntai dan hampir menyentuh makanan yang dia turunkan. 'Besok-besok aku n
"Apa yang kamu katakan, Ji?" Raka saat ini berbalik menatap Jiya.Sedangkan Jiya beralih menatap ke arah Dila yang masih menunggunya di dekat pintu rumah itu. "Jangan bertanya kepadaku Mas, tanya saja pada mamamu," sahutnya sambil kembali melangkah meninggalkan rumah itu.Sedangkan saat ini Nyonya Desi bersedekap sambil terus menatap ke arah Jiya. "Huh, sikap macam apa itu."Kemudian Raka berbalik menatap ke arah Nyonya Desi. "Ma, aku harap ini terakhir kalinya kamu bersikap seperti itu pada Jiya.""Beraninya kamu melawan Mama hanya untuk wanita matre itu," ketus Nyonya Desi sambil menatap tajam Raka."Melihat sikap Mama ini aku jadi semakin yakin untuk mempercepat semuanya," sahut Raka.Langsung saja Nyonya Desi membulatkan matanya. "Jangan sampai kamu berani membeli rumah untuk wanita itu, Mama tidak rela.""Aku bukan anak kecil lagi, Ma. Aku—" Kalimat Raka terhenti ketika tiba-tiba saja Adam berdehem."Apakah kalian harus berdebat di depan kami saat ini?" tanya Adam dengan santai.
"Kamu ngagetin aja," ucap Jiya dengan suara yang ditekan sambil mencubit gemas lengan Dila.Sedangkan Dila langsung meringis. "Auu …," ucapnya tertahan karena Jiya tiba-tiba membungkam mulutnya."Ada laki-laki aneh di depan ruko," bisik Jiya.Dila pun langsung ikut melongokkan kepalanya untuk mengintip orang yang dibicarakan Jiya. "Apa jangan-jangan orang stres toh, Ji," komentarnya.Jiya pun kembali mengintip. "Masa orang gila," gumamnya.Kemudian Jiya mengalihkan pandangannya ke sekitar lalu membungkukkan tubuhnya untuk mengambil sebutir batu yang berukuran cukup besar."Kamu mau apa?" tanya Dila yang penasaran dengan batu di tangan Jiya."Aku mau ngelempar ini ke sana, biar kelihatan mukanya," jawab Jiya."Kenapa nggak sekalian batu bata?" sahut Dila sambil mengambil batu seukuran kepalan telapak tangan orang dewasa di tangan Jiya itu. Kemudian Dila mengganti batu tersebut dengan batu yang berukuran jauh lebih kecil. "Pakai yang ini!"Jiya memutar matanya dan kemudian kembali me
Krrrk! Suara pintu ruko dibuka.Langsung saja Jiya dan Adam menoleh ke arah pintu ruko tersebut."Eh, maaf, kalian lanjutkan saja. Aku akan melihat adonan donat di belakang," ucap Dila sambil tersenyum canggung melihat posisi Adam dan Jiya saat ini.Setelah itu Dila segera berbalik badan dan kemudian melangkah meninggalkan tempat itu.Sedangkan Jiya kembali mencoba menarik tangannya, tetapi Adam terus memegang erat pergelangan tangannya. "Lepaskan Mas, apa perlu aku menampar kamu?" tanyanya dengan tatapan mengancam.Kemudian Adam menarik tangan Jiya dan meletakkannya tepat di pipinya. "Tampar, Ayo tampar!" ucap Adam sembari mengayun-ayunkan telapak tangan Jiya menyentuh pipinya, seperti orang yang sedang menampar."Hentikan itu, Mas!" teriak Jiya di dalam suara hujan yang makin deras dan seolah menenggelamkan teriakannya."Kenapa, bukankah kamu ingin menamparku? Lakukan saja jika itu membuatmu senang," ucap Adam sambil menatap langsung mata Jiya.Jiya terdiam, dia benar-benar tenggela
“Sudah turunin aku, aku bisa jalan ke kamar sendiri,” ucap Jiya yang juga mendengar panggilan dari lantai satu.“Tidak perlu, biarkan saja orang itu menunggu,” sahut Adam yang mempercepat langkahnya naik ke lantai dua.Jiya pun tersenyum menatap Adam yang sedang membawanya naik tangga. “Lucu,” gumamnya.“Apa?“ tanya Adam yang kini terus menatap ke arah depan.“Nggak ada Mas,” sahut Jiya lalu kembali menunduk.Setelah mengantar Jiya masuk ke dalam kamar mandi, kemudian Adam mengganti pakaiannya dan turun ke lantai satu untuk melihat orang yang bertamu ke rumahnya pagi itu. Dia berjalan ke arah ruang tamu, tetapi dia tidak menemukan siapa pun di sana.“Apakah orangnya sudah pulang?“ gumam Adam karena dia mendengar kalau orang yang bertamu itu memanggil namanya, jadi seharusnya orang itu sudah sangat mengenal dirinya.Sesaat kemudian terdengar langkah kaki yang berasal dari ruangan yang lebih dalam. Adam pun menoleh, menunggu pemilik suara langkah kaki tersebut.“Tuan muda,” ucap pemban
Mata Jiya terbelalak ketika tiba-tiba Adam mencium pipinya. “Apa sih kamu, Mas,” ketusnya.Adam terkekeh karena merasa geli melihat Jiya yang salah tingkah. Merasa kesal dengan tawa Adam, Jiya dengan cepat mengambil sebuah potongan apel dan memasukkannya ke dalam mulut Adam. Dan seketika Adam pun berhenti tertawa.“Bagaimana kalau aku tersedak,” ucap Adam sambil mengunyah apel itu.“Ya habisnya kamu ngeselin sih, Mas,” sahut Jiya sambil cemberut.Adam kemudian tersenyum kembali lalu menggelitiki pinggang Jiya, hingga membuat Jiya tertawa terbahak-bahak. “Aduh, ampun Mas,” ucap Jiya sambil mencoba untuk menjauh dari Adam, tetapi Adam terus menahan dan menggelitiki pinggang Jiya. Hingga akhirnya dia merosot ke lantai karena lemas terlalu banyak tertawa.Namun, tiba-tiba salah satu asisten rumah tangga kiriman Nyonya Titi masuk ke dalam ruangan itu dan membuat Adam berhenti menggelitiki Jiya.“Kenapa kamu ke sini?“ tanya Adam dengan tatapan tajamnya.“Itu … saya, saya ….“ Asisten rumah
Jiya mendesis cukup keras ketika dia akan bangun dari ranjangnya. 'Pinggangku rasane koyo copot,' batin Jiya lalu berpegangan pada pinggiran ranjang itu dan kemudian berdiri.“Apa yang yang kamu lakukan?“ tanya Adam sambil memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Jiya.“Aku ngadek Mas, berdiri.“ Jiya mengucap kata Berdiri dengan pernekanan agar Adam tahu arti istilah jawa yang dia ucapkan. “Masa kamu nggak lihat,” ketusnya.Adam tersenyum kecil. “Lalu kenapa kamu seperti nenek-nenek? Ingin berdiri harus berpegangan kepada sesuatu,” selorohnya.“Pinggangku habis diseruduk truk tronton, puas?“ Jiya masih menyahut dengan ketus. Kini Jiya berjalan ke arah kamar mandi sambil memegangi pinggangnya.“Apa perlu aku bantu?“ Tanya Adam.“Nggak usah Mas, yang ada kamu malah nyusahin bukannya ngebantu,” jawab Jiya sambil masuk ke dalam kamar mandi.Adam pun merebahkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamar itu, tak lupa sebuah senyum masih terukir di wajahnya.“Jiya,” gumam Adam.*Keesokan
“Pak Adam,” gumam semua orang sambil berdiri dari kursi mereka, termasuk Nathan yang langsung meletakkan berkas di tangannya.“Berani sekali kalian!“ teriak Adam dengan tatapan tajam yang seolah ingin membakar semua laki-laki yang ada di dalam ruangan itu.Para laki-laki itu saling melirik karena tidak mengerti asal mula kemarahan Adam.Kemudian Adam menoleh ke arah Jiya. “Ke sini!“ Namun Jiya langsung melengos. “Pulanglah, aku bisa pulang sendiri,” sahutnya dengan ketus.Mendengar hal itu Adam mengepalkan tangannya dan kemudian melangkah ke arah Jiya. “Apa yang ingin kamu lakukan di sini?“ tanyanya sambil menggenggam tangan Jiya.“Tunggu Pak,” ucap Nathan yang ingin membela Jiya karena merasa kalau Adam akan memarahi Jiya, walaupun dia juga tidak tahu apa penyebab kemarahan Adam saat ini. “Dia datang ke sini untuk menjemput Leni, dia—”“Siapa kamu berani berbicara mewakili istriku!“ sentak Adam.Mata Nathan pun membulat mendengar kalimat Adam, begitu juga dengan semua orang yang ada
Feni lebih terkejut lagi saat melihat dua orang yang sedang belutut di halaman rumah itu. “Siapa mereka?“ tanya Feni karena saat ini dua orang itu menundukkan kepala mereka.“Angkat kepala kalian!“ teriak Dimas memberikan perintah.Kemudian dua orang tersebut mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Feni.“Dia …,” ucap Feni lalu kembali menatap ke arah Dimas.“Benar, orang yang ada di foto itu adalah dia bukan aku. Ada orang yang sengaja ingin merusak hubungan kita,” sahut Dimas.“Ini benar?“ tanya Feni sambil kembali menatap ke arah laki-laki yang mirip dengan suaminya itu.“Tentu saja. Aku tidak mungkin menghianati kamu dan dua anak kita,” sahut Dimas sambil mengusap perut Feni dengan lembut.Feni pun terdiam dan menundukkan pandangannya. “Maaf,” ucapnya lirih.Dimas kemudian menggenggam tangan Feni. “Kamu tidak perlu minta maaf, ini tidak sepenuhnya kesalahan kamu,” sahutnya sambil mengecup punggung tangan Feni itu.Feni kembali mengangkat pandangannya. “Apakah kamu tahu siapa
Mereka pun cukup lama bersantai di pinggir kolam tersebut sambil terus membicarakan masalah mereka masing masing, dan juga membahas masalah rencana Dimas dan memaltangkan rencana tersebut.Hingga malam menjadi semakin larut, dan mereka pun masuk ke dalam rumah. Mereka memutuskan untuk beristirahat malam itu. Dimas pun memilih menempati salah satu kamar tamu di rumah itu. Dimas juga sempat memperhatikan pelayan yang dibicarakan Adam tadi, dan benar saja pelayan itu ternyata cukup mencurigakan.****3 hari kemudian..Setiap hari Adam menjemput dan mengantar Jiya pulang ke rumah Dimas, tapi dalam beberapa hari itu semua yang mereka bahas hanya seputar masalah Dimas dan Feni tidak ada yang lain.Hingga malam pun tiba...Adam dan Dimas sedang berada di luar sebuah club malam. Anak buah Adam menemukan bahwa wanita itu bekerja di club malam ini sebagai penari striptis. “Gimana, semua udah siap?” tanya Dimas lewat telpon yang ada di genggamannya“Siap Tuan!” suara di dalam telpon
“Ahhkk!” ucap Jiya sambil bangun dari lantai tempatnya terjatuh. Setelah itu Jiya bangun, dan melihat ke arah orang yang sedang memegang daun pintu tersebut.“Astaga Mbak, kamu kenapa?” ucap Jiya terkejut melihat Feni yang kusut, berantakan. Kemudian Jiya segera menggandeng Feni untuk duduk di sofa ruang tamu tersebut. Feni lalu menangis keras “Hiks.. hiks.. huwa…!” “Bagaimana nasibku dan anakku. Kenapa mas Dimas tega seperti ini padaku,” ucap Feni sambil terus menangis memeluk Jiya.Kemudian Jiya pun memeluk sambil mengelus pundak Feni “Sabar mbak, Sabar. Ingat Mbak sedang mengandung, kasihan anak Mbak kalau Mbak menangis seperti ini,” ucap Jiya mencoba menenangkan Feni“Tapi Ji, bagaimana aku bisa tenang saat tahu kalau mas Dimas selingkuh seperti itu,” ucap Feni“Iya Mbak, aku sudah tahu itu dari Mas Dimas,” ucap Jiya“Jadi kamu kesini disuruh Dimas?” ucap Feni langsung melepaskan pelukannya dari dia‘Eh, aku salah bicara,’ batin Jiya kaget“Tentu saja tidak. Aku memang mendenga
Pyarrrr! Brughhh!… Terdengar suara piring pecah dan di ikuti benda jatuh dari dapur.Kemudian Jiya, Lena dan Leni saling menatap sejenak. Lalu, mereka bertiga pun langsung berlari ke arah dapur. Dan saat sampai di pintu dapur, mereka pun kaget melihat Ibu kantin sedang terbaring di lantai dan sebuah piring pecah di sampingnya.Lena yang sampai di dapur duluan, langsung mencoba membangunkan ibu kantin, tapi tidak ada respon“Kita tidak mungkin kuat menggotong dia,” ucap Lena sambil melihat tubuh Ibu kantin yang memang bisa di sebut mengalami obesitas.Lalu Lena meletakkan kepala ibu kantin di pangkuannya, dan terlihatlah ada darah di lantai tepat di bagian bekas tempat kepala ibu kantin terjatuh.“Astaga, darah!” teriak Leni.Lena pun terdiam seketika, wajahnya berubah memucat.. “Len, sabar… Len,” ucap Leni menggoyang-goyangkan tubuh saudara kembarnya tersebut“Astaga!”teriak Jiya “Leni, kamu jaga Lena dan Ibu kantin. Aku cari bantuan,” ucap JiyaKemudian Jiya pun langsung berla
Setelah mengendarai mobil selama 15 menit, kemudian mereka sampai di sebuah kafe langganan Adam dan Dimas.Adam pun segera masuk ke dalam cafe tersebut, dikuti oleh Jiya yang ada di belakangnya.Setelah mereka masuk ke dalam Cafe tersebut. Kemudian Adam dan Jiya melihat ke sekitar, lalu menemukan Dimas yang sedang duduk di salah satu meja yang agak jauh dari mereka. Dimas terlihat tak bergerak sedikitpun, ia teeus menatap ke arah luar jendela kaca di sebelahnya.Kemudian mereka pun mendekat ke arah Dimas. Tapi, Dimas tidak bergeming sedikitpun. Dia tidak sadar dengan kedatangan Jiya dan Adam yang sudah duduk di depannya.“Ehem!” Adam berdehem. Kemudian Dimas pun tersadar dari lamunannya, dan langsung menoleh dan melihat ada Adam dan Jiya yang sudah duduk depannyaLalu Dimas pun kini mengusap-ngusap wajahnya.“Ada apa?” tanya Adam penasaran pada sahabatnya tersebut karena terlihat sangat kacau“Aku sedang pusing, istriku minta cerai,” ucap Dimas“Apa!” ucap Adam dan Jiya bersamaan, kag