Lily menyimpan kembali perhiasannya ke dalam dompet kecil, kemudian menyelipkannya ke dalam kantong baju kerja, yang memang masih ia lipat dengan rapi dalam lemari. Setelah itu, ia mengunci rapat pintu lemari, khusus tempat tumpukan baju-baju yang sudah tidak terpakai.
"Lily ... keluar sebentar," terdengar suara Bu Erna memanggil.
Lily menyimpan kembali kunci lemari, ke dalam salah satu kantong bajunya yang bergantung. Lily beranjak keluar, memenuhi panggilan Sang mertua.
"Lily, duduk di sini dulu, Ly," mertuanya menempuk kursi di sebelahnya.
Lily menurut saja, menguatkan posisinya yang terlanjur dicap seperti seekor keledai. Ia melirik pada Rizal yang terlihat puas dengan apa yang ia berikan.
"Ly, sebelumnya Ibu berterima kasih, kamu sudah mengijinkan Rizal menikah lagi. Tapi ... ini hanya mas kawin. Sisa uangnya masih ada, kan? Buat ngisi seserahan?" tanya mertuanya dengan nada merayu, membuat telinga Lily gatal mendadak mendengarnya.
"Loh, untuk seserahan, pakai uang mas Rizal sendiri, dong! Masa dia yang mau enak-enakan, aku yang direpotin," jawab Lily sambil berdiri, bersiap kembali ke kamar.
"Eh, Lily! Enggak ada etika. Ibu belum selesai bicara, malah mau pergi," cegah Rizal menarik kembali tangan Lily memaksanya duduk.
Jari-jari kaki Lily saling merapat, mencengkram permukaan ambal, yang bertekstur lumayan kasar. Lily berusaha menetralkan emosinya, menghadapi dua manusia yang sudah hilang peri kemanusiaan itu.
"Gajihnya Rizal, sudah habis tiap bulan. Kamu enggak nyadar ya, Rizal usaha sendirian, buat hidupmu selama enam bulan ini! Kamu enak-enakan nganggur!"
Ucapan Bu Erna terjeda, saat Arjuna melintasi mereka yang sedang berbicara. Seperti biasa, matanya melirik tak suka ke arah mereka. Ekor matanya sempat bertemu dengan ekor mata lily. Arjuna berkedip dengan cepat, langsung membuang muka sambil terus berlalu. Tak lama kemudian terdengar suara mobilnya meninggalkan rumah.
Sikap Arjuna yang selalu dingin, selama ini memang membuat Lily merasa kurang betah di rumah . Karena itu juga ia merasa lebih nyaman bekerja, daripada berada di rumah dari dulu. Sementara Rizal dan Bu Erna juga tidak pernah terlalu perduli pada Arjuna. Menurut mereka, Arjuna adalah manusia yang paling susah di atur.
Dari penampilannya saja urakan. Pakai baju asal-asalan. Rambut yang dibiarkan panjang hingga bahu. Benar-benar cocok dengan sikap dinginnya.
"Ly, kamu dengar kan, apa yang kukatakan tadi?" suara Bu Erna membuyarkan lamunan Lily.
Lily terdiam. Tak ingin menjawab karena mereka berdua pasti akan mendebatnya.
"Jangan takut, Lily! Rizal tidak akan membuangmu. Rizal hanya ingin memiliki anak perempuan," ucap Bu Erna membuat Lily mendadak mual.
"Aku yang akan membuangnya, Ibu," sahut Lily dalam hati.
"Kalau ternyata dia enggak bisa ngasih anak perempuan, bagaimana?" tanya Lily membuat Rizal dan Bu Erna terdiam.
"Pasti bisa," jawab Rizal meyakinkan. Lily menghela napas berat, melihat keyakinan suaminya yang menjurus ke kesombongan.
"Ly, pinjamin lagi sisa uangmu untuk membeli isi seserahannya," pinta Bu Erna tanpa rasa malu sedikitpun.
"Kenapa harus uangku?"
"Dengar Ly, nanti kalau Nessa sudah jadi istri Rizal, kamu juga enak. Pekerjaannya bagus gajihnya pasti bagus. Enggak seperti kamu yang pengangguran," tukas Bu Erna dengan nada tersinggung sekaligus menyinggung.
"Enak dari mana? Apa dia akan menggantikanmu, Mas? Menyerahkan uang gajinya untukku?" sindir Lily telak.
"Lancang Kamu, Ly!"
Rizal berdiri dengan wajah memerah, pertanyaan Lily terdengar seperti meremehkan dirinya. Bu Erna memelototkan mata pada Rizal, sehingga ia kembali duduk.
"Ya sudah, kalau Lily enggak mau kasih tambahan pinjaman, tapi, kalau ada apa-apa ... jangan sampai meminta bantuan ke Nessa nantinya. Misal ... kalau kehabisan uang," ancam Bu Erna merendahkan Lily, yang menurutnya tidak lagi bisa menghasilkan uang.
Lily yang sejak tadi merasa jengah, tak menggubris ucapan mertuanya. Ia berdiri dan melangkah menuju kamar kedua anaknya yang mungkin sudah tertidur pulas. Lily mendorong pintu kamar anaknya pelan-pelan, merapikan selimut dan memandang wajah dua jagoan yang polos.
Air matanya lolos dengan mudah, saat menatap wajah anak-anaknya yang sedang tertidur pulas. Lily merasa sedih, dan bertanya pada diri sendiri. Kenapa kedua anaknya ini harus mendapatkan seorang ayah yang begitu tega? Apakah di usia keduanya yang sama-sama masih duduk di bangku sekolah dasar, sudah mengerti apa yang akan terjadi pada kedua orang tuanya?
Ah, Lily sendiri belum tahu langkah apa yang harus dia ambil. Keinginannya saat ini hanya satu, ingin membalas mereka yang sudah bertahun-tahun memanfaatkan dan berbuat curang padanya.
Lily kembali menutup pintu kamar anaknya, kemudian melangkah ke kamarnya sendiri. Ia melihat Rizal sudah berbaring menghadap tembok kamar, sambil memeluk guling. Nampaknya Rizal marah besar pada Lily.
Bukannya sedih apalagi takut, Lily malah merasa lega. Sejak topeng Rizal terbuka, Lily sudah merasa jijik pada Rizal. Dulu ia menilai Rizal tidak memiliki wibawa sebagai seorang suami. Kini penilaiannya bertambah, Rizal juga tidak memiliki harga diri sebagai seorang laki-laki.
Tapi walau bagaimanapun, Lily berusaha tenang dan menjaga emosinya. Selama masih menyandang status istri Rizal satu-satunya, ia bersabar untuk tetap tidur satu kamar dan bersebelahan, dengan lelaki yang menurutnya, tak bermoral tersebut. Entah apa yang akan ia lakukan, apabila Rizal membawa Nessa masuk nanti.
****
"Kenapa harus aku?"Terdengar suara dingin Arjuna di telinga Lily yang ikut menyibukkan diri, mengurus segala keperluan Rizal yang akan datang ke rumah calon istri mudanya. Lily merapikan bingkisan-bingkisan entah apa isinya, ia tak perduli. Yang penting mereka membeli sendiri, bukan dengan uangnya.
"Siapa lagi, Juna? Cuma kamu satu-satunya saudara Rizal. Masa enggak mau dampingin?" suara Bu Erna juga terdengar dingin. Hal yang selalu ia perdengarkan, apabila sedang berbicara dengan Arjuna.
"Dulu sudah pernah! Untuk yang kedua aku enggak mau!" jawab Arjuna lantang.
Terdengar hening. Untung saja anak-anak sudah berangkat ke sekolah, sehingga Lily tidak perlu berpikir, untuk menjawab pertanyaan mereka apabila bertanya ke mana ayahnya akan pergi.
"Arjuna! Ingat ... kata mendiang pa ...."
"Iya! Iya! Cuma sebentar!" potong Arjuna akhirnya dengan suara tajam.
"Kamu ... juga ikut, Dek?" tanya Rizal ragu-ragu mendekat pada istrinya.
"Enggak, Mas. Aku ... mau beberes aja, kamu ... perlu tempat yang nyaman, kan? Akan aku siapkan!" ucap Lily berusaha mengembangkan senyumnya di depan Rizal.
"Memang sebaiknya dia tinggal, takutnya dia serangan jantung, liat kelakuanmu Zal! Nyibukin!" tiba-tiba suara dingin milik Arjuna, yang sedang berjalan menuju dapur melintasi mereka, berdenging di telinga Lily. Lily memicingkan mata heran, menatap Arjuna yang acuh melewati mereka.
"Oh, selemah itu dia menilaiku?" pikir Lily seakan tidak terima pada perkataan kakak iparnya.
"Oke ... makasih pengertiannya, Sayang," ucap Rizal sambil merangkul Lily dari belakang.
"Kami berangkat dulu," pamit Rizal buru-buru.
"I-iya ... hati-hati, di jalan Mas!" suara Lily terdengar melemah. Rizal mengangguk. Arjuna kembali melintas dan melirik sinis pada mereka.
Lily membantu mengangkat beberapa macam barang, yang akan di jadikan seserahan nanti. Arjuna memasuki mobilnya sendiri, nampaknya ia tidak ingin bergabung dengan ibu dan adiknya.
"Mas ... ehm ... be-berapa lama di sana?" tanya Lily ragu-ragu.
"Bisa dua atau tiga hari," jawab Rizal tanpa menoleh. Lily mengangguk dan memasang ekspresi sesedih mungkin.
Setelah kedua mobil yang sama-sama berwarna hitam tersebut menjauh, Lily bergegas masuk dan mengambil emas yang ia simpan dalam saku baju kerjanya dulu. Dalam sekejap, emas tersebut berpindah ke dalam tas selempang yang sejak tadi tergeletak di atas meja riasnya.
Setelah itu, Lily bergegas menutup semua pintu dan jendela, lalu mengeluarkan sepede motor dan memanaskan mesinnya sebentar.
Sudah sejak tadi, Lily sangat menantikan keberangkatan suami dan mertuanya. Ia juga sudah tak sabar, ingin menghilangkan jejak emas aslinya di rumah, dengan mengantar ke tempat yang menurutnya lebih aman.
Lily tersenyum di balik kaca helm, membayangkan kekonyolan Rizal, menikahi wanita keduanya dengan berbekal emas imitasi, dan selembar kertas saja. Seperti dua anak kecil yang main manten-mantenan saja.
"Bagaimana saksi? sah?""Saah!" jawab beberapa orang yang menghadiri proses akad nikah Nessa dan Rizal.Nessa tersenyum puas. Ia mencium tangan suaminya takzim. Setelah itu, ia mendekat pada kedua orang tua, lalu pada Bu Erna untuk melakukan hal yang sama. Arjuna sudah sejak tadi beranjak meninggalkan tempat tersebut. Ia memilih pulang setelah akad berlangsung.Rizal membuka kotak perhiasan berwarna merah tersebut sambil tersenyum. Nessa terlihat juga sangat menanti, perhiasan yang sudah resmi menjadi miliknya tersebut di pindahkan ke leher, tangan dan jari-jemarinya.Kalung adalah benda pertama yang di raih Rizal. Dengan gerakan lambat, ia memasangkannya di leher Nessa, yang sedikit menundukkan kepala, memberi selah pada Rizal menyambung kedua ujung kalungnya. Setelah itu, Rizal meraih kedua gelang, lalu memasang di tangan kanan dan kiri Nessa bergantian.Bu Erna terse
Bu Erna berjalan dengan langkah panjang , meninggalkan rumah mantu keduanya. Ia ingin cepat-cepat sampai ke tepi jalan, untuk menunggu angkot."Bu ... Ibu!" tiba-tiba Rizal menyusul langkah ibunya kembali dengan buru-buru. Bu Erna menoleh dan langsung melengos dengan wajah merah padam."Ada Apalagi, Zal? apanya lagi yang ketinggalan?" tanya Bu Erna dengan perasaan jengkel yang masih menggunung di dalam hatinya."Bu ... ibu perhatikan Lily, ya. Jangan sampai dia macam-macam selama aku di sini," pesan Rizal manja namun terkesan seperti sedang memerintah ibunya."Macam-macam yang bagaimana sih, maksudmu Zal? Apanya yang dijaga? Memangnya Lily anak TK Apa? heh!" dengkus Bu Erna tambah jengkel. Menurutnya, permintaan Rizal terlalu mengada-ngada."Bu ... jangan sampai laaa! Ibu ninggalin Lily sendiri kalau cuma ada Kak Juna di rumah," rengek Rizal seperti bocah yang takut mainannya
Malam pertama di rumah Nessa."Kamu!" Rizal berujar sambil memalingkan wajah ke samping. Raut kecewa jelas terpancar dari wajahnya."Maaf Mas, aku memang sudah pernah menikah sebelumnya," ucap Nessa sambil mengenakan pakaian kembali, usai melewatkan malam pengantin mereka."Kenapa kamu enggak pernah bilang, sih?" nada bicara Rizal mulai tinggi, karena tidak sesuai harapan dan perkiraannya. Nessa ternyata bukan seorang gadis ting-ting lagi."Kok marah, sih Mas? Kan kamu sendiri enggak pernah tanya! Iya. Aku dulu emang sudah pernah menikah," terang Nessa sambil berkilah. Iamenyandarkan kepalanya manja di bahu Rizal yang masih menatap tembok kamar.Rizal mengusap wajah setelah terdiam sejenak. Nessa benar juga. Selama ini dia tidak pernah bertanya tentang masa lalu Nessa."Anak? Apa kamu sudah punya anak juga?" Rizal berpaling dan menatap Nessa dalam-dalam. Ada rasa was-was dalam hatinya. Jika Nessa memiliki anak,
"Kakak ... kakak ... jangan! Aku bercerita pada kakak, bukan untuk minta dijemput. Aku mau minta pertimbangan Kak Romy, apa yang harus aku lakukan, untuk menghilangkan jejak uangku, Kak? Aku takut jika Mas Rizal tahu, ia akan meminta uangku," tahan Lily. Niatnya tadi menelpon benar-benar hanya ingin berbagi keluh kesah dan meminta pendapat saja.Hening sesaat. Mungkin Romy juga sedang berpikir di seberang sana. Sesekali Lily begidik saat angin malam berembus dan menghampiri kulitnya."Tapi Ly, aku enggak suka. Kamu pasti tersiksa di sana. Sebaiknya kamu pulang aja. Urus surat ceraimu secepatnya lalu mulailah usaha yang baru di sini," suara Romy terdengar parau, pertanda ia sangat geram.Romy sungguh tak rela, adik kesayangan satu-satunya, diperlakukan seperti sampah oleh mertua dan suaminya sendiri. Selama ini dia tahu, Lily bukanlah istri yang mau berpangku tangan saja. Adiknya pun punya andil dalam m
Keesokan harinya, Lily berusaha menenangkan diri dan menata hati sejak pagi. Embusan napas yang cukup berat ia keluarkan, saat mendengar deru mobil Rizal memasuki pekarangan rumah mereka.Sejenak ia mematung di kamar. Seolah ada tali besar yang mengikat kaki, sehingga Lily merasa berat untuk melangkah keluar. Lily meraih kursi dan duduk menatap dirinya sendiri di depan cermin dengan nanar. Lily baru berkedip, saat keringat dingin meluncur turun melewati alis dan kelopak matanya. Lily mengigit bibirnya pelan. Tangan kanan mengepal, sedangkan tangan kiri meremas baju bagian depan."Ayo Lily si keledai. Jangan nangis. Air matamu terlalu murah, jika kamu tumpahkan untuk manusia-manusia sampah seperti mereka. Kuat ... kuat ... kuat!" Lily memejamkan mata, bersugesti di dalam hati.Ia merasa kuat, setiap menginggat penghinaan mertuanya. Baginya, hinaan dan cemoohan dari Bu Erna dan Rizal adalah cambuk penyemangat yang terus memaksanya untuk lebih tegar. Ia
"Ayo, makan dulu, Zal! Ajak Nessa," ucap Bu Erna melihat Rizal keluar dari kamar anak-anaknya dengan wajah masam.Rizal mengangguk saja. Hatinya masih tidak bisa menerima, Lily malah memilih pindah tidur ke kamar kedua anaknya, daripada membersihkan kamar yang lama tak terpakai untuk Nessa."Bagaimana ini? Bagaimana kalau aku menginginkan dia?" Rizal bertanya pada dirinya sendiri dalam hati. Hayalannya saat masih berada di rumah Nessa, ternyata sangat jauh dari kenyataan yang ia hadapi saat ini. Tidak mungkin dia meminta haknya sebagai suami pada Lily, apabila ia tidur dengan Abidzar dan Hussein.Semula Rizal membayangkan bisa keluar masuk kamar kedua istrinya bergantian, sesuka hati kapan saja ia mau. Dalam bayangannya, hidup seatap dengan dua istri akan memberinya kesenangan yang berlipat. Semula Rizal sudah berhayal, jika Nessa merajuk, ia akan pindah ke kamar Lily dan sebaliknya. Ah! Ternyata susah membuat hayalan jadi kenyataan. Rizal menikahi N
Lily tersenyum saat sampai di gerbang sekolah. Kedua jagoannya ternyata sudah menunggu. Lily membawa kedua anaknya istirahat sebentar di warung yang menjual menu ' Soto Banjar' kesukaan kedua anaknya."Abi ... Husen, makan di sini aja dulu ya. Di rumah enggak ada makanan."Kedua anaknya mengangguk senang. Setelah memesan dua mangkuk soto Banjar, tiga gelas es teh manis, Abi dan Husen duduk menunggu di samping kiri dan kanan Lily."Nanti, di rumah ... ada tante baru datang. Dia teman papa. Jadi jangan banyak tanya. Selama ada tante di rumah, dia yang lebih banyak bersama papa. Makanya, mama tidur sama anak mama aja. Abi sama Husen senang enggak, tidur ditemani sama mama?" Lily merengkuh kedua anaknya sambil bertanya."Abi senang banget, Ma. Kan sudah lama mama enggak tidur sama kami," sahut Abi yang baru duduk di kelas empat sekolah dasar dengan wajah polos, sambil mendongak menatap
Dengan kasar Rizal menarik Lily mundur, lalu maju kembali. Tangan kanannya meraup kerah baju Arjuna dan tangan kirinya terangkat mengepal, siap untuk memberikan Arjuna sebuah bogem mentah.Arjuna berdiri dan menangkap kepalan tangan Rizal dengan cepat. Kemudian menurunkannya dengan gerakan pelan."Santai, Zal! Bini tuamu ini, salah tempat ngamuk. Nih, rambutku dipentung pake sutil panas dan pedas, jangan takut! Aku cuma minta dia bertanggung jawab aja!" ucap Arjuna sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang masih dialiri sedikit air.Rizal langsung melepas kerah baju Arjuna. Ia percaya langsung, karena melihat sutil dan sedikit sambal berceceran di lantai ketika melewati dapur tadi. Perlahan emosi Rizal mulai menurun, dan ia melepas Arjuna begitu saja sambil berbalik menatap Lily."Ngapain lagi bengong di sini! Lanjutin masaknya," sentak Rizal pada Lily yang masih berdiri dengan raut tegan
"Waduh!" Rizal garuk-garuk kepala."Ta-pi, saya bukan suaminya, Mbak," tolak Rizal."Oh, Maaf! Suaminya kemana?""Suaminya di tempat kerja. Hapenya ketinggalan, tapi, nanti ada ibu saya datang dampingin," jelas Rizal. Perawat akhirnya mengerti. Rizal kembali menelpon ibunya yang tak kunjung tiba. Tapi tak di angkat-angkat. Beberapa saat kemudian, wajah Rizal berubah cerah saat Bu Erna sudah tiba di pintu ruang bersalin.Rizal segera membawa Ayezha menjauh, dan Bu Erna langsung masuk dan mendekat pada Lily, yang mulai mengejan. Ia langsung memegang tangan Lily dan menyapu bulir keringat yang menempel di dahinya."Oooeeek ... oeeeek ...."Karena ini pengalaman ke empat kalinya Lily melahirkan, tak perlu waktu lama mengejan, terdengar suara tangis bayi. Lily langsung terkulai lemas. Bayi yang sangat mungil karena lahir di bulan ke tujuh itu diangkat oleh perawat untuk dibersihkan. Bu Erna sendiri, membantu membersihkan anggota
Rizal mengangkat wajahnya pelan-pelan mengikuti arah ekor mata Lily, melirik-lirik pada pasien yang mengisi di satu bagian ruangan mereka."Iya. Kayaknya iya!" jawab Rizal setengah berbisik juga.Mereka semua penasaran apa yang terjadi dengan Nessa. Kenapa yang menjaganya bukan ayah atau ibunya. Kenapa dia didampingi oleh dua orang asing yang sebaya dengan mereka? Nessa sendiri begitu menatap mereka dengan tatapan kosong. Seolah mereka tidak pernah saling mengenal.Rizal jadi penasaran. Arjuna pun mendukungnya untuk mendekat. Nampaknya ia juga sangat penasaran. Begitu wanita yang ikut menjaga Nessa tadi keluar, Rizal mewakili mereka semua mendekat."Permisi Pak. Dia Nessa kan?""Iya," jawab lelaki tadi singkat sambil menoleh."Dia sakit apa? Perempuan yang tadi disini siapanya? Ibu sama Bapaknya kemana?" Rizal memberondong lelaki tersebut dengan pertanyaan beruntun."Oh, tadi itu istri saya. Orang tuanya Nessa meninggal sa
Arjuna mandi secepat kilat. Rengekan Ayezha memanggil-manggil dari luar memaksanya buru-buru untuk menyelesaikan mandinya.Baru keluar dari kamar mandi, Ayezha sudah menunggunya di pintu. Alhasil, masih menggunakan handuk ia mengangkat dan membawa Ayezha duduk di pangkuannya."Papa pakai baju dulu ya, sama mama dulu ya?" bujuk Arjuna. Ayezha menggeleng, ia malah berpegangan erat di leher Arjuna.Arjuna memandang istri dan anaknya bergantian dengan gemas. Lily tertawa senang melihat wajah Arjuna yang lucu, menghadapi tingkahnya dan Ayezha. Tiba-tiba ponsel Arjuna berdering. Panggilan dari Bu Erna."Assalamu'alaikum Bu ....""Wa'alaikumsallam, Juna. Ibu mau ngabarin, istrinya Rizal sudah melahirkan," ucap Bu Erna langsung."Alhamdulillah, ini di mana sekarang, Bu?""Masih di rumah sakit," jawab Bu Erna."Oh, Ya Bu! Sebentar kami ke sana ya, Bu ... mau dibawakan apa?" suara Arjuna terdengar bersemangat."E
"Ngomong apa sih, Mas? Iya. Sejak ketemu Rizal tadi, hatiku berubah. Berubah makin saayaaang sama suamiku yang luar biasa dan baik hati ini. Peduli sama adeknya yang dulu cuma bisa nyusahin dia aja," jawab Lily manja membuat Arjuna tersenyum bahagia."Bagaimanapun, dia adekku. Dalam tubuh kami ada aliran darah yang sama kan? Walaupun beda ibu? Seburuk-buruknya Rizal, sifat baiknya yang kuacungi jempol itu sayang sama ibu. Coba kamu ingat, pernah enggak Rizal berbicara kasar sama ibu? Enggak pernah kan? Meskipun dulu dia berlebihan sampai ngabaikan istrinya karena patuh sama ibu. Tapi kalau dulu dia enggak begitu, bisa jadi yang duduk di sampingku hari ini bukan kamu. Iyakan?"Arjuna bertanya sambil melirik pada Lily yang mengangguk sambil memandangnya penuh cinta. Kekagumannya atas kebijakan Arjuna bertambah besar."Ternyata memang semua ada sisi baik dan hikmahnya ya," gumam Lily begitu Arjuna mulai menjalankan kendaraan mereka."
Sesaat kemudian Rizal seperti tersadar akan sesuatu, lalu melangkahkan kaki masuk ke dapur untuk mengangkat menu makanan keluar.Lily merasa bersalah melihat tatapan Rizal. Arjuna memperhatikan perubahan raut wajah Lily, seperti gelisah. Ia menarik Lily menjauh sebentar."Kamu merasa bersalah, ya?" tanya Arjuna. Lily hanya diam. Ia sendiri tak tahu kenapa ia harus merasa bersalah."Minta maaflah pada Rizal. Atas kebohonganmu selama jadi istrinya dulu. Bagaimanapun, yang namanya bohong apalagi saat itu dia berstatus suamimu, tetaplah dosa," ucap Arjuna lembut. Lily hanya diam. Ia ragu dan takut. Lily masih saja berpikir, Rizal masih sama seperti yang dulu."Ly! Euumm, boleh aku ngomong sebentar?" tiba-tiba Rizal muncul dari belakang.Arjuna langsung masuk meninggalkan Lily dan Rizal yang duduk di kursi pel Keduanya duduk berhadapan. Jantung Lily berdegup kencang. Ia berpikir pasti Rizal akan menanyakan soal kebohongannya.
"Mas, kenapa sih aku enggak boleh ke ruko lagi? Mbak Fi juga kayaknya takut banget aku ke sana? Kenapa?" Lily mencoba kembali memancing pembicaraan setelah penolakan Mbak Fi sebulan yang lalu."Enggak apa-apa. kan aku sudah bilang, alasannya. Aku pengen kamu cepat hamil. Enggak perlu capek-capek lagi," Arjuna bersikukuh dengan alasan lamanya."Yaelah! kalo ke sana kan nengok doang, gak ngapa-ngapain! Gak capek. Gak ngaruh, Mas!" protes Lily."Pokoknya enggak boleh!""Kalau aku sudah hamil, baru boleh berarti ya?" tanya Lily. Arjuna diam, nampak masih enggan mengiyakan. Lily jadi makin penasaran melihat tingkah laku suaminya."Maaaas! Kalau sudah hamil, jangan kurung aku lagi, ya!" Lily mulai merengek."Heeeeeemmm. Hamil aja dulu!" Arjuna akhirnya mulai tak tega mendengar rengekan Lily."Bener, Mas?" Lily berbalik menatap suaminya. Arjuna hanya menaikkan alis sebagai jawaban."Mas. Liat deh!" Lily mengambil ses
Tiga minggu berlalu begitu cepat.Lily bersiap tidur mengenakan piyama lengan panjang. Ia menyusun bantal seperti biasanya. Arjuna masih menggosok gigi di kamar mandi.Setelah semuanya beres, Lily memilih-milih kaset yang sudah hampir semuanya ditonton."Yaaaah!"Suara Lily terdengar kecewa."Kenapa?" tanya Arjuna yang baru keluar dari kamar mandi."Ngadat semua kasetnya! Padahal tinggal ini aja yang belum diputar. Besok kita cari kaset-kaset baru yang banyak, ya!" ucap Lily.Arjuna diam saja, tak menjawab. Lily menuju pembaringan, sambil membuka ponsel ia berbaring. Jari-jarinya langsung berselancar di youtube. Tiba-tiba Arjuna berbaring dan langsung merampas ponsel Lily."Mau ngapain?" ucapnya sambil meletakkan kembali ponsel Lily di dekatnya."Mau cari tontonan. Kan kasetnya rusak, besok kita cari lagi kaset baru, ya?" sahut Lily sambil bertanya."Enggak perlu! Mulai sekarang sebelum
Arjuna menurut saja pada ajakan Lily. Begitupun saat Lily memaksanya duduk sambil menatap wajahnya."Jadi, dulu itu aku melakukan sterill enggak dipotong. Cuma diikat, dan masih bisa dibuka lagi," terang Lily membuat Arjuna sangat terkejut."Emang bisa?" Arjuna menampakkan ketidakpercayaan."Kenapa enggak? Jaman udah semakin canggih. Tubektomi yang kulakukan hanya sebatas menutupi saluran indung telur kanan dan kiri supaya tidak terjadi pembuahan, jadi masih bisa dibuka. Prosedur membuka ikatan itu namanya anastomosis tuba, yaitu menggabungkan bagian saluran indung telur yang masih sehat," terang Lily sambil mengingat ucapan Dokter yang membantunya beberapa tahum silam.Arjuna menatap Lily penuh rasa syukur. Tetapi sesaat kemudian senyumnya meredup. "Tapi, apa enggak ada resiko kalau dibuka lagi ? Kalau membahayakan kamu, sebaiknya enggak usah. Kita sudah punya Husen dan Abi. Aku enggak masalah punya anak tiri aja. Bukankan selama aku ja
Setelah Rizal keluar, Arjuna langsung menutup pintu dan menguncinya. Ia tak ingin Rizal kembali mengusik mereka berdua. Arjuna merasa tak tega, melihat Lily selalu menangis bila berurusan dengan Rizal.Di luar kamar mereka, Rizal serasa tak mampu melangkah. Tulangnya seperti tak mampu menopang tubuh. Rizal bergeser dari pintu kamar Arjuna dan Lily, untuk bersandar di dinding. Ia meremas dadanya yang terasa sakit luar dalam. Berkali-kali ia menyapu matanya yang kabur, karena aliran air mata yang tak mampu dibendung.Rizal baru tahu rasa dan arti sebuah kehilangan, setelah hartanya yang paling berharga kini dalam genggaman orang yang tepat. Dia tak lagi memiliki alasan untuk memintanya kembali.Menyesalkah dia? Sangat! Tapi, kini Rizal sadar. Sesal tinggallah sesal. Mungkin memang sudah tiba waktu dan garis jodohnya dengan Lily terputus, dan tak bisa disambung lagi. Jodoh mereka sudah habis, tak akan bisa ia paksakan untuk bersatu lagi.Bu Erna mengha