“Khabar keluarga kamu sehat, nak..” Aini mengunyah kerupuk di tangannya sambil mendengar nek Ijah.
“Alhamdulillah, Nek? Meraka semua sehat,” Jawab Aini santun. Gadis itu duduk bersila di tengah Reyhan dan nek Ijah. Reyhan meminta Aini untuk menginap semalam di rumahnya, karena besok lusa Aini berencana balik ke Medan untuk melanjutkan perjuangannya, disamping masa cutinya telah habis, Aini ingin segera menyelesaikan masalah dengan Victor. Meskipun saat ini dia bingung, masalah apa yang harus ia selesaikan. Namun gadis itu ngotot berniat mengakhiri hubungannya dengan Victor yang baru saja jadian. Kedengarannya sangat menyedihkan, tapi mau tidak mau, Aini harus melakukan itu sebelum Victor terlalu jauh mencintainya.
“Ain.. bawakanlah seseorang untuk Reyhan. Dia sudah sangat berurmur? Bukan kah kalian seumuran? Apa lagi yang kalian pikirkan!” celoteh nek Ijah di tengah suasana makan malam yang lezat. Aini dan Reyhan saling melihat. Mere
Anggraini tiba di kos-kosannya tepat jam 9 pagi, karena perjalanan dari dari Nanggroe ke Medan memakan waktu hingga 13 jam perjalanan. Berhubung menempuh perjalanan pada malam hari maka siang ini Aini ingin beristirahat seharian. Belum lagi tubuhnya yang remuk redam akibat bus yang ditumpangi Aini berlari menggila di atas rata-rata.Memangkas rasa lelah di jiwa karena perjalanan yang ditempuhnya, pikiran Aini mulai padat dengan kisahnya dengan Victor yang makin memasuki area dilema. Ia berusaha menenangkan kepalanya yang penat oleh berbagai masalah. Namun, Aini menghela nafas. Rasa lega itu musnah setelah sesaat ia menghidupkan hp-nya dipenuhi dengan chat dari Victor.“Jadi, selama ini kamu mengabaikanku, karena kamu berketurunan Bangsawan. Alasan itu juga kamu tidak pernah membalas chat aku? Segitu cuman kedewasaan kamu, Ain..” Aini menatap poselnya dan mengansurnya sampai ke bawah. Chat berisi umpatan terhadap dirinya yang sudah bersikap seperti anak keci
HARI belum berganti, masih pukul 23.49, tetapi Aini sudah gelisah karena mengingat Victor, di ranjangnya segera turun. Berkaca memandang wajah yang kusut. Seharusnya dia tidak terlalu cepat menerima seorang Victor dan berkencan semudah itu, dan seolah sekarang seperti permainan, dia membenci situasi yang kini menjebaknya. Aini mencintai Victor itu harus diakui olehnya. Namun, cinta itu tidak mungkin bersatu, saat mengingat dirinya bukanlah perempuan biasa. Dia terlahir dari rahim bangsawan yang menuntutnya untuk menikah sesama bangsawan pula. Gadis itu memakai celana pendek Adidas abu-abu baju kaos kebesaran kesukaannya, keluar kamar, mencari angin di depan teras. Beberapa saat kemudian, dia sudah berdiri di depan mengamati pemandangan lampu-lampu Kota Medan sambil memegang secangkir kopi.Ketika dia memikirkan cara untuk mengusir bayangan Victor, sebuah notifikasi berdering di hanphonenya. Dia menaruh asal cangkir di meja lapuk, dan mengambil hp-nya dalam
Sonya membukakan pintu untuk Aini, perlahan Aini keluar dari mobil dibantu oleh Sonya, sesaat hawa dingin menyergab tubuhnya. Dibimbing Sonya gadis cantik itu masuk ke dalam indekostnya. Menghenyak badan di atas ranjang sederhana, Aini meringkuk melawan rasa nyeri dibagian kepala."Son, dingin banget," Aini mengingau terus meringkuk di bawah selimut"Ya, aku tau ... maka lu harus minum obat dulu," Sonya menyalakan teko pemanas air mengambil gelas dan menuang air hangat,"Ain, lu jangan main-main. Ini masa pandemi, lu gak berniat menularkan untukku, kan?" cerocos Sonya sudah sangat dipahami oleh Aini. Gadis itu bangun sedikit mengulum senyum, jujur untuk saat ini ia tidak punya daya untuk membalas Sonya. Patuh dengan menelan beberapa tablet pereda sakit, Aini merebahkan badannya kembali. Cuaca tampaknya tidak begitu menentu belakangan ini, mengingat bulan pancaroba sudah mulai masuk. Kini, peralihan musim kemarau ke hujan mulai terasa. Bahkan, ses
Tiada terasa hari berganti, seolah waktu enggan berhenti. Sebagaimana mestinya perjalanan akan berputar mengikuti porosnya roda dunia. Dari hulu sampai ke hillir semua bergelombang bak riak menggapai dataran. Hari ini, Dokter sanjaya seorang spesialis penyakit dalam sedang melakukan fisid pembuka pagi sebagai rutinitas setiap paramedis yang bertugas di rumah sakit Bakti Husada. Paruh baya tersenyum ramah dengan alat tetescop mengalungi lehernya. Beliau menyapa Aini dengan sedikit menggoda gadis bangsawan itu "Selamat pagi? Aini.. saya harus kasih resep apa ini.. kayaknya obat-obatan saya sudah gak mempan," Aini tersipu terliat rona merah bercampur semu di pipinya. "Resep dokter itu saya sempurnakan, biar lebih mujarab, dok." Timpal Victor berdiri membungkuk di kaki Aini. Tak dapat dipungkiri, rasa itu sulit ia lukiskan "Paan, sih kamu?" Aini malu-malu,"Jadi saya tidak perlu periksa lagi nih. Auto sembuh? padahal baru satu hari loh?"
"Aini.." panggil Sonya disela rebahan di atas ranjang Aini"Em.." saut Aini suaranya terbungkap karena posisi gadis itu sedang menelungkupkan tubuhnya di kasur"Lu yakin ... dengan keputusan lu?" seru gadis berdarah Batak-Jawa itu gelisah. Entah kenapa sejak Victor tergila-gila sama Aini, Sonya merasakan hawa kekhawatiran pada diri Victor. Mengingat Aini akan segera tamat, dan kembali ke kampung halamannya? maka malapetaka besar akan menimpa Victor. Aini mengerjab membenam separuh wajahnya di bantal. Ia sedang berfikir apa maksud Sonya, walaupun ia tau, namun makna yang tersirat membuatnya susah menjawab."Maksud lu apa? gua ngantuk Son.. lu tidur napa?" Kilah Aini menyeret topik. Jujur untuk saat ini Aini belum memiliki jawaban apa pun untuk status hubungannya dengan Victor"Lu cinta gak sih, ama Victor? aku heran, Son. Victor kok sampai tergila-gila kayak gitu ya sama ellu, padahal dia udah tau! lu bakalan pergi setelah kuliah selesai," ucapnya menatap
Aini menatap datar sosok asisten dosen yang terkenal dengan kepintaran dan ketampanan di atas rata-rata di kampusnya.Laki-laki itu duduk menyender tubuh pada dingding sofa di sebuah diskotik yang biasa dikunjunginya. Aini menaut kedua alis melihat sekeliling ruangan. Suasana terlihat sepi pengunjung namun lampu disco tidak berhenti berputar menyilaukan cahaya ke sudut-sudut ruangan. Beberapa orang pelayan sedang duduk bersantai di dekat meja bar sambil tubuhnya bergoyang mengikuti irama musik. Aini bergidik memperhatikan pakaian seorang pelayan wanita berambut kuning bergelombang. Busana ketat melekat di tubuh gadis itu sudah sangat jelas memancing gairah para lelaki. Pakaian yang tipis setipis urat malu itu mengekspos bagian dalam milik gadis berambut peran membuat Aini merinding disco."Vic. Ngapain kemari?? kamu gak salah membawaku ke tempat ini, Vic." Bisik Aini di samping Victor. Pria itu memutar bola mata seraya memeluk pinggang Aini. "Te
Sering gadis itu mempertanyakan setiap kali membayangkan ketika sedang bertapak pulang ke rumah sehabis dari kampusKira-kira, sosok laki-laki seperti apakah yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak nanti? Apa laki-laki itu dari kaum bangsawan juga. Atau Victor? tapi Rafli melarangnya menikah dengan selain kaum itu. Mimpi setiap orang adalah, menikah dengan seorang aktor seksi favoritnya seperti di film yang ceritanya selalu bikin cewek-cewek histeris. Namun dia gak sampai separah itu. Mendambakan seorang laki-laki yang seenggaknya bukanlah seorang pemabuk. Minimal pria baik-baik. Atau, sosok laki-laki yang mungkin punya kriteria dan memenuhi sebagai calon suami.Aini sampai di rumah langsung membuka pintu kos-kosannya, lalu membanting tubuh di atas ranjang. Ia mengerjab mata menatap langit kamar. Dalam lamunan yang sama ditemani suara percakapan acara televisi—yang sebenarnya sudah menyala sejak tadi pagi—dia lupa mematikannyaBagaima
Jumat sore yang cerah dimana langit terlihat biru, matahari di ufuk barat berwarna keemasan serta beberapa kawanan awan putih transparan hilir mudik tertiup angin.Hiruk pikuk kota tiada berhenti meskipun masa pandemi terus digaungkan melalui PPKM. Proses belajar mengajar secara daring diterapkan dibeberapa daerah termasuk Medan sendiri. Namun khusus pasca S2 sedikit diberi kelonggaran.Aini berjalan keluar kelas psikologi karena jadwalqq kuliah telah habis. Jam menujukkan pukul tiga lebih dua puluh menit.“Aini.....” Sonya berteriak sambil melambaikan tangan kearahnyaAini tersenyum getir dan berjalan bergegas menghampirinya.“Son...”Sonya mendekat menggapai tangan Aini dan membawanya ke sebuah tempat yang tidak terlalu jauh dari gedung pasca sarjana. Setiap membayangkan Sonya, terkadang Aini iri, Sonya yang selalu periang dengan tubuh ramping bermata sipit, tinggi badannya sekitar seratus enam puluh cen
“Kamu siap. Emm..” Aini melengkung senyuman getir. Ia menunduk setelah menyakinkan hati pria yang kini berdiri gagah di depannya dengan balutan jas dan peci menutup kepalanya. Kisahnya telah selesai di sini, di sebuah desa kecil yang jauh dari kediamannya. Sebuah desa yang telah melahirkan pria berlatar belakang seorang mafia pengedar. Aini menatap diri dalam balutan gaun brokat berwarna putih dengan sisa kesadaran dan nafas terputus. Iya? Aini telah memutuskan untuk menikah siri dengan adik iparnya sendiri karena Halim terus memaksanya, bahkan pria itu mengancam“Dengar, Ain. Kamu setuju menikah denganku, atau rumah ini akan kubumi hanguskan. Aku tidak akan segan-segan melakukan itu.” Hati Aini meringis kesakitan. Yang kedua kalinya ia mendengarkan ancaman Halim, dan kali ini dengan nada yang tidak bisa dianggap enteng. Ya! Tatapan Halim begitu serius memancarkan sinar tajam di mana cukup membuat Aini sadar bahwa Halim bukan lah pria baik-baik yang Cuma menggertak sambel kurang peda
Saat semua orang tau aku ternoda, aku yakin mereka akan melontarku dengan hinaan. Dan saat nanti mereka menghujatku dengan kata itu, aku akan teriak. Hidupku dibelenggu silsilah dan kemargaan. Ketika semua sudah jelas, namun tidak mampu mengembalikan harga diriku, baiklah aku akan menyerah. Menyerahkan diri pada keadaan Andai saja ada sayap, saat ini yang ingin dilakukan Aini adalah mengepak dan terbang ke suatu tempat di mana tidak seorang pun, yang dapat menemukannnya lagi. Ia rela hidup sendiri, demi apapun itu. Di sini, di rumah yang besar ini sudah tidak lagi ada ketenangan apalagi kebahagiaan. Pikiran lain juga hinggap, andai Victor datang menjemput dan membawanya pergi jauh dari orang-orang yang terdekat yang tidak berarti, memahami perasaannya. Aini meremas kuat ujung dress dengan sisa kesadaran setelah mendengar kecaman sang ayahanda barusan, “Bagaimanapun caranya, papa mau kamu menikah dengan Febby. Apa yang kamu pikirkan, umur kamu tidak berjalan ditempat, Aini.” Tatapan
Setelah percintaan panas penuh gairah yang dilakukan Anggraini bersama Halim Kusuma disiang hari ini tuntas, akhirnya mereka terkulai lemah, terlentang menatap langit-langit kamar dengan sisa kenikmatan masih mengalir dalam darah mereka. Aini mengerjab pasrah meratapi arti sentuhan yang lakukan Halim begitu dasyat mengoyak harga dirinya. Tiada henti ia mengutuk diri sendiri ketika Halim melakukan itu, ia enggan menolaknya. Tak henti bibirnya meracau menyebut nama Halim ketika mencapai orgasme yang bertubi-tubi. Bagian vitalnya berdenyut nyeri terus meminta mengemis agar Halim jangan berhenti menusuknya. Sadar akan isyarat itu, Halim tersenyum puas dan semakin memacu adrenalin mengeluarkan seluruh pengalaman fantasi liarnya demi membawa Aini ke puncak kenikmatan.“Aww… therrus, Llimm. Akhuu … m-aauh…”“Bagus sayang, keluarkan, ayoo…”Dua raga yang terbalut selimut putih itu telah kembali ke alam sadar mereka. Aini hendak beranjak dari ranjang, namun Halim mencegahnya. Pria itu merangku
Perputaran waktu kian tajam bak pedang menghunus masa. Kepingan hidup bagai kerak lempeng kian bergeser semakin mengangga. Seiring fakta kian terkuakBerbagai kejadian mengalir di kepalanya, memori demi memori tersimpan rapi dalam bentuk serpihan dosa. Perempuan yang diberi sandangan bangsawan itu semakin terpuruk dan berlumuran dosa. "Stop, Lim. Stop, aku tidak menginginkan ini lagi, tolong berhenti melecehku!" Suara bercampur erangan. Saat ini, Aini sedang berusaha menolak sentuhan Halim, di mana pria itu sudah tidak menjamahnya selama sepekan. Aini meronta, namun lebih mendominasi dalam bentuk desahan. Halim tidak perduli membabi buta menyerang dan menyobek kaus tipis yang dikenakan gadis itu malam ini. Ia tidak menyangka, Halim akan menemuinya lagi setelah sepekan menghilang. Sempat merasa lega. Tapi, lihat kini. Ia dihimpit kuat di dinding kamar dengan rentangan tangan dibawah tekanan lengan kokoh Halim. "Ain, ayolah, bukan kah, kamu juga menikmatinya. Sudah lama kita tidak me
Keadan begitu cepat berubah. Entah sadar atau enggak, gadis bernama Anggraini telah tergelincir oleh waktu. di mana, harga diri tak lagi menjadi pertimbangan baginya sejak Halim terus menerus menggodanya sampai pada titik kehormatan itu jatuh pada laki-laki yang berstatus sebagai adik ipar.Tiada yang tau jalan hidup seseorang. Mirisnya si wanita bangsawan, bukan berjodoh dengan pria sepantaran nya, malah terjebak dalam skandal adik ipar. Tapi kenapa? Aini rela berbuat, bahkan berkhianat pada Meylan adiknya. jawabannya adalah; Aini sendiri juga bingung. Karena ketika ia sadar, semua telah terjadi seperti di luar keinginannya.Mungkin ia prustasi. Atau mungkin buntu dengan kenyataan hidup selama ini. Serba salah, dan mungkin juga karena putus asa. Tapi, pagi ini Halim berniat mengajak Aini ke suatu tempat. Kira-kira apa tanggapan Aini, secara kalau sampai ketahuan Rafli, mungkin nyawa keduanya menja
Dari jauh. Penampakan kediaman Rafli tampak selalu sunyi. Dan, yang orang-orang ketahui! rumah itu tidak berpenghuni bila di siang hari. Namun, siapa yang tau. Di dalam sana ada seorang wanita yang hidupnya telah hancur. Keturunan pertama pasangan Rafli Syahbandar dan Kartini Majid. Mereka sama-sama terlahir sebagai kaum bangsawan terhormat.Dan, hari ini. Anggraini berniat keluar sebebentat untuk menghirup udara segar berjalan-jalan keliling kampung. Gadis itu sangat cantik meskipun sedikit pucat. Mata bulatnya terlihat kelam seakan menyimpan sejuta misteri.Ia berdandan sederhana, namun penampilan sangat memukau. Heran! apapun yang dikenakan Aini, selalu pas dan cocok di tubuhnya. Sekarang, ia memadukan T.shirt dengan Jeans sedikit jombrang, kerudung pashmina ia sangkut gitu aja. Tapi hasilnya sungguh mempesona. Bibir merah bak kelopak mawar hanya diberi lips glouse, bedak seadanya.Aini berjalan keluar, dan waktu ia membuka pintu? sosok pria tampa
Anggraini tiba di rumah megahnya setelah sepekan lamanya gadis itu menemani Reyhan sahabatnya. Ia menaruh motor pada tempatnya, lalu bergegas ke kamarnya di lantai atas.Anggraini juga tidak perduli dengan suasana rumah yang sepi. Ia hanya melihat sekilas melalui celah pintu yang sedikit terbuka, di sana Halim sedang menimang putranya. Aini berhenti sejenak sambil berpikir setelah itu ia mengidik bahu dan naik ke atas.Meniti cepat anak tangga, Aini sudah nggak sabaran sampai di kamar. Sedetik setelah sampai, ia menghempas tubuhnya menelungkup, dan membenamkan seluruh jiwa dan raga. Di sana tumpah ruah air mata membasahi bantal dan spray. Ia hampir lupa cara mengendalikan emosi dalam jiwanya, hingga tangisannya pecah, sepecah-pecahnya.Suaranya akan tersedu ketika mengingat, khabar Victor mencarinya sampai ke Nanggroe. Di bagian itu, Aini di dera rasa bersalah. Bukan soal cinta, tapi perkara janji yang teringkar. Mereka punya janji kuat, pun it
Anggraini menatap cakrawala di atas permukaan air laut. Mematri tanpa batas sampai pandangan tersapu angin. Perputaran arah dari berbagai penjuru menyisir gelombang ke tepi pantai.Satu jam berlalu, dara manis nan rupawan itu telah kembali, namun ia tidak langsung ke rumah Reyhan. Melainkan singgah di pantai beutari. Pantai yang selalu jadi ajang curhatannya."Jadi, ini alasan kamu meninggalkan anak saya? saya pikir ... kamu wanita terakhir untuk Victor. Ternyata, wanita baik-baik juga bisa berhianat."Tuduhan itu terus terngiang di telinga Anggraini. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Sandreas, papanya Victor. Tapi, ada urusan apa papanya ke Nanggroe? Apa segitu luasnya jaringan Beliau? pikir Aini."Huuuf'Nafas panjang dihembus kasar. Desah keluar melalui rongga dada, saking sesak membayangkan masa lalu yang sudah ia kubur terkuak lagi."Kamu tau, anak saya ke sana ke mari mencari kamu. Bahkan, Victor nekat data
Aini menelentangkan tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Matanya sayu menerima jilatan cahaya lampu tepat di atas mukaknya. Gadis itu terhenta, pasrah dan menyerah. Keputusan satu jam yang lalu begitu perih menggores hatinya. Akan kah, ia rela ditunangkan? sementara, Febby saja tidak menginginkan perjodohan ini.Mirisnya, kisah hidup anak-anak cucu Syahbandar karena harus menikah dengan sesama bangsawan yang malah mereka sendiri punya pilihan masing-masing.Terkadang, Aini menyesal telah meninggalkan Victor demi orang tuanya, dan seandainya ia bisa memutar waktu, ia ingin mengulang semuanya dari awal. Lah! penyesalan selalu datang di akhir, pikirnyaSelanjutnya, Aini bangun melepas semua pakaian dan menggantikannya dengan setelan piama. Ia ingin tidur, ingin meneggelamkan semua permasalahan hidup yang tiada akhir. Namun, sebelum itu ia mengetik sesuatu di hanphonenya dan mengirim pada seseorang agar menunggunya esok, setelah i