Seorang wanita sedang duduk di sebuah batu. Kedua kakinya sengaja ia celupkan pada aliran sungai bening. Berharap dinginnya air mampu membekukan kegundahan, kesedihan dan amarah yang ia rasakan. Alifah sesekali beristighfar.
“Ning, sudah sore. Ayok pulang,” ajak Mbok Rondo. Pengasuh yang mengasuh Alifah sejak kecil.
“Sebentar lagi, Mbok.”
Mbok Rondo hanya mengangguk. Beliau paham kegundahan Alifah. Dalan hati Mbok Rondo, dia selalu berdoa demi kebaikan anak kyai yang diasuhnya itu. Berulang kali dia sudah menasehati Alifah untuk melepas Arif, tapi Alifah tidak mau.
Suara dua orang yang sedang bercanda dan tertawa mengalihkan perhatian Alifah dan Mbok Rondo. Keduanya melihat dari kejauhan, dua muda mudi sedang bercanda sambil bermain air. Muda mudi itu tampak bahagia.
“Mas ... udah, ah! Hahaha.” Jenar tertawa dan berusaha menghindari Azmi yang sedang menciprati tubuhnya dengan air.
“Mas ... capek.&rdq
Tiga hari tiga malam Arif lebih banyak diam, dia bahkan hanya berada di kamarnya. Tanpa makan atau minum. Tuti begitu khawatir dengan putra tunggalnya. Sayid, kakak kandung Tuti hanya menatap tingkah Tuti dan fokus pada kopinya.“Puas kamu! Kamu itu cuma punya anak satu. Tapi kamu kekang dia, kamu selalu mencampuri kehidupan dia. Sekarang rasakan! Padahal mas sudah setuju dia sama Jenar. Kita sama-sama orang biasa. Selevel. Tapi kamu serakah jadi milih mengiyakan pinangan Kyai Mustofa.”“Lalu ini apa? Kamu menyuruh Arif poligami? Gara-gara Ning Alifah belum bisa kasih kamu cucu? Kamu lupa sama masmu ini? Masmu juga gak punya anak, tapi mas bahagia. Mas menerima keadaan Yati dengan ikhlas. Harusnya kamu itu bisa mengarahkan anakmu biar lebih legowo. Egois kamu!” Suara Sayid lantang membuat Tuti hanya bisa menunduk.Hening.“Lagian kenapa harus anak Pak Hamid? Kamu tahu hubungan Pak Hamid sama Kyai Mustofa gak baik. Ka
Jenar menatap nanar beberapa foto yang masuk ke ponselnya. Lagi. Jenar dibuat resah dan marah oleh tingkah Yasmin. Belum cukup menjadi penyebab Jenar kehilangan calon bayinya, Yasmin berulang kali mengirim foto yang membuat Jenar dan Azmi beberapa kali didera kebisuan. Bersyukur suaminya itu jeli jadi bisa menangkap setiap perubahan di wajah Jenar.“Dia hanya masa lalu, Je. Kamu ingat, ‘kan? Kami pernah dekat. Tapi demi Allah, mas bisa menjaga diri mas. Lagian di foto ini apa kami lagi pelukan? Ciuman? Bukannya kami cuma berhadapan?”Jenar hanya bisa diam, sungguh hatinya sakit gara-gara foto-foto yang dikirimkan Yasmin.“Abaikan semua ulah Yasmin, Je. Dia memang berusaha merusak rumah tangga kita dengan menyakiti psikologis kamu. Jangan pernah berpikir macam-macam. Kita harus saling percaya.”Jenar mengembuskan napasnya lagi. Jenar mencoba menanamkan kembali kepercayaan pada suaminya. Suaminya benar, Yasmin hanya sedang menc
Jenar sedang berbaris bersama rekan-rekannya. Jantungnya berdebar tapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Satu per satu rekannya berjalan menuju Pak Rektor dengan didampingi orang tua, suami/istri atau pacar. Jenar sendiri didampingi oleh kedua orang tuanya sedangkan sang suami duduk di depan bersama barisan para dosen termasuk kedua kakak iparnya.Jenar segera berjalan dengan diapit oleh Karmin dan Minah. Senyum tak pernah lepas dari ketiganya. Jenar berdiri di depan Pak Rektor hingga Pak Rektor menyampirkan tali pada topinya sebagai tanda prosesi wisuda.Jenar menangkupkan tangan setelah menerima map berisi ijazah. Dia tersenyum kemudian melirik ke arah suaminya yang sedang mengacungkan kedua jempol sambil mengedip genit. Mau tak mau Jenar tertawa melihat tingkah memalukan sang suami.Begitu prosesi selesai, Jenar dan kedua orang tuanya segera keluar untuk mencari keluarga yang lain.“Rame ya, Je.”“Iya Mbok, namanya wisuda
Azmi dan Jenar masih menatap Yasmin dan Gus Jalal. Yasmin tersenyum licik. Dia bisa melihat wajah sedih Jenar dan rahang Azmi yang mengeras. Hatinya bersorak ceria.Rasakan, itu pembalasanku untuk kalian. Aku akan selalu mengganggu kalian. Kalian tidak boleh bahagia, sementara aku harus hidup dengan orang yang tidak kucinta, batin Yasmin.“Mas Jalal kenalkan ini teman Yasmin. Gus Azmi sama Mbak Jenar.” Yasmin memperkenalkan Gus Jalal pada Azmi dan Jenar.Gus Jalal memasang wajah ramah dan menyalami Azmi. Azmi pun menyambut uluran tangan Gus Jalal dan tersenyum ramah.“Wah, gak nyangka ketemu di sini ya Gus,” sapa Gus Jalal ramah.“Alhamdulilah, Gus. Gus Jalal sehat?”“Alhamdulillah sehat.”“Dengan Edi apanya Gus?”“Oh, istrinya itu masih saudara sepupu saya.”“Oooo.”Yasmin mengernyit karena tidak menyangka suaminya mengen
Azmi dan Jenar berjalan di lorong rumah sakit. Mereka hendak menjenguk Yasmin.“Kok bisa keguguran ya, Mas?”“Namanya musibah, Je. Lagian ke Monas katanya sambil pake higheels.”“Hah? Kok bisa?”“Entah. Setahu mas, emang dari dulu Yasmin suka pake sepatu atau sandal berhak tinggi. Cuma ... kalau lagi hamil, kan, harusnya hati-hati.”Keduanya berjalan dengan sesekali membaca petunjuk yang ada.“Kenapa Ning Yasmin ke Monas ya, Mas?” heran Jenar.“Mas, apa ...?” Jenar menghentikan kalimatnya, terlalu takut jika dugaannya benar.“Gak usah mikirin ke sana. Itu salah dia sendiri, salahnya dia stalking akun kita. Lagian ngapain dia ke Monas padahal sepupu Gus Jalal sedang mengadakan resepsi. Mas malah yakin, kepergian Yasmin ke Monas karena dia mau merecoki bulan madu kita.”Jenar hanya diam. Keduanya akhirnya sampai di ruang r
Arif menatap Pak Hamid. Dia sudah mengutarakan keinginannya untuk menikahi Alifah kembali. Hamid sedang berpikir dan menimbang-nimbang.“Baik, aku akan menikahkan kalian tapi sebagai syaratnya, berikan Al-Huda padaku.”Arif sudah menyangka jika ini akan dijadikan tuntutan oleh Hamid. Arif menatap Mbok Rondo dan Alifah. Azmi, Jenar dan Cakra hanya diam. Arif menatap Azmi, Azmi mengangguk.Arif mengingat kembali pembicaraannya beberapa waktu yang lalu dengan Azmi.“Gus, boleh kita berbicara berdua.”“Mau bicara apa, Mas?”“Penting ini, Gus. Saya mau minta pendapat Gus Azmi.”“Tentang?”“Pak Hamid, pakdhenya Alifah. Dia pasti akan mempersulit keinginan saya. Dan jika pun dia mau menjadi wali nikah pasti ada syarat yang akan dia minta untuk saya kabulkan. Saya takut, Gus. Jika syarat yang dia minta adalah menyerahkan A
Jenar menatap keadaan kamarnya yang seperti kapal pecah. Selalu, seperti ini. Jenar baru saja kembali dari mengajar di SMA, dia hendak beristirahat sebentar sebelum menghandel kajian sore di pondok putri.“Mas. Mas.” Jenar mencoba membangunkan sang suami. Bukannya bangun, Azmi malah menarik Jenar hingga Jenar terjatuh di atas ranjang dengan posisi berada si atas Azmi. Entah sadar atau tidak Azmi malah mengeratkan pelukannya pada Jenar.“Ckckck.”Ide jahil mampir di kepala Jenar, dia memajukan wajahnya dan ....“Aaaaa, Je!” teriak Azmi sedangkan Jenar sudah bangun dengan posisi terpingkal-pingkal lalu segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Azmi memegangi telinganya yang memerah akibat gigitan Jenar. Padahal baru saja mata Azmi terlelap setelah selesai menyelesaikan laporan keuangan sekaligus proposal kegiatan pondok.“Awas kamu, Je! Mas, balas nanti.”Terdengar suar
“Yang mana?”“Itu yang di atas.”“Ini?”“Benar.”“Oke. Aku ambil dulu.”Jenar menatap ngeri pada sesorang yang dengan lincah mengambil beberapa mangga belum masak demi sebuah kata ‘ngidam’. Karena musim mangga baru dimulai, pohon mangga di belakang rumah masih kecil-kecil ukurannya.Ada beberapa mangga yang ukurannya besar-benar terletak di tempat tertentu yang sulit dijangkau dengan galah. Mau tak mau harus diambil dengan galah tapi harus ada yang naik dulu ke atas pohon.Jenar dan beberapa khadamah menatap ngeri seseorang yang begitu terampil memanjat maupun mengambil mangga dengan galah. Hampir satu jam, orang itu berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain dan keranjang yang kini dipegang oleh Azmi sudah nampak penuh.“Masih mau lagi, gak Mi?” teriak Caca dari atas pohon.“Gak usah, Mbak.”“Beneran?”
Azmi membuka pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya melongok lebih dahulu kemudian masuk pelan-pelan berusaha meminimalisir suara. Azmi tidak mau Jenar dan putranya, Azka bangun. Karena bisa dipastikan Azka yang kini menginjak usia lima belas bulan pasti bangun jika tahu dia sudah pulang. Dan itu berarti sang istri ikutan bangun. Padahal mungkin Jenar baru saja tertidur.Azmi terkekeh melihat posisi tidur Azka yang sudah menghadap kemana sedangkan Jenar tertidur dengan posisi miring ke arah kiri dengan beberapa kancing daster yang terbuka. Pasti Azka tidur setelah puas minum sedangkan Jenar yang sudah kelelahan tanpa sadar tidur duluan. Dengan pelan Azmi mengancingkan kancing daster Jenar. Soalnya bahaya, ini aja Azmi harus berusaha menahan diri, rasanya ingin menggantikan Azka buat menikmati sumber makanan si bayi. Hahaha. Duh, biarlah dikata omes toh sama istri sendiri.Setelah menaruh tas dan jaket pada tempatnya, Azmi segera mengambil handuk dan baju ganti lalu berjala
Seakan memang sudah digariskan oleh sang pencipta, semua urusan tentang pembelian tanah dan bangunan peninggalan Alifah berjalan tanpa hambatan berarti. Setelah semua administrasi selesai, beberapa bagian pondok akhirnya ada yang dicat ulang, direnovasi atau dipugar. Azmi bahkan sengaja membangun beberapa kamar lagi untuk santri putra dan putri. Untuk fasilitas MA-nya, Azmi berusaha melengkapinya juga dengan fasilitas laboratorium MIPA maupun komputer. Azmi bahkan merekrut beberapa pengajar untuk melengkapi kekurangan guru yang ada.“Mas, ini gak papa kan aku pakai uangnya Mas Azzam juga? Habis duitku gak cukup kalau aku sendirian yang jadi donatur.”“Ya nanti ganti kalau sudah ada uangnya,” sahut Azzam.“Gak usah lah ya Mas, kan udah lama juga Azmi gak minta duit sama Mas Azzam jadi sekarang Azmi borong.”Azzam cuma mencebik lalu mengacak kasar rambut adiknya dan dibalas Azmi dengan senyuman manis serta sorot puppy eyes persis
Azmi mengernyit menatap beberapa orang yang mendatangi rumah mertuanya.“Gus.”Beberapa orang yang datang langsung menyalami Azmi bahkan hendak mencium punggung tangan Azmi namun Azmi menolak dan meminta mereka bersalaman secara biasa saja. Karmin mengajak sang menantu dan tamu yang datang duduk di ruang tamu.“Ada apa ini, Sir?” tanya Karmin pada salah seorang dari tamu yang datang.“Ini Pak Karmin, ada pengacara Ning Alifah kemarin datang ke pondok dan bertemu dengan kami para pengurus. Katanya pondok gak ada yang ngasuh karena Ning Alifah belum sempat mewariskan atau menghibahkan pondok sama siapa pun. Jadi menurut pengacara Ning Alifah, akan lebih baik jika pondok dijual pada seseorang yang mau merawat pondok dan meneruskan perjuangan Kyai Mustofa,” terang Yasir salah satu pengurus pondok yang berusia sekitar empat puluhan.Azmi mendengarkan dengan seksama penjelasan Yasir, dalam hatinya tiba-tiba ada desiran hal
Amira dan Murni duduk gelisah sambil sesekali melihat ke arah jam. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun Khalid, Alifah dan Arif belum juga kembali.“Coba dihubungi lagi, Mira.”“Sudah Umi, tapi gak aktif.”“Duh, umi kok punya firasat gak enak ya.”Kedua ibu dan anak masih setia menunggu kabar dari Alifah atau Arif. Hamid yang baru bangun tidur melihat heran tingkah anak dan istrinya. Dia duduk di kursi yang bersebrangan dengan anak dan istrinya yang duduk di kursi panjang.“Abi sakit? Masa seharian tidur terus?”tanya Murni khawatir.“Enggak, oh iya Khalid mana?”“Nah, itu dia. Khalid belum pulang.”Hamid mengernyit. “Memangnya Khalid ke mana?”“Pergi sama Alifah ke Banjar.”Hamid kaget, wajahnya mendadak pias. Hamid langsung berdiri membuat Murni dan Amira menatap bingung tingkah Hamid.Sampai di kam
Waktu terus berjalan, tak terasa sudah tiga bulan, Alifah dan Arif berada di Al-Huda. Hamid masih tak ada kabar, sementara Amira memilih kembali pulang ke Pemalang dengan ditemani oleh Murni. Khalid tidak mau tinggal bersama Amira. Khalid yang sejak kecil kurang mendapat kasih sayang baik dari Almer maupun Amira, begitu menikmati kasih sayang dari Alifah dan Arif. Khalid kecil merasa nyaman dan merasa dicintai layaknya anak kecil pada umumnya. Bahkan Tuti, ibunya Arif begitu menyayangi Khalid dan menganggapnya sebagai cucu kandung.“Awas! Kena kamu ya!” Alifah sedang bermain dengan Khalid, sejak tadi balita itu tertawa terus sambil berlari.“Cini, Umi. Tangkap Aid. Hahaha.”Arif yang baru datang menatap haru tingkah Alifah dan Khalid. Senyumnya merekah ketika melihat Khalid melambaikan tangan ke arahnya.“Main apa hem? Kayaknya senang sekali.”Arif menangkap Khalid yang berlari ke arahnya. Membopongnya kemudian mengh
Murni menatap sang suami dengan gelisah. Hamid terlihat marah. Murni ingin menegur tapi terlalu takut akan menjadi sasaran kemarahan Hamid. Bukan tanpa sebab Hamid marah. Semua berawal dari banyaknya keluhan para santri akan gaya kepemimpinannya. Belum lagi pemasukan pondok yang kian hari kian menipis. Banyak donatur yang kini enggan memberikan sumbangan pada Al-Huda. Ditambah lagi beberapa harta peninggalan sang Adik yang akhirnya ludes demi pengobatan Alifah. Kini tak ada apa pun yang tersisa. Hanya pondok, pondok yang mulai sepi.“Abi.” Suara pintu diketuk dari luar mengalihkan perhatian suami istri.Murni membuka pintu kamar dan terlihatlah Amira beserta putranya, Khalid.“Kenapa, Mira?”“Itu, Umi, Abi. Alifah sama Mas Arif sudah pulang.”Murni mengangguk, Amira segera berlalu dengan membopong Khalid yang kini berusia tiga tahun. Hamid masih diam saja, kepalanya pusing. Kepulangan Alifah setelah berobat dari Singapura
Menjadi seorang ayah itu, susah susah gampang. Banyak susahnya tapi banyak banget senengnya. Apalagi kalau anak-anak lagi anteng, tumbuh dengan sehat tanpa kekurangan, ditambah senyum istri yang menawan dan aktivitas halal yang mulai bisa lagi dikerjakan. Happy deh si bapak. Begitulah yang dirasakan oleh Azmi. Mau gado-gado, es campur sampai permen rasa nano nano pokoknya gaskenlah. Maju terus jangan mundur. Soalnya takut nabrak.Seperti pagi ini, Azmi sudah siap dengan kereta dorongnya yang didesain khusus untuk langsung menampung dua bayi. Azmi pun sudah menyiapkan tas penuh dengan perlengkapan si kembar.“Abah, Umi. Azmi pamit mau jalan-jalan sama si kembar.”“Iya. Jeje gak ikut?”“Jeje masak Umi.”“Ya sudah hati-hati ya. Jangan ganjen sama para santri putri, para jomblo sama emak-emak rempong. Inget loh, udah punya istri sama putri.”“Tenang Umi, Azmi kan setia. Mereka mah lewat kecuali kal
Azmi menatap bahagia ke arah keempat keponakannya. Akhirnya, dia bisa menjalani malam pertama di rumah dengan dua putri kembar dan gak sendirian. Awalnya Azmi sedikit takut, karena bagaimana pun dia kan baru jadi abah. Mana umi dan abahnya harus ke Bumiayu karena ada urusan mendadak juga. Meski ada Caca tetap saja gak samalah. Tetep lebih nyaman dengan uminya kalau mau minta tolong.Azmi sangat bersyukur dengan drama yang dilakukan oleh Quila. Biasanya, Azmi resah kalau Quila minta tidur bareng, tapi malam ini pengecualian.“Dedek, dedek kembar ciluk ba ... ciluk ba.” Quila begitu bahagia mempunyai adik, mana langsung dua lagi. Dia sampai merengek minta tidur bersama adik kembarnya. Tentu Azmi sangat menerima dengan senang hati. Tapi ditolak oleh Caca mentah-mentah karena takut Quila malah mengganggu adiknya yang lagi tidur.Tapi, Quila menangis sampai tantrum. Bahkan bujukan dari Caca sama sekali tak mempan. Caca pasrah dan meminta Azzam untuk membujuk Qu
Jenar duduk santai sambil sesekali mengusap perutnya. Di sampingnya Quila sedang menikmati es krim cokelat bersama Mbak Salamah, salah satu khadamah yang juga sedang menikmati es krim rasa vanila.“Akhirnya, anteng juga ya Mbak Salamah.”“Nggih, Ning. Duh, kirain Ning Quila mau jadi gadis kalem lah malah sama saja kayak Gus Aslan.” Salamah mengucap sambil terkekeh.“Ning gak ikutan milih-milih?”“Gak. Capek Mbak. Lagian tuh, udah ada calon abah rempong sama budhe baik hati. Aku duduk ajah, capek.”“Hihihi. Bener Ning.” Salamah terkikik melihat Gus Azmi yang begitu semangat dari satu stand ke stand lainnya. Begitupun dengan Caca. Kedua kakak adik ipar itu begitu antusias memilih baju-baju dan aksesoris untuk putri kembar Azmi-Jeje.Iya, akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh dua minggu, tepat satu bulan setelah acara mitoni diselenggarakan. Jenis kelamin anak kembar Jenar dan Azmi bisa terlihat