Ajeng menata hatinya untuk kembali melangkah menuju masa depannya yang sempat tertunda. Tawaran kerja di kantor membuatnya berfikir berkali-kali mengingat tak memiliki pengalaman untuk itu.Om Gerwin dan Ibunya yang menjadikan dirinya kuat terlebih Ibunya yang selalu ada di sampingnya dalam keadaan suka dan duka. Serpihan luka yang mengangga tersiram air garam sehingga luka itu tak kunjung sembuh namun, semakin parah. "Mandul selamanya akan tetap mandul. Lihat suamimu begitu menikmati sentuhan dariku. Kau sudah gagal Ajeng, gagal ingat itu!" Ajeng memejamkan mata. Kata yang di ucapkan Wulan kembali mengganggunya."Sudah om duga kamu di sini. Kenapa? Memikirkan wanita itu?" Ajeng mengusap bulir bening yang mengalir di pipinya."Om, aku—" Ajeng terbata, usai terpergok menangis sendiri di gazebo."Di mana ibumu?""Ibu ada di kamar, om, apa perlu aku panggilkan?" tanya Ajeng, mengalihkan perhatian dari Gerwin."Tidak usah, lagi pula Om hanya ingin bicara dengan kamu. Boleh om duduk di seb
Dengan sikap tenang Ajeng duduk di sofa yang kini tak lagi bersih seperti saat dirinya masih di rumah itu. Sofa itu kini berdebu, tangannya mengibas sebelum duduk di sana. Bu Ida yang tidak suka itu menarik pergelangan tangan sebelum bobot tubuh Ajeng sampai di sofa."Siapa yang menyuruh kamu duduk, hah? Pergi dari sini sebelum kami usir!" sentak Bu Ida, Wulan melakukan hal yang sama itu menarik tangan Ajeng agar tidak duduk mereka."Kenapa aku tidak diizinkan untuk duduk di sini? Bukankah sudah seharusnya pemilik rumah memperlakukan tamunya dengan baik?" ujar Ajeng santai."Lagi pula aku pernah tinggal di sini, tapi keadaan rumah tak seperti ini. apa tidak ada yang bisa melakukan pekerjaan ini? Lihatlah sofa itu begitu kotor banyak sekali debu apakah kalian sulit untuk mengerjakan ini? Sampai rumah yang begitu mewah bersih dan indah kini sudah berubah menjadi–" Ajeng, urung melanjutkan ucapannya tatapan tidak suka Wulan dan Bu Ida membuatnya kembali diam."Mau rumah ini berantakan k
Mereka membulatkan mata, tanpa sadar mereka membuka mulutnya lebar tak percaya yang baru saja mereka dengar. Ajeng wanita sederhana adalah seorang konglomerat, bagi keluarga Dimas bukan sederhana tapi miskin. Rumah mereka anggap seperti kandang sapi, kumuh dan berdebu berbeda dengan keluarga Dimas yang memiliki segalanya rumah mewah dan mobil belum lagi gaji yang besar tentunya.Mereka membanggakan kekayaan yang ternyata bukan milik mereka. Hinaan yang terucap dari bibir kini berbalik kearah mereka. Sadar jika Ajeng adalah wanita kaya raya Bu Ida jatuh pingsan."Bu, ibu, pake acara pangsan lagi!" Wulan kesal melihat ibu mertua yang mata duitan melepas Ajeng. Dimas tak kalah terkejut sampai mengabaikan Ibunya terbaring di lantai. Ia berusaha untuk meminta maaf pada Gerwin pemilik perusahaan tempatnya bekerja namun fakta baru jika itu semua milik Ajeng."Pak Gerwin, maafkan saya. Ajeng, tolong maafkan saya, kami akan pindah besok untuk hari ini biarkan kami tinggal di sini untuk member
Ajeng melanjutkan aktifitasnya kali ini ia ingin membuka rumah makan yang menjadi impiannya, setelah resmi mengundurkan diri dari toko kue tempatnya bekerja. Ajeng meminta pada ibunya untuk mewujudkannya semua keinginannya yang tertunda.Tentu saja Bu Sekar setuju ia tahu seperti apa kehebatan putrinya yang mampu mengelola semua bahan makanan yang sederhana menjadi istimewa."Om dukung, gimana kalau kita cari restoran dulu? Setidaknya setelah kamu bisa memiliki tempat akan memudahkan kamu berkreasi lagi," ujar Gerwin, setuju dengan ide keponakannya."Ibu setuju idenya Gerwin, kapan kamu akan mencari lokasinya? Atau kamu sudah punya pilihan sendiri?" tanya Gerwin."Sebenarnya aku punya ide tapi sepertinya jauh dari sini," sahut Ajeng ragu."Kenapa kamu ragu, nak? Katakan pada kami tempat mana yang kamu inginkan?" Bu Sekar tahu benar jika Ajeng tidak ingin merepotkan orang lain. "Um, bu, om, aku sudah punya pilihan cuma berada di luar kota. Dan itu akan memakan waktu yang lama," tutur
Sesat mereka saling pandang, Bu Ida terlihat pias. Tentu, ia tahu cepat atau lambat kejadian ini akan terjadi dan ia harus merelakan semuanya.Melihat menantunya, Bu Ida pasrah jika Wulan akan menceraikan putranya."Selamat siang, apa benar ini kediaman ibu Wulan?" "Benar, saya sendiri. Ada apa ya, pak?" tanya Wulan bingung."Kami kesini untuk menjemput pak Dimas. Beliau selalu mangkir dari panggilan," ujar pria berseragam."Tunggu, mana surat penangkapannya?" tanya Bu Ida."Silahkan ibu baca dulu, saya minta kerja samanya agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan untuk membawa pak Dimas." Bu Ida dan Wulan membaca dengan teliti selebar surat yang di bawa pria tak lain adalah polisi. Berdua saling pandang untuk kesekian kalinya."Katakan di mana pak Dimas, Bu?" Bu Ida menatap marah setelah membaca surat penangkapan untuk putranya yang kini bekerja di salah satu bengkel."Jadi ini mantan mantu saya yang melaporkan anak saya? Anak saya tidak bersalah. Dia pantas di beri nafkah sepul
Sejak makan siang hari itu interaksi antara Ajeng dan Rayyan semakin intens, terlebih pria tampan itu membantunya untuk promosi meski Ajeng tak ingin tetapi banyak kalangan pebisnis yang gencar memesan makanan dari warungnya. Seperti saat ini perusahaan Rayyan kembali memesan kali ini dengan jumlah yang lebih banyak, menurutnya ada acara pesta untuk pembukaan cabang sehingga Rayyan memesan makanan bukan dari restoran tetapi dari warung milik calon istrinya. Istri? Sepertinya hanya Rayyan yang mengakuinya mengingat ia telah melamar Ajeng pada ibunya dan Om Gerwin. Walau sampai detik ini Ajeng belum juga menjawab lamarannya. Kembali dengan kesibukan Ajeng, walau ia tahu niat Rayyan namun baginya yang terpenting warungnya mampu menembus pasaran sehingga Ajeng bisa menghidupi karyawan dan keluarganya. Selain itu Ajeng pun ingin membuka cabang meski harus mencari lokasi yang strategis.Mengenai lamaran dari Rayyan, Ajeng hanya meminta waktu yang entah sampai kapan. Sebab ia masih menata
"Will you marry me,"Ajeng tersentak untuk kesekian kalinya menerima lamaran dari Rayyan. Lamaran kali ini sungguh membuatnya terharu, bagaimana tidak Rayyan melamar bukan hanya di depan kedua orang tua mereka tetapi di depan banyak orang Rayyan tanpa malu mengutarakan niatnya untuk menikah dengannya bahkan beberapa wartawan meliput tindakan yang sudah dilakukan oleh Rayyan."Terima!!""Terima!!""Terima!!"Masih banyak suara-suara yang menyerukan bahwa lamaran Rayyan harus diterima oleh Ajeng. Sesaat Ajeng terdiam sebelum menjawab perkataan dari Rayyan."Bismillahirrahmanirrahim, aku terima," "Alhamdulillah!"Suara gemuruh tepuk tangan dan ucap syukur atas diterimanya lamaran Rayyan pada Ajeng. Bukan hanya Rayyan tetapi dua keluarga saling berpelukan mereka menangis haru atas kebahagiaan yang baru saja mereka lihat di mana Ajeng yang telah membuka hatinya untuk pria lain setelah perceraiannya dengan Dimas.Rayyan meminta pada ibunya untuk menyematkan cincin di jari manis Ajeng. Ora
Geramnya Gerwin berakhir setelah mendapatkan kejutan dari para tamu undangan yang tak lain adalah kolega dan karyawan. Walau tidak semua dari perusahaan ada pula tetangga yang di undang oleh Gerwin dan Bu Sekar. Bu Emma orang yang menjadi tamu utama spesial Bu Sekar.Saksi perjalanan hidup Bu Sekar dan Ajeng kecil adalah Bu Emma itu sendiri. Di mulai kedayangannya hingga saat ini, hanya Bu Emma yang begitu dekat dengan Ajeng dan Bu Sekar.Berdua menghabiskan waktu bersama berbagi cerita tentang rumah mereka. Bu Sekar tahu keadaan rumahnya dari Bu Emma. Mengingat kesibukan Ajeng dan Bu Sekar membantunya di sana. "Aku bahagia kamu menemukan kebahagiaan yang sempat hilang dari hidupmu, Sekar," ucap Bu Emma, setelah melepaskan pelukannya."Makasih kamu sudah datang, aku pikir kamu menolak undangan dariku. Kamu adalah sahabat sekaligus saudaraku," "Tentu saja aku datang, aku jauh lebih merindukan kamu dan anakku. Mengetahui kamu akan menikah tanpa mengundang aku, aku akan putuskan untuk