Bu Sekar yang sejak tadi melamun terkejut dengan guncangan tubuhnya. Keterkejutannya menjadi ketika wajah mereka saling beradu."Bu–" lirih Ajeng.Bu Sekar berusaha untuk tersenyum meski senyum itu jelas terlihat berbeda. Ajeng sendiri tidak tahu harus mengatakan bagaimana pada putrinya untuk memulai kisah yang lama ia sembunyikan bagaimana perasaan putrinya setelah mengetahui kenyataan yang ada lalu bagaimana mereka bisa menjalani kehidupan mereka yang baru nanti."A– Ajeng, kamu sudah pulang? Kenapa kamu tidak mengucapkan salam?" tanya Bu Sekar."Bu, dari tadi aku sudah salam. Nyari ibu kesana kemari tapi ibu tidak ada, taunya ibu ada di sini. Boleh aku tahu apa yang ibu pikirkan? Sampai aku panggil ibu tidak jawab?" Bu Sekar gelagapan perkataan Ajeng membuatnya sulit untuk bernapas. Sesak menghimpit hatinya. "Nak, kita bicara di dalam. Ada hal yang ingin ibu katakan padamu," Bu Sekar menarik tangan Ajeng menjauh dari tanaman yang subur.Di sinilah mereka berdua, gazebo kecil yang
Ajeng mengikuti arah pandang Bu Widya alangkah terkejutnya Ajeng melihat dua pria berjalan ke arah mereka. Siapa lagi kalau bukan pria yang menjadi gosip untuknya hingga terjatuhnya kata talak dan pengusiran dirinya dari rumah suaminya."Kalian sudah datang? Tepat waktu," sambut Bu Widya, saat kedua pemuda itu telah sampai di depannya."Ajeng, kenalkan Ridwan. Dia pengacara yang saya pilih untuk membantu kamu merebutkan hak kamu," ucap Bu Widya. Memperkenalkan seorang pria muda yang berdiri di depannya mengulurkan tangannya."Maaf," lirih Ajeng, tak enak hati meski begitu Ajeng tetap mempertahankan apa yang seharusnya di lakukan seorang muslim. Itu yang di ajarkan agamanya. Ajeng menangkupkan ke-dua tangannya di depan dadanya."Tidak apa-apa, saya yang minta maaf," ujar Ridwan. Rayyan yang tak lain adalah putra dari Bu Widya hanya tersenyum melihat salah tingkah sahabatnya. Satu kata dalam hati untuk Ajeng, kagum. Atas apa yang di lakukan Ajeng, meski kini berstatus tanpa suami sebab
[Kamu sudah dengar? Itu hanya peringatan untuk kamu dan ibumu. Ingat, jangan macam-macam. Atau kamu akan mengalaminya.] Ajeng, mengusap dadanya yang tiba-tiba sulit untuk bernapas. Pesan kedua yang di kirim dari nomer ibu mertuanya."Ajeng!" suara ibunya menarik perhatian Ajeng yang terfokus dengan pesan yang diterima. "Bu, ibu tidak apa-apa?" tanya Ajeng, shock melihat bangkai yang di dalam dus. Bukan hanya itu saja batu berukuran sedang tergeletak di lantai dan kaca pecah berserakan tak jauh dari dus."Astaghfirullahaladzim," Ajeng tidak kalah terkejut dengan keadaan di depannya. Dus terletak di teras tidak jauh dari batu terdapat boneka di dalamnya dengan berlumuran darah pemandangan yang sangat mengerikan. Walau ia tahu bahwa darah itu adalah dari tikus. Bau penyengat membuat keduanya berlari keluar sehingga menarik perhatian para tetangga yang kebetulan keluar mendengar teriakan Bu Sekar dan Ajeng."Bu Sekar, Ajeng. Kalian kenapa berteriak?" tanya Bu Emma yang secepat kilat ber
Ajeng mengelilingi rumah yang pernah ia tinggali sebelumnya, ada sesuatu yang hangat menjalar seluruh tubuhnya seakan membawanya ke masa di mana hidupnya bahagia bersama mendiang ayahnya. Seperti apa wajah ayah? Tentu, Ajeng tidak mengenalinya."Selamat pagi non, Ajeng, silahkan di minum teh hangatnya," ucap seorang wanita paruh baya, wanita seusia ibunya berdiri dengan nampan di tangannya."Terima kasih Bu—" ucap Ajeng, tidak tahu harus memanggil apa pada wanita di depannya."Mbok Nah, non. Ini teh kesukaan non waktu kecil. Di sini, kita selalu bersembunyi dari nyonya dan tuan karena non selalu meminumnya meski sudah di larang," ucap mbok Nah, menyela ucapan Ajeng.Ajeng tersenyum tertarik mendengar kisah hidupnya di masa lalu."Jadi mbok tahu siapa aku? Bagaimana aku kecil dulu?" tanya Ajeng, antusias."Tentu saja, mbok tahu siapa non Ajeng, bahkan kita sering menghabiskan waktu di sana," tunjuk Mbok Nah, Ajeng mengikutinya. Taman kecil di samping kolam ikan dan tak jauh dari sana a
"Maaf non, Bu Sekar, mobil tadi terhalang jadi saya harus menunggu pemilik mobil yang menutupi mobil Bu Sekar, datang," ucap pria di depannya penuh sesal."Tidak apa-apa pak Ardi," sahut Bu Sekar.Berdua naik mobil yang mewah setelah dibukakan pintu oleh pak Ardi. Perlahan mobil itu pun melaju meninggalkan pengadilan agama membutuhkan waktu untuk sidang berikutnya selama itu pula Ajeng pun dilarang untuk keluar rumah terlebih kondisinya dan teror yang terus-menerus di terima dari Bu Ida."Bu maafkan aku, seandainya waktu itu aku mendengarkan kata-kata ibu, kejadian ini tidak akan terjadi pada kita dan aku–" ucapan Ajeng, terhenti Bu Sekar menggeleng."Untuk apa kamu terus-menerus meminta maaf pada ibu? Kamu tidak bersalah. Ini semua karena takdir ini ujian untuk kamu dan Allah tahu jika kamu mampu untuk melewatinya," Ajeng merebahkan kepalanya di pangkuan sang ibu, entah bagaimana rasanya saat ini untuk ia gambarkan, rasa terima kasih dan bahagianya memiliki Ibu yang begitu perhatian
Disampingnya, Tyas berbisik manja pada ibunya. "Aku tidak betah di tempat ini. Kita cepetan pulang ya, Bu!" ujar Tyas, mengibaskan dress nya yang tidak sengaja bersentuhan dengan orang lain."Benar, tempat ini terlalu kumuh." Bisik Tisna mencebik. "Ck, kumuh tetapi wanita-wanita di tempat ini lumayan." Tisna adik kandung Dimas menatap wajah adik iparnya. "Cantik, pintar juga Dimas cari istri ya, walau pun orang kere," ujar Tisna, masih di dengar oleh ibu dan adiknya."Kau ini, wanita di sini memang cantik. Tapi sayang, mereka tidak pantas bersanding dengan orang seperti kita. Tempat mereka di sini, bukan di istana kita atau istana yang lainnnya." Sengit Bu Ida.Berdua mengangguk mengiyakan ucapan Ibunya mengenai wanita di sana. Tatapan tidak suka terlihat jelas di sana terlebih melihat kedua mempelai duduk di pelaminan dan antrian orang-orang untuk memberi selamat memanjang. Ida, Tisna dan Tyas asik memakan apa saja yang tersaji di meja prasmanan. Sesekali Sekar menatap mereka hera
Bu Sekar mendekat di sambut Ajeng. Ia mengadu pada Ibunya tentang keinginan Dimas dan ibunya yang pulang saat itu juga. "Bu, kata Mas Dimas, aku diajak pulang ke rumahnya setengah jam lagi. Bagaimana menurut ibu? Aku ingin menolak karena nanti sore ada teman yang akan datang. Pesta pernikahan ini juga belum selesai," lirih Ajeng menumpahkan kegalauan hatinya "Apa tidak bisa di tunda besok saja pulangnya, Nak Dimas? Tidak baik juga dilihat tamu undangan baru satu jam akad nikah sudah pergi,""Maaf Bu, ibu, saya ada alergi debu kalau kelamaan di luar. Ibu jangan khawatir Ajeng sudah menjadi tanggung jawab saya. Jadi saya minta ijin membawa Ajeng pulang setengah jam lagi. Baju-baju Ajeng biar di bawa sebagian nanti bisa diambil lagi besok-besok," sahut Dimas berkata sopan. Memastikan jika ibu mertuanya menyetujui keinginannya untuk membawa Ajeng.Apa lagi yang bisa Bu Sekar lakukan selain mengijinkan putrinya dibawa suaminya walaupun butuh hati dan telinga lebih kuat untuk menjelaskan pa
"Nak, istighfar, ada apa? Katakan pada ibu, nak," Bu Sekar memeluk tubuh Ajeng yang bergetar. Entah apa yang terjadi pada putrinya sampai menangis begitu sedu. Beruntung saat Bu Sekar ingin mengambil air yang kebetulan telah habis, hatinya ingin melihat putrinya yang lebih dari dua jam tak kunjung keluar dari kamar. Firasat seorang ibu tidak bisa di ragukan lagi. Mengetahui ada sesuatu yang terjadi hingga Bu Sekar berbalik ke kamar putrinya yang tak jauh dari kamar utama. Benar saja putrinya tengah telungkup tubuhnya bergetar karena menangis."Bu apa aku terlalu bodoh?" isaknya, bukan kali ini Ajeng menanyakan hal itu padanya. "Siapa yang bilang? Kamu tidak bodoh nak, hanya saja kamu begitu baik, hatimu begitu lembut sehingga mereka dengan mudah mempermainkan hatimu. Lagi pula mereka yang tidak mengenal kamu. Mereka akan menyesal setelah melepaskan berlian. Dimas tidak akan menemukan wanita seperti kamu meski berganti ratusan wanita di luar sana. Percaya pada ibu, nak," Ajeng memelu