Menjelang sore, Akbar pulang ke rumah sambil menenteng sawi yang dia ambil dari perkebunan di sebelah sawah miliknya. Kebun yang berukuran luas itu sengaja dia tanami sawi, jagung dan sayuran yang bermacam-macam. Satu-satunya kebun paling lebar peninggalan Bapak Akbar yang sampai saat ini masih dipertahankan oleh Emak Lamba dan putranya itu."Ambil sawi lagi?" tanya Emak ketika baru saja membuka pintu. "Yang kemarin masih ada, Nak, berikan Pak Ustad Jefri saja!"Akbar mengangguk tanpa membantah. Selama ini, dia sering mengambil sayuran di perkebunan untuk dimasak sehari-hari dan lainnya memang untuk dijual ketika masa panen nanti."Emak sudah masak, makan lah!" pinta Emak Lamba. "Pak Jefri ada?" Akbar mengangguk. "Emak sudah tau ini sebelumnya, iya kan?"Emak duduk di salah satu kursi yang terletak rapi di teras. "Ustad Jefri tadi kesini, beliau bilang mau mengenalkan kamu sama anak dari almarhum temannya. Emak gak bisa memutuskan, Ustad bilang mau bicara sendiri sama kamu. Jadi, baga
"Sudah waktunya panen ini besok, Bar," celetuk Pak Jagal yang kebetulan letak sawahnya bersebelahan dengan sawah milik Akbar. Milik mendingan Bapak Akbar maksudnya."Mau panen manual apa gimana?" tanya Pak Jagal lagi. Akbar nampak berpikir. Panen manual maka akan butuh banyak tenaga, tentu juga upah. "Kalau mau pakai mesin Dos, biar besok sekalian digarap sama Pak Min setelah garap sawahku.""Boleh juga, Pak," sahut Adam. "Nanti aku ke rumah Pak Min, biar besok sekalian digarap sama beliau.""Ya, bagus itu. Sayang kalau panen manual, capek dapat, uang upah juga bisa dua kali lipat, belum kamu harus masukin padi ke dalam karung sendirian. Dobel capeknya, Bar."Akbar mengangguk membenarkan. "Terima kasih sarannya, Pak Jagal.""Ya, sama-sama. Emak Lamba bilang perkebunan di ujung sana mau dijual. Benar begitu?"Akbar menoleh dengan cepat. Dia menatap Pak Jagal dengan pandangan penuh kebingungan. Kapan Emaknya datang ke rumah pria paruh baya ini?"Emak yang bilang sendiri, Pak?"Pak Jagal
Tubuh Kanaya menegang mendengar suara Akbar yang meninggi untuk pertama kalinya. Kedua matanya memanas. Bibirnya bergetar menahan tangis karena pria yang selalu mengatakan akan menjaga dan mencintainya ternyata sudah berubah dalam hitungan hari saja."Kang ....""Buang semua harapanmu yang menggunung itu, Naya! Karena sampai kapanpun, aku ... tidak akan pernah lagi datang ke rumahmu untuk meminang gadis yang bahkan berani meninggikan suara di depan Emak. Tidak akan pernah!" Air mata Kanaya meluncur bebas. Dadanya sesak. Kedua tangannya mengepal sembari mencengkeram pegangan rantang yang sudah ia siapkan isinya dari rumah sejak pagi."Hanya karena itu, Kang? Hanya karena ....""Hanya?" sela Akbar menahan geram. "Kamu bilang hanya, Nay? Meninggikan suara di depan orang yang lebih tua menurutmu adalah hal yang biasa, begitu? Dia Emakku, Kanaya! Surgaku! Bisa-bisanya kamu mengatakan semua yang terjadi dengan kata hanya?" Akbar terkekeh getir. "Kita belum menikah saja kamu sudah ingin men
"Kenapa kamu bawa balik lagi rantang itu, Nay?" tanya Bu Tarjo keheranan. "Sudah habis masakan kamu dimakan Akbar? Apa Mamak kata, pria seperti Akbar itu pasti mudah luluh dengan sedikit perhatian. Berterima kasih lah kau ke Mamak," imbuh Bu Tarjo pongah.Kompyang ....Kanaya membanting rantang stainless yang sempat ia genggam asal karena isinya yang sudah berserakan di sawah. Bu Tarjo memekik kaget. Diurutnya dada sambil menatap sengit pada putri bungsunya yang terlihat tidak bersemangat. "Apa-apaan kamu, Kanaya?!" bentak Bu Tarjo geram. "Kau pikir barang-barang Mamak ini hasil mencuri sampai-sampai seenak jidat kamu buang-buang begini, hah?!""Kenapa pula kamu pulang sambil marah-marah, Akbar bilang gak enak masakan kamu, iya? Tersinggung kamu?""Semua ini gara-gara Mamak!" teriak Kanaya sambil menangis. "Harusnya Mamak terima saja berapapun mahar yang Kang Akbar berikan, sekarang ...."Kanaya terduduk di lantai sambil menangis. Bu Tarjo menatap putrinya dengan air muka kebingungan
"Kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini, Akbar?" tanya Ustad Jefri serius. "Sebelum kami pertemukan dua keluarga, kamu harus tau satu hal ....""Apa itu, Ustad?" "Wanita yang akan kami pertemukan denganmu adalah ...."Akbar menanti jawaban Ustad Jefri dengan air muka kebingungan. Tidak banyak wanita yang ia kenal. Bertemu Kanaya pun karena diperkenalkan oleh teman dari teman, bukan karena perkenalan pribadi. Jadi mengapa pria paruh baya di depannya ini nampak ragu mengatakan siapa wanita itu."Guru TK," jawab Ustad Jefri ragu. "Kamu gak masalah kan?"Akbar terkekeh. Dia mengangkat kepalanya dan mengangguk mantap. "Apapun profesinya, Ustad. Sukur-sukur kalau dia mau menjadi Ibu Rumah Tangga saja. Tapi, insyaallah saya tidak membatasi ruang geraknya asal ....""Asal apa, Bar?""Wanita itu mau menerima Emak saya."Ustad Jefri mengangguk paham. Seulas senyum terbit di bibirnya ketika Akbar masih memikirkan satu-satunya orang tua yang dia miliki. "InsyaAllah, Akbar. Ustad dan Umi tidak
"Tutup mulutmu, Nay!" Bu Tarjo meninggikan suara sambil melotot. "Seret dia, Pak! Bisa-bisanya menjatuhkan harga diri orang tua demi pria angkuh seperti dia. Sah-sah saja kalau pria yang kamu tangisi ini kaya dan mapan, lihat ... pekerjaannya saja tidak jelas tapi mati-matian kamu menangis demi dia. Memalukan!"Kanaya mengusap pipinya sembari menangis. Dadanya bergemuruh. Panas akibat tamparan Pak Bagiyo ternyata tidak lebih sakit daripada pengabaian yang Akbar berikan. "Benar kata Mamak kamu, Kanaya. Untuk apa membuang-buang air mata hanya karena pria miskin sepertiku. Pulang lah, jangan jadi anak durhaka. Memalukan kalau sampai semua orang tahu kamu menangisi seorang petani sepertiku," ucap Akbar sambil tersenyum sinis. "Apa kata orang nanti, bisa-bisa mereka mengira kalau kedua orang tuamu memintaku untuk menikahi putrinya. Bukankah itu memalukan?"Pak Bagiyo dan Bu Tarjo menatap nyalang pada sosok pria berusia matang di depannya. Ucapan Akbar semakin lama semakin banyak mengandun
"Besok?"Ustad Jefri nampak keheranan. Pasalnya, beberapa hari belakangan Akbar terlihat seperti enggan memulai hubungan baru, tapi hari ini ...."Mendadak sekali, kenapa?"Akbar dipersilahkan duduk di teras dengan sisa-sisa napas yang masih terengah-engah. Dia meneguk ludahnya kasar ketika Ustad Jefri bertanya, kenapa?"Ada satu dua hal yang mengganggu saya, Ustad. Dan, sepertinya dengan menyegerakan menikah maka gangguan itu akan hilang dengan sendirinya," papar Akbar. Matanya lagi-lagi memanas. "Maaf, bukan saya bermaksud menjadikan wanita pilihan Ustad sebagai tameng. Hanya saja ....""Tentang Kanaya?"Akbar mengangguk ragu. Bukan rahasia umum lagi di kampungnya tentang kabar bahwa Akbar ditolak oleh keluarga Kanaya. Entah siapa yang menyebarkan berita ini lebih dulu yang jelas, semua tetangga tahu jika putra Emak Lamba ditolak karena mahar yang tidak sesuai keinginan keluarga Kanaya."Maaf, bukan Bapak ingin ikut campur lebih dalam urusan kamu. Menikah memang sangat baik jika dis
"Kang Akbar!" Kanaya berteriak nyaring sekali. "Apa maksutnya ini? Dilsah? Siapa yang melamar dia, Kang?"Semua orang yang tengah berdiri di halaman rumah Dilsah pun menoleh terkejut dengan teriakan yang keluar dari bibir merah Kanaya. "Ada apa, Nay? Dia calon suami Dilsah, kamu kenal?" tanya salah satu tetangga dekat mereka. "Harusnya tadi kamu ikut bantu-bantu, Nay, bagaimanapun juga Dilsah itu teman sekolah kamu dulu."Kanaya menyentak napasnya kasar. Dengan langkah lebar dan kemarahan yang memenuhi rongga dadanya, wanita berambut sebahu itu mendekati Akbar dan berdiri tak acuh di samping Emak Lamba dan Ustad Jefri."Apa maksudnya ini, Kang?" tanya Kanaya berulang. Air mata menggumpal dan siap tumpah saat kedua matanya beradu dengan mata Akbar. "Apa maksud kedatangan Akang ke rumah Dilsah? Bukankah Akang bilang hanya mencintaiku, tapi ini ...."Beberapa tetangga terlihat kaget. Tidak menyangka jika Kanaya adalah seseorang yang sempat ada di hati Akbar."Loh, kok ....""E- eh, mere
Empat tahun kemudian ...."Bu, Ahmad mau mengaji bareng teman-teman boleh?"Dilsah yang sedang menyiapkan makan siang untuk suaminya sejenak menoleh pada sosok balita yang berbicara di belakangnya."Kan Ahmad sudah mengaji, Nak," sahut Dilsah lembut. "Memang teman-teman mengaji dimana?""Mas Faris, Kamila, Cica, Mbak Vena, semua mengaji disana, Bu," rengek bocah berusia empat tahun itu dengan bibir cemberut lucu. "Ahmad mau juga, Bu, boleh ya?"Dilsah menghela napas panjang. Rantang berisi makanan sudah siap di atas meja. Kini, dia berbalik dan menyetarakan tingginya dengan menekuk lutut di depan Ahmad. "Memang mereka mengaji dimana, Sayang? Bukannya mengaji di surau seperti biasa?"Ahmad bersedekap dada. Bibirnya mengerucut sambil melengos enggan menatap Sang Ibu. "Pak Ustad sudah jarang ke surau, Bu, Ahmad bosan kalau mengaji sama Ibu terus. Gak dapat hadiah!" gerutunya gemas.
"Mak ...." Akbar menyentuh bahu Emak dengan lembut. Otaknya memaksa berpikir bahwa Emak tengah tertidur karena teramat lelah. "Emak ...."Napas Akbar tersengal. Dadanya berdebar hebat ketika dengan perlahan dia membalik tubuh Emak yang ... memucat.Dunia Akbar seakan berputar. Mimpinya tadi malam seolah menjadi pertanda. Kedatangan Bapak yang meminta ijin untuk membawa Emak ternyata nyata adanya. "Hiduplah dengan bahagia, Le. Biarkan Bapak yang menjaga Emak mulai esok, kamu harus melanjutkan hidup bersama menantu dan cucu Bapak. Bapak merindukanmu, Le ...."Bahu Akbar merosot. Tangannya bergetar, bibirnya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya ikut berguncang. Pria itu menangis sampai dadanya terasa teramat sesak. "Emak ....!" Tanpa sadar Akbar berteriak lantang. Teriakan yang sama ketika dia kehilangan Bapak di masa lalu. Teriakan yang mungkin akan dilakukan oleh para anak di luaran sana ketika kehilangan jantu
"Setelah hujan reda, jemput Mertua kamu, Bar," kata Emak seraya melepas pelukan Akbar. "Sekalian minta maaf karena tidak sempat memberi kabar lebih dulu. Semoga Besan Emak memahami."Akbar mengangguk patuh. Rasa dingin yang sempat membuatnya menggigil seolah menghilang begitu saja ketika kedua matanya menyaksikan dengan jelas bagaimana putranya dilahirkan oleh wanita hebat di hidup Akbar."Sudah kamu azani dia?" "Masih dibersihkan sama Suster, Mak," sahut Akbar tidak sabar. Kepalanya berulang kali melongok ke dalam ruangan untuk melihat apakah putranya sudah lengkap dengan pakaian bayi. "Dia ... tampan, tapi seperti Dilsah," kata Akbar lagi. Kali ini bibirnya tersenyum lebih lebar. Teringat bagaimana dia melihat sekilas bayi merah yang ada dalam gendongan suster tadi. Emak menggosok-gosok kedua tangan berharap dingin yang dirasai tubuhnya sedikit berkurang. Bibirnya menggigil namun sebisa mungkin Emak tidak memperlihatka
"Berhenti dulu, Akbar!" Suara teriakan Kang Dadang bagai angin lalu di telinga Akbar. Cengkeraman tangan Dilsah yang semakin kuat membuatnya panik dan menulikan pendengaran. "Hujan makin deras. Bahaya!" teriak Kang Dadang dari belakang. Motornya tetap mengikuti laju motor Akbar yang semakin kencang. "Pelan-pelan saja, Le! Jalanan licik," ucap Emak Lamba setengah berteriak. Suaranya yang serak semakin teredam air hujan yang memekak telinga. Akbar menekan klakson motor dua kali sebagai jawaban atas ucapan Emak barusan. Terpaksa, di tengah dinginnya malam dan guyuran hujan dia tetap menarik gas dengan kuat agar Dilsah bisa segera mendapatkan pertolongan. "Masih kuat, Dek?" "Insya Allah, Mas," sahut Dilsah lirih. "Tolong tahan sakitnya sebentar ya," kata Akbar dengan suara bergetar. Teringat bagaimana raut kesakitan Laela ketika dua bulan yang lalu dia sengaja mengantarkan kakak dari mantan kekasihnya itu ke
Langkah kaki Akbar melambat. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis Bu Tarjo yang begitu pilu. Panik. Cemas. Mungkin respon wajar yang akan diberikan pada ibu lainnya ketika putri dan cucu mereka sedang bertarung dengan maut. Tiba-tiba sebuah brankar melewati Akbar begitu saja. Di sana, dengan wajah pucatnya Laela terbaring dengan posisi miring. Wajahnya masih basah. Bibirnya masih meringis. Dan sakit yang ia rasakan belum berkurang sedikitpun."Pastikan Ibunya tetap sadar!" pinta salah satu bidan yang bertugas. Dua suster mengangguk patuh. Di belakang mereka, Pak Bagiyo dan Bu Tarjo berjalan gesit mengikuti laju brankar yang didorong cukup cepat. "Terima kasih, Mas Akbar," kata Pras seraya menepuk pundak Akbar dari belakang. "Maafkan semua kesalahan istriku, tolong ...."Akbar mengangguk ragu. Tenggorokannya tercekat, matanya perih melihat Pras yang menangis di depannya. Seorang pria menangisi wanitanya ya
Kehidupan Laela mulai terasa sepi tanpa Kanaya. Sudah tujuh bulan berlalu dan adik semata wayangnya itu masih saja menolak pulang ke rumah. "Aku pulang kalau keponakanku lahir ke dunia, Mbak," kata Kanaya pada sambungan telepon. "Ayolah, Nay! Kamu sudah lama berada di Pesantren, Mbak kesepian," rengek Laela.Kanaya terkekeh di seberang sana. Namun tetap saja, matanya kerap memanas ketika membayangkan semua kejadian di masa lalu. "Sudah ada Mas Pras, Mamak, Bapak, kalau cuma kehilangan aku sepertinya Mbak gak masalah kan?""Jaga bicara kamu, Kanaya!" ucap Laela tegas. "Maksudku kalau cuma gak ada aku pasti gak ngaruh juga di rumah, Mbak," ralat Kanaya ragu. "Pokoknya aku pulang dua bulan lagi kalau keponakanku lahir."Laela mendengkus kesal. Sudah sejak sebulan yang lalu dia berusaha merayu Kanaya agar kembali pulang namun adiknya itu selalu menolak."Huh!" Laela m
"Kamu bikin Mas kaget," gerutu Akbar sambil mencubit pipi istrinya. "Kenapa gak panggil sih, malah berdiri di depan pintu. Gak baik!"Dilsah mengulas senyum paksa. Dia meletakkan secangkir kopi panas di atas meja yang terletak di teras rumahnya. "Terpesona ya, Mas," goda Dilsah sinis. Akbar mencebik. Lagi-lagi dicubitnya pipi Sang Istri dan berkata. "Memang tadi Mas ngapain sampai terpesona? Menatap wanita lain sampai gak berkedip, hah?" "Mas cuma sekedar menghargai sapaan Mas Pras, Dek. Gak lebih, Demi Allah!"Dilsah tersenyum samar. Dia berlalu begitu saja dari hadapan Akbar dan bergegas mengambil sapu lidi yang berdiri menyandar di pojokan rumah. "Loh, sudah cemburunya?" tanya Akbar heran. "Begitu doang?"Dilsah bersedekap dada dengan posisi satu tangan menggenggam sapu yang siap dia pakai untuk membersihkan dedaunan di halaman rumah."Aku itu gak cemburu, Mas,
Setelah memastikan Kanaya masuk ke dalam kamar, Pras kembali keluar dan duduk bersisian bersama Akbar, pria yang urung menjadi adik iparnya. Keduanya berbincang hangat laiknya para pria pada umumnya. Membicarakan pekerjaan, tempat tongkrongan bahkan Pras dan Akbar saling berbagi nomor handphone. Sementara Dilsah terlihat duduk diantara Emak Lamba dan Bu Mila. Dua wanita paruh baya yang kentara sekali begitu memanjakan anak menantu itu. Berulang kali bahkan Emak Lamba menawarkan jajanan di atas meja tamu, namun berakhir dengan gelengan kepala Dilsah. "Jangan sampai gak makan, Sah, trimester pertama memang seperti itu. Mabuk berat," kata Bu Ramli. "Setidaknya ada asupan yang masuk ke dalam perut kamu. Dapat vitamin dari Bu Bidan kan?"Dilsah mengangguk. "Iya, Bu Ramli. Terima kasih sudah mengingatkan."Bu Ramli tersenyum dan mengacungkan jempolnya. "Kamu gak ada mual-mual berat kalau pagi, La?"
Pernikahan Laela berjalan lancar. Dengan sederhana tentunya. Pras menikahi pujaan hatinya dengan mahar seperangkat alat salat dan uang satu juta rupiah. Tidak ada perhiasan, tidak ada ems batangan ataupun yang lain. "Selamat menempuh hidup baru ya, La. Ah, gak nyangka banget kalau kamu bakalan menikah sama petani seperti Pras," celetuk Halimah, teman kerja Laela di pabrik sepatu di kota mereka. "Aku masih ingat sekali waktu kamu bawa Bara ke acara makan-makan bareng anak-anak pabrik bulan lalu. Eh, gak taunya malah bukan Bara si Pengusaha itu jodoh kamu. Duh, benar-benar jodoh adalah cerminan diri." Halimah terkikik sementara wajah Laela memanas mendapat sindiran pedas dari teman yang selama ini dia anggap baik. "Mungkin ini yang namanya karma ya, Hal? Ingat gak waktu siang-siang kita pergi bertiga sama Laela, dia meludahi pacar Kanaya."Halimah mengangguk membenarkan. "Iya ya, jangan-jangan ini karma, La," sahutnya seraya menatap Lae