Share

Tangis Kanaya

Penulis: Lian Nai
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-30 08:05:20

"Tutup mulutmu, Nay!" Bu Tarjo meninggikan suara sambil melotot. "Seret dia, Pak! Bisa-bisanya menjatuhkan harga diri orang tua demi pria angkuh seperti dia. Sah-sah saja kalau pria yang kamu tangisi ini kaya dan mapan, lihat ... pekerjaannya saja tidak jelas tapi mati-matian kamu menangis demi dia. Memalukan!"

Kanaya mengusap pipinya sembari menangis. Dadanya bergemuruh. Panas akibat tamparan Pak Bagiyo ternyata tidak lebih sakit daripada pengabaian yang Akbar berikan. 

"Benar kata Mamak kamu, Kanaya. Untuk apa membuang-buang air mata hanya karena pria miskin sepertiku. Pulang lah, jangan jadi anak durhaka. Memalukan kalau sampai semua orang tahu kamu menangisi seorang petani sepertiku," ucap Akbar sambil tersenyum sinis. "Apa kata orang nanti, bisa-bisa mereka mengira kalau kedua orang tuamu memintaku untuk menikahi putrinya. Bukankah itu memalukan?"

Pak Bagiyo dan Bu Tarjo menatap nyalang pada sosok pria berusia matang di depannya. Ucapan Akbar semakin lama semakin banyak mengandung sindiran. Wajah dua pasangan paruh baya itu memerah menahan emosi. 

"Kang, aku gak mau," rengek Kanaya. "Aku gak mau pergi sebelum kamu berjanji akan menikahiku. Kita sudah memimpikan masa depan berdua, jangan tinggalkan aku ...."

"Cukup, Kanaya! Cukup!" sela Akbar berteriak. "Jangan berbicara seakan-akan aku adalah pria jahat dan tidak bisa memegang janji. Coba tanyakan pada dirimu sendiri, kemana air mata kamu ini saat aku dan Emak datang ke rumahmu, hah? Kemana tangisan kamu saat aku dan Emak dicaci oleh Mamak dan Mbakmu, kemana?!" 

Kanaya memejamkan matanya rapat. Hatinya berdenyut nyeri ketika ia menyadari bahwa rasa cinta Akbar untuknya telah musnah. Tatapan mendamba yang pernah dilayangkan untuknya kini berubah menjadi kilatan kebencian yang teramat nyata. 

"Aku tidak bisa menikahi wanita yang jelas-jelas tidak menginginkan hadirnya Emak dalam hidupku." 

Emak melengos. Melihat Akbar mengusap sudut matanya membuat wanita tua itu tidak kuasa pula menahan air mata dari ceruk matanya yang semakin cekung. 

"Aku tidak akan pernah menikahi wanita yang tidak bisa menghargai Emak. Kau lihat ... lihat kesana!" Kanaya menoleh perlahan. "Wanita tua itu, wanita yang sempat kau hardik di rumahmu tempo hari, wanita tua yang kau tuduh tidak menyukaimu itu adalah wanita yang sudah memaksaku untuk menikah denganmu. Beliau satu-satunya orang yang menginginkan aku menjadikanmu seorang istri, Kanaya. Hanya Emak! Dengan menangis Emak memintaku mewujudkan impian kita tapi apa yang Emak dapat ... hanya cacian dan hinaan ...."

"Banyak bacot! Ayo pulang, Nay!" Pak Bagiyo menyela ucapan Akbar dan menarik kasar tangan Kanaya. "Jangan pernah menghubungi Kanaya lagi dan jangan harap kamu bisa menikahi putriku setelah mempermalukan kami seperti ini. Jangan harap!"

"Ya. Saya belajar banyak hal dari kunjungan ke rumah anda tempo hari, Pak Bagiyo. Dan setelah hari itu, saya menekankan pada diri saya agar cukup tau diri. Jadi, jangan khawatir," sahut Akbar tegar. "Dan satu hal ... suatu saat nanti akan ada luka yang menggores hidup Laela seperti ludahnya yang   dengan sengaja mendarat di lengan saya."

"Persetan!" hardik Pak Bagiyo tak acuh. Dia masih sibuk menarik-narik tangan Kanaya dan berhasil membawa putrinya itu keluar dari rumah Akbar. "Buka matamu, Kanaya! Apa yang kamu harapkan dari dia, hah? Dalam hidupnya hanya ada Emak Lamba, mau jadi apa kamu kalau menikah dengannya? Ayo pulang, jangan bikin Bapak kalap disini!"

Kanaya lemas. Tatapan tidak perduli yang Akbar berikan mampu membuat hatinya luluh lantak. Kesombongan yang pernah dia agungkan tempo hari kini berubah menjadi sebuah penyesalan yang teramat dalam. Melihat Emak Lamba yang menatapnya sendu, seketika Kanaya teringat pada suaranya yang meninggi yang mungkin saja sudah menggores luka di hati wanita tua itu. 

"Pria miskin berani menghinaku, lihat saja ... Kanaya akan mendapatkan pria yang jauh lebih segalanya darimu, Akbar! Ingat itu!"

Pak Bagiyo masih menggerutu sementara Bu Tarjo sudah bersiap duduk di atas motor sambil memegang kedua bahu Kanaya. "Jalan, Nay! Senang kamu melihat Mamak dan Bapak dipermalukan begini? Ayo, pulang!"

Kanaya tidak berdaya. Dia menyalakan mesin motor dan perlahan menjauhi rumah Akbar disusul dengan motor milik Sang Bapak di belakang. 

Akbar menyentak napas kasar. Melihat wajah Kanaya yang berantakan seketika membuat hatinya kembali nyeri. Dia pernah berjanji bahwa akan selalu membahagiakan Kanaya dalam ikatan yang suci. Namun, janji hanyalah tinggal janji karena hubungan yang mereka damba nyatanya musnah karena luka hati Akbar. 

"Jaga batasanmu, Akbar," kata Emak Lamba. Akbar menghentikannya langkahnya tepat di depan Emak. 

"Batasan mana yang Emak maksud? Apa perlu aku menunduk menghormati mereka sementara keluarga Kanaya saja tidak mau menghargai Emak? Perlu kah aku berbicara santun sedangkan kata-kata yang keluar dari bibir mereka seringkali menggores bagai belati? Perlu kah, Mak? Perlu kah kita merendahkan diri di depan orang lain hanya karena kita ini miskin?"

Akbar membuang muka. Entah, ini yang keberapa kalinya pria itu menangis. Ada hati yang sebenarnya tidak ingin dia lepas, namun ada surga yang tidak mau dia sia-siakan. Dada Akbar terasa sesak. Jika saja dia memilih ego, maka saat ini juga permintaan Pak Bagiyo akan dia laksanakan. Namun, otak Akbar masih sangat segar mengingat betapa buruk perangai Kanaya dan keluarganya. Pria berhati lembut itu tidak mau terjebak pada pernikahan yang nantinya akan berjalan pincang. Tidak sehat.

"Bagaimanapun, mereka adalah orang yang lebih tua darimu, Nak. Tidak seharusnya kamu berbicara ...."

"Ustad Jefri sudah membuat janji dengan keluarga wanita yang akan dijodohkan denganku. Tolong, Mak, jangan berbicara hal ini lagi. Aku ... sangat lelah." Akbar sengaja menyela ucapan Emak Lamba agar perseteruan yang terjadi antara Emak dan anak itu tidak berlanjut. "Besok siang kita kesana. Emak tidak perlu menyiapkan apapun karena nanti sore aku dan Ustad Jefri yang akan beli seserahan."

"Langsung melamar?" tanya Emak terkejut. Seketika pembicaraan tentang Kanaya menguar begitu saja. 

"Keluarga wanita ingin dilangsungkan acara lamaran saat itu juga, Mak."

"Bagaimana kalau kalian tidak cocok? Emak khawatir kamu ...."

"Aku cukup mengerti untuk tidak mencintai wanita lain selain istriku nanti. Emak tidak perlu khawatir."

Emak Lamba menatap Akbar yang justru berjalan keluar rumah. Putranya urung masuk ke dalam kamar setelah perbincangan tentang lamaran barusan.

"Kamu mau kemana, Le?" teriak Emak.

"Ke rumah Ustad Jefri, Mak. Sepertinya lebih baik kita berbelanja sekarang, takut gak keburu waktunya."

Akbar melangkah lebar menuju rumah Ustad Jefri. Satu kebohongan sudah keluar dari bibirnya demi agar Emak tidak membicarakan tentang Kanaya lagi. Akbar paham, jauh di dalam lubuk hatinya, Emak pasti merasa bersalah karena gagalnya Akbar meminang Kanaya. Orang tua selalu merasa paling andil dalam urusan anak-anak mereka. Begitupun Emak Lamba. Wanita tua itu sibuk menyalahkan dirinya. 

Dengan napas terengah-engah Akbar mengetuk pintu rumah Ustad Jefri. 

"Loh, kamu kenapa, Le? Sini duduk dulu, kenapa ngos-ngosan begitu?" cecar Ustad Jefri kebingungan.

Akbar tersenyum paksa dan berkata. "Ustad, kalau sekiranya besok saya langsung melamar wanita pilihan Ustad dan Umi, apa wanita itu bersedia? Bisakah Ustad tanyakan sekarang juga?"

Bersambung 

Bab terkait

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Meminang Wanita Lain

    "Besok?"Ustad Jefri nampak keheranan. Pasalnya, beberapa hari belakangan Akbar terlihat seperti enggan memulai hubungan baru, tapi hari ini ...."Mendadak sekali, kenapa?"Akbar dipersilahkan duduk di teras dengan sisa-sisa napas yang masih terengah-engah. Dia meneguk ludahnya kasar ketika Ustad Jefri bertanya, kenapa?"Ada satu dua hal yang mengganggu saya, Ustad. Dan, sepertinya dengan menyegerakan menikah maka gangguan itu akan hilang dengan sendirinya," papar Akbar. Matanya lagi-lagi memanas. "Maaf, bukan saya bermaksud menjadikan wanita pilihan Ustad sebagai tameng. Hanya saja ....""Tentang Kanaya?"Akbar mengangguk ragu. Bukan rahasia umum lagi di kampungnya tentang kabar bahwa Akbar ditolak oleh keluarga Kanaya. Entah siapa yang menyebarkan berita ini lebih dulu yang jelas, semua tetangga tahu jika putra Emak Lamba ditolak karena mahar yang tidak sesuai keinginan keluarga Kanaya."Maaf, bukan Bapak ingin ikut campur lebih dalam urusan kamu. Menikah memang sangat baik jika dis

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-30
  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Bukan calon istri yang lemah

    "Kang Akbar!" Kanaya berteriak nyaring sekali. "Apa maksutnya ini? Dilsah? Siapa yang melamar dia, Kang?"Semua orang yang tengah berdiri di halaman rumah Dilsah pun menoleh terkejut dengan teriakan yang keluar dari bibir merah Kanaya. "Ada apa, Nay? Dia calon suami Dilsah, kamu kenal?" tanya salah satu tetangga dekat mereka. "Harusnya tadi kamu ikut bantu-bantu, Nay, bagaimanapun juga Dilsah itu teman sekolah kamu dulu."Kanaya menyentak napasnya kasar. Dengan langkah lebar dan kemarahan yang memenuhi rongga dadanya, wanita berambut sebahu itu mendekati Akbar dan berdiri tak acuh di samping Emak Lamba dan Ustad Jefri."Apa maksudnya ini, Kang?" tanya Kanaya berulang. Air mata menggumpal dan siap tumpah saat kedua matanya beradu dengan mata Akbar. "Apa maksud kedatangan Akang ke rumah Dilsah? Bukankah Akang bilang hanya mencintaiku, tapi ini ...."Beberapa tetangga terlihat kaget. Tidak menyangka jika Kanaya adalah seseorang yang sempat ada di hati Akbar."Loh, kok ....""E- eh, mere

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-30
  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Kemarahan Kanaya

    "Cuih, pria seperti dia tidak pantas diperebutkan, Nay." Bu Tarjo meludah tepat di bawah kaki Akbar. "Dia bisa besar kepala nanti. Sudah, ayo pulang! Biarkan saja dia menikah dengan Dilsah. Sama-sama masa depan suram," cibir Bu Tarjo kasar. Dilsah menarik ujung bibirnya sinis. Sejak awal dia tahu jika Akbar adalah pria yang sempat datang ke rumah Kanaya. Namun entah mengapa dia justru menerima pinangan dari Ustad Jefri dan hatinya terasa mantap sekali pada Akbar. "Kang, kalau Kang Akbar menikahi Dilsah hanya karena dia meminta mahar yang murah, aku berjanji akan menerima pinangan Akang dengan mahar berapapun," kata Kanaya merengek. Bu Tarjo menoleh dan menatap putrinya dengan sengit. Kedua tangannya berkacak pinggang, bola matanya melebar sempurna mendengar Kanaya memohon-mohon di depan seorang pria miskin. "Tolong jangan balas aku dengan cara seperti ini, Kang. Aku ... mana mungkin aku rela kalau Akang menikah dengan wanita udik seperti dia.""Lalu wanita seperti apa yang seharusny

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-01
  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Oh, Hamil?

    "Bapak mau menyaksikan pernikahan Dilsah sebelum Bapak tutup usia ....""Pak ...." Dilsah memanggil lirih. Wajahnya yang tanpa make up terlihat basah. "Jangan berbicara makin melantur. Gak baik," imbuh Dilsah. Bu Mila menyusut hidungnya di samping Emak Lamba. Acara pertunangan yang seharusnya berjalan bahagia kini justru dipenuhi tangis. "Seminggu setelah hari pertunangan, saya akan menikahi Dilsah di depan Bapak dan Penghulu."Dilsah menatap nanar pada sosok pria yang duduk bertekuk lutut di depan Bapak. Ucapan Akbar entah mengapa tidak membawa kebahagiaan bagi Dilsah. Ada perasaan risau yang bergelayut ketika pria itu menyanggupi akan mengambil alih dirinya dari Bapak. "Dua hari setelah pertunangan," sahut Bapak egois. "Bapak mau dua hari setelah hari ini kalian menikah.""Pak, jangan memberatkan Mas Akbar, menikah mendadak tentu akan merogoh kocek lebih banyak," sela Dilsah tidak terima. "Seminggu setelah hari pertunangan, Bapak jangan ....""Menikah besok atau seminggu ke depan

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-05
  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Amira

    "Emak pamit ya, Nduk, jaga kesehatan karena dua hari lagi kalian akan menikah." Suara Emak Lamba membuyarkan fokus Dilsah dan Akbar. Sejenak, teriakan Kanaya bagai angin lalu bagi kedua pasangan yang berdiri sejajar itu. "Terima kasih sudah memudahkan jalan untuk Akbar sehingga dipermudah meminang kamu, Dilsah."Dilsah tersenyum. Dia memeluk Emak Lamba dan berbisik. "Emak jaga diri baik-baik, sampai ketemu dua hari lagi."Bu Mila terkekeh melihat putri dan besannya berpelukan erat. "Kalian ini sudah seperti calon mertua dan calon menantu yang akan dipisah jarak saja."Semua orang tertawa. Ya, benar. Rumah Akbar dan Dilsah bahkan hanya terpisah satu kampung tapi Emak Lamba dan calon menantunya sejak tadi tiada henti saling memeluk seakan-akan keduanya tidak akan bertemu dalam jangka waktu yang cukup lama. "Jangan hancurkan suasana yang mengharu biru, Bu Mila," sahut tetangga yang lain. "Kelihatan sekali kalau Emak Lamba be

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-06
  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Penyesalan Tak Berguna

    Laela yang mendengar suara perempuan dari halaman sedikit berlari mendekati Pak Bagiyo yang tengah berdiri di ambang pintu. "Siapa ... P-- pak?" Suaranya tercekat ketika melihat seorang wanita dengan pakaian modis sambil menenteng tas mahal sedang berdiri di samping mobil mewah."Hai, La," sapa Amira sambil tersenyum sinis. "Semua orang disini belum tau kalau kamu hamil?"Baru redam kasak-kusuk para tetangga, kini kembali riuh ketika seorang wanita asing yang tiba-tiba datang dan mengatakan tentang kehamilan Laela. "B-- bicara apa kamu? Pergi dari rumahku!" usir Laela seraya berteriak. "Aku bahkan gak kenal kamu siapa ....""Oh ya?" sahut Amira begitu tenang. "Yakin kamu gak tau siapa aku? Yakin, kalau kamu gak kenal siapa Bara Hermawan?"Pak Bagiyo menoleh dan menatap tajam putrinya yang saat ini sedang gemetaran hebat. Wajah Laela menegang. Bibirnya ingin menyahut semua perkataan Amira, namun keberani

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-07
  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Kegigihan Kanaya

    "Mbak Kanaya?"Suara Kang Dadang yang memanggil dari halaman rumah membuat Akbar dan Emak terperanjat. Tiba-tiba saja percakapan mereka yang sejak tadi menyanjung Dilsah terhenti. Bahkan Emak Lamba berjalan keluar dan ... benar saja, ada sosok perempuan dengan wajah berantakan tengah terduduk di halaman sambil meremas baju yang melekat di dadanya. "Ada apa, Dang?" Emak bertanya, "Kamu yang bawa dia kesini?"Kang Dadang menggeleng. "Sejak pulang dari sawah tadi aku lihat dia sedang berdiri di depan rumah Emak. Tiba-tiba menangis sambil terduduk di tanah, aku panggil dia, Mak, tapi gak ada respon," papar Kang Dadang bingung. Emak beralih fokus pada tubuh Kanaya yang masih terlihat bergetar. Matanya menutup rapat dan tangisannya pun masih berlanjut. Namun aneh, Kanaya seakan tidak mendengar percakapan orang-orang di dekatnya."Coba didekati, Mak. Takutnya nanti ada omongan tidak enak, apalagi dia menangis di depan rumah Emak," saran Kang Dadang iba. "Emak gak usir dia kan tadi?""Emak

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-12
  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Pilu sekali kamu, Nay

    Kanaya pulang sambil mengendarai motornya yang sengaja diparkir di depan halaman rumah Akbar. Diusapnya air mata dengan kasar dan sekali lagi dia menoleh ke belakang sambil menyumpah. "Kamu gak akan bahagia, Kang!" Sepanjang perjalanan hati Kanaya dipenuhi dengan kebencian yang semakin menjadi-jadi untuk Dilsah. Sejak duduk di bangku sekolah, dia dan Dilsah adalah rival. Bahkan tak jarang Kanaya menjadi sasaran kemarahan Bu Tarjo karena nilai-nilainya jauh lebih rendah dibanding Dilsah yang mereka anggap tidak pantas menempuh jalur pendidikan.Masih teringat jelas bagaimana dulu Kanaya sering menghina Dilsah yang kerap membawa dagangan ke sekolah demi membantu Sang Ibu. "Kalau gak mampu bayar sekolah, mending jualan aja, Sah. Malu-maluin tau kalau ke sekolah bawa dagangan," cibir Kanaya sinis. "Lagian anak orang miskin mah di rumah aja, itung-itung nunggu jodoh ... itupun kalau ada yang mau. Ha ... ha ... ha ...." Kanaya tertawa lebar bersama teman-teman gengnya sementara Dilsah han

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-18

Bab terbaru

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   EXTRA PART

    Empat tahun kemudian ...."Bu, Ahmad mau mengaji bareng teman-teman boleh?"Dilsah yang sedang menyiapkan makan siang untuk suaminya sejenak menoleh pada sosok balita yang berbicara di belakangnya."Kan Ahmad sudah mengaji, Nak," sahut Dilsah lembut. "Memang teman-teman mengaji dimana?""Mas Faris, Kamila, Cica, Mbak Vena, semua mengaji disana, Bu," rengek bocah berusia empat tahun itu dengan bibir cemberut lucu. "Ahmad mau juga, Bu, boleh ya?"Dilsah menghela napas panjang. Rantang berisi makanan sudah siap di atas meja. Kini, dia berbalik dan menyetarakan tingginya dengan menekuk lutut di depan Ahmad. "Memang mereka mengaji dimana, Sayang? Bukannya mengaji di surau seperti biasa?"Ahmad bersedekap dada. Bibirnya mengerucut sambil melengos enggan menatap Sang Ibu. "Pak Ustad sudah jarang ke surau, Bu, Ahmad bosan kalau mengaji sama Ibu terus. Gak dapat hadiah!" gerutunya gemas.

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   TAMAT

    "Mak ...." Akbar menyentuh bahu Emak dengan lembut. Otaknya memaksa berpikir bahwa Emak tengah tertidur karena teramat lelah. "Emak ...."Napas Akbar tersengal. Dadanya berdebar hebat ketika dengan perlahan dia membalik tubuh Emak yang ... memucat.Dunia Akbar seakan berputar. Mimpinya tadi malam seolah menjadi pertanda. Kedatangan Bapak yang meminta ijin untuk membawa Emak ternyata nyata adanya. "Hiduplah dengan bahagia, Le. Biarkan Bapak yang menjaga Emak mulai esok, kamu harus melanjutkan hidup bersama menantu dan cucu Bapak. Bapak merindukanmu, Le ...."Bahu Akbar merosot. Tangannya bergetar, bibirnya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya ikut berguncang. Pria itu menangis sampai dadanya terasa teramat sesak. "Emak ....!" Tanpa sadar Akbar berteriak lantang. Teriakan yang sama ketika dia kehilangan Bapak di masa lalu. Teriakan yang mungkin akan dilakukan oleh para anak di luaran sana ketika kehilangan jantu

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Kebaikan Bersamamu, Emak!

    "Setelah hujan reda, jemput Mertua kamu, Bar," kata Emak seraya melepas pelukan Akbar. "Sekalian minta maaf karena tidak sempat memberi kabar lebih dulu. Semoga Besan Emak memahami."Akbar mengangguk patuh. Rasa dingin yang sempat membuatnya menggigil seolah menghilang begitu saja ketika kedua matanya menyaksikan dengan jelas bagaimana putranya dilahirkan oleh wanita hebat di hidup Akbar."Sudah kamu azani dia?" "Masih dibersihkan sama Suster, Mak," sahut Akbar tidak sabar. Kepalanya berulang kali melongok ke dalam ruangan untuk melihat apakah putranya sudah lengkap dengan pakaian bayi. "Dia ... tampan, tapi seperti Dilsah," kata Akbar lagi. Kali ini bibirnya tersenyum lebih lebar. Teringat bagaimana dia melihat sekilas bayi merah yang ada dalam gendongan suster tadi. Emak menggosok-gosok kedua tangan berharap dingin yang dirasai tubuhnya sedikit berkurang. Bibirnya menggigil namun sebisa mungkin Emak tidak memperlihatka

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat III

    "Berhenti dulu, Akbar!" Suara teriakan Kang Dadang bagai angin lalu di telinga Akbar. Cengkeraman tangan Dilsah yang semakin kuat membuatnya panik dan menulikan pendengaran. "Hujan makin deras. Bahaya!" teriak Kang Dadang dari belakang. Motornya tetap mengikuti laju motor Akbar yang semakin kencang. "Pelan-pelan saja, Le! Jalanan licik," ucap Emak Lamba setengah berteriak. Suaranya yang serak semakin teredam air hujan yang memekak telinga. Akbar menekan klakson motor dua kali sebagai jawaban atas ucapan Emak barusan. Terpaksa, di tengah dinginnya malam dan guyuran hujan dia tetap menarik gas dengan kuat agar Dilsah bisa segera mendapatkan pertolongan. "Masih kuat, Dek?" "Insya Allah, Mas," sahut Dilsah lirih. "Tolong tahan sakitnya sebentar ya," kata Akbar dengan suara bergetar. Teringat bagaimana raut kesakitan Laela ketika dua bulan yang lalu dia sengaja mengantarkan kakak dari mantan kekasihnya itu ke

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat II

    Langkah kaki Akbar melambat. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis Bu Tarjo yang begitu pilu. Panik. Cemas. Mungkin respon wajar yang akan diberikan pada ibu lainnya ketika putri dan cucu mereka sedang bertarung dengan maut. Tiba-tiba sebuah brankar melewati Akbar begitu saja. Di sana, dengan wajah pucatnya Laela terbaring dengan posisi miring. Wajahnya masih basah. Bibirnya masih meringis. Dan sakit yang ia rasakan belum berkurang sedikitpun."Pastikan Ibunya tetap sadar!" pinta salah satu bidan yang bertugas. Dua suster mengangguk patuh. Di belakang mereka, Pak Bagiyo dan Bu Tarjo berjalan gesit mengikuti laju brankar yang didorong cukup cepat. "Terima kasih, Mas Akbar," kata Pras seraya menepuk pundak Akbar dari belakang. "Maafkan semua kesalahan istriku, tolong ...."Akbar mengangguk ragu. Tenggorokannya tercekat, matanya perih melihat Pras yang menangis di depannya. Seorang pria menangisi wanitanya ya

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat I

    Kehidupan Laela mulai terasa sepi tanpa Kanaya. Sudah tujuh bulan berlalu dan adik semata wayangnya itu masih saja menolak pulang ke rumah. "Aku pulang kalau keponakanku lahir ke dunia, Mbak," kata Kanaya pada sambungan telepon. "Ayolah, Nay! Kamu sudah lama berada di Pesantren, Mbak kesepian," rengek Laela.Kanaya terkekeh di seberang sana. Namun tetap saja, matanya kerap memanas ketika membayangkan semua kejadian di masa lalu. "Sudah ada Mas Pras, Mamak, Bapak, kalau cuma kehilangan aku sepertinya Mbak gak masalah kan?""Jaga bicara kamu, Kanaya!" ucap Laela tegas. "Maksudku kalau cuma gak ada aku pasti gak ngaruh juga di rumah, Mbak," ralat Kanaya ragu. "Pokoknya aku pulang dua bulan lagi kalau keponakanku lahir."Laela mendengkus kesal. Sudah sejak sebulan yang lalu dia berusaha merayu Kanaya agar kembali pulang namun adiknya itu selalu menolak."Huh!" Laela m

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Siapa Lakon Utama?

    "Kamu bikin Mas kaget," gerutu Akbar sambil mencubit pipi istrinya. "Kenapa gak panggil sih, malah berdiri di depan pintu. Gak baik!"Dilsah mengulas senyum paksa. Dia meletakkan secangkir kopi panas di atas meja yang terletak di teras rumahnya. "Terpesona ya, Mas," goda Dilsah sinis. Akbar mencebik. Lagi-lagi dicubitnya pipi Sang Istri dan berkata. "Memang tadi Mas ngapain sampai terpesona? Menatap wanita lain sampai gak berkedip, hah?" "Mas cuma sekedar menghargai sapaan Mas Pras, Dek. Gak lebih, Demi Allah!"Dilsah tersenyum samar. Dia berlalu begitu saja dari hadapan Akbar dan bergegas mengambil sapu lidi yang berdiri menyandar di pojokan rumah. "Loh, sudah cemburunya?" tanya Akbar heran. "Begitu doang?"Dilsah bersedekap dada dengan posisi satu tangan menggenggam sapu yang siap dia pakai untuk membersihkan dedaunan di halaman rumah."Aku itu gak cemburu, Mas,

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Dadah, Kanaya

    Setelah memastikan Kanaya masuk ke dalam kamar, Pras kembali keluar dan duduk bersisian bersama Akbar, pria yang urung menjadi adik iparnya. Keduanya berbincang hangat laiknya para pria pada umumnya. Membicarakan pekerjaan, tempat tongkrongan bahkan Pras dan Akbar saling berbagi nomor handphone. Sementara Dilsah terlihat duduk diantara Emak Lamba dan Bu Mila. Dua wanita paruh baya yang kentara sekali begitu memanjakan anak menantu itu. Berulang kali bahkan Emak Lamba menawarkan jajanan di atas meja tamu, namun berakhir dengan gelengan kepala Dilsah. "Jangan sampai gak makan, Sah, trimester pertama memang seperti itu. Mabuk berat," kata Bu Ramli. "Setidaknya ada asupan yang masuk ke dalam perut kamu. Dapat vitamin dari Bu Bidan kan?"Dilsah mengangguk. "Iya, Bu Ramli. Terima kasih sudah mengingatkan."Bu Ramli tersenyum dan mengacungkan jempolnya. "Kamu gak ada mual-mual berat kalau pagi, La?"

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Melupakan Tuhan

    Pernikahan Laela berjalan lancar. Dengan sederhana tentunya. Pras menikahi pujaan hatinya dengan mahar seperangkat alat salat dan uang satu juta rupiah. Tidak ada perhiasan, tidak ada ems batangan ataupun yang lain. "Selamat menempuh hidup baru ya, La. Ah, gak nyangka banget kalau kamu bakalan menikah sama petani seperti Pras," celetuk Halimah, teman kerja Laela di pabrik sepatu di kota mereka. "Aku masih ingat sekali waktu kamu bawa Bara ke acara makan-makan bareng anak-anak pabrik bulan lalu. Eh, gak taunya malah bukan Bara si Pengusaha itu jodoh kamu. Duh, benar-benar jodoh adalah cerminan diri." Halimah terkikik sementara wajah Laela memanas mendapat sindiran pedas dari teman yang selama ini dia anggap baik. "Mungkin ini yang namanya karma ya, Hal? Ingat gak waktu siang-siang kita pergi bertiga sama Laela, dia meludahi pacar Kanaya."Halimah mengangguk membenarkan. "Iya ya, jangan-jangan ini karma, La," sahutnya seraya menatap Lae

DMCA.com Protection Status