Brak!!
Pintu ruangan itu terbuka dan muncullah seorang wanita cantik berambut pendek dan dibelakangnya ada dua orang yang mengiringinya. Wanita itu berjalan mendekat ke arah seorang pria yang tengah duduk di meja kebesarannya. “Selamat sore La Rossa, apa khabar?” sapa pria itu ramah. “Jangan basa basi berikan uangnya,” ucap La Rossa dingin. “Tidak bisakah kamu santai sejenak Ross?” tanya pria itu dengan senyum yang mengembang dibibirnya. “Cepat berikan uangnya sekarang!” ucap La Rossa dengan nada penuh penekanan. “Ambilkan uangnya Daniela!” perintah pria itu pada asistennya yang tengah berdiri disisi kirinya. Daniela lalu beranjak pergi dari sisi pria itu, dan kemudian membuka lemari brangkas yang ada di ruangan itu. Daniela membawa setumpuk demi setumpuk uang dari dalam brangkas lalu meletakkannya di atas meja pria itu. “Silakan hitung uangnya La Rossa!” perintah pria itu sambil menyodorkan setumpukan uang itu ke hadapan La Rossa. Lalu La Rossa memberi kode orang yang ada di belakangnya, mereka berdua pun maju kehadapan meja pria itu, mereka memasukkan semua uang itu ke dalam sebuah koper kecil. Saat uang terakhir akan dimasukkan tiba-tiba La Rossa menghentikan mereka. “Stop!” perintah La Rossa, membuat ke dua orang itu menghentikan gerakkannya. La Rossa mengambil ikatan uang terakhir itu, lalu melemparkannya ke wajah pria itu. “Jangan menipuku! Uang itu palsu, dan jumlahnya juga kurang!!” ucap La Rossa dengan suara lantang. “Bagaimana bisa? Aku sudah menghitungnya semalam dan jumlahnya cukup!” kata pria itu sambil meraih segepok uang yang La Rossa lemparkan kewajahnya. Pria itu memeriksa uang itu dan menghitung ulang yang ternyata benar uang itu kurang 5 lembar dan ada yang palsu juga. ‘Tapi bagaimana La Rossa bisa tahu kalau uangnya kurang’ gumam pria itu lirih. “Jangan pernah menipuku, cepat berikan sisa uangnya!” perintah La Rossa dengan nada marah dan penuh penekanan. Daniela dengan tangan gemetaran menyerahkan sisa uangnya, ia mencukupi kekurangan uangnya dan mengganti uang palsu itu dengan yang asli. “La Rossa matamu sungguh jeli, ternyata rumor itu bukan omong kosong, wanita kejam berdarah dingin itu memang pantas kamu sandang,” ucap pria itu sambil tersenyum kagum pada La Rossa. Namun La Rossa menanggapinya dengan dingin, ia berlalu pergi begitu saja dari hadapan pria itu, tapi kemudian langkahnya terhenti. Ia menatap tajam ke arah Daniela lalu ia pun membalikkan badannya dan menghampiri Daniela. Daniela yang tiba-tiba didekati oleh La Rossa ketakutan. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetaran, tangannya saling bertautan. La Rossa mengangkat dagu Daniela dengan ujung jari telunjuknya, ia menatap tajam tepat menembus kedalam retina Daniela. “Jangan pernah mengulanginya lagi, atau kamu dalam bahaya!” ujar La Rossa dingin. Lalu ia pergi dari ruangan itu bersama dengan ke dua orang pengikutnya, La Rossa meninggalkan area gedung perkantoran itu. Tibalah mereka disebuah cafe yang sudah disepakati bersama dengan cliennya. La Rossa masuk kedalam cafe itu, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan itu dan ia menemukan seorang wanita paruh baya tengah minum secangkir teh. La Rossa menghampiri wanita itu, lalu ia duduk di kursi tepat di seberang wanita itu. La Rossa menyerahkan koper itu kepada wanita itu. “Sesuai perjanjian dan waktu yang sudah ditentukan, silakan periksa.” Ucap La Rossa sambil menyodorkan koper itu. Wanita itu membuka koper itu lalu ia tersenyum senang. “Tak sia-sia aku membayarmu mahal, cara kerjamu sesuai dengan bayarannya. Aku akan mentransfer sisa pembayarannya” ucap wanita itu. “Atur saja!” kata La Rossa dingin. Lalu ia pun beranjak dari hadapan wanita yang sudah menyewa jasanya itu. Ia kembali ke apartemennya, sesampainya di apartemen La Rossa langsung masuk kamar mandi. Setelah mandi lalu ia memakai baju santai, baru juga ia duduk di depan meja kerjanya, handphonenya berdering. “Hallo, ada apa Jhon?” tanya La Rosaa. “Ada misi untukmu,” ucap Jhon, dari seberang telpon. “Apa misinya?” kembali La Rossa bertanya pada Jhon dengan nada dingin dan datar. “Membunuh orang,” kata Jhon. “Aku tahu! Bukankah itu pekerjaanku? Sejak kapan kamu jadi bego Jhon?” tanya La Rossa. “Dan sejak kapan kamu begitu berani padaku, Ros?” Jhon balik bertanya pada La Rossa. “Katakan siapa targetnya?” tanya La Rossa tidak sabar ingin mengetahui target misinya. “Aku akan kirim filenya sekarang,” kata Jhon. Lalu La Rossa langsung mematikan sambungan telponnya, hal itu membuat Jhon menggerutu kesal di sebelah sana. “Ish! Selalu saja begini, dasar cewek dingin nggak punya aturan dan perasaan,” gerutu Jhon kesal. Lalu Jhon pun mengirim file itu ke La Rossa melalui e-mail. Sementara itu di tempatnya La Rossa, ia membuka file yang Jhon kirim, ia membaca dan mempelajari misi yang Jhon berikan. La Rossa mengamati targetnya, ternyata ia seorang pria yang memiliki cacat mental alias idiot. Wajahnya bagaikan monster, disebelah kanan wajahnya memiliki bekas luka bakar, bahkan matanya tak memiliki bola mata. Kakinya lumpuh, ia mengenakan kursi roda, dari keterangan yang La Rossa dapat ia tidak pernah meninggalkan mansionnya selama hidupnya. Ia adalah pewaris tunggal kerajaan bisnis milik mendiang orang tuanya, sebuah kerajaan bisnis terbesar se-Asia Tenggara. Selama ini yang memegang bisnis milik orang tuanya adalah pamannya, adik tiri satu-satunya dari ayahnya. Karena sang pewaris tidak memiliki kemampuan untuk memimpin kerajaan bisnis milik orang tuanya, maka pamannya lah yang menjalankan bisnis itu. ‘Jika ia seorang idiot dan cacat, lalu kenapa ada orang yang menginginkan nyawanya? Bukankah dia adalah orang yang tidak berguna?’ Gumam La Rossa sambil terus menatap sang target. Lalu La Rossa pun menghubungi Jhon melalui telpon selularnya. “Bagaimana, kamu terima La Rossa?” tanya Jhon, langsung menanyakan kesanggupan La Rossa. “Aku ambil!” jawab La Rossa dengan nada tegas. “Ok! Besok berangkat,” kata Jhon. “Aku akan mempersiapkan semuanya,” sambung Jhon. “Ok!” jawab singkat La Rossa. “Aku akan mengirim alamatnya,” kata Jhon. “Setelah kamu sampai di Indonesia,” sambung Jhon. “Baik!” Kata La Rossa singkat. Lalu La Rossa kembali memutuskan sambungan telponnya, ia berkemas. Besok pagi ia akan terbang kembali ke negaranya. Setelah berkemas La Rossa meraih selembar foto yang sudah usang, yang selalu ia simpan di laci nakas yang ada di samping tempat tidurnya, ia membelai lembut foto itu. 'Sudah saatnya aku membalaskan kematian kalian, aku kembali,' gumam La Rossa lirih. Tak terasa air mata La Rossa menetes, ia merasa sangat sedih setiap kali melihat foto itu. Keesokan harinya La Rossa pergi meninggalkan apartemennya menuju bandara dengan langkah tegap ia memasuki bandara. La Rossa tiba di bandara Changi Airport, ia akan melakukan penerbangan dari Singapoer ke Indonesia. Setelah melakukan penerbangan selama beberapa jam, tibalah La Rossa di bandara internasional Soekarno Hatta, ia berjalan menuju pintu keluar. Ia menyewa sebuah taxi menuju sebuah hotel yang telah Jhon siapkan. Sesampainya La Rossa di hotel, ia langsung membersihkan diri karena merasa seluruh tubuhnya lengket. La Rossa berendam untuk menyegarkan diri, lalu membilas tubuhnya di bawah guyuran shower. La Rossa keluar kamar mandi dengan mengenakan handuk yang melilit diatas dadanya, suara ponsel berdering, ia pun mengangkat panggilan itu. Suara Jhon terdengar dari seberang telpon. “Aku sudah mengirim alamatnya, lakukan malam ini juga!” perintah Jhon. “Ok!” jawab singkat La Rossa. “Sediakan aku motor Ninja H2,” ucap La Rossa pada Jhon. Tanpa menunggu persetujuan dari Jhon ia langsung menutup sambungan telpon itu. kemudian La Rossa bersiap untuk mendatangi sang target, ia mengecek alamat yang Jhon berikan padanya. Lokasi itu terletak dipinggiran kota, ini sangat memudahkannya. Setengah jam kemudian pintu kamar ada yang mengetuk, La Rossa membuka pintu kamarnya, ia melihat seorang pria berkaos hitam dengan tubuh yang kekar. Ia menyerahkan sebuah kunci motor pada La Rossa, tanpa sepatah kata pun, ia langsung membalikkan badannya dan pergi dari hadapan La Rossa. La Rossa menyimpan kunci itu di atas nakas, ia Kembali merapikan peralatan yang akan dibawanya. Setelah semuanya siap ia meletakkan tas rangsel berwarna hitam itu dilantai, ia kemudian merebahkan tubuhnya. Sekali lagi ia melihat targetnya melalui layar handphone miliknya, ia mengamati dengan detail wajah sang target, ‘sebenarnya wajahnya cukup lumayan, tapi apa yang terjadi dengan wajah sebelahnya, seperti sebuah luka bakar. Apa ia pernah mengalami kejadian yang menyebabkan luka diwajahnya membekas dan terlihat seperti monster?’ gumam La Rossa lirih, ia terus menatap target. ‘Sungguh miris nasibmu, seorang pewaris tunggal kerajaan bisnis terbesar se-Asia Tenggara harus mengalami kematian dengan tragis ditanganku,’ Kembali La Rossa bergumam dengan penuh rasa percaya diri, karena ia selalu berhasil dalam menjalankan misinya. La Rossa terus menatap wajah targetnya, ia merasa wajah itu begitu familiar, tapi ia lupa dimana La Rossa pernah bertemu atau melihatnya. Ia memilih untuk menutup layar ponselnya dan meletakkannya begitu saja di sampingnya. La Rossa memejamkan matanya, ia akan beristirahat sejenak sebelum melakukan aksinya. Malam kian beranjak semakin larut, La Rossa terbangun tepat jam 00.00 WIB. Ia menenteng ranselnya dan menyematkan di pundaknya. Ia keluar dari kamar hotel menuju parkiran, La Rossa meninggalkan hotel dengan mengendarai sepedah motor dengan kecepatan tinggi. Setelah menempuh perjalanan menyusuri jalanan ibu kota menuju ke pinggiran kota, tiba lah La Rossa di sebuah rumah mewah namun terlihat tua yang letaknya cukup jauh dari keramaian. Ia memarkirkan motornya kemudian ia berjalan kebelakang rumah, sebuah tembok tinggi mengitari rumah itu. La Rossa melempar tali yang telah ia siapkan sebelumnya, kemudian ia memanjat tembok itu dan melompat turun masuk ke pelataran belakang rumah, ia berlari mendekat ke rumah tua itu. Rumah itu cukup besar dan luas, semua jendelanya terbuat dari kaca. La Rossa mencari letak kamar target, setelah mengitari rumah itu akhirnya ia menemukan kamar Gilbert sang target yang letaknya di lantai atas. La Rossa Kembali melempar tali di pagar balkon kamar, ia memanjat dan kemudian mendarat dengan sempurna di atas balkon. La Rossa mencongkel jendela kamar Gilbert, ia melihat target tengah tertidur lelap. Tanpa menunggu lama La Rossa langsung mengarahkan belatinya tepat ke jantung Gilbert. Tanpa disangka Gilbert menangkap lengan La Rossa. Gilbert membuka matanya, ia menatap langsung kedalam retina La Rossa. Pandangan mereka bertemu dan lama saling menatap, La Rossa sadar dan langsung menyerang Gilbert dengan belatinya. Gilbert menghindari serangan La Rossa dengan gesit. Ia tidak ada tanda-tanda seperti orang lumpuh, La Rossa terkejut Ketika mengetahui ternyata targetnya seorang ahli bela diri dan tidak lumpuh. “Ternyata kamu tidak lumpuh?” ucap La Rossa dingin. “Menurutmu?” jawab Gilbert tak kalah dingin. “Kamu actor yang hebat, mampu mengelabui semua orang,” Kembali La Rossa berucap dengan nada yang dingin dan datar tanpa emosi dan ekspresi. “Kalau aku tidak melakukan peranku dengan baik, sudah lama aku berpindah tempat ke alam baka,” ujar Gilbert. “Jadi selama ini kamu tahu siapa yang ingin mencelakaimu bahkan menginginkan nyawamu?” tanya La Rossa menyelidik. Gilbert tidak menjawab pertanyaan La Rossa, ia kembali menatap ke dalam mata La Rossa. ‘Sorot mata itu,’ batin Gilbert. Perkelahian diantar mereka terdengar oleh Jonathan, orang yang selalu ada di samping Gilbert. Jonathan menerobos masuk kedalam kamar Gilbert dan langsung membantu Gilbert dengan menyerang La Rossa. La Rossa yang mendapatkan serangan dari dua sisi mulai kewalahan, Jonathan merebut belati yang ada di genggaman La Rossa lalu mengarahkan ke perutnya dan La Rossa yang tidak sempat menghindar tertusuk tepat di perutnya. Darah menyembur dari luka itu. La Rossa menahan keluarnya darah dari luka tusuk itu dengan menekannya menggunakan sebelah tangannya. Jonathan tidak merasa puas kalau hanya melukainya saja, ia pun Kembali menyerang La Rossa dengan mengarahkan belati ke jantungnya, dengan cepat La Rossa menghindar dan menendang tepat di perut Jonathan. Melihat ada peluang untuk kabur, La Rossa langsung berlari keluar dari jendela dan melompat dari lantai dua ke bawah, La Rossa mendarat di tanah dengan berguling. Ia berlari menembus gelapnya malam dan meraih tali yang ia tinggalkan di belakang rumah, lalu ia memanjat tembok dan melompat, kali ini ia tidak mampu mendarat dengan mulus karena harus menahan luka di perutnya. Kakinya pun terkilir, ia berdiri dan berjalan dengan tertatih dan menyeret langkah kakinya. La Rossa menghampiri motornya dan langsung melajukannya dengan kecepatan yang sangat tinggi, ia Kembali ke hotel. Baru saja ia akan membersihkan lukanya, ia sudah mendapat panggilan telpon dari Jhon. La Rossa tahu kalau ia telah gagal menjalankan misinya. “Hallo,” sapa La Rossa. “Ros, apa yang terjadi?” tanya Jhon. “Kamu tahukan kalau aku sudah gagal menjalankan misiku?” tanya La Rossa dingin. “Aku tidak ingin kehilanganmu Ros,” ucap Jhon dengan nada sedih. La Rossa terdiam, ia tahu akibat dari kegagalan maka nyawa adalah taruhannya, sebagai anggota dari kelompok pembunuh bayaran Vangsed yang terkenal di hampir seluruh belahan dunia. "Ini semu akibat dari salah...," La Rossa menghentikan ucapannya. "Apa?" tanya Jhon penasaran dengan ucapan La Rossa yang menggantung. "Tidak ada," jawab La Rossa singkat. "Jaga dirimu Jhon dan menikahlah! Tidak baik menjomblo selamanya," ujar La Rossa. La Rossa menutup sambungan telpon itu, ia menyingkap baju bagian bawahnya. La Rossa menatap luka diperutnya begitu dalam dan panjang, darah terus mengalir dari luka itu. Saat La Rossa akan meraih kotak obat, pintu kamarnya ada yang menggedor dan ia pun mengurungkan niatnya. La Rossa membuka pintu kamarnya, ia melihat empat orang yang berpakaian serba hitam didepan pintu dan Jleb! Sebuah pisau menancap tepat diperutnya dengan kecepatan kedipan mata saja. La Rossa terhuyung kebelakang dan ia pun jatuh tersungkur dengan bersimbah darah. Ke empat orang itu pergi begitu saja saat melihat La Rossa ambruk dan tidak bergerak lagi. "Apa yang terjadi?" gumam pria bertopeng perak, seraya menghampiri La Rossa yang tergeletak dilantai. Ia langsung membopong tubuh La Rossa dan menghilang dari pandangan.Pria bertopeng itu membopong La Rossa dipelukannya, ia terus berlari menyusuri lorong kamar hotel dan keluar menuju parkiran basement hotel. Ia masuk kedalam mobil dan melajukannya dengan kecepatan tinggi. Lalu ia tiba disebuah Rumah Sakit, ia masuk melalui jalur khusus sambil membopong La Rossa dipelukannya, sorot matanya menunjukan kalau ia merasa cemas dengan keadaan La Rossa. "Cepat siapkan ruang operasi, mana dr. Lucas?" tanya pria itu masih dalam posisi membopong La Rossa dalam pelukannya. "Maaf tuan, dr. Lucas sedang cuti," jawab seorang perawat yang sedang berjaga. Pria itu meletakkan La Rossa dibrangkar dalam ruang operasi sebuah Rumah Sakit ternama di Ibu Kota. Ia terlihat sangat ditakuti oleh para pegawai Rumah Sakit. Pria itu meraih handphonenya dari balik jubah hitamnya. Ia terlihat sedang mencari sebuah kontak dan tidak lama kemudian ia menyambungkannya kepada orang yang namanya terpangpang dilayar telepon, Lucas nama yang ada dikontaknya. "Cepat datang ke Rumah Sak
Pria bertopeng itu kaget ketika mendengar pintu kamar terbuka dan secara spontan menoleh ke belakang dan ternyata Lucas yang datang, ia telah mengejutkannya. "Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan," kata Lucas sambil melangkah maju menghampiri pria bertopeng. "Kenapa masuk tanpa mengetuk?" ujar pria bertopeng itu kesal. "Terserah aku dong!" jawab Lucas dengan santainya. "Minggir, aku mau memeriksanya," ucap Lucas ketus. Pria bertopeng itu memiringkan badannya, ia menyingkir dari hadapan La Rossa dan memberi ruang kepada Lucas untuk memeriksa La Rossa. "Sepertinya ia enggan untuk bangun, kemungkinan terbesar ada sebuah trauma yang membuatnya tidak ingin kembali ke dunia ini," ucap Lucas menjelaskan kondisi La Rossa pada pria bertopeng itu. "Trauma?" ulang pria bertopeng itu. "Huum," jawab Lucas singkat. Pria bertopeng itu mengerutkan dahinya, ke dua alisnya bertaut menjadi satu. Nampak ia tengah berpikir keras. "Apa yang membuatmu takut untuk kembali ke dunia ini? Apa t
La Rossa menatap lekat kedalam retina pria bertopeng itu, sorot matanya mengingatkan kepada seseorang yang La Rossa kenal tapi entah siapa?. Ia berusaha mengingat orang itu tapi La Rossa sama sekali tidak menemukan dalam memorinya. La Rossa ingat jika sorot mata itu juga sama persis dengan milik Gilbert sang target yang gagal ia bunuh. Taoi Gilbert hanya memiliki satu bola mata, sementara pria bertopeng yaang ada dihadapannya memiliki dua bola mata. ' Apa mereka satu orang yang sama atau mereka dua orang yang berbeda namun memiliki sorot mata yang sama? Tapi rasanya tidak mungkin dua orang yang berbeda memiliki sorot mata yang begitu sama persis.' batin La Rossa dalam hatinya. Tatapan mata La Rossa bertemu dengan pria bertopeng, ia menampakkan sorot mata yang teduh dan menenangkan. Tapi sedetik kemudian ia merubah tampilannya dengan menampakan sorot mata yang dingin dan kejam. La Rossa merasa bingung dengan keadaan ini, bagaimana bisa ia merubah tampilan hanya dalam hitungan detik s
La Rossa meninggalkan Rumah Sakit, ia menyelinap dengan mengambil pakaian seorang Dokter yang tergantung disebuah ruangan kosong milik salah seorang Dokter praktek di sana. Ia pergi dengan menggunakan taxi yang kebetulan lewat di depan Rumah Sakit, ia meminta pada sang supir untuk mengantarkannya pada alamat yang ia sebutkan. Mobil pun melanju mengantarkan La Rossa ke sebuah lingkungan komplek perumahan yang sederhana. Ia turun ketika mobil berhenti tepat disebuah rumah bercat kuning pucat dengan halaman rumah yang penuh dengan bunga mawar beraneka warna. La Rossa meminta supir untuk menunggunya karena ia tidak memiliki uang sepeser pun. "Pak tunggu sebentar ya," pinta La Rossa pada supit taxi itu. "Ya neng," ucap supir itu setuju. Lalu ia berjalan membuka pintu gerbang dan melangkahkan kakinya hingga sampai di depan pintu dan mengetuknya. Pintu terbuka dan menampakkan sosok gadis cantik berhijab seusianya, ia menatap bingung La Rossa. "Cari siapa Ka?" tanya gadis itu. "Cari
Dirumah Sakit tempat La Rossa dirawat perawat itu datang dengan membawa nampan yang berisi makanan, ia mengetuk pintu kamar tapi tidak ada jawaban. Ia kembali mengetuk pintu itu hingga tiga kali tapi tetap tidak ada jawaban.Lalu ia mendorong pintu kamar itu, betapa terkejutnya ketika tidak mendapati La Rossa di sana. Ia meletakan nampan secara sembarang. Lalu Rita mendekat ke ranjang brangkar tempat La Rossa di rawat ia mendapati selang infus yang menggantung dengan meneteskan cairannya dan ada bercak darah di seperai putih itu.Perawat itu lalu mengambil HP-nya dan ia mulai menelepon Lucas. Orang yang telah mengutusnya untuk menjaga La Rossa. Akibat keteledorannya La Rossa kabur dari RS tempatnya dirawat."Halo, Pak. Orang yang dirawat di kamar 305 ruang VVIP hilang," ucap Rita sang perawat dengan suara bergetar ketakutan."Bagaimana bisa? Bukankah ia sedang sakit dan baru sadar dari komanya?" tanya Lucas penasaran."Aku tidak tahu, setelah aku kembali dari luar ia sudah tidak ada d
Pria bertopeng itu meninggalkan kamar VVIP. Ia pergi ke suatu tempat yang letaknya berada diujung gedung bangunan inti. Bangunan itu terlihat kumuh dan tidak layak ditempati.Pria bertopeng itu membuka pintu bangunan tua, suara kriet! terdengar, menandakan bahwa pintu jarang dibuka. Pria bertopeng masuk ke dalam gedung tua itu.Siapa yang menyangka kalau ternyata di dalam ruangan itu terlihat begitu bersih dan tertata rapi, semua perabotan yang ada di dalamnya juga nampak baru dan mewah. Pria bertopeng itu membuka topeng yang selama ini menutupi wajahnya.Ia mengelus lembut pipinya yang memiliki bekas luka yang memanjang dan lebar hampir menutupi sebagian wajahnya, siapapun yang melihat akan ketakutan karena terlihat seperti monster.Dan kemudian ia juga membuka lapisan yang menutupi matanya, ternyata mata itu hanya bola mata palsu yang dirancang menyerupai sebelah matanya yang utuh."Sudah saatnya aku menampakkan diri ke dunia nyata yang selama ini membuatku menderita," gumamnya liri
Pria bertopeng masuk ke kamarnya dengan memanjat tembok balkon kamar, ia lalu masuk melalui jendela kamar. Pria bertopeng itu mengubah penampilannya menjadi orang yang lemah dan begitu menyedihkan. Ia duduk di kursi roda dan wajah monsternya memasang sebuah wajah yang penuh kesedihan. "Tuan anda sudah kembali?" tanya Jonathan, yang selama ini menjadi orang kepercayaannya. "Hmm ...," jawab singkat pria bertopeng yang ternyata ia adalah Gilbert. Gilbert pria lumpuh berwajah monster, ia kini sedang berpura-pura menjadi orang yang lemah demi mengelabuhi orang yang selalu menginginkan kematiannya. "Apa Paman Alfredo sudah datang?" tanya Gilbert. "Belum Tuan, mungkin sebentar lagi," jawab Jonathan sopan. "Bantu aku ke balkon," pinta Gilbert pada Jonathan. Jonathan mendorong kursi roda milik Gilbert ke balkon, ia kemudian mengunci kursi roda itu. Gilbert melihat ke luar dengan mengedarkan pandangannya, motor yang ia gunakan sudah tidak terparkir di halaman. Pintu depan gerbang terb
Gilbert berdiri melihat ke arah luar, tatapannya penuh. Ia melihat iring-iringan Alfredo meninggalkan rumahnya. Jonathan masuk ke dalam dan melihat Gilbert sedang melihat keluar lewat jendala kaca kamarnya. "Tuan," sapa Jonathan. "Sudah aku katakan berulangkali jangan panggil aku Tuan jika kita sedang berdua saja," tegur Gilbert pada Jonathan. "Tapi ...," ucap Jonathan. "Sudah jangan beralasan! Ada apa?" ucap Gilbert dengan pandanga tetap mengarah keluar, kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celananya. "Semuanya sudah siap Tuan, maaf maksudku Gilbert," ucap Jonathan gugup. Jonathan mengenal Gilbert, ia tahu bagaimana karakternya. Sudah sejak lama Jonathan bekerja dengan Gilbert. "Kemas semua barang-barang yang aku butuhkan, kita berangkat malam ini," pinta Gilbert pada Jonathan. "Semua sudah siap, kita hanya menunggu waktu saja," jawab Jonathan. "Bagus!" ucap Gilbert dengan sorot mata yang tajam, membuat siapa saja yang melihatnya bergidik ngeri. Malam pun tiba Gilbert b
Gilbert semalaman menggempur La Rossa sampai ia kesulitan bangun. "Sstthh! Tubuhku seperti mau remuk," desis La Rossa. "Kenapa dia begitu kuat? Apa yang membuatnya seperti itu?" gumam La Rossa. La Rossa beringsut berusaha untuk turun dari ranjang tempatnya semalam di gempur habis-habisan oleh Gilbert. "Duh, kenapa kakiku berasa lunglai begini ya?" ujar La Rossa mengeluh dalam hati. La Rossa berjalan dengan tertatih menuju ke kamar mandi, sejak membuka matanya La Rossa tak menemukan Gilbert di mana pun. "Ke mana perginya Gilbert?" "Apa mungkin ia sedang berjalan di tepi pantai?" "Ish!" desis La Rossa kesal saat membayangkan suaminya malah tengah asyik menikmati suasana pagi dengan berjalan-jalan di tepi pantai sambil memandang matahari terbit. La Rossa keluar dari kamarnya, perutnya terasa lapar. Ia pun pergi menuju dapur dan ternyata Gilbert tengah asyik memasak. "Kamu di sini?" tanya La Rossa heran. "Berarti tuduhanku tadi salah," gumam La Rossa dalam hati. Gilbert menol
"Stop di sana!" perintah Gilbert."Perbesar!" Lanjut Gilbert.Gilbert tersenyum penuh kemenangan."Jo, bawa wanita sialan itu! Kita berangkat sekarang!" perintah Gilbert pada Jonathan.Jonathan tak mengerti dengan perintah yang Gilbert berikan."Wanita mana? Pergi ke mana?" tanya Jonathan.Gilbert yang sudah bersiap meninggalkan ruangan itu langsung menghentikan langkahnya "Jo, sejak kapan kamu berubah menjadi bodoh?" tanya Gilbert dengan nada kesal."Wanita yang telah berani menggodaku dan kita akan pergi menemui La Rossaku!" tegas Gilbert.Lalu, ia kembali berjalan menuju ke pintu dan ke luar dari ruangan itu. Yang kemudian di susul oleh Jonathan.Malam itu juga, Gilbert langsung pergi menyusul La Rossa dengan menggunaksn pesawat pribadi.Gilbert duduk dengan tenang, kali ini tak ada kecemasan dalam raut wajahnya.'Aku menemukanmu, Ros. Kamu tak akan bisa pergi jauh dariku,' batin Gilbert senang.Sementara itu, di belakangnya ada seorang wanita yang tengah memperhatikannya dengan s
Gilbert frustasi, ia benar-benar tak tahu lagi harus mencari La Rossa ke mana?Sudah sejak siang hingga malam hari Gilbert mencari La Rossa. Ia sudah mendatangi banyak tempat. Namun, tak ada satu pun tempat yang ia kunjungi menandakan adanya La Rossa di sana."Aaarrrrggghhh!" Gilbert berteriak kencang.Wajahnya sudah lecek dengan penampilan yang kusut. Otaknya tiba-tiba terasa buntu. Ia tidak lagi bisa berpikir dengan jernih.Gilbert menyugar rambutnya kasar. Ia memaki dirinya sendiri."Sial!" makinya.Gilbert melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya."Sudah larut malam," ucapnya pada diri sendiri.Gilbert memutuskan untuk pulang. Sesampainya di dalam kamarnya. Gilbert menatap ranjang besar tempatnya semalam menghabiskan waktu bersama La Rossa.Ia mengusap ranjang itu dengan telapak tangannya."Ros," panggilnya lirih.Akibat kelelahan lama kelamaan mata Gilbert menutup. Ia terlelap tidur.Pagi pun menjelang, pintu depan rumah Gilbert di gefor sangat keras.Took! Toook!P
La Rossa menenteng rantang yang berisi masakan hasil buatannya sendiri dengan arahan koki di rumahnya.La Rossa memeluk rantang di tangannya sembari tersenyum bahagia."Gilbert pasti suka," ucap La Rossa bergumam lirih. Ia terus mengulas senyum di bibirnya.La Rossa pergi ke kantornya Gilbert dengan diantar supir.Mobil memasuki area parkir dan kemudian La Rossa turun dari mobil. Ia masuk ke dalam gedung perusahaan milik Gilbert dan gegas pergi menuju lift.La Rossa berjalan dengan langkah lebar dan hati yang riang gembira, ia begitu tak sabar ingin menunjukan hasil masakannya pada Gilbert."Pasti dia sangat senang," gumam La Rossa.Para karyawan yang berpapasan dengan La Rossa menyapanya ramah. Dulu sekali, ia pernah menjadi pengganti Gilbert di kantor itu, sehingga banyak karyawan yang mengenalnya.La Rossa hanya mengangguk lirih menanggapi sapaan mereka.La Rossa berjalan di koridor, ia menenteng rantangnya.Begitu sampai di depan kantor Gilbert, La Rossa langsung masuk ke dalam ta
La Rossa dan Gilbert terlelap tidur setelah mereka bermandi peluh. Rasa lelah setelah bergumul membuat mereka tertidur.Malam pun berlalu dengan syahdunya.Keesokan harinya mereka langsung cek out dari hotel. Gilbert membawa La Rossa ke sebuah rumah yang sangat megah dan mewah.Mereka turun dari mobil yang membawa mereka ke sana.Setelah menapaki teras rumah La Rossa dan Gilbert langsung di sambut oleh para pelayan yang berbaris rapi dengan seragam khas maid."Selamat datang, Tuan, Nyonya," sapa mereka serempak.La Rossa berusaha bersikap ramah dengan mengulum senyum.Sementara Gilbert hanya mengangguk pelan.Gilbert membawa La Rossa ke atas melewati tangga satu demi satu.Gilbert membuka kamar itu dan mempersilahkan La Rossa untuk masuk terlebih dahulu."Kamarnya sangat luas," ucap La Rossa."Kenapa kita harus tinggal di rumah sebesar ini? Padahal kita hanya tinggal berdua saja," ujar La Rossa."Apa kamu tak menyukainya?" tanya Gilbert."Suka. Hanya saja aku lebih nyaman tinggal di r
Gilbert dan La Rossa meresmikan hubungan mereka di depan penghulu dengan wali hakim karena La Rossa tak memiliki saudara.Pernikahan mereka di gelar di KUA dan di saksikan oleh Jonny, Profesor Huang, Anisa, Lucas, Jonathan dan Susan.Mereka menjadi saksi keabadian cinta mereka.La Rossa menggelayut manja di lengan Gilbert yang kokoh."Terima kasih. Aku bahagia sekali," ucap La Rossa mengungkapkan rasa bahagianya."Tidak, sayang. Aku lah yang seharusnya berterima kasih padamu karena telah menerimaku apa adanya meski wajahku ini awalnya buruk rupa bagai monster, tapi kamu tetap menerimaku," ungkap Gilbert.La Rossa mencium punggung tangan Gilbert setelah ijab qobul diikrarkan dan Gilbert mencium kening La Rossa.Jonny menghampiri mereka berdua."Selamat ya, Ros," ucap Jonny, "Kini dia aku serahkan padamu. Jaga dia dengan baik," Lanjut Jonny sambil menepuk pundak Gilbert.Gilbert menepuk dadanya bangga, "Serahkan saja padaku. Aku akan menjaganya melebihi diriku sendiri," ucapnya."Hm," J
"Sudah jangan menangis, semoga kita bertemu lagi," ucap Profesir Huang ambigu."Apa maksud ucapanmu itu?" tanya La Rossa."Tidak ada," jawab Profesor Huang."Apa kamu lapar?" tanya Profesor Huang."Iya, aku lapar. Apa kamu punya makanan?" jawab La Rossa sekaligus bertanya."Sebentar, aku lihat dulu di dapur," jawab Profesor Huang.La Rossa mengangguk, "baik."Profesor Huang keluar ia pergi menuju dapur, di sana ia melihat Anisa dan dibantu oleh Lucas sedang memasak. Aroma wangi masakan tercium oleh hidung Profesor Huang, ia terus memgendus aroma itu, "hmmm ... wanginya. Bikin perutku semakin lapar saja.""Apa semuanya sudah siap di sajikan dan di santap?" tanya Profesor Huang sambil melangkah mendekati mereka berdua."Sudah, sisa ini saja yang belum matang. Tunggu sebentar lagi ya?" ucap Anisa sambil tersenyum.Lucas justru mendengkus, "huh, enak saja datang-datang langsung minta makan."Anisa memperingati Lucas, "hust! Jangan begitu, biar bagaimanapun dapur ini miliknya begitu pun de
Lucas menatap Gilbert kesal, ia selalu kalah cepat dengan Gilbert sahabatnya sekaligus rekan bisnisnya itu."Kenapa wajahmu di tekuk begitu? Jangan kesal begitu, dari pada kesal melihatku akan segera menikah, sebaiknya kamu mencari pacar dan segera lamar dia lalu nikahi. Umurmu sudah tak muda lagi, jangan sampai seperti mereka yang kadaluwarsa," ucap Gilbert sambil melirik ke arah Jhonny dan Profesor Huang.Profesor Huang acuh, sedangkan Jhonny merasa tersindir oleh ucapan Gilbert, ia pun melemparkan botol kaca yang ada di dekatnya.Dengan gesit Gilbert menangkap botol itu sambil tersenyum mengejek pada Jhonny karena ia telah berhasil menangkap botol itu.Jhonny mendengkus kesal, "jangan menghinaku. Kalau masih tetap kamu lakukan aku akan menarik kembali restuku padamu," ancam Jhonny."Memangnya bisa?" tanya Gilbert."Tentu saja bisa!" ucap Jhonny dengan nada kesal sekaligus geram."Kalian mau sampai kapan berdebat terus! Kalau masih panjang sebaiknya kalian lakukan di luar, aku mau i
Jhonny begitu terharu melihat La Rossa di lamar oleh laki-laki yang dicintainya.Jhonny menyeka air matanya yang hampir jatuh, ia memalingkan wajahnya demi untuk menyembunyikan keharuannya.Apa kata dunia ketika melihat seorang Jhonny menangis? Ia buru-buru menghapus genangan air yang menggantung di pelupuk matanya.Profesor Huang dan Lucas keluar dari ruang Laboratorium kecil milik Profesor Huang itu.Profesor Huang melihat saat Jhonny menyeka air matanya, ia pun bertanya, "ada apa ini?""Apa aku melewatkan sesuatu yang menarik? Sampai-sampai seorang Jhonny harus meneteskan air matanya," Profesor Huang bertanya dengan sedikit mengejek sahabatnya itu."Siapa yang menangis?" tanya La Rossa."Jhonny, lihat hidungnya sampai memerah," ledek Profesor Huang."Diamlah Huang! Jaga bicaramu," sentak Jhonny dengan nada sedikit marah."Kata-kata mana yang harus aku jaga?" Profesor Huang kembali mengejek Jhonny."Dasar tua bangka, tudak bisakah kamu menjaga mulutmu, ha?!" Jhonny semakin geram den