Gilbert berdiri melihat ke arah luar, tatapannya penuh. Ia melihat iring-iringan Alfredo meninggalkan rumahnya. Jonathan masuk ke dalam dan melihat Gilbert sedang melihat keluar lewat jendala kaca kamarnya. "Tuan," sapa Jonathan. "Sudah aku katakan berulangkali jangan panggil aku Tuan jika kita sedang berdua saja," tegur Gilbert pada Jonathan. "Tapi ...," ucap Jonathan. "Sudah jangan beralasan! Ada apa?" ucap Gilbert dengan pandanga tetap mengarah keluar, kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celananya. "Semuanya sudah siap Tuan, maaf maksudku Gilbert," ucap Jonathan gugup. Jonathan mengenal Gilbert, ia tahu bagaimana karakternya. Sudah sejak lama Jonathan bekerja dengan Gilbert. "Kemas semua barang-barang yang aku butuhkan, kita berangkat malam ini," pinta Gilbert pada Jonathan. "Semua sudah siap, kita hanya menunggu waktu saja," jawab Jonathan. "Bagus!" ucap Gilbert dengan sorot mata yang tajam, membuat siapa saja yang melihatnya bergidik ngeri. Malam pun tiba Gilbert b
Alfredo keluar dari ruang kerjanya, senyumannya terus terukir di bibirnya. Ia berjalan menaiki tangga satu demi satu, langkahnya begitu ringan. Beban yang selama ini akhirnya terlepas juga.Kematian Gilbert adalah kebahagian terbesarnya setelah ia menunggu sekian lama, Alfredo menyenandungkan lagu sebagai ungkapan kebahagiaannya."Selamat jalan keponakan tersayangku, akhirnya kamu menyusul kedua orang tuamu ke neraka," gumam Alfredo."Akhirnya aku bisa menikmati semua ini dengan tenang, kamu pasti merindukan kakak tiriku alias Ayahmu dan ingin segera berkumpul dengan mereka, tenang saja aku akan mengurus pemakan termegah yang pernah ada," ucap Alfredo sambil tersenyum.Ia memasuk kamar tidurnya, sudah lama ia tidak pernah menikmati tidur di ranjang empuk bersama istri sexynya. Ia mengganti bajunya dan mulai merangkak naik ke atas ranjang. Ia mendekap tubuh istrinya yang hanya mengenakan baju tidur yang tipis menerawang.Ia mulai meraba, menggerayangi tubuh istrinya yang sudah sejak la
Alfredo tampak panik, wajahnya pucat. Darimana para direksi itu mendapatkan berita kematian Gilbert sang pewaris tunggal kerajaan bisnis milik ayahnya yang kini dipegang oleh Alfredo sebagai wali sahnya. Alfredo berdiri dan langsung pergi meninggalkan meja makan tanpa menyentuh sedikit pun makanan yang sudah terhidang. Sisca mengikuti langkah suaminya dari belakang, ia mensejajarkan dirinya dengan Abraham. Sisca membisikkan sesuatu ke telinga Abraham yang kemudian dijawab dengan anggukan kepala oleh Abraham. "Kita ke kantor sekarang!" perintah Alfredo tidak senang. Baru saja semalam ia tertawa bahagia karena penghalang terbesarnya selama ini sudah meninggal, tapi dipagi buta begini ia menerima berita yang membuat perutnya mual dan ingin muntah akibat kesal. Baginya jam 08.00 pagi masih pagi buta, ia bergegas masuk ke dalam mobil mewahnya. Semua fasilitas mewah yang ia miliki adalah milik Gilbert, keponakannya. "Katakan pada Siren untuk menyiapkan semuanya!" perintah Alfredo pada
Alfredo dan Abraham keluar dari ruangan tempat Alfredo bekerja, mereka menyusuri lorong dan melewati beberapa ruangan. Siren berjalan dibelakangnya mereka, ia berjalan tanpa ekspresi. Sorot mata yang tajam dan kejam terpancar, ia tidak terlihat seperti seorang sekertaris melainkan lebih terlihat seperti pembunuh yang kejam. Alfredo memasuki sebuah ruangan di sana sudah menunggu para dewan direksi dan pemegang saham, mereka menunggu dengan raut wajah cemas. Berita kematian Gilbert menyebabkan harga saham perusahaan turun secara drastis, itu sungguh membuat takut para pemegang saham. "Selamat pagi semuanya," sapa Alfredo pada semua orang yang hadir di sana. "Pagi," jawab mereka hambir serentak. Alfredo langsung duduk di kursi kebanggannya, sudah 20 tahun ia menikmati kedudukan sebagai CEO sekaligus wali dari pemegang saham terbesar milik Gilbert. "Rapat pemegang saham dan direksi kita mulai," ucap Alfredo serius. Siren maju kedepan dan ia membagikan sebuah kertas yang berisi lapo
Abraham terpanah melihat sorot tajam mata Siren yang tidak seperti biasanya, Abraham tidak percaya pada penglihatannya. Ia memalingkan wajahnya karena merasa ngeri saat menatap sorot mata tajam Siren bak sebuah tatapan yang siap menerkam musuhnya dan menghujaninya dengan ribuan anak panah yang siap menancap di sekujur tubuhnya. Membayangkan itu semua Abraham sampai bergidik, ia tidak pernah menyangka jika Siren mampu menampilkan sorot mata yang semengerikan itu. Namun begitu Abraham kembali menatap mata Siren, sorot mata tajam itu telah sirna. Kini mata Siren menampakan sebuah tatapan yang menenangkan dan begitu teduh seperti biasanya. Abraham sampai terheran-heran dengan perubahan yang begitu cepat itu. "Apa aku salah lihat?" batin Abraham. "Tapi mana mungkin. aku melihatnya dengan begitu jelas. Bahkan sangat jelas, tapi perubahan itu terjadi hanya dalam hitungan detik saja. Kemampuan macam apa yang ia miliki?" kembali Abraham membatin. "Sudahlah! Mungkin aku yang benar-benar sa
Siren menyimpan disck itu di dalam tasnya, kemudian ia pun kembali bekerja lagi. Siren menyelesaikan tugas membuat laporan bulanan kinerja para direksi dan staffnya. Setiap bulan kinerja mereka akan diriview oleh perusahaan dan akan ada bonus untuk yang kinerjanya bagus. Saat Siren fokus mengetik, suara handphonenya berdering, ia pun merogoh tasnya. Siren melihat kontak Abraham yang terpampang di sana, ia pun menggulirnya ke atas. "Halo!" sapa Siren. "Apa yang terjadi ha! Kenapa harga saham perusahaan anjlok begitu drastis? Aku memintamu untuk mengawasi pergerakan saham dan melaporkannya padaku setiap menitnya bahkan jika mungkin setiap detiknya." sentak Abraham marah pada Siren. Siren tersenyum licik, tapi sejurus kemudian ia merubah mimik wajahnya menjadi sendu, ia mengubah nada bicaranya menjadi sangat menyedihkan. "Maafkan aku Pak, aku tidak bisa melakukan semua pekerjaan secara bersamaan, tanganku hanya ada dua, mata dan telingaku pun sama. Jika Bapak terus menuntutku un
Siren menyusuri gang sempit sejurus kemudian menghilang, ia pergi menyelinap dengan kemampuannya. Ia kini sudah berada dalam sebuah mobil van.Siren merogoh tasnya, kemudian ia menyerahkan disk pada orang yang ada di sampingnya."Ini data perusahaan itu," ucap Siren sambil menyodorkan disk itu."Bagus! Kinerjamu sungguh luar biasa, pantas Tuanku begitu mempercayaimu dan begitu mengandalkanmu," ucap orang itu.Siren tak menanggapi ucapan laki-laki yang ada disampingnya itu, ia kini sibuk membuka semua atribut yang ada pada dirinya.Siren membuka wignya, lalu kontak lensa di matanya. Kini mata coklat madu itu nampak jelas, lalu ia merobek kulit wajahnya dan terpampanglah wajah La Rossa. ia membuka gigi palsunya dan menghapus lipstik di bibirnya.La Rossa membersihkan wajahnya dengan tissue, ia kemudian menoleh ke samping. Ada Jonathan sang asisten Gilbert."Berikan sisa pembayarannya," pinta La Rossa tegas."Katakan apa yan
La Rossa memejamkan matanya, ia bergumam dalam hatinya,"Gilbert, apakah itu kamu,' Hati La Rossa tiba-tiba terasa sakit ketika mengenangnya, ia merindukannya sama rindunya terhadap ke dua orang tuanya. Ia kehilangannya sama persis seperti ia kehilangan orang tuanya. Di waktu yang bersama La Rossa harus kehilangan semua orang yang ia cintai. La Rossa masih memejamkan matanya, tapi kesadarannya tetap terjaga. Selama hidupnya ia tidak pernah merasa tenang meski dalam mimpinya sekalipun. Sejak kejadian 20 tahun yang lalu ia tidak pernah menikmati yang namanya tidur nyenyak, untuk mengobatinya ia akan berlatih sepanjang hari hingga ia merasa lelah, dan memudahkannya untuk tidur cepat. Selama itulah ia mengasah kemampuannya dalam bertarung dan menggunakan senjata, hampir semua senjata ia kuasai. Kecepatan gerakannya tidak ada yang menandingi dalam kelompoknya, ia adalah anggota terbaik dalam kelompok Vangsed. Tidak hanya itu, La Rossa juga jago dalam bidang IT, ia menjadi hacker an
Gilbert semalaman menggempur La Rossa sampai ia kesulitan bangun. "Sstthh! Tubuhku seperti mau remuk," desis La Rossa. "Kenapa dia begitu kuat? Apa yang membuatnya seperti itu?" gumam La Rossa. La Rossa beringsut berusaha untuk turun dari ranjang tempatnya semalam di gempur habis-habisan oleh Gilbert. "Duh, kenapa kakiku berasa lunglai begini ya?" ujar La Rossa mengeluh dalam hati. La Rossa berjalan dengan tertatih menuju ke kamar mandi, sejak membuka matanya La Rossa tak menemukan Gilbert di mana pun. "Ke mana perginya Gilbert?" "Apa mungkin ia sedang berjalan di tepi pantai?" "Ish!" desis La Rossa kesal saat membayangkan suaminya malah tengah asyik menikmati suasana pagi dengan berjalan-jalan di tepi pantai sambil memandang matahari terbit. La Rossa keluar dari kamarnya, perutnya terasa lapar. Ia pun pergi menuju dapur dan ternyata Gilbert tengah asyik memasak. "Kamu di sini?" tanya La Rossa heran. "Berarti tuduhanku tadi salah," gumam La Rossa dalam hati. Gilbert menol
"Stop di sana!" perintah Gilbert."Perbesar!" Lanjut Gilbert.Gilbert tersenyum penuh kemenangan."Jo, bawa wanita sialan itu! Kita berangkat sekarang!" perintah Gilbert pada Jonathan.Jonathan tak mengerti dengan perintah yang Gilbert berikan."Wanita mana? Pergi ke mana?" tanya Jonathan.Gilbert yang sudah bersiap meninggalkan ruangan itu langsung menghentikan langkahnya "Jo, sejak kapan kamu berubah menjadi bodoh?" tanya Gilbert dengan nada kesal."Wanita yang telah berani menggodaku dan kita akan pergi menemui La Rossaku!" tegas Gilbert.Lalu, ia kembali berjalan menuju ke pintu dan ke luar dari ruangan itu. Yang kemudian di susul oleh Jonathan.Malam itu juga, Gilbert langsung pergi menyusul La Rossa dengan menggunaksn pesawat pribadi.Gilbert duduk dengan tenang, kali ini tak ada kecemasan dalam raut wajahnya.'Aku menemukanmu, Ros. Kamu tak akan bisa pergi jauh dariku,' batin Gilbert senang.Sementara itu, di belakangnya ada seorang wanita yang tengah memperhatikannya dengan s
Gilbert frustasi, ia benar-benar tak tahu lagi harus mencari La Rossa ke mana?Sudah sejak siang hingga malam hari Gilbert mencari La Rossa. Ia sudah mendatangi banyak tempat. Namun, tak ada satu pun tempat yang ia kunjungi menandakan adanya La Rossa di sana."Aaarrrrggghhh!" Gilbert berteriak kencang.Wajahnya sudah lecek dengan penampilan yang kusut. Otaknya tiba-tiba terasa buntu. Ia tidak lagi bisa berpikir dengan jernih.Gilbert menyugar rambutnya kasar. Ia memaki dirinya sendiri."Sial!" makinya.Gilbert melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya."Sudah larut malam," ucapnya pada diri sendiri.Gilbert memutuskan untuk pulang. Sesampainya di dalam kamarnya. Gilbert menatap ranjang besar tempatnya semalam menghabiskan waktu bersama La Rossa.Ia mengusap ranjang itu dengan telapak tangannya."Ros," panggilnya lirih.Akibat kelelahan lama kelamaan mata Gilbert menutup. Ia terlelap tidur.Pagi pun menjelang, pintu depan rumah Gilbert di gefor sangat keras.Took! Toook!P
La Rossa menenteng rantang yang berisi masakan hasil buatannya sendiri dengan arahan koki di rumahnya.La Rossa memeluk rantang di tangannya sembari tersenyum bahagia."Gilbert pasti suka," ucap La Rossa bergumam lirih. Ia terus mengulas senyum di bibirnya.La Rossa pergi ke kantornya Gilbert dengan diantar supir.Mobil memasuki area parkir dan kemudian La Rossa turun dari mobil. Ia masuk ke dalam gedung perusahaan milik Gilbert dan gegas pergi menuju lift.La Rossa berjalan dengan langkah lebar dan hati yang riang gembira, ia begitu tak sabar ingin menunjukan hasil masakannya pada Gilbert."Pasti dia sangat senang," gumam La Rossa.Para karyawan yang berpapasan dengan La Rossa menyapanya ramah. Dulu sekali, ia pernah menjadi pengganti Gilbert di kantor itu, sehingga banyak karyawan yang mengenalnya.La Rossa hanya mengangguk lirih menanggapi sapaan mereka.La Rossa berjalan di koridor, ia menenteng rantangnya.Begitu sampai di depan kantor Gilbert, La Rossa langsung masuk ke dalam ta
La Rossa dan Gilbert terlelap tidur setelah mereka bermandi peluh. Rasa lelah setelah bergumul membuat mereka tertidur.Malam pun berlalu dengan syahdunya.Keesokan harinya mereka langsung cek out dari hotel. Gilbert membawa La Rossa ke sebuah rumah yang sangat megah dan mewah.Mereka turun dari mobil yang membawa mereka ke sana.Setelah menapaki teras rumah La Rossa dan Gilbert langsung di sambut oleh para pelayan yang berbaris rapi dengan seragam khas maid."Selamat datang, Tuan, Nyonya," sapa mereka serempak.La Rossa berusaha bersikap ramah dengan mengulum senyum.Sementara Gilbert hanya mengangguk pelan.Gilbert membawa La Rossa ke atas melewati tangga satu demi satu.Gilbert membuka kamar itu dan mempersilahkan La Rossa untuk masuk terlebih dahulu."Kamarnya sangat luas," ucap La Rossa."Kenapa kita harus tinggal di rumah sebesar ini? Padahal kita hanya tinggal berdua saja," ujar La Rossa."Apa kamu tak menyukainya?" tanya Gilbert."Suka. Hanya saja aku lebih nyaman tinggal di r
Gilbert dan La Rossa meresmikan hubungan mereka di depan penghulu dengan wali hakim karena La Rossa tak memiliki saudara.Pernikahan mereka di gelar di KUA dan di saksikan oleh Jonny, Profesor Huang, Anisa, Lucas, Jonathan dan Susan.Mereka menjadi saksi keabadian cinta mereka.La Rossa menggelayut manja di lengan Gilbert yang kokoh."Terima kasih. Aku bahagia sekali," ucap La Rossa mengungkapkan rasa bahagianya."Tidak, sayang. Aku lah yang seharusnya berterima kasih padamu karena telah menerimaku apa adanya meski wajahku ini awalnya buruk rupa bagai monster, tapi kamu tetap menerimaku," ungkap Gilbert.La Rossa mencium punggung tangan Gilbert setelah ijab qobul diikrarkan dan Gilbert mencium kening La Rossa.Jonny menghampiri mereka berdua."Selamat ya, Ros," ucap Jonny, "Kini dia aku serahkan padamu. Jaga dia dengan baik," Lanjut Jonny sambil menepuk pundak Gilbert.Gilbert menepuk dadanya bangga, "Serahkan saja padaku. Aku akan menjaganya melebihi diriku sendiri," ucapnya."Hm," J
"Sudah jangan menangis, semoga kita bertemu lagi," ucap Profesir Huang ambigu."Apa maksud ucapanmu itu?" tanya La Rossa."Tidak ada," jawab Profesor Huang."Apa kamu lapar?" tanya Profesor Huang."Iya, aku lapar. Apa kamu punya makanan?" jawab La Rossa sekaligus bertanya."Sebentar, aku lihat dulu di dapur," jawab Profesor Huang.La Rossa mengangguk, "baik."Profesor Huang keluar ia pergi menuju dapur, di sana ia melihat Anisa dan dibantu oleh Lucas sedang memasak. Aroma wangi masakan tercium oleh hidung Profesor Huang, ia terus memgendus aroma itu, "hmmm ... wanginya. Bikin perutku semakin lapar saja.""Apa semuanya sudah siap di sajikan dan di santap?" tanya Profesor Huang sambil melangkah mendekati mereka berdua."Sudah, sisa ini saja yang belum matang. Tunggu sebentar lagi ya?" ucap Anisa sambil tersenyum.Lucas justru mendengkus, "huh, enak saja datang-datang langsung minta makan."Anisa memperingati Lucas, "hust! Jangan begitu, biar bagaimanapun dapur ini miliknya begitu pun de
Lucas menatap Gilbert kesal, ia selalu kalah cepat dengan Gilbert sahabatnya sekaligus rekan bisnisnya itu."Kenapa wajahmu di tekuk begitu? Jangan kesal begitu, dari pada kesal melihatku akan segera menikah, sebaiknya kamu mencari pacar dan segera lamar dia lalu nikahi. Umurmu sudah tak muda lagi, jangan sampai seperti mereka yang kadaluwarsa," ucap Gilbert sambil melirik ke arah Jhonny dan Profesor Huang.Profesor Huang acuh, sedangkan Jhonny merasa tersindir oleh ucapan Gilbert, ia pun melemparkan botol kaca yang ada di dekatnya.Dengan gesit Gilbert menangkap botol itu sambil tersenyum mengejek pada Jhonny karena ia telah berhasil menangkap botol itu.Jhonny mendengkus kesal, "jangan menghinaku. Kalau masih tetap kamu lakukan aku akan menarik kembali restuku padamu," ancam Jhonny."Memangnya bisa?" tanya Gilbert."Tentu saja bisa!" ucap Jhonny dengan nada kesal sekaligus geram."Kalian mau sampai kapan berdebat terus! Kalau masih panjang sebaiknya kalian lakukan di luar, aku mau i
Jhonny begitu terharu melihat La Rossa di lamar oleh laki-laki yang dicintainya.Jhonny menyeka air matanya yang hampir jatuh, ia memalingkan wajahnya demi untuk menyembunyikan keharuannya.Apa kata dunia ketika melihat seorang Jhonny menangis? Ia buru-buru menghapus genangan air yang menggantung di pelupuk matanya.Profesor Huang dan Lucas keluar dari ruang Laboratorium kecil milik Profesor Huang itu.Profesor Huang melihat saat Jhonny menyeka air matanya, ia pun bertanya, "ada apa ini?""Apa aku melewatkan sesuatu yang menarik? Sampai-sampai seorang Jhonny harus meneteskan air matanya," Profesor Huang bertanya dengan sedikit mengejek sahabatnya itu."Siapa yang menangis?" tanya La Rossa."Jhonny, lihat hidungnya sampai memerah," ledek Profesor Huang."Diamlah Huang! Jaga bicaramu," sentak Jhonny dengan nada sedikit marah."Kata-kata mana yang harus aku jaga?" Profesor Huang kembali mengejek Jhonny."Dasar tua bangka, tudak bisakah kamu menjaga mulutmu, ha?!" Jhonny semakin geram den