“Kamu merasa hebat karena mempermalukan Vidia?”
“Jangan kamu kira dengan melakukan hal ini akan menjadikan dirimu satu-satunya. Ferdila bilang kamu itu mandul, lalu kenapa mengaku hamil?”
“Apa jangan-jangan kamu hamil dari lelaki lain?”
“Anda siapa?!” tanya Yuni. Rahangnya mengeras.
“Aku sepupu Vidia. Kamu sendiri siapa?”
“Sahabat Ardina dan asal kamu tahu, Ardina tidak mandul!”
“Ferdila juga mengaku pada temannya kalau Ardina memberi izin poligami karena terbaring lemah. Lelaki model apa itu?” tambah Yuni.
“Yun, kamu tidak bisa ikut campur dalam urusan rumah tanggaku,” sela Ferdila.
“Lalu, apa sepupu Vidia bisa ikut campur?” timpalku.
Genta meminta semua tamu undangan untuk pulang saja karena banyak dari mereka yang menyalakan kamera. Meski harus penuh paksaan akhirnya mereka pulang juga. Di pernikahan ini tidak ada orangtua pengantin yang hadir.
“Shella itu masih sepupuku, sementara kamu bukan keluarga Ardina.” Vidia kembali membuka suara membuat Yuni terkekeh pelan.
Yuni melangkah hingga jaraknya dengan Vidia semakin dekat. “Kamu ingin bermain-main dengan aku, Vid?”
“Dan kamu, Shella! Jangan membuat prasangka kalau Ardina hamil dari lelaki lain. Lihat sepupu kamu, dia hamil dari suami orang!” Suara Yuni kian meninggi. Aku bisa menebak emosinya sudah meluap sampai ubun-ubun.
“Anj*ng!”
“Memang kentara kalau sepupu. Sama-sama bisa ngeluarin binatang dari mulutnya.” Yuni tersenyum sinis, lalu menatap pada Ferdila.
Baru saja dia ingin mengeluarkan kata-kata pedas, Ferdila malah menyeretku kasar keluar dari gedung. Aku meronta berulang kali untuk dilepas, tetapi percuma.
“Puas kamu permalukan suami sendiri? Ini yang kamu inginkan, bukan?!”
Aku membuang wajah sekilas. “Harusnya aku yang nanya, ini yang kamu inginkan?!”
“Apa pun yang kamu lakukan, Vidia tetap akan tinggal di rumah dalam kamar utama denganku.”
“Oke, aku akan menerima Gembel itu dengan senang hati.”
Ferdila menautkan kedua alis. “Kamu kata Vidia itu gembel?”
“Bukti dia gembel adalah harus merebut suami orang supaya ada yang menafkahi dan memberinya tempat tinggal. Aku salah?”
Napas Ferdila berembus kasar. Tidak usah bertanya, sudah ketebak dia akan merasa pusing. Namun, aku masih penasaran tentang hal yang akan menjadikan malam pertamanya tidak berlalu indah.
***
“Gak singgah dulu, Yun?”
“Boleh, deh,” jawab Yuni, kemudian turun dari mobil.
Kami melangkah beriringan berakhir duduk di sofa. Banyak hal yang mengusik perhatian dan harus terjawab hari ini.
“Yun, hal yang bakal hancurin malam pertama mereka apa?”
“Kemarin aku lihat Vidia dipeluk laki-laki, tentu aku foto. Nah, foto itu masukin ke kado yang satunya lagi serta surat penolakan Vidia untuk Ferdila dulu. Kebetulan masih tersimpan.”
“Laki-laki?”
“Iya, kecuali Vidia pandai ngelak. Mungkin Ferdi akan percaya.”
Air mata jatuh membasahi pipi. Meski sudah tahu kenyataan dan ada alasan kuat untuk pergi, tetap saja masih ada benih cinta. Selama ini dia terlalu baik dan perhatian sehingga aku rindu.
Namun, rindu kali ini lebih menyesakkan dada. Yuni mendekat dan membawaku dalam pelukannya. “Aku tahu bagaimana terlukanya kamu, Din.”
“Jika nanti kami cerai, apa aku akan menemukan pengganti yang lebih baik?”
“Asal kamu yakin saja, Din.”
Aku melepas pelukan dan menghapus jejak di pipi ketika mendengar suara dari dalam dapur. Yuni memberi isyarat dengan mata, kami melangkah pelan.
Rasanya tidak mungkin ada orang lain di rumah ini karena terkunci rapat. Pencuri pun kalau ada, biasanya datang malam hari. Ini masih terhitung siang.
“Ada orang gak?” tanyaku setelah semakin dekat ke dapur. Yuni memang melangkah di depanku.
“Gak ada. Cuma beberapa sendok jatuh.”
“Sendok?” Aku merasa ada yang aneh, sendok tidak mungkin jatuh karena selalu diletakkan dalam lemari.
Yuni memunguti sendok itu dan meletakkan dalam wastafel.
“Din!”
“Astagfirullah, apa?” Aku kaget karena suara Yuni yang seperti meriam. Meledak begitu saja.
“Ini.” Dia menyerahkan secarik kertas. Aku gegas membacanya. Ternyata sebuah perintah untuk berbuat baik pada Vidia Maida.
“Dari siapa?”
“Aku gak tahu, Yun.”
“Coba baca!”
“Kamu harus baik pada Vidia Maida atau nyawamu menjadi taruhannya.”
Yuni menarik napas panjang dan mengembuskan dengan kasar. “Tadi dalam perjalanan pulang, kamu cerita ada orang yang menelepon, 'kan? Bisa jadi pengirim kertas itu orang yang sama.”
Aku memutar otak, kemudian sedikit bergidik ngeri saat membayangkan diteror orang lain atau mungkin berakhir tragis. Tidak mungkin juga bisa berbuat baik pada perempuan yang telah merebut Ferdila.
Lelaki itu memang nekat, dia bahkan tidak peduli tentang tanggapan orangtua jika sudah tahu. Apa mungkin jawaban yang diberikan pada Genta juga akan dilontarkan kembali untuk orangtua?
“Laki-laki bangs*t!”
“Istigfar, Din. Kita bisa punya cara lain. Tenangkan hati kamu, oke?”
Aku menutup wajah dengan telapak tangan sambil melonggarkan dada yang terasa sesak.
“Sudah?” tanya Yuni setelah beberapa menit berlalu. Aku mengangguk.
“Kamu harus baik pada Vidia demi keselamatanmu sendiri. Untuk cara balas dendam biar aku pikirkan nanti. Tugasmu harus berbuat baik dan jangan lupa untuk berusaha menarik perhatian Ferdi meski kamu tidak menginginkannya lagi,” bisiknya.
“Kenapa begitu?”
“Kita harus mundur beberapa langkah agar bisa melompat lebih jauh.” Yuni tersenyum.
“Ngomong-ngomong, apa Ferdila akan mengira aku hamil beneran?” tanyaku saat ingat kejadian di gedung tadi.
“Kalau nanya, diam saja. Beberapa bulan nanti baru ngaku abis keguguran. Pintar-pintar kamu saja.”
Aku menggigit bibir mengelus perut. Dulu sebelum ada Vidia, aku mendambakan anak dari Ferdila. Namun, kini tidak bahkan sama sekali tidak.
Stres rasanya memikul luka seperti ini.
Jika ujian tentang harta, mungkin aku sanggup bertahan. Kalau hadirnya perempuan kedua, siapa yang mampu bertahan apalagi suami tidak bersikap adil.
Dia sangat condong pada Vidia sehingga melupakan istri pertama yang selalu mendukungnya selama ini. Jika pun nanti Ferdi memintaku melayaninya, khawatir dia melampiaskan saja jika Vidia menolak saat itu.
Bukan berprasangka buruk, hanya saja jijik rasanya mengetahui suamiku telah berzina.
“Aku pulang dulu, Din. Kamu baik-baik di sini.”
“Oke. Hati-hati, ya!” balasku sambil melangkah mengikuti Yuni.
Tidak lama, mobilnya sudah benar-benar pergi. Baru saja aku ingin melangkah masuk rumah, panggilan telepon mengusik perhatian. Dari nomor yang sama saat itu.
“Halo?”
“Aku yang mengirimnya. Bagaimana? Sudah dipertimbangkan?”
“Apa?”
“Nyawa itu tidak bisa dibeli. Sekali dia melayang, tidak bisa kembali lagi.”
“Kamu siapa?”
“Kalau kamu tidak berbuat baik pada Vidia, kamu akan mendapat akibatnya. Aku akan selalu mengawasimu. Percaya atau tidak terserah saja.”
“Apa kamu sama murahannya dengan Vidia?”
“Pel*cur! Set*n! Kamu yang murahan!”
“Aku tahu kamu siapa!” ucapku tegas.
“Biar saja, yang jelas aku bisa mengawasimu.”
“Kamu memasang CCTV di rumah ini?”
“CCTV?” Perempuan di seberang telepon tertawa. “Bukan.” “Lalu?” “Tidak usah takut, aku tidak akan melukaimu jika kamu setuju dengan titah di secarik kertas itu. Bagaimana?” “Kamu mengancamku?” “Apa ini terdengar seperti ancaman? Kamu takut?” Aku memutus panggilan telepon berharap semua hanyalah mimpi. Gemuruh dalam dada begitu mengganggu. Jujur saja, aku takut bahkan untuk memejamkan mata sekilas. Tidak perlu menunggu waktu lagi, segera aku mengirim sms pada Yuni untuk memberitahu sekaligus mencari solusi. Sepuluh menit berlalu baru ada balasan. Yuni : Kamu harus kuat sebagaimana posisimu sebagai istri pertama. Jangan khawatir pada ancaman bahkan jika kamu harus mati, setidaknya bukan sebagai pengecut! Aku : Gimana? Yuni : Pura-pura terima Vidia dan balas perbuatan mereka diam-diam. Namun, kamu harus ingat sesuatu, dia tidak boleh curiga kamu pelakunya. Aku : Terimakasih. *** Tepat hari s
Aku Vidia Maida. Perempuan yang lahir di Indonesia, tetapi memiliki wajah dan postur serupa Inggris. Tidak mengherankan karena orangtuaku masih asli London. Usiaku kini tidak lagi muda, saatnya mencari lelaki yang bisa memberiku kehidupan layak meski ibu bukan orang miskin. Sebenarnya ayah dan ibu memintaku memanggil mereka 'mom and dad' hanya saja itu terlalu berlebihan karena ini di Indonesia. Ayah Ketua Gengster. Dia sudah sering keluar masuk penjara dengan berbagai kasus. Ibu pun seperti tidak peduli dan menghabiskan waktunya di luar. Tidak jarang dia membawa pulang lelaki dan mabuk bersama. Kami non muslim, tentu pakaian mini tidak menjadi masalah. Aku yang muak melihat mereka memilih tinggal di apartemen. Bertemu dengan Ferdila adalah sesuatu yang sangat kebetulan. Aku merasa takjub melihat perubahan yang ada padanya. Bukan hanya masalah harta, tetapi juga fisik dan rupa yang menawan. Siapa pun akan jatuh hati. Aku sengaja menggoda lelak
Aku mengetuk pintu setelah mendengar Vidia memekik. Meski dia hanya bisa melukai hati, tetapi aku bukan manusia yang tidak berperasaan. Khawatir tentu menjalar terutama pada bayi dalam kandungannya.Dia darah daging Ferdila dan tidak pantas disalahkan.“Ada apa?” tanya Vidia setelah pintu dibuka.“Aku dengar kamu teriak, kenapa?”“Gak apa-apa. Perlu bantuan?”“Oh, tidak usah. Semua sudah beres.”“Istirahatlah.”Aku mengangguk. Entah kerasukan apa, tatapan Vidia hangat bahkan kalimatnya terdengar tulus. Namun, seperti yang selalu Yuni sampaikan bahwa jangan sampai terlena pada senyum dan sikap hangat musuh.Dalam kamar aku melakukan panggilan telepon dengan Yuni. Kami basa-basi sebentar, kemudian mulai membahas inti masalah saat dia bertanya perkembangan.“Sepertinya Vidia percaya aku mau jadi temannya. Dia sering senyum-senyum sendiri, mungkin mengejek dal
“Sabar, Vid. Mungkin kamu salah masukin bumbu.” Aku berkata pelan, padahal sebenarnya ingin menampar. Namun, demi menjalankan misi, lebih baik bertingkah lugu.“Iya, sejak tadi aku duduk di ruang tengah, gak pernah sekali pun Ardina ke luar kamar,” sambung Ferdila.Aku tersenyum dalam hati. Dia tidak tahu kalau beberapa bumbu sudah tertukar tempatnya termasuk garam, terigu dan gula. Vidia tidak sejeli itu ternyata.“Kamu kalau gak bisa masak, bilang! Jangan sok-sokan mau ngasih aku masakan buatanmu yang rasanya amburadul gini!” Ferdila melempar sendok.“Fer, sabar. Jangan marah pada Vidia. Kemarahan gak akan menyelesaikan masalah. Biar aku pesan makanan saja.” Aku kembali bersuara lembut.“Anj*ng! Memang aku gak pantas jadi pembantu. Lain kali Ardina saja yang masak. Dia lebih cocok!”Ferdila menampar Vidia. “Jadi perempuan jangan suka ngomong sekasar itu. Mudah banget keluari
“Kenapa apanya?”“Tadi aku dengar kamu bilang hamil?”“Oh itu, memang aku sedang hamil, kan?”Ferdila menatapku tajam, aku balas dengan hal serupa agar tidak ketahuan. “Kamu memang benar hamil? Bukannya divonis mandul?”“Fer, Allah yang ngasih anak, bukan dokter. Kalau kamu gak percaya, ya sudah! Gak usah akuin anak yang sedang aku kandung ini!”Aku sengaja menitikkan air mata agar lebih terkesan serius. Air mata ini bukan karena kalimat Ferdi, tetapi kehadiran Vidia. Seberusaha apa pun aku menolak keadaan, tetap saja faktanya seperti ini.Dimadu karena mandul.Sebelumnya Ferdila selalu bilang menerimaku meski tidak bisa beri keturunan untuknya. Dia janji tidak akan memaksa atau memintaku berbagi. Setia hingga maut memisahkan.Nyatanya berbeda. Dia berkata tidak serupa tindakan.“Baiklah, semoga saja kamu tidak bohong.”“Bohong?! S
“Kenapa? Mau belain istri kurang ajar kamu ini, hah?!”“Kamu yang kurang ajar! Aku mengenal Ardina lebih baik. Sebenarnya, andai saat itu kamu tidak menggodaku sampai kamu hamil begini, kita tidak akan menikah!”“Apa? Coba ulangi kalimatmu? Seperti ada yang salah.”Ferdila diam, dia mengepalkan tangan hingga rahangnya mengeras. Dia meninggalkan kami dan melangkah ke luar rumah entah ke mana.Kekacauan kembali terjadi. Seperti inilah yang diinginkan lelaki yang mementingkan hawa nafsu dengan membawa hukum poligami. Dia tidak tahu poligami seperti apa yang diperbolehkan.Ferdila salat saja tidak, kenapa ingin melakukan sunnah? Hahahaha.“Kepar*t! Anj*ng! Bangs*t!” umpat Vidia, lalu menatapku tajam.“Kenapa?”“Mungkin kali ini kamu menang, tapi itu sifatnya sementara. Kamu belum mengenal aku, Din.” Tatapan Vidia kini lebih menantang.“Kamu menganc
“Genta, boleh minta nomor telepon kamu gak?”Lelaki yang baru saja menutup pintu kamar itu menoleh. “Boleh.”Dia pun menyebut sepuluh angka, kemudian tersenyum dan melangkah ke luar. Hari ini mereka bertiga harus ke kantor. Oke, aku memang seperti pembantu yang tinggal di rumah.Panggilan masuk dari Yuni.“Kamu ada rencana apa hari ini?”“Gak ada, bingung juga. Ada, sih, ngajakin Genta selingkuh.”“Ngajakin Genta selingkuh?”“Kamu kerja di perusahaan papa kamu, 'kan? Boloslah sehari. Bete, nih!”“Kamu pikir aku bisa bebas bolos? Tapi, yaudah, aku ke sana!”Hanya butuh waktu satu jam lebih, Yuni sudah ada di hadapanku. Dia terlihat bahagia, seperti ada ide baru dalam pikirannya.“Kenapa senyum mulu? Kayak orang gila tau gak?”Bukannya berhenti, Yuni malah terbahak. Aku semakin kesal hingga terpaksa memutar bola ma
“Kamu memang berparas cantik juga seksi, tetapi aku sama sekali tidak tertarik padamu!” Genta menjawab tegas.Perempuan berambut pirang itu mengembuskan napas kasar berulang kali, kemudian berteriak. Dia seperti orang gila dan untuk menghindari kekacauan, aku melangkah masuk kamar dan mengunci pintu rapat.Ada sms dari Yuni yang menanyakan kejutan, aku membalas singkat sekaligus mengucapkan terimakasih. Air mata kembali berderai mengingat saat sebelum perempuan itu hadir.Hanya ada canda dan tawa di rumah ini. Ketenangan dan kedamaian menjadikannya seperti surga.Aku mengirim sms pada Genta agar dia tahu nomorku.Genta : Oke, aku save nomor kamu. Malam ini boleh kita bertemu diam-diam? Ada satu hal yang harus kita bicarakan.Aku : Boleh saja. Pukul 12 nanti, kita ketemu di belakang rumah.Tidak ada balasan lain, sekarang aku hanya harus mandi dan memakai wewangian agar lelaki itu terpesona dan berminat ikut dalam permainan