Panggilan telepon terputus sepihak. Aku menarik napas dalam berulang kali agar air mata tidak jatuh membasahi pipi. Nomor tidak dikenal itu entah milik siapa. Ingin menelepon balik, ternyata sudah diblokir duluan.
Lantai aku bersihkan, setelah itu melangkah masuk kamar dan membanting kasar pintu. Untuk berbaring saja jijik rasanya mengingat mereka tidur di kamar ini tadi malam.
Aku membuka lemari dan mengambil semua pakaianku untuk dipindahkan ke kamar tamu. Tidak apa mengalah untuk saat ini, suatu hari kita akan tahu siapa yang mengemis untuk bertahan.
Besok suamiku akan menikah dengan pacar yang dia anggap lebih baik dari istrinya. Semoga saja dia bahagia agar tidak menangis darah. Aku harus hadir untuk memberi hadiah paling terbaik sehingga mereka tidak akan pernah melupakannya.
Malam telah tiba, angin berembus memaksaku berselimutkan rindu. Tak ingin menyimpan sesak sendirian, aku menelepon Yuni.
“Ada apa, Din?”
“Besok Ferdila nikah, aku bingung mau ngasih hadiah apa, Yun. Kamu ada ide gak?”
“Hadiah? Serius kamu mau hadir?”
“Yailah, aku gak sebego itu. Hadiah yang anu itu. Kamu pasti tahu.”
Yuni tertawa keras, dia berniat ikut karena kebetulan besok tanggal merah jadi tidak harus ke kantor. Kami mengobrol ringan, hanya beberapa menit. Sebelum mengakhiri telepon, ada sms yang dikirim.
***
Sejak tadi Yuni sudah tiba dengan dua bingkis kado di tangan. Sesuai pesannya tadi malam kalau tentang hadiah biar diurus sama dia. Dia tersenyum semringah.
“Kayaknya bahagia banget suami sahabat sendiri menikah,” sindirku.
“Bukan gitu, cuman kadonya keren banget pokoknya, mah!”
“Kado buat Ferdi?”
“Buat mereka berdua. Lihat saja, Din, malam pertama mereka tidak akan berlalu indah. Ferdila akan kembali padamu dan saat itulah kamu harus membalasnya.”
“Seberapa yakin kamu, Yun?”
“Sangat yakin, seratus persen. Kecuali suami kamu kelewatan bucinnya, mungkin lima persen.”
Aku tertawa, kemudian meraih tas dan melangkah ke luar rumah.
Kami membelah jalan dengan kecepatan sedang. Mobil alya warna merah ini baru dibeli sebulan lalu. Untuk tampil di pernikahan suami memang harus serba mewah dari segi pakaian.
“Kaca matamu cetar. Aku akui kamu mirip Syahrini.”
“Muji apa hina, nih?”
Lagi, Yuni terkekeh. “Muji. Serius, kamu cantik banget sekarang. Pakaian mewah gitu, loh.”
“Makasih sudah mau bantu, Yun. Cuma aku masih bingung sama satu hal ini. Nanti kalau sudah acara ijab qabul, aku harus gimana?”
“Tenang saja, biar aku yang urus. Kamu diam-diam bae di kursi. Oke?”
Aku mengangguk. Hati rasanya tidak karuan antara bahagia dan sedih. Ya, bahagia karena ada Yuni yang siap siaga membantu dan sedih karena hari ini seseorang telah merebut Ferdila.
Satu jam berlalu kami telah tiba, aku menatap pada cermin. Untung saja make up yang dibawa Yuni bukan murahan sehingga makin lama membuatku semakin cantik.
“Kamu sudah siap, Din?” tanya Yuni sambil memasang kaca matanya.
“Siap.”
“Satu pesan sebelum masuk. Jangan pernah melakukan sesuatu tanpa izin dariku, Din. Oh iya, jangan pernah menitikkan air mata. Ingat, kamu adalah istri sah di mata agama dan negara.”
“Oke.”
“Sekali lagi aku tanya, kamu tidak apa-apa jika pernikahan suamimu kacau?”
“Sangat tidak apa-apa, Yun. Lakukan semau kamu dan jika terjadi apa-apa, aku siap membela.”
Kami sudah masuk. Pernikahan digelar mewah, banyak tamu-tamu penting yang hadir dan menurutku tidak ada teman sekantor Ferdi selain Genta. Dia memang sahabatnya sejak kuliah, jadi tentu hadir.
“Ardina!” panggil Genta.
“Kamu ada di sini?” tanya Genta setelah jarak kami dekat.
“Kenapa memangnya, Ta?”
Lelaki itu memasang mimik bingung, kemudian tersenyum sungkan. “Gak apa-apa.”
“Jawab!” Yuni menekankan suaranya.
“Anu, sebenarnya aku juga bingung kenapa Ferdila harus menikah dengan perempuan lain. Saat nanya hal itu ke dia, katanya Ardina sudah tiga bulan terbaring lemah, jadi diberi izin untuk poligami.”
“Kamu bisa pertanggungjawabkan kalimatmu, Ta?” tanyaku. Lelaki yang mengenakan jaz biru itu mengangguk cepat.
“Baiklah, sepertinya acara akan semakin meriah,” ucap Yuni.
Dia kemudian menggandeng tanganku melangkah ke depan untuk memberi ucapan selamat pada Ferdila dan Vidia. Keduanya tampak terkejut bahkan suamiku berwajah pucat.
“Kuat mental juga sampai bisa datang ke sini,” sindir Vidia.
“Kamu juga kuat mental sampai-sampai bisa ngerebut suami orang.” Aku membalas kalimat itu dengan menampilkan senyum sinis.
Setelah menyerahkan hadiah, kami melangkah turun dari pelaminan. Yuni membisikkan sesuatu, tepatnya dia meminta agar aku duduk di kursi depan panggung sementara dia melangkah entah ke mana.
“Halo, selamat siang semuanya!” Aku menoleh ke sumber suara, ternyata Yuni berdiri di panggung menyapa seluruh tamu undangan.
Jantungku berdegup cepat, nyaris pingsan karena khawatir. Akan tetapi, saat melihat wajah kedua mempelai, aku tersenyum tipis.
“Aku Yuni, sahabat kedua mempelai yakni Ferdila dan Vidia. Sebenarnya ada sesuatu yang harus kalian tahu, tetapi terkesan lancang jika aku yang menyampaikan.”
Semua tamu undangan menatap pada Yuni. Mereka seakan menanti sesuatu yang dimaksud.
Aku melangkah naik ke panggung setelah mendapat isyarat. Suasana begitu hening. Kedua mempelai memperhatikan kami.
“Ini adalah sahabatku, namanya Ardina. Dia istri pertama dari Ferdila.”
Semua tamu undangan pun saling berbisik, pasti akan jadi trending topik. Aku menampilkan senyum paling anggun agar mereka tidak mengira hati ini lemah.
“Aku ingin kalian tidak hanya mendoakan Ferdila agar hidup bahagia dengan Vidia, tetapi beri juga doa untuk Ardina. Semoga saja anak yang ada dalam kandungannya lahir dengan selamat dan tidak mengikuti sifat a–”
“Yuni!” teriak Ferdila menghampiri kami.
“Kenapa, Fer? Bahagia karena punya istri yang hamil bersamaan?”
Vidia menampar Yuni. “Jaga mulut kamu! Asal kamu tahu, ayahku itu mafia. Kamu bisa dibunuh.”
“Tapi lagi di penjara, 'kan? Masih bisa ngebunuh?!”
“Cukup!” bentak Ferdi.
“Jadi, istri yang sekarang dinikahi sudah hamil duluan, toh?” tanya salah satu tamu undangan.
“Dasar, perempuan tidak tahu diri. Gak punya perasaan sampai merebut suami orang!”
Vidia tersenyum sinis. Dia mengangkat bingkisan yang kami bawa tadi. “Aku yakin hadiah yang dibawah ini pasti sesuatu yang memalukan. Lihat saja dirinya, tampil norak!”
Tamu undangan meminta Vidia membuka bingkisan itu. Tanpa mengulur waktu, tangannya sudah merobek kertas kado dan mata perempuan itu membulat sempurna.
Aku jadi penasaran apa isi hadiah yang dimasukkan Yuni.
“Kenapa? Hadiahnya sesuatu yang memalukan atau sangat kamu idamkan?” Yuni bertanya dengan nada mengejek.
Wajah Vidia merah, tetapi detik selanjutnya ia tersenyum. Aku sangat tidak menyangka Yuni akan memberi berlian pada perempuan tidak tahu diri itu.
Tamu undangan kembali meneriaki mereka berdua, sungguh hari pernikahan yang memalukan. Bukan ingin durhaka pada suami, tetapi perempuan mana yang sanggup menerima kenyataan suaminya telah tidur dengan perempuan lain?
“Diam!” Aku menoleh ke sumber suara. Di sana berdiri seorang perempuan yang tersenyum sinis sambil bertepuk tangan tengah melangkah ke arah kami.
“Kamu merasa hebat karena mempermalukan Vidia?” “Jangan kamu kira dengan melakukan hal ini akan menjadikan dirimu satu-satunya. Ferdila bilang kamu itu mandul, lalu kenapa mengaku hamil?” “Apa jangan-jangan kamu hamil dari lelaki lain?” “Anda siapa?!” tanya Yuni. Rahangnya mengeras. “Aku sepupu Vidia. Kamu sendiri siapa?” “Sahabat Ardina dan asal kamu tahu, Ardina tidak mandul!” “Ferdila juga mengaku pada temannya kalau Ardina memberi izin poligami karena terbaring lemah. Lelaki model apa itu?” tambah Yuni. “Yun, kamu tidak bisa ikut campur dalam urusan rumah tanggaku,” sela Ferdila. “Lalu, apa sepupu Vidia bisa ikut campur?” timpalku. Genta meminta semua tamu undangan untuk pulang saja karena banyak dari mereka yang menyalakan kamera. Meski harus penuh paksaan akhirnya mereka pulang juga. Di pernikahan ini tidak ada orangtua pengantin yang hadir. “Shella itu masih sepupuku, sementara kamu bukan keluarga
“CCTV?” Perempuan di seberang telepon tertawa. “Bukan.” “Lalu?” “Tidak usah takut, aku tidak akan melukaimu jika kamu setuju dengan titah di secarik kertas itu. Bagaimana?” “Kamu mengancamku?” “Apa ini terdengar seperti ancaman? Kamu takut?” Aku memutus panggilan telepon berharap semua hanyalah mimpi. Gemuruh dalam dada begitu mengganggu. Jujur saja, aku takut bahkan untuk memejamkan mata sekilas. Tidak perlu menunggu waktu lagi, segera aku mengirim sms pada Yuni untuk memberitahu sekaligus mencari solusi. Sepuluh menit berlalu baru ada balasan. Yuni : Kamu harus kuat sebagaimana posisimu sebagai istri pertama. Jangan khawatir pada ancaman bahkan jika kamu harus mati, setidaknya bukan sebagai pengecut! Aku : Gimana? Yuni : Pura-pura terima Vidia dan balas perbuatan mereka diam-diam. Namun, kamu harus ingat sesuatu, dia tidak boleh curiga kamu pelakunya. Aku : Terimakasih. *** Tepat hari s
Aku Vidia Maida. Perempuan yang lahir di Indonesia, tetapi memiliki wajah dan postur serupa Inggris. Tidak mengherankan karena orangtuaku masih asli London. Usiaku kini tidak lagi muda, saatnya mencari lelaki yang bisa memberiku kehidupan layak meski ibu bukan orang miskin. Sebenarnya ayah dan ibu memintaku memanggil mereka 'mom and dad' hanya saja itu terlalu berlebihan karena ini di Indonesia. Ayah Ketua Gengster. Dia sudah sering keluar masuk penjara dengan berbagai kasus. Ibu pun seperti tidak peduli dan menghabiskan waktunya di luar. Tidak jarang dia membawa pulang lelaki dan mabuk bersama. Kami non muslim, tentu pakaian mini tidak menjadi masalah. Aku yang muak melihat mereka memilih tinggal di apartemen. Bertemu dengan Ferdila adalah sesuatu yang sangat kebetulan. Aku merasa takjub melihat perubahan yang ada padanya. Bukan hanya masalah harta, tetapi juga fisik dan rupa yang menawan. Siapa pun akan jatuh hati. Aku sengaja menggoda lelak
Aku mengetuk pintu setelah mendengar Vidia memekik. Meski dia hanya bisa melukai hati, tetapi aku bukan manusia yang tidak berperasaan. Khawatir tentu menjalar terutama pada bayi dalam kandungannya.Dia darah daging Ferdila dan tidak pantas disalahkan.“Ada apa?” tanya Vidia setelah pintu dibuka.“Aku dengar kamu teriak, kenapa?”“Gak apa-apa. Perlu bantuan?”“Oh, tidak usah. Semua sudah beres.”“Istirahatlah.”Aku mengangguk. Entah kerasukan apa, tatapan Vidia hangat bahkan kalimatnya terdengar tulus. Namun, seperti yang selalu Yuni sampaikan bahwa jangan sampai terlena pada senyum dan sikap hangat musuh.Dalam kamar aku melakukan panggilan telepon dengan Yuni. Kami basa-basi sebentar, kemudian mulai membahas inti masalah saat dia bertanya perkembangan.“Sepertinya Vidia percaya aku mau jadi temannya. Dia sering senyum-senyum sendiri, mungkin mengejek dal
“Sabar, Vid. Mungkin kamu salah masukin bumbu.” Aku berkata pelan, padahal sebenarnya ingin menampar. Namun, demi menjalankan misi, lebih baik bertingkah lugu.“Iya, sejak tadi aku duduk di ruang tengah, gak pernah sekali pun Ardina ke luar kamar,” sambung Ferdila.Aku tersenyum dalam hati. Dia tidak tahu kalau beberapa bumbu sudah tertukar tempatnya termasuk garam, terigu dan gula. Vidia tidak sejeli itu ternyata.“Kamu kalau gak bisa masak, bilang! Jangan sok-sokan mau ngasih aku masakan buatanmu yang rasanya amburadul gini!” Ferdila melempar sendok.“Fer, sabar. Jangan marah pada Vidia. Kemarahan gak akan menyelesaikan masalah. Biar aku pesan makanan saja.” Aku kembali bersuara lembut.“Anj*ng! Memang aku gak pantas jadi pembantu. Lain kali Ardina saja yang masak. Dia lebih cocok!”Ferdila menampar Vidia. “Jadi perempuan jangan suka ngomong sekasar itu. Mudah banget keluari
“Kenapa apanya?”“Tadi aku dengar kamu bilang hamil?”“Oh itu, memang aku sedang hamil, kan?”Ferdila menatapku tajam, aku balas dengan hal serupa agar tidak ketahuan. “Kamu memang benar hamil? Bukannya divonis mandul?”“Fer, Allah yang ngasih anak, bukan dokter. Kalau kamu gak percaya, ya sudah! Gak usah akuin anak yang sedang aku kandung ini!”Aku sengaja menitikkan air mata agar lebih terkesan serius. Air mata ini bukan karena kalimat Ferdi, tetapi kehadiran Vidia. Seberusaha apa pun aku menolak keadaan, tetap saja faktanya seperti ini.Dimadu karena mandul.Sebelumnya Ferdila selalu bilang menerimaku meski tidak bisa beri keturunan untuknya. Dia janji tidak akan memaksa atau memintaku berbagi. Setia hingga maut memisahkan.Nyatanya berbeda. Dia berkata tidak serupa tindakan.“Baiklah, semoga saja kamu tidak bohong.”“Bohong?! S
“Kenapa? Mau belain istri kurang ajar kamu ini, hah?!”“Kamu yang kurang ajar! Aku mengenal Ardina lebih baik. Sebenarnya, andai saat itu kamu tidak menggodaku sampai kamu hamil begini, kita tidak akan menikah!”“Apa? Coba ulangi kalimatmu? Seperti ada yang salah.”Ferdila diam, dia mengepalkan tangan hingga rahangnya mengeras. Dia meninggalkan kami dan melangkah ke luar rumah entah ke mana.Kekacauan kembali terjadi. Seperti inilah yang diinginkan lelaki yang mementingkan hawa nafsu dengan membawa hukum poligami. Dia tidak tahu poligami seperti apa yang diperbolehkan.Ferdila salat saja tidak, kenapa ingin melakukan sunnah? Hahahaha.“Kepar*t! Anj*ng! Bangs*t!” umpat Vidia, lalu menatapku tajam.“Kenapa?”“Mungkin kali ini kamu menang, tapi itu sifatnya sementara. Kamu belum mengenal aku, Din.” Tatapan Vidia kini lebih menantang.“Kamu menganc
“Genta, boleh minta nomor telepon kamu gak?”Lelaki yang baru saja menutup pintu kamar itu menoleh. “Boleh.”Dia pun menyebut sepuluh angka, kemudian tersenyum dan melangkah ke luar. Hari ini mereka bertiga harus ke kantor. Oke, aku memang seperti pembantu yang tinggal di rumah.Panggilan masuk dari Yuni.“Kamu ada rencana apa hari ini?”“Gak ada, bingung juga. Ada, sih, ngajakin Genta selingkuh.”“Ngajakin Genta selingkuh?”“Kamu kerja di perusahaan papa kamu, 'kan? Boloslah sehari. Bete, nih!”“Kamu pikir aku bisa bebas bolos? Tapi, yaudah, aku ke sana!”Hanya butuh waktu satu jam lebih, Yuni sudah ada di hadapanku. Dia terlihat bahagia, seperti ada ide baru dalam pikirannya.“Kenapa senyum mulu? Kayak orang gila tau gak?”Bukannya berhenti, Yuni malah terbahak. Aku semakin kesal hingga terpaksa memutar bola ma