Share

4. Hadiah Untuk Pengantin

Panggilan telepon terputus sepihak. Aku menarik napas dalam berulang kali agar air mata tidak jatuh membasahi pipi. Nomor tidak dikenal itu entah milik siapa. Ingin menelepon balik, ternyata sudah diblokir duluan.

Lantai aku bersihkan, setelah itu melangkah masuk kamar dan membanting kasar pintu. Untuk berbaring saja jijik rasanya mengingat mereka tidur di kamar ini tadi malam.

Aku membuka lemari dan mengambil semua pakaianku untuk dipindahkan ke kamar tamu. Tidak apa mengalah untuk saat ini, suatu hari kita akan tahu siapa yang mengemis untuk bertahan.

Besok suamiku akan menikah dengan pacar yang dia anggap lebih baik dari istrinya. Semoga saja dia bahagia agar tidak menangis darah. Aku harus hadir untuk memberi hadiah paling terbaik sehingga mereka tidak akan pernah melupakannya.

Malam telah tiba, angin berembus memaksaku berselimutkan rindu. Tak ingin menyimpan sesak sendirian, aku menelepon Yuni.

“Ada apa, Din?”

“Besok Ferdila nikah, aku bingung mau ngasih hadiah apa, Yun. Kamu ada ide gak?”

“Hadiah? Serius kamu mau hadir?”

“Yailah, aku gak sebego itu. Hadiah yang anu itu. Kamu pasti tahu.”

Yuni tertawa keras, dia berniat ikut karena kebetulan besok tanggal merah jadi tidak harus ke kantor. Kami mengobrol ringan, hanya beberapa menit. Sebelum mengakhiri telepon, ada sms yang dikirim.

***

Sejak tadi Yuni sudah tiba dengan dua bingkis kado di tangan. Sesuai pesannya tadi malam kalau tentang hadiah biar diurus sama dia. Dia tersenyum semringah.

“Kayaknya bahagia banget suami sahabat sendiri menikah,” sindirku.

“Bukan gitu, cuman kadonya keren banget pokoknya, mah!”

“Kado buat Ferdi?”

“Buat mereka berdua. Lihat saja, Din, malam pertama mereka tidak akan berlalu indah. Ferdila akan kembali padamu dan saat itulah kamu harus membalasnya.”

“Seberapa yakin kamu, Yun?”

“Sangat yakin, seratus persen. Kecuali suami kamu kelewatan bucinnya, mungkin lima persen.”

Aku tertawa, kemudian meraih tas dan melangkah ke luar rumah.

Kami membelah jalan dengan kecepatan sedang. Mobil alya warna merah ini baru dibeli sebulan lalu. Untuk tampil di pernikahan suami memang harus serba mewah dari segi pakaian.

“Kaca matamu cetar. Aku akui kamu mirip Syahrini.”

“Muji apa hina, nih?”

Lagi, Yuni terkekeh. “Muji. Serius, kamu cantik banget sekarang. Pakaian mewah gitu, loh.”

“Makasih sudah mau bantu, Yun. Cuma aku masih bingung sama satu hal ini. Nanti kalau sudah acara ijab qabul, aku harus gimana?”

“Tenang saja, biar aku yang urus. Kamu diam-diam bae di kursi. Oke?”

Aku mengangguk. Hati rasanya tidak karuan antara bahagia dan sedih. Ya, bahagia karena ada Yuni yang siap siaga membantu dan sedih karena hari ini seseorang telah merebut Ferdila.

Satu jam berlalu kami telah tiba, aku menatap pada cermin. Untung saja make up yang dibawa Yuni bukan murahan sehingga makin lama membuatku semakin cantik.

“Kamu sudah siap, Din?” tanya Yuni sambil memasang kaca matanya.

“Siap.”

“Satu pesan sebelum masuk. Jangan pernah melakukan sesuatu tanpa izin dariku, Din. Oh iya, jangan pernah menitikkan air mata. Ingat, kamu adalah istri sah di mata agama dan negara.”

“Oke.”

“Sekali lagi aku tanya, kamu tidak apa-apa jika pernikahan suamimu kacau?”

“Sangat tidak apa-apa, Yun. Lakukan semau kamu dan jika terjadi apa-apa, aku siap membela.”

Kami sudah masuk. Pernikahan digelar mewah, banyak tamu-tamu penting yang hadir dan menurutku tidak ada teman sekantor Ferdi selain Genta. Dia memang sahabatnya sejak kuliah, jadi tentu hadir.

“Ardina!” panggil Genta. 

“Kamu ada di sini?” tanya Genta setelah jarak kami dekat. 

“Kenapa memangnya, Ta?”

Lelaki itu memasang mimik bingung, kemudian tersenyum sungkan. “Gak apa-apa.”

“Jawab!” Yuni menekankan suaranya.

“Anu, sebenarnya aku juga bingung kenapa Ferdila harus menikah dengan perempuan lain. Saat nanya hal itu ke dia, katanya Ardina sudah tiga bulan terbaring lemah, jadi diberi izin untuk poligami.”

“Kamu bisa pertanggungjawabkan kalimatmu, Ta?” tanyaku. Lelaki yang mengenakan jaz biru itu mengangguk cepat.

“Baiklah, sepertinya acara akan semakin meriah,” ucap Yuni.

Dia kemudian menggandeng tanganku melangkah ke depan untuk memberi ucapan selamat pada Ferdila dan Vidia. Keduanya tampak terkejut bahkan suamiku berwajah pucat.

“Kuat mental juga sampai bisa datang ke sini,” sindir Vidia.

“Kamu juga kuat mental sampai-sampai bisa ngerebut suami orang.” Aku membalas kalimat itu dengan menampilkan senyum sinis.

Setelah menyerahkan hadiah, kami melangkah turun dari pelaminan. Yuni membisikkan sesuatu, tepatnya dia meminta agar aku duduk di kursi depan panggung sementara dia melangkah entah ke mana.

“Halo, selamat siang semuanya!” Aku menoleh ke sumber suara, ternyata Yuni berdiri di panggung menyapa seluruh tamu undangan.

Jantungku berdegup cepat, nyaris pingsan karena khawatir. Akan tetapi, saat melihat wajah kedua mempelai, aku tersenyum tipis.

“Aku Yuni, sahabat kedua mempelai yakni Ferdila dan Vidia. Sebenarnya ada sesuatu yang harus kalian tahu, tetapi terkesan lancang jika aku yang menyampaikan.”

Semua tamu undangan menatap pada Yuni. Mereka seakan menanti sesuatu yang dimaksud.

Aku melangkah naik ke panggung setelah mendapat isyarat. Suasana begitu hening. Kedua mempelai memperhatikan kami.

“Ini adalah sahabatku, namanya Ardina. Dia istri pertama dari Ferdila.” 

Semua tamu undangan pun saling berbisik, pasti akan jadi trending topik. Aku menampilkan senyum paling anggun agar mereka tidak mengira hati ini lemah.

“Aku ingin kalian tidak hanya mendoakan Ferdila agar hidup bahagia dengan Vidia, tetapi beri juga doa untuk Ardina. Semoga saja anak yang ada dalam kandungannya lahir dengan selamat dan tidak mengikuti sifat a–”

“Yuni!” teriak Ferdila menghampiri kami. 

“Kenapa, Fer? Bahagia karena punya istri yang hamil bersamaan?”

Vidia menampar Yuni. “Jaga mulut kamu! Asal kamu tahu, ayahku itu mafia. Kamu bisa dibunuh.”

“Tapi lagi di penjara, 'kan? Masih bisa ngebunuh?!”

“Cukup!” bentak Ferdi.

“Jadi, istri yang sekarang dinikahi sudah hamil duluan, toh?” tanya salah satu tamu undangan.

“Dasar, perempuan tidak tahu diri. Gak punya perasaan sampai merebut suami orang!”

Vidia tersenyum sinis. Dia mengangkat bingkisan yang kami bawa tadi. “Aku yakin hadiah yang dibawah ini pasti sesuatu yang memalukan. Lihat saja dirinya, tampil norak!”

Tamu undangan meminta Vidia membuka bingkisan itu. Tanpa mengulur waktu, tangannya sudah merobek kertas kado dan mata perempuan itu membulat sempurna.

Aku jadi penasaran apa isi hadiah yang dimasukkan Yuni. 

“Kenapa? Hadiahnya sesuatu yang memalukan atau sangat kamu idamkan?” Yuni bertanya dengan nada mengejek.

Wajah Vidia merah, tetapi detik selanjutnya ia tersenyum. Aku sangat tidak menyangka Yuni akan memberi berlian pada perempuan tidak tahu diri itu.

Tamu undangan kembali meneriaki mereka berdua, sungguh hari pernikahan yang memalukan. Bukan ingin durhaka pada suami, tetapi perempuan mana yang sanggup menerima kenyataan suaminya telah tidur dengan perempuan lain?

“Diam!” Aku menoleh ke sumber suara. Di sana berdiri seorang perempuan yang tersenyum sinis sambil bertepuk tangan tengah melangkah ke arah kami.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status