Aku meraih ponsel dan mengirim pesan untuk Yuni. Untung saja hari ini libur sehingga tidak harus menunggunya pulang dari kantor. Dia memang tergolong dewasa dan pandai mengambil sikap terlebih saat dalam urusan percintaan.
Tersakiti berulang kali menjadikannya sangat berpengalaman. Yuni juga teman SMA Ferdila dan Vidia dulu. Mungkin dia tahu kelemahan mereka atau salah satunya saja.
Satu jam berlalu, dia sudah sampai. Aku harus menghilangkan pikiran tentang kemesraan Ferdila dahulu. Kami duduk saling berhadapan.
“Ada masalah apa, Din? Tumben banget kamu memintaku datang hari libur. Biasanya jalan-jalan sama Ferdi.”
“Itu dulu, Yun. Ferdi sudah punya perempuan lain. Kamu pasti gak nyangka siapa perempuan itu.” Aku menjawab setelah menarik napas panjang berulang kali.
“What?!”
“Iya, perempuan itu bernama Vidia.”
“Vidia Maida?!” Yuni terkejut bukan main. Matanya membulat sempurna. Aku hanya bisa mengangguk membenarkannya.
“Terus kamu diam aja gitu, gak ngelakuin apa-apa? Gak ada acara jambak-jambakan atau apa gitu, Din?”
“Tadi aku nampar Vidia, tapi Ferdila malah nampar balik dua kali pula. Harga diriku jatuh di depan pacarnya itu. Kamu tahu sendiri aku ini lemah apalagi soal perasaan. Aku juga mengira akan bisa sekuat perempuan lain, nyatanya tidak.”
“Jangan mau kalah, Din. Kalau Vidia bisa, kamu lebih bisa. Dia itu cuma perusak rumah tangga yang belum jadi istri.” Yuni memutar bola mata.
“Aku gak ada nyali berhadapan sama Vidia. Dia terlampau cantik bahkan nyaris sempurna. Lihat saja dia, kayak bule gitu.”
“Wajah cantik, postur tubuh indah, aroma tubuh yang harum,” tambahku merasa marah pada takdir.
“Dia bukan kayak bule, tapi emang bule. Orangtuanya masih asli Inggris, hanya saja mereka sudah lama di sini. Bahkan Vidia lahir dan besar di Indonesia. Namun, ada sesuatu yang mungkin bisa mencegah pernikahan mereka, Din.”
“Apa itu?” tanyaku penasaran. Yuni tersenyum seakan yakin pada jawabannya. Jantung berdegup cepat menantikan kalimat apa yang akan dihaturkan.
Jika cara yang Yuni berikan berhasil, aku akan melakukan sujud syukur pada Tuhan. Cinta pada Ferdila terlalu besar sampai aku rela melepas pekerjaan yang paling aku idamkan.
Kerja di salon besar dengan gaji yang lumayan. Memang penampilan sekarang dengan saat kerja dulu berbeda karena Ferdila jarang memberi jatah untuk shoping dan skincare, sedangkan dulu aku bisa beli apa saja untuk merawat diri.
“Kamu gak tahu karena gak satu SMA dengan Vidia. Ferdila juga gak tahu karena gak sekelas.”
“Iya, tapi apa?”
“Vidia itu non muslim, Din. Ayahnya juga mantan mafia. Aku yakin Ferdila gak akan mau sama Vidia.”
“Benarkah?”
“Iya, Din. Vidia dulu nolak suami kamu karena keyakinan mereka beda. Kamu tahu gak, Vidia itu ngerokok.”
Aku memutar otak. Pikiran menerawang jauh hingga teringat pada foto perempuan di ponsel Ferdi mengenakan mukenah, tetapi dia menutup wajah dengan al-qur'an. Jika itu bukan Vidia, lantas siapa?
“Nanti malam kalau Ferdi pulang dan kalian sudah ada di kamar, bicarakan ini baik-baik. Kalau tidak berhasil, aku akan membantumu mencari cara lain.”
“Makasih, ya. Aku percaya padamu, Yun.”
“Sama-sama. Aku doa supaya kamu kuat.”
Deru mobil terdengar jelas. Aku beranjak dari kursi dan mengintip di balik tirai jendela. Ferdila keluar bersama Vidia. Perempuan itu bergelayut manja di lengan suamiku.
“Ardina!” panggil Ferdila dengan sedikit berteriak.
“Gak usah teriak-teriak, Fer. Malu didengar Yuni.”
“Oh, ada Yuni. Pas banget bisa ngobrol bareng Vidia. Aku mau mandi dulu, gerah.”
“Fer! Aku mau bicara!”
“Oke, di kamar, ya,” jawab Ferdila sambil mencolek daguku.
Kami melangkah beriringan. Setibanya dalam kamar, Ferdila menutup rapat pintu dan menguncinya dua kali.
“Ada apa, Sayang? Sepertinya kamu serius?”
Aku tidak bisa mengikuti saran Yuni untuk membicarakan nanti malam. Tidak ada yang bisa memastikan dia akan pulang malam ini.
“Kamu yakin mau menikah dengan Vidia?” Pertanyaanku barusan melukai hati sendiri.
“Kamu cemburu?”
“Ya jelas aku cemburu. Aku ini masih istri kamu, Fer. Kamu gak nganggapku lagi apa?!”
“Tenang, Sayang.” Ferdila memegang kedua bahuku. Tatapannya berubah hangat. “Aku melakukan ini sebenarnya karena satu alasan.”
“Satu alasan?”
“Vidia itu orang kaya, tentu bisa membantu perekonomian kita. Dia juga ... dia juga mungkin bisa menjadi pelengkap bahagia keluarga kita.”
“Maksud kamu? Memangnya kita miskin melarat? Memangnya kita tidak bahagia?”
“Aku mau hidup mewah bergelimang harta. Bukan seperti ini. Kamu juga mandul, gak bisa beriku anak!”
Perempuan mana yang tidak merasa sakit hati dengan sikap suami yang seperti Ferdila? Aku tidak tahu melakukan dosa apa di masa lalu sehingga mendapat hukuman seperti ini.
Air mata tidak mampu dibendung. Dia jatuh membasahi pipi begitu deras. Ferdila tersenyum. Kedua tangannya menghapus air mataku. “Aku sayang sama kamu, Din.”
“Kamu sayang sama aku?”
“Iya.”
“Kamu sadar gak, sih, Fer. Kalimat kamu barusan itu melukai hatiku. Tidak, bahkan sejak pertama kamu mempertemukan aku dengan Vidia. Hati ini sudah hancur!”
“Vidia itu non muslim. Kamu gak mungkin menikahinya, 'kan?”
“Memangnya kenapa kalau dia non muslim? Yang penting bisa ngasih anak dan harta, kan?”
“Fer! Kamu yakin Vidia bisa ngasih kamu anak?”
“Iya, sangat yakin!”
“Kenapa?” Aku bertanya seperti ini untuk menghilangkan pikiran negatif yang terus merajai hati.
Ferdila mengembus napas kasar. “Bersihkan pecahan kaca ini.”
Lelaki itu membuka pintu, lalu melangkah ke luar. Dia meraih tangan Vidia lembut dan membawanya pergi. Benar, hati Ferdi sudah dia kuasai sepenuhnya.
Baru saja kaki ini ingin mengejar mobil itu, Yuni gegas mencegah dengan memelukku dari belakang. Air mata semakin deras. Kenapa harus aku yang ditakdirkan seperti ini?
“Din, aku akan bantu kamu sampai semuanya selesai.”
“Kamu yakin?”
“Aku akan melakukan apa saja, Din,” jawab Yuni melepas pelukannya, kemudian melangkah pelan hingga kami berhadapan.
Mata perempuan itu merah. “Tadi aku sudah bicara dengan Vidia. Dia nanya alasan aku ke sini. Kami cerita sedikit hingga berhasil tukaran nomor telepon.”
“Kamu cerita sama dia?”
“Enggak, aku cari alasan lain.”
“Kamu yang minta nomor telepon Vidia?”
“Panjang ceritanya. Serahkan semua padaku, Din. Kalau kamu gak percaya, boleh saja.”
Aku mengusap wajah gusar. “Baiklah, aku percaya padamu. Semoga saja ada cara lain yang kamu temukan. Ferdila mungkin malam ini gak kembali, makanya tadi aku bahas tentang keyakinan Vidia yang berbeda. Namun, nihil.”
“Vidia memang bermental kuat. Kamu harus bisa mengalahkannya. Aku yakin ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Jika saja cinta Ferdi tulus, maka bisa jadi Vidia yang berpura-pura.”
“Berpura-pura?”
“Iya, Vidia itu terkenal licik. Aneh saja, kenapa Ferdila malah jatuh cinta mati padanya.” “Licik gimana?” “Haduh, banyak. Bahkan sejak SD dia sudah pandai membully orang. Vidia itu mata duitan, Din.” Jantungku berdegup kencang. Sungguh tidak tahu harus berkata apa lagi. Ingin menyampaikan pada Ferdila juga tidak mungkin karena hanya akan mendapat amarahnya. Hati yang sudah dikuasai orang lain itu susah untuk kembali. *** Hari sudah malam. Sejak sore tadi aku tidak ada kesibukan. Ingin keluar mencari Ferdila juga tidak mungkin karena tidak tahu alamat rumah Vidia. Jam sudah menunjuk angka sembilan, aku mendengar suara orang dari luar. Saat membuka pintu, rupanya Ferdila kembali. Hanya saja di sampingnya berdiri seorang perempuan. Tidak usah ditanya itu siapa, sudah pasti adalah Vidia. “Fer, kamu bawa Vidia pulang ke sini? Apa kata tetangga?” tanyaku setelah keluar kamar. “Tidak usah pus
Panggilan telepon terputus sepihak. Aku menarik napas dalam berulang kali agar air mata tidak jatuh membasahi pipi. Nomor tidak dikenal itu entah milik siapa. Ingin menelepon balik, ternyata sudah diblokir duluan. Lantai aku bersihkan, setelah itu melangkah masuk kamar dan membanting kasar pintu. Untuk berbaring saja jijik rasanya mengingat mereka tidur di kamar ini tadi malam. Aku membuka lemari dan mengambil semua pakaianku untuk dipindahkan ke kamar tamu. Tidak apa mengalah untuk saat ini, suatu hari kita akan tahu siapa yang mengemis untuk bertahan. Besok suamiku akan menikah dengan pacar yang dia anggap lebih baik dari istrinya. Semoga saja dia bahagia agar tidak menangis darah. Aku harus hadir untuk memberi hadiah paling terbaik sehingga mereka tidak akan pernah melupakannya. Malam telah tiba, angin berembus memaksaku berselimutkan rindu. Tak ingin menyimpan sesak sendirian, aku menelepon Yuni. “Ada apa, Din?” “Besok Ferdila nika
“Kamu merasa hebat karena mempermalukan Vidia?” “Jangan kamu kira dengan melakukan hal ini akan menjadikan dirimu satu-satunya. Ferdila bilang kamu itu mandul, lalu kenapa mengaku hamil?” “Apa jangan-jangan kamu hamil dari lelaki lain?” “Anda siapa?!” tanya Yuni. Rahangnya mengeras. “Aku sepupu Vidia. Kamu sendiri siapa?” “Sahabat Ardina dan asal kamu tahu, Ardina tidak mandul!” “Ferdila juga mengaku pada temannya kalau Ardina memberi izin poligami karena terbaring lemah. Lelaki model apa itu?” tambah Yuni. “Yun, kamu tidak bisa ikut campur dalam urusan rumah tanggaku,” sela Ferdila. “Lalu, apa sepupu Vidia bisa ikut campur?” timpalku. Genta meminta semua tamu undangan untuk pulang saja karena banyak dari mereka yang menyalakan kamera. Meski harus penuh paksaan akhirnya mereka pulang juga. Di pernikahan ini tidak ada orangtua pengantin yang hadir. “Shella itu masih sepupuku, sementara kamu bukan keluarga
“CCTV?” Perempuan di seberang telepon tertawa. “Bukan.” “Lalu?” “Tidak usah takut, aku tidak akan melukaimu jika kamu setuju dengan titah di secarik kertas itu. Bagaimana?” “Kamu mengancamku?” “Apa ini terdengar seperti ancaman? Kamu takut?” Aku memutus panggilan telepon berharap semua hanyalah mimpi. Gemuruh dalam dada begitu mengganggu. Jujur saja, aku takut bahkan untuk memejamkan mata sekilas. Tidak perlu menunggu waktu lagi, segera aku mengirim sms pada Yuni untuk memberitahu sekaligus mencari solusi. Sepuluh menit berlalu baru ada balasan. Yuni : Kamu harus kuat sebagaimana posisimu sebagai istri pertama. Jangan khawatir pada ancaman bahkan jika kamu harus mati, setidaknya bukan sebagai pengecut! Aku : Gimana? Yuni : Pura-pura terima Vidia dan balas perbuatan mereka diam-diam. Namun, kamu harus ingat sesuatu, dia tidak boleh curiga kamu pelakunya. Aku : Terimakasih. *** Tepat hari s
Aku Vidia Maida. Perempuan yang lahir di Indonesia, tetapi memiliki wajah dan postur serupa Inggris. Tidak mengherankan karena orangtuaku masih asli London. Usiaku kini tidak lagi muda, saatnya mencari lelaki yang bisa memberiku kehidupan layak meski ibu bukan orang miskin. Sebenarnya ayah dan ibu memintaku memanggil mereka 'mom and dad' hanya saja itu terlalu berlebihan karena ini di Indonesia. Ayah Ketua Gengster. Dia sudah sering keluar masuk penjara dengan berbagai kasus. Ibu pun seperti tidak peduli dan menghabiskan waktunya di luar. Tidak jarang dia membawa pulang lelaki dan mabuk bersama. Kami non muslim, tentu pakaian mini tidak menjadi masalah. Aku yang muak melihat mereka memilih tinggal di apartemen. Bertemu dengan Ferdila adalah sesuatu yang sangat kebetulan. Aku merasa takjub melihat perubahan yang ada padanya. Bukan hanya masalah harta, tetapi juga fisik dan rupa yang menawan. Siapa pun akan jatuh hati. Aku sengaja menggoda lelak
Aku mengetuk pintu setelah mendengar Vidia memekik. Meski dia hanya bisa melukai hati, tetapi aku bukan manusia yang tidak berperasaan. Khawatir tentu menjalar terutama pada bayi dalam kandungannya.Dia darah daging Ferdila dan tidak pantas disalahkan.“Ada apa?” tanya Vidia setelah pintu dibuka.“Aku dengar kamu teriak, kenapa?”“Gak apa-apa. Perlu bantuan?”“Oh, tidak usah. Semua sudah beres.”“Istirahatlah.”Aku mengangguk. Entah kerasukan apa, tatapan Vidia hangat bahkan kalimatnya terdengar tulus. Namun, seperti yang selalu Yuni sampaikan bahwa jangan sampai terlena pada senyum dan sikap hangat musuh.Dalam kamar aku melakukan panggilan telepon dengan Yuni. Kami basa-basi sebentar, kemudian mulai membahas inti masalah saat dia bertanya perkembangan.“Sepertinya Vidia percaya aku mau jadi temannya. Dia sering senyum-senyum sendiri, mungkin mengejek dal
“Sabar, Vid. Mungkin kamu salah masukin bumbu.” Aku berkata pelan, padahal sebenarnya ingin menampar. Namun, demi menjalankan misi, lebih baik bertingkah lugu.“Iya, sejak tadi aku duduk di ruang tengah, gak pernah sekali pun Ardina ke luar kamar,” sambung Ferdila.Aku tersenyum dalam hati. Dia tidak tahu kalau beberapa bumbu sudah tertukar tempatnya termasuk garam, terigu dan gula. Vidia tidak sejeli itu ternyata.“Kamu kalau gak bisa masak, bilang! Jangan sok-sokan mau ngasih aku masakan buatanmu yang rasanya amburadul gini!” Ferdila melempar sendok.“Fer, sabar. Jangan marah pada Vidia. Kemarahan gak akan menyelesaikan masalah. Biar aku pesan makanan saja.” Aku kembali bersuara lembut.“Anj*ng! Memang aku gak pantas jadi pembantu. Lain kali Ardina saja yang masak. Dia lebih cocok!”Ferdila menampar Vidia. “Jadi perempuan jangan suka ngomong sekasar itu. Mudah banget keluari
“Kenapa apanya?”“Tadi aku dengar kamu bilang hamil?”“Oh itu, memang aku sedang hamil, kan?”Ferdila menatapku tajam, aku balas dengan hal serupa agar tidak ketahuan. “Kamu memang benar hamil? Bukannya divonis mandul?”“Fer, Allah yang ngasih anak, bukan dokter. Kalau kamu gak percaya, ya sudah! Gak usah akuin anak yang sedang aku kandung ini!”Aku sengaja menitikkan air mata agar lebih terkesan serius. Air mata ini bukan karena kalimat Ferdi, tetapi kehadiran Vidia. Seberusaha apa pun aku menolak keadaan, tetap saja faktanya seperti ini.Dimadu karena mandul.Sebelumnya Ferdila selalu bilang menerimaku meski tidak bisa beri keturunan untuknya. Dia janji tidak akan memaksa atau memintaku berbagi. Setia hingga maut memisahkan.Nyatanya berbeda. Dia berkata tidak serupa tindakan.“Baiklah, semoga saja kamu tidak bohong.”“Bohong?! S