"Hei ... tolong jika ingin menyelesaikan urusan rumah tangga kalian, di rumah kalian sendiri saja. Jangan di sini. Aku merasa terganggu sekali dengan drama yang kalian buat," ucapku jengah sekali melihat mereka berdua sedang berpelukan sejak tadi.Mas Hilman sedari tadi tampak membujuk Linda, menenangkannya yang terus menangis histeris. Aku tersenyum kecut melihat Mas Hilman nampak berusaha keras menenangkan Linda. Maduku itu sedari tadi tidak henti-hentinya menangis. Aku jadi makin muak melihat mereka. Segitu perhatiannya Mas Hilman pada istri keduanya itu."Sudahlah, Mas. Bawa saja istri keduamu itu pergi dari rumah ini. Aku sudah muak mendengar tangis manjanya itu," ucapku lagi.Mas Hilman menatapku, sorot matanya tajam di arahkan padaku, "Kamu tega sekali berbicara seperti itu, Ra. Padahal Linda sedang hamil, bagaimana jika terjadi sesuatu pada kehamilannya? Apa kamu sudah tidak punya hati?"Tidak. Aku memang sudah tidak punya hati. Mangkanya jangan mengharapkanku lagi."Memang ap
"Aku berangkat dulu, Bu," ucapku sembari meraih tangan ibu dan mengecup punggung tangannya."Iya, hati-hati di jalan, Ra," sahut ibu sembari mengelus puncak kepalaku.Aku mengangguk menanggapi ucapan ibu, lalu aku melepaskan tangan ibu dan mulai melangkah setelah mengucapkan salam pada beliau. Hari ini langkahku terasa ringan sekali, seolah aku telah terlepas dari belenggu yang selama ini mengikat langkahku. Aku merasa sangat bebas.Dari kejauhan netraku melihat Mila yang sudah duduk di atas montornya, bersiap untuk berangkat kerja. Tumben sekali dia sudah bersiap. Biasanya, aku yang selalu menunggu dia selesai bersiap. Aku langsung mempercepat langkahku menuju ke arahnya, aku tidak mau membuatnya menunggu lama, padahal aku numpang padanya."Sudah menunggu lama ya, Mil?" tanyaku begitu sampai."Nggak kok, aku juga baru keluar," jawab Mila sembari menyerahkan helm padaku.Aku meraih helm tersebut dan langsung memakainya. Setelah memakai helm aku naik di belakang Mila. Lalu Mila mulai m
"Maukah kamu ikut denganku nanti, Ra?"Aku melebarkan mataku mendengar pertanyaan Pak Alif. Pertanyaannya benar-benar mengejutkanku."Ikut?" tanyaku mencoba memperjelas pertanyaan Pak Alif."Iya, Ra. Ikut denganku menemui ayahku." Jawaban Pak Alif membuatku bingung. "Jika aku ke sana sendiri, aku takut tidak bisa menahan diri, Ra," tambahnya.Aku terdiam, bingung harus bagaimana. Tapi aku juga merasa tidak enak hati jika sampai menolak ajakan Pak Alif. Ingin menolak tapi dia adalah bos di tempatku kerja, ingin mengiyakan tapi aku bukan siapa-siapa bagi Pak Alif, mana mungkin aku ikut pergi menemui ayahnya. Apa kata orang nanti.Duh, aku dilema. Aku menatap Pak Alif yang nampak masih menunggu jawaban dariku. Sorot mata Pak Alif menunjukkan kalau dia berharap aku menerima ajakan darinya. Aku jadi makin dilema.Aku mengalihkan pandanganku pada Pak Alif, lalu aku menghela napas panjang. "Baiklah, Pak. Saya akan ikut Bapak.""Terima kasih banyak, Ra. Nanti kamu bisa pulang lebih cepat dari
Suasana di dalam mobil sangat hening, sejak keluar dari rumah sakit, Pak Alif tidak membuka suaranya. Apalagi setelah berpapasan dengan Linda. Dapat aku rasakan jika Pak Alif sedang menahan amarahnya. Dari tadi kulihat matanya memerah, wajahnya pun merah padam.Aku sadar diri, hingga akhirnya aku hanya diam, tidak berani mengeluarkan suara sama sekali. Aku melirik ke arah Pak Alif yang sedang fokus mengemudi, rahangnya terlihat mengetat, dia benar-benar nampak marah.Ya Allah, kenapa hamba-Mu ini harus ikut campur masalah orang lain, sementara masalahku sendiri saja belum ada habisnya. Aku menepuk keningku pelan, aku menyesal telah ikut terseret ke dalam masalah Pak Alif.Tadi saat kami berdua bertemu dengan Linda, Pak Alif terus berjalan tanpa menyapa Linda sama sekali. Aku pun mengikutinya, mengabaikan keberadaan Linda tentunya. Tapi netraku melirik Linda sejenak saat aku melewatinya, dapat aku lihat jika dia tampak terkejut saat melihat keberadaanku di belakang kakak tirinya itu.A
"Ada apa kamu kemari?" tanyaku begitu kami sudah ada di luar. Aku berdiri dengan tangan dilipat di depan dada sembari menatap tajam Linda. Aku harus segera membuat Linda enyah dari rumah ini."Seharusnya aku yang tanya seperti itu padamu. Kenapa kamu bisa ikut Mas Alif ke rumah sakit?" tanya Linda dengan nada menyelidik."Itu bukan urusanmu," ucapku merasa enggan untuk menjawab pertanyaan Linda. Aku tidak punya hak untuk mengatakan yang sebenarnya pada Linda tentang apa yang telah aku ketahui."Itu menjadi urusanku karena kamu telah pergi dengan kakakku. Ada hubungan apa kamu dengan kakakku? Jangan bilang kamu mencoba menggodanya setelah kamu ditalak Mas Hilman?" tanya Linda dengan kejinya melempar fitnah padaku.Aku mengepalkan tangan,mencoba menahan amarah mendengar tuduhannya padaku. Padahal aku sedikit iba mendengar fakta kalau dia bukan putri kandung dari ayah Pak Alif, tapi melihat sikap Linda yang kurang ajar ini, membuat rasa ibaku padanya sia-sia saja. Linda tidak bisa dikasi
"A-pa maksudmu, Mas?" tanya Linda terbata."Maksudku sudah jelas, Lin. Kamu bukanlah saudariku, kamu bukan putri kandung ayahku, tidak tahu dari mana ibumu membawamu kepada ayahku. Tapi perbuatan ibumu sukses membuatku harus kehilangan ibu kandungku," lirih Pak Alif, kini wajahnya tampak sendu.Linda terlihat terkejut lagi, lalu dia melangkah mundur sembari menggelengkan kepalanya, tampak tidak menerima apa yang Pak Alif katakan padanya. Air mata Linda pun perlahan luruh.Aku yang melihatnya seperti itu sedikit merasa kasihan. Dia pasti sangat terpukul mendengar apa yang Pak Alif katakan."Kamu pasti bohong, Mas. Tidak mungkin jika aku bukan putri ayah. Kamu pasti sedang membohongiku," sanggah Linda.Kulihat Pak Alif mengambil ponsel di saku celananya. Lalu dia menyalakan ponselnya dan memutar sebuah rekaman suara, "Dengarkanlah sendiri," ucapnya mengulurkan ponselnya."Ayah tidak berbohong, Lif. Jika kamu tidak percaya, kamu bisa menghubungi pengacara ayah. Dia tahu jika Linda bukan
"Saya mau pulang, Pak," ucapku pada Pak Alif setelah keluar dari ruang rawat Linda.Pak Alif menatapku dengan kening tampak berkerut. Tangan Pak Alif masih memegang ponselnya, mungkin dia masih berusaha menghubungi Mas Hilman. Entahlah, aku sudah tidak mau peduli lagi. Yang aku tahu, aku harus segera pulang, aku tidak mau berlama-lama berada di sini. Tidak ada gunanya aku tetap bertahan di sini."Saya khawatir dengan ibu saya, Pak. Beliau di rumah sendirian. Tadi saya juga tidak sempat berpamitan ketika kemari," ucapku lagi.Aku pun mulai melangkahkan kaki, pergi meninggalkan Pak Alif tanpa menunggu jawaban darinya. Lalu sedetik kemudian sebuah tangan menahanku dengan memegang pergelangan tanganku."Aku antar, Ra."Aku menoleh, menatap Pak Alif, lalu pandanganku beralih menatap tangan Pak Alif yang memegang tanganku."Ah, maaf, Ra. Aku tidak sengaja," ucap Pak Alif melepaskan tangannya dari tanganku. "Tunggulah sebentar saja, Ra. Setelah Hilman datang, aku akan mengantarmu," tambahnya
"Jadi ibu sudah mengetahui semuanya?" tanyaku sembari menatap ibu sendu.Ibu mengangguk, lalu beliau mengelus kepalaku lembut. "Hati ibu sakit melihatmu berpura-pura tidak ada apa-apa di depan ibu, Ra. Harusnya kamu tidak perlu berpura-pura, harusnya kamu lampiaskan saja rasa sedih dan kecewamu itu. Kamu tidak perlu menahan semuanya sendirian, Ra. Lepaskanlah ... lepaskan semua rasa yang telah kamu pendam selama ini."Ucapan ibu membuat air mataku tidak bisa dibendung lagi. Aku merasa ingin menumpahkan segalanya malam ini. Aku ingin membebaskan hatiku dari belenggu yang telah aku pasang agar aku tidak menjadi wanita lemah. Aku menangis sesenggukan di depan ibu. Semua rasa yang aku pendam bercampur menjadi satu dan berhasil membobol pertahananku sekarang. Aku benar-benar melepaskan semua rasa yang ada di dalam hatiku. Entah kecewa, sedih, patah hati, terluka dan kesal, bercampur menjadi satu.Ibu bangkit dari duduknya dan memelukku yang masih bertahan dengan posisi duduk. Ibu mengelus
Kuedarkan pandangan menuju tempat akad, dapat kulihat punggung seorang lelaki yang memakai setelan jas yang senada dengan gaun pernikahanku. Keningku berkerut melihat punggungnya, dalam hati aku bertanya-tanya siapa lelaki tersebut.Ada apa ini? Bukankah hari ini aku akan menikah dengan Mas Atar? Lalu, kenapa bukan dia yang duduk di sana? Kenapa dia malah berdiri seperti tamu undangan yang lainnya?Banyak sekali pertanyaan yang bersarang di otakku. Ya Allah ... apa lagi yang Engkau tetapkan untuk hamba-Mu ini? Aku menghiba, rasanya sudah tidak kuasa lagi jika harus menanggung penderitaan lebih lagi."Ra ... ayo. Para tamu undangan sudah menunggu mempelai perempuannya turun," ucap Mila membuatku menoleh padanya.Aku menatap Mila dengan pandangan penuh tanya, aku menuntut jawabannya melalui tatapan, karena untuk membuka mulut pun aku seakan tak kuasa lagi.Mila menerbitkan senyumnya dan berkata, "Sudah saatnya kamu bahagia, Ra. Sudah cukup selama ini kamu menderita. Berbahagialah dengan
"Apa kamu sudah benar-benar yakin, Ra?" tanya Mila di saat aku sedang mengepak baju-bajuku.Mila sekarang sedang berada di rumahku karena besok aku akan menikah dengan Mas Atar. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Besok aku akan benar-benar menikah dengan Mas Atar. Jujur, hatiku masih berat sekali, tapi aku tidak bisa lari begitu saja setelah memupuk harapan semua orang.Aku terdiam, lalu memandang Mila dengan senyum tipis menghiasi bibirku untuk meyakinkan Mila bahwa aku baik-baik saja. Aku tahu jika Mila mengkhawatirkanku, mengingat besok sudah hari pernikahanku dengan Mas Atar. Tapi aku sudah tidak bisa mundur lagi. Tidak mungkin aku membatalkan pernikahan yang sudah di depan mata. Aku akan membuat semua orang malu. Jika hanya aku yang malu tidak mengapa, tapi jangan keluarga Ibu Rani. Beliau adalah orang baik. Tidak sepatutnya aku membuat beliau malu."Kumohon pikirkan sekali lagi, Ra. Pumpung pernikahanmu belum terjadi." Kembali, Mila membujukku untuk memikirkan tentang keputus
"Ayo kita pergi, Ra." Masih pagi tapi Mas Atar sudah datang ke butik, membuatku tidak bisa fokus pada pekerjaanku. Dia sedang duduk di depan meja kerjaku dengan posisi tangan bertopang dagu. Sementara aku baru saja akan mengerjakan pekerjaanku.Aku meletakkan pena ke atas meja, lalu memandang jengah lelaki yang bergelar calon suamiku itu. Aku sedang sangat sibuk hari ini. Pekerjaanku sedang menumpuk dan harus segera aku selesaikan, mengingat sebentar lagi aku akan disibukkan dengan pernikahanku."Memang mau kemana, Mas? Kamu tahu aku sedang sibuk, bukan?" tanyaku dengan nada datar.Mas Atar terdengar mendecakkan lidahnya. "Aku sudah meminta ijin pada ibu, beliau pun menyetujuinya. Apalagi saat aku mengatakan ingin mencari cincin untuk pernikahan kita, beliau langsung bersemangat untuk menyuruhku menemuimu," jawabnya. "Bahkan beliau yang paling antusias dengan pernikahan kita. Sebegitu bahagianya ibu ketika tahu kita akan segera menikah," imbuhnya dengan senyum melebar.Aku membulatkan
"Jelaskan padaku, Ra. Jelaskan apa yang aku dengar dari Bayu kalau kamu akan menikah dengan Mas Atar itu salah." Suara Mila sedikit meninggi dari balik sambungan telepon.Aku mendesah, aku memang sudah memperkirakan jika Mila akan menuntut penjelasan padaku jika mendengar berita pernikahanku dengan Mas Atar.Tak terasa satu bulan telah berlalu semenjak aku meminta penjelasan pada Mas Atar. Kini, pernikahanku tinggal satu bulan lagi. Ibu Rani meminta kami cepat-cepat menikah. Jadilah bulan depan pernikahan kami akan diadakan.Memang terkesan terburu-buru, tapi aku sudah pasrah. Jalan hidupku akan bagaimana, aku serahkan semuanya pada Yang Kuasa. Entah kebahagiaan ataupun kesengsaraan yang akan menemani sisa hidupku. Aku tidak tahu. Biar takdir yang akan menentukan nasibku kedepannya.Selama ini aku tidak menceritakan tentang pernikahanku dengan Mas Atar pada Mila. Aku tidak mau mengganggu bulan madu Mila. Di pikiranku, nanti saja saat hari pernikahan sudah dekat, agar Mila tidak terlal
Aku melangkah dengan gontai setelah keluar dari ruangan Ibu Rani. Rasanya seluruh kekuatan tubuhku seolah menghilang. Semua yang baru saja terjadi mampu membuatku kehilangan semangat untuk memulai hariku."Kamu kenapa, Ra? Tidak enak badan?" tanya Sarah ketika aku telah sampai di meja kerjaku.Aku hanya menatap Sarah dengan tidak bersemangat. Sarah pun berjalan mendekat ke arahku. Disentuhnya keningku dengan punggung tangannya."Tidak demam. Tapi kenapa wajahmu terlihat pucat," ucapnya sembari mengerutkan kening."Aku tidak apa-apa, Sar. Mungkin aku hanya kecapekan saja," sahutku, tidak mau membuat Sarah semakin khawatir."Iya kali, Ra. Harusnya kamu istirahat saja di rumah."Aku menggelengkan kepala, "Tidak, Sar. Pekerjaanku sudah banyak. Aku tidak mau menunda-nunda pekerjaanku."Sarah tampak menghela napas. "Ya sudah, kalau kamu inginnya begitu, Ra. Aku nggak akan mengganggumu kalau begitu." Sarah pun beranjak menuju meja kerjanya.Aku pun mulai mengerjakan pekerjaanku yang sudah me
"Wah ... kamu sudah datang, Ra." Sarah menatapku dengan senyum yang aneh. Sorot matanya seolah sedang memandang takjub padaku.Aku baru saja datang, dan langsung menuju meja kerjaku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak datang ke butik."Ada apa, Sar?" tanyaku penasaran dengan senyum Sarah, biasanya aku juga tidak mau tahu urusan orang lain. Tapi entah kenapa, senyum Sarah terasa aneh bagiku."Kamu jangan pura-pura deh, Ra," sahut Sarah.Aku mengernyitkan keningku, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Sarah. Pura-pura? Pura-pura apa maksudnya? Aku memandang Sarah dengan raut wajah penuh tanya."Ck ... kamu gimana sih, Ra. Masak nggak tahu. Kamu itu jangan pura-pura nggak tahu apa-apa. Mentang-mentang sebentar lagi jadi mantunya Bu Rani, kamu nggak mau berbagi kabar bahagia dengan kami," tutur Sarah mendecakkan lidahnya.Netraku membulat sempurna mendengar penuturan Sarah. Tidak. Dia pasti salah bicara. Aku ... aku tidak mungkin menjadi calon menantu Ibu Rani."Menantu Ibu Rani?
"Ah, aku juga permisi, Mas," pamitku.Aku harus segera pergi sebelum Mas Atar menginterogasiku dengan berbagai pertanyaan yang menyulitkanku. Dan aku tidak mau itu terjadi. Aku langsung melangkah meninggalkan Mas Atar dan Kiara yang berada di dalam gendongannya."Tunggu, Ra. Kamu berhutang sesuatu padaku," ucapnya menahan langkahku. Aku berhenti seketika mendengar ucapan Mas Atar.Aku menoleh ke arahnya, menatap takut-takut padanya. Tapi aku terperangah ketika melihatnya tersenyum tipis ke arahku. Aku mengusap-usap mataku, mencoba memastikan jika mataku tidak salah lihat. Barusan aku benar-benar melihatnya tersenyum.Mas Atar tersenyum? Lelaki es itu tersenyum? Aku sampai melongo melihatnya. Rasanya tidak percaya jika lelaki yang selalu berwajah datar itu tersenyum walaupun tidak begitu terlihat. Tapi aku yakin dia sedang tersenyum tadi."Ada apa? Kenapa melihatku seperti itu?" tanyanya terlihat mengernyitkan kening. Sepertinya dia heran karena aku melihatnya sembari mengusap-usap mat
"Apa?" tanya Mas Alif tampak terkejut dengan jawabanku. Wajahnya pun tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutannya.'Maaf, Mas. Aku harus berbohong demi kebaikan semuanya.'Perlahan aku meriah tangan Kiara dan mengajaknya melangkah mendekat ke arah Mas Alif. Setelah sampai di depannya, aku berjongkok menyejajarkan tinggiku dengan Kiara. Kutatap mata polos gadis kecil di hadapanku itu dengan lembut.'Maafkan aku karena memanfaatkanmu ya, Nak. Semoga kamu mau membantu.'Aku menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. "Sayang, salim dulu sama Om Alif, ya," ucapku pada Kiara dengan nada lembut.Netra bening Kiara menatapku dengan polosnya, tapi tak urung juga dia menganggukkan kepalanya, mengikuti perintahku. Tangan mungilnya terulur ke arah Mas Alif, sementara Mas Alif masih berdiri mematung. Tampak sekali jika dia benar-benar terkejut dengan kebohonganku."Halo, Om," tutur Kiara dengan tangan yang masih terulur.Mas Alif tersentak, lalu kemudian dia ikut berjongkok dan membalas
Aku mematut diriku di cermin, mencoba menyembunyikan mata bengkakku sebaik mungkin. Setelah dirasa mataku yang bengkak tertutup make up, aku pun bangkit dari duduk. Lalu aku segera keluar dari kamar.Aku memandang takjub suasana pesta yang sangat ramai. Mila benar-benar menjadi ratu di hari pernikahannya. Pernikahan Mila sangatlah mewah, benar-benar pernikahan impian setiap wanita. Aku pun dulu sangat memimpikan pernikahan seperti ini. Tapi dulu aku sudah bahagia dengan pernikahan sederhana yang Mas Hilman berikan.Akan tetapi semuanya telah hancur sia-sia. Dan aku pun telah menempuh hidupku sendirian.Aku mendesah kasar. Tidak baik mengingat-ingat hal yang menyakitkan. Hari ini adalah hari bahagia untuk Mila. Aku harusnya mengesampingkan perasaanku.Aku melangkah menuruni tangga, mencoba bergabung dengan orang-orang yang hadir di pesta pernikahan Mila. Tapi setelah sampai di ujung tangga, seseorang menarik tanganku. Aku pun menoleh, menatap orang yang menarik tanganku. Netraku membul