"Ada apa, Ra?" tanya Pak Alif ketika aku masuk ke dalam ruangannya."Ada yang ingin saya sampaikan, Pak," ucapku memberanikan diri."Baik, duduklah," sahutnya mempersilahkan aku untuk duduk.Aku mengikuti perintah Pak Alif untuk duduk. Setelah duduk, aku malah menunduk, aku sedang mencoba merangkai kata untuk mengutarakan maksud kedatanganku pada Pak Alif. Aku sangat berharap Pak Alif mau membantuku, tapi aku bingung harus memulai bicara dari mana."Ada apa, Ra? Apa ada yang bisa aku bantu?" tanya Pak Alif.Aku mendongak menatap Pak Alif, aku ragu sekali untuk mengutarakan maksud kedatanganku ke ruang kerjanya. Tapi aku juga tidak punya siapa-siapa untuk aku mintai tolong. Hanya Pak Alif lah yang terlintas di benakku, yang bisa menolongku."Jangan ragu, Ra. Katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan padaku," ucap Pak Alif seolah melihat keraguanku."Sebelumnya saya meminta maaf, Pak. Maaf karena saya telah lancang pada Bapak. Saya ingin meminta tolong pada Pak Alif. Tolong bantu saya
"Ibu ...," panggilku sembari membuka pintu kamar ibu tanpa mengetuknya terlebih dahulu.Netraku melihat ibu yang sedang duduk di ranjang, beliau menoleh ketika aku membuka pintu. Lalu ibu tampak mengernyitkan keningnya melihatku masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu."Ada apa, Ra?" tanyanya.Aku menghembuskan napas lega, ternyata ibu tidak kemana-mana. "Tidak ada apa-apa, Bu. Aku pikir ibu sudah tidur."Ibu tersenyum, lalu beliau melambaikan tangannya ke arahku, memberi isyarat untukku agar mendekat ke arahnya. Aku pun meneruskan langkah menuju ke arah ranjang ibu dan duduk di samping ibu."Apa itu, Ra?" tanya ibu melihat ke arah tanganku.Aku menepuk jidatku, karena tadi aku terlalu panik hingga aku lupa meletakkan dokumen yang telah aku cari sebelum ke kamar ibu. Harusnya aku meninggalkannya di kamarku terlebih dahulu."Ah, ini ... ini adalah dokumen untuk ... untuk persyaratan perceraianku, Bu," jawabku sedikit ragu untuk mengatakan yang sebenarnya pada ibu, jika aku ingin seg
"Cepatlah bersiap, Ra. Kasihan Nak Alif menunggu lama," perintah ibu padaku untuk segera bersiap.Aku berjalan dengan wajah ditekuk, aku terpaksa mengikuti perintah ibu untuk berangkat bersama dengan Pak Alif. Aku sudah berusaha untuk menolak perintah ibu, tapi beliau tetap saja memaksaku untuk berangkat bersama dengan Pak Alif.Aku menghela napas kasar, aku tidak mengerti dengan ibu hari ini beliau tiba-tiba bersikap aneh. Tapi aku tidak berani untuk melawannya. Aku tidak mau jika sampai menyakiti hati ibu lagi. Sudah cukup beliau sakit hati karena Mas Hilman dan juga ayahnya. Aku ingin melihat senyum ibu lagi, aku rindu sekali dengan senyum bahagia ibu, bukan senyum kepalsuan.Saat tiba di kamar, aku segera mengganti bajuku dengan baju kerja, setelah selesai berganti baju, aku mengambil tas, lalu aku segera bergegas kembali ke meja makan. Tempat di mana ibu dan Pak Alif berada. Mereka masih belum beranjak dari sana setelah selesai sarapan.Tadi setelah selesai makan, ibu langsung m
"Kamu ... kamu wanita yang jahat! Teganya kamu membuat Linda masuk rumah sakit!" tuduh Mas Hilman padaku sembari mengacungkan jari telunjuknya padaku.Aku mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan tuduhan Mas Hilman. Memangnya aku kenapa? Apa yang aku lakukan pada Linda? Bukankah dia sendiri yang telah datang ke rumahku terlebih dahulu? Lalu kenapa aku yang disalahkan?"Tutup mulutmu, Man! Jika kamu tidak tahu yang sebenarnya terjadi, jangan menuduh yang bukan-bukan!" sentak ibu pada Mas Hilman.Mas Hilman menatap ibu tajam, wajahnya pun merah padam dengan napas yang memburu. Dia terlihat sangat marah."Jangan ikut campur, Bu. Ini urusanku dengan Inara, wanita yang telah membunuh anakku!" teriak Mas Hilman membuatku tersentak.Aku? Membunuh anaknya? Kapan aku melakukannya? Bagaimana bisa Mas Hilman menuduhku melakukan hal keji seperti itu. Bahkan untuk membunuh hewan pun aku tidak tega, lalu bagaimana aku bisa membunuh bayinya? Tuduhan Mas Hilman sangat tidak masuk akal sekali."Apa
"Tenanglah, Ra. Ibumu pasti akan baik-baik saja," ucap Pak Alif sembari mengusap punggungku tampak mencoba menenangkanku.Aku masih menangis sesenggukan sembari menggenggam tangan ibu yang telah berbaring di ranjang rumah sakit dengan mata tertutup. Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi, sejak dokter mengatakan bahwa ibu telah mengalami serangan jantung. Keadaan beliau sudah stabil, ibu sudah melewati masa kritisnya. Untung saja ibu cepat dibawa ke rumah sakit, jadi nyawanya bisa tertolong.Aku dan Pak Alif sedang berada di dalam ruang rawat ibu, sementara Mas Hilman sudah pergi entah kemana sejak tadi siang. Mungkin dia juga sedang mengurusi istrinya. Ah, aku sudah tidak mau tahu lagi urusan Mas Hilman. Dia bukan lagi seseorang yang perlu aku pedulikan.Sekarang yang terpenting adalah kesehatan ibu, aku sangat berharap untuk kesembuhan ibu. Aku ingin melihat kedua mata ibu terbuka kembali."Aku keluar sebentar, Ra," pamit Pak Alif.Aku hanya menganggukkan kepala menanggapi Pak Alif.
"Aku sudah mengurus perceraianmu, Ra."Aku tersentak, lalu menolehkan kepala ke arah Pak Alif. Aku menatap Pak Alif dengan pandangan penuh tanya. Lalu sedetik kemudian Pak Alif membalas tatapanku. Sesaat pandangan kami pun bertemu."Iya, aku sudah langsung mengurus percerainmu dengan Hilman kemarin. Mungkin kurang lebih satu bulan lagi akan diadakan sidang pertama untuk perceraianmu," ucap Pak Alif lagi.Aku mengalihkan pandanganku setelah mendengar ucapan Pak Alif. Lalu aku menerawang menatap koridor rumah sakit dengan pandangan kosong.Kami sedang berada di depan ruang rawat ibu. Sejak ibu dirawat, Pak Alif selalu datang setelah restoran tutup. Dan sejak itu pula aku juga belum masuk kerja sama sekali. Mbak Nuri kemarin sudah pulang, dia sedang rindu dengan putra semata wayangnya yang dia tinggalkan di rumah. Sedangkan Mas Hilman hanya sesekali menjenguk ibu, bahkan tidak setiap hari. Aku selalu menghindar saat dia datang. Rasanya aku sudah tidak mau melihat wajahnya lagi.Hatiku te
Aku mengacak rambutku kasar ketika teringat tingkahku tadi malam. Bisa-bisanya aku memegang tangan Pak Alif tanpa sadar. Wajahku seketika memerah, menahan malu saat menyadari telah memegang tangan Pak Alif."Bodoh kamu, Ra. Bagaimana kamu bisa melakukannya? Mau ditaruh di mana mukamu jika bertemu dengan Pak Alif nanti?" Aku berguman sendiri, merasa telah bertindak bodoh.Gara-gara Mas Hilman aku sampai tidak sadar telah memegang tangan Pak Alif. Aku kembali mengacak rambutku frustasi."Kamu kenapa, Ra?" tanya Mbak Nuri sembari memegang pundakku.Aku menoleh, menatap kakak iparku itu dengan malu. Lalu berkata, "tidak kenapa-napa, Mbak."Mbak Nuri sudah tiba sedari subuh, kali ini dia datang bersama dengan suami dan juga putranya. Kata Mbak Nuri, suaminya sedang mengambil cuti untuk menemaninya merawat ibu. Aku pun tentu senang dengan kehadiran Mbak Nuri sekeluarga di sini."Kamu tidak berniat untuk kembali bekerja, Ra?" tanya Mbak Nuri sembari duduk di sampingku.Aku terdiam mendengar
"Jangan menuduhku sembarangan, Mas! Aku tidak tahu menahu tentang pengusiran yang dilakukan oleh Pak Alif pada keluargamu. Dan aku juga tidak mau tahu apapun tentang kalian. Jadi buat apa aku menyuruh Pak Alif untuk mengusir kalian?" Aku menatap tajam Mas Hilman, pagi-pagi dia sudah membuatku naik darah. Aku menghembuskan napas berat, merasa bosan dengan setiap tuduhan yang diberikan oleh Mas Hilman. Sampai kapan aku akan terus seperti ini? Kenapa aku tidak bisa menjalani hidupku dengan tenang? Selalu saja Mas Hilman mengusikku."Sudahlah, Mas. Pergilah dari sini, aku butuh bekerja untuk menyambung hidupku. Temanku sudah menungguku. Lebih baik kamu renungkan apa yang terjadi padamu, Mas. Jangan hanya menyalahkanku terus menerus," ucapku dengan nada datar, aku merasa sudah lelah menghadapi Mas Hilman."Baiklah, aku akan pergi jika kamu mengabulkan keinginanku," ucap Mas Hilman.Aku mengernyitkan kening, merasa heran dengan Mas Hilman. Apa lagi yang dia harapkan dari wanita yang akan m
Kuedarkan pandangan menuju tempat akad, dapat kulihat punggung seorang lelaki yang memakai setelan jas yang senada dengan gaun pernikahanku. Keningku berkerut melihat punggungnya, dalam hati aku bertanya-tanya siapa lelaki tersebut.Ada apa ini? Bukankah hari ini aku akan menikah dengan Mas Atar? Lalu, kenapa bukan dia yang duduk di sana? Kenapa dia malah berdiri seperti tamu undangan yang lainnya?Banyak sekali pertanyaan yang bersarang di otakku. Ya Allah ... apa lagi yang Engkau tetapkan untuk hamba-Mu ini? Aku menghiba, rasanya sudah tidak kuasa lagi jika harus menanggung penderitaan lebih lagi."Ra ... ayo. Para tamu undangan sudah menunggu mempelai perempuannya turun," ucap Mila membuatku menoleh padanya.Aku menatap Mila dengan pandangan penuh tanya, aku menuntut jawabannya melalui tatapan, karena untuk membuka mulut pun aku seakan tak kuasa lagi.Mila menerbitkan senyumnya dan berkata, "Sudah saatnya kamu bahagia, Ra. Sudah cukup selama ini kamu menderita. Berbahagialah dengan
"Apa kamu sudah benar-benar yakin, Ra?" tanya Mila di saat aku sedang mengepak baju-bajuku.Mila sekarang sedang berada di rumahku karena besok aku akan menikah dengan Mas Atar. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Besok aku akan benar-benar menikah dengan Mas Atar. Jujur, hatiku masih berat sekali, tapi aku tidak bisa lari begitu saja setelah memupuk harapan semua orang.Aku terdiam, lalu memandang Mila dengan senyum tipis menghiasi bibirku untuk meyakinkan Mila bahwa aku baik-baik saja. Aku tahu jika Mila mengkhawatirkanku, mengingat besok sudah hari pernikahanku dengan Mas Atar. Tapi aku sudah tidak bisa mundur lagi. Tidak mungkin aku membatalkan pernikahan yang sudah di depan mata. Aku akan membuat semua orang malu. Jika hanya aku yang malu tidak mengapa, tapi jangan keluarga Ibu Rani. Beliau adalah orang baik. Tidak sepatutnya aku membuat beliau malu."Kumohon pikirkan sekali lagi, Ra. Pumpung pernikahanmu belum terjadi." Kembali, Mila membujukku untuk memikirkan tentang keputus
"Ayo kita pergi, Ra." Masih pagi tapi Mas Atar sudah datang ke butik, membuatku tidak bisa fokus pada pekerjaanku. Dia sedang duduk di depan meja kerjaku dengan posisi tangan bertopang dagu. Sementara aku baru saja akan mengerjakan pekerjaanku.Aku meletakkan pena ke atas meja, lalu memandang jengah lelaki yang bergelar calon suamiku itu. Aku sedang sangat sibuk hari ini. Pekerjaanku sedang menumpuk dan harus segera aku selesaikan, mengingat sebentar lagi aku akan disibukkan dengan pernikahanku."Memang mau kemana, Mas? Kamu tahu aku sedang sibuk, bukan?" tanyaku dengan nada datar.Mas Atar terdengar mendecakkan lidahnya. "Aku sudah meminta ijin pada ibu, beliau pun menyetujuinya. Apalagi saat aku mengatakan ingin mencari cincin untuk pernikahan kita, beliau langsung bersemangat untuk menyuruhku menemuimu," jawabnya. "Bahkan beliau yang paling antusias dengan pernikahan kita. Sebegitu bahagianya ibu ketika tahu kita akan segera menikah," imbuhnya dengan senyum melebar.Aku membulatkan
"Jelaskan padaku, Ra. Jelaskan apa yang aku dengar dari Bayu kalau kamu akan menikah dengan Mas Atar itu salah." Suara Mila sedikit meninggi dari balik sambungan telepon.Aku mendesah, aku memang sudah memperkirakan jika Mila akan menuntut penjelasan padaku jika mendengar berita pernikahanku dengan Mas Atar.Tak terasa satu bulan telah berlalu semenjak aku meminta penjelasan pada Mas Atar. Kini, pernikahanku tinggal satu bulan lagi. Ibu Rani meminta kami cepat-cepat menikah. Jadilah bulan depan pernikahan kami akan diadakan.Memang terkesan terburu-buru, tapi aku sudah pasrah. Jalan hidupku akan bagaimana, aku serahkan semuanya pada Yang Kuasa. Entah kebahagiaan ataupun kesengsaraan yang akan menemani sisa hidupku. Aku tidak tahu. Biar takdir yang akan menentukan nasibku kedepannya.Selama ini aku tidak menceritakan tentang pernikahanku dengan Mas Atar pada Mila. Aku tidak mau mengganggu bulan madu Mila. Di pikiranku, nanti saja saat hari pernikahan sudah dekat, agar Mila tidak terlal
Aku melangkah dengan gontai setelah keluar dari ruangan Ibu Rani. Rasanya seluruh kekuatan tubuhku seolah menghilang. Semua yang baru saja terjadi mampu membuatku kehilangan semangat untuk memulai hariku."Kamu kenapa, Ra? Tidak enak badan?" tanya Sarah ketika aku telah sampai di meja kerjaku.Aku hanya menatap Sarah dengan tidak bersemangat. Sarah pun berjalan mendekat ke arahku. Disentuhnya keningku dengan punggung tangannya."Tidak demam. Tapi kenapa wajahmu terlihat pucat," ucapnya sembari mengerutkan kening."Aku tidak apa-apa, Sar. Mungkin aku hanya kecapekan saja," sahutku, tidak mau membuat Sarah semakin khawatir."Iya kali, Ra. Harusnya kamu istirahat saja di rumah."Aku menggelengkan kepala, "Tidak, Sar. Pekerjaanku sudah banyak. Aku tidak mau menunda-nunda pekerjaanku."Sarah tampak menghela napas. "Ya sudah, kalau kamu inginnya begitu, Ra. Aku nggak akan mengganggumu kalau begitu." Sarah pun beranjak menuju meja kerjanya.Aku pun mulai mengerjakan pekerjaanku yang sudah me
"Wah ... kamu sudah datang, Ra." Sarah menatapku dengan senyum yang aneh. Sorot matanya seolah sedang memandang takjub padaku.Aku baru saja datang, dan langsung menuju meja kerjaku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak datang ke butik."Ada apa, Sar?" tanyaku penasaran dengan senyum Sarah, biasanya aku juga tidak mau tahu urusan orang lain. Tapi entah kenapa, senyum Sarah terasa aneh bagiku."Kamu jangan pura-pura deh, Ra," sahut Sarah.Aku mengernyitkan keningku, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Sarah. Pura-pura? Pura-pura apa maksudnya? Aku memandang Sarah dengan raut wajah penuh tanya."Ck ... kamu gimana sih, Ra. Masak nggak tahu. Kamu itu jangan pura-pura nggak tahu apa-apa. Mentang-mentang sebentar lagi jadi mantunya Bu Rani, kamu nggak mau berbagi kabar bahagia dengan kami," tutur Sarah mendecakkan lidahnya.Netraku membulat sempurna mendengar penuturan Sarah. Tidak. Dia pasti salah bicara. Aku ... aku tidak mungkin menjadi calon menantu Ibu Rani."Menantu Ibu Rani?
"Ah, aku juga permisi, Mas," pamitku.Aku harus segera pergi sebelum Mas Atar menginterogasiku dengan berbagai pertanyaan yang menyulitkanku. Dan aku tidak mau itu terjadi. Aku langsung melangkah meninggalkan Mas Atar dan Kiara yang berada di dalam gendongannya."Tunggu, Ra. Kamu berhutang sesuatu padaku," ucapnya menahan langkahku. Aku berhenti seketika mendengar ucapan Mas Atar.Aku menoleh ke arahnya, menatap takut-takut padanya. Tapi aku terperangah ketika melihatnya tersenyum tipis ke arahku. Aku mengusap-usap mataku, mencoba memastikan jika mataku tidak salah lihat. Barusan aku benar-benar melihatnya tersenyum.Mas Atar tersenyum? Lelaki es itu tersenyum? Aku sampai melongo melihatnya. Rasanya tidak percaya jika lelaki yang selalu berwajah datar itu tersenyum walaupun tidak begitu terlihat. Tapi aku yakin dia sedang tersenyum tadi."Ada apa? Kenapa melihatku seperti itu?" tanyanya terlihat mengernyitkan kening. Sepertinya dia heran karena aku melihatnya sembari mengusap-usap mat
"Apa?" tanya Mas Alif tampak terkejut dengan jawabanku. Wajahnya pun tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutannya.'Maaf, Mas. Aku harus berbohong demi kebaikan semuanya.'Perlahan aku meriah tangan Kiara dan mengajaknya melangkah mendekat ke arah Mas Alif. Setelah sampai di depannya, aku berjongkok menyejajarkan tinggiku dengan Kiara. Kutatap mata polos gadis kecil di hadapanku itu dengan lembut.'Maafkan aku karena memanfaatkanmu ya, Nak. Semoga kamu mau membantu.'Aku menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. "Sayang, salim dulu sama Om Alif, ya," ucapku pada Kiara dengan nada lembut.Netra bening Kiara menatapku dengan polosnya, tapi tak urung juga dia menganggukkan kepalanya, mengikuti perintahku. Tangan mungilnya terulur ke arah Mas Alif, sementara Mas Alif masih berdiri mematung. Tampak sekali jika dia benar-benar terkejut dengan kebohonganku."Halo, Om," tutur Kiara dengan tangan yang masih terulur.Mas Alif tersentak, lalu kemudian dia ikut berjongkok dan membalas
Aku mematut diriku di cermin, mencoba menyembunyikan mata bengkakku sebaik mungkin. Setelah dirasa mataku yang bengkak tertutup make up, aku pun bangkit dari duduk. Lalu aku segera keluar dari kamar.Aku memandang takjub suasana pesta yang sangat ramai. Mila benar-benar menjadi ratu di hari pernikahannya. Pernikahan Mila sangatlah mewah, benar-benar pernikahan impian setiap wanita. Aku pun dulu sangat memimpikan pernikahan seperti ini. Tapi dulu aku sudah bahagia dengan pernikahan sederhana yang Mas Hilman berikan.Akan tetapi semuanya telah hancur sia-sia. Dan aku pun telah menempuh hidupku sendirian.Aku mendesah kasar. Tidak baik mengingat-ingat hal yang menyakitkan. Hari ini adalah hari bahagia untuk Mila. Aku harusnya mengesampingkan perasaanku.Aku melangkah menuruni tangga, mencoba bergabung dengan orang-orang yang hadir di pesta pernikahan Mila. Tapi setelah sampai di ujung tangga, seseorang menarik tanganku. Aku pun menoleh, menatap orang yang menarik tanganku. Netraku membul