"Ya Allah, aku kangen sekali denganmu, Ra," ucap Mila sembari memelukku.Aku pun membalas pelukan dari Mila dengan erat. Berada di pelukan Mila membuatku seketika ingin menangis. Sudah lama aku menahan air mataku, semenjak kepergian ibu. Tidak ada tempat untukku menumpahkan segala kesedihan dalam hatiku.Memang ada Mbak Nuri yang akan siap mendengarkan keluh kesahku, tapi aku tidak tega membebaninya dengan kesedihanku sementara dia juga pasti sangat sedih dengan kepergian ibu. Mana mungkin aku berani menambah beban untuk Mbak Nuri.Air mataku perlahan luruh dan makin lama makin deras, mengalir membasahi bahu Mila. Isak tangisku pun mulai keluar dari bibirku. Aku sudah tidak bisa memgendalikan diriku lagi. Air mataku benar-benar tumpah kali ini."Yang sabar, Ra." Mila mengelus punggungku lembut, dia tampak mencoba untuk menenangkanku.Di depan semua orang aku berlagak kuat, tidak menangis setelah acara pemakaman ibu, tapi sejujurnya aku menyimpan semua kesedihanku yang mendalam.Aku m
Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang tidak jauh dari rumah ibu. Aku sedang dalam perjalanan mengambil kue pesanan Mbak Nuri yang akan dipakai untuk acara nanti malam.Biasanya kue pesanan Mbak Nuri selalu diantar oleh Mbak Kinanti, tapi hari ini dia sedang banyak orderan. Jadi aku yang akan mengambilnya hari ini.Sementara Mila sedang beristirahat. Aku tidak berani membangunkan tidur nyenyaknya. Dia pasti sangat capek hingga tidak sadar jika aku telah meninggalkannya sendirian di kamar.Aku berjalan sembari bermain ponsel, berbalas pesan dengan Pak Alif. Katanya, dia akan datang besok. Sekalian menjemputku untuk kembali ke rumah yang aku tempati sebelumnya. Tidak mungkin 'kan jika aku berlama-lama tinggal satu atap dengan Mas Hilman dan keluarganya. Bisa-bisa tekanan darahku meninggi terus menerus.Sudut bibirku terangkat kala membaca pesan Pak Alif yang lucu. Pak Alif ternyata bisa melucu juga. Padahal, raut wajah Pak Alif selalu terlihat serius dan terkesan dingin.Sebuah tanga
"Sudah selesai bersiap, Ra?" Mila menepuk pundakku, aku tersentak, tersadar dari lamunanku.Aku sedang mengemasi barang-barangku tadi, begitu selesai, anganku menerawang mengingat momen-momen kebersamaanku dengan ibu. Lalu tiba-tiba Mila sudah datang saja."Bukannya jawab malah ngelamun lagi, Ra. Ngelamunin apa sih?" tanya Mila lagi.Aku tersenyum tipis, "Maaf, Mil. Aku sedang teringat kenanganku bersama dengan ibu.""Sabar ya, Ra. Do'akan saja agar ibumu tenang di alam sana," sahut Mila.Aku pun mengangguk menanggapi ucapan Mila. Lalu, aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar ibu, mencoba merekam suasana kamar yang akan sangat aku rindukan. Mungkin, setelah ini aku tidak akan pernah datang lagi kemari. Perceraianku dengan Mas Hilman pasti akan segera selesai, dan kami benar-benar akan menjadi orang asing yang tidak memiliki ikatan apapun."Ra ... ayo kita pergi. Pak Alif sudah menunggu kita dari tadi."Aku menoleh ke arah Mila. Benar apa kata Mila, kami harus segera pergi. Aca
"Aku berangkat dulu, Ra. Oh iya, nanti kamu jangan lupa mampir ke restoran," pamit Mila, dia akan segera berangkat ke restoran.Tidak terasa waktu cepat sekali berlalu, sudah hampir enam bulan sejak aku meninggalkan rumah ibu. Sekarang Mila sudah menggantikan posisi Mas Alif sebagai manager restoran. Sekarang aku sudah terbiasa memanggilnya seperti itu. Katanya, aku sudah bukan lagi bawahannya, jadi aku tidak boleh memanggilnya dengan sebutan 'Pak'. Dan aku pun berusaha untuk mengganti panggilanku padanya, walaupun di awal aku merasa sulit tapi akhirnya aku pun menjadi terbiasa.Sementara Mas Alif sekarang beralih menjalankan perusahaan sang ayah. Mengingat ayahnya sudah tidak memungkinkan lagi untuk tetap menjalankan perusahaan miliknya.Aku pun masih tetap bekerja di restoran, membantu Mila tentunya. Saat ini aku sudah berhasil mengumpulkan uang untuk sekedar menyewa rumah di dekat restoran. Aku menyewanya berdua dengan Mila, agar kami bisa lebih mudah mengerjakan pekerjaan kami ya
"Kamu kenapa, Ra? Senang baru ketemu calon suami?"Aku menatap tajam Mila, dia selalu menggodaku jika aku bertemu dengan Mas Alif. Dia memang sudah mengetahui jika aku dan Mas Alif akan menikah. Mila pun sangat antusias mengetahuinya. Tidak henti-hentinya dia menggodaku yang akan menjadi istri dari seorang konglomerat.Haduh, memangnya aku melihat lelaki dari hartanya? Jika saja bukan karena permintaan terakhir ibu, tentu aku akan berpikir ribuan kali untuk menerima Mas Alif. Dia terlalu sempurna untuk wanita sepertiku.Jika aku wanita yang silau harta, tentu aku tidak akan menikah dengan Mas Hilman yang tidak punya apa-apa itu. Tapi aku tetap menikah dengannya, karena aku mencintainya. Sayangnya, rasa cintaku itu tidak berarti apa-apa untuknya. Hingga dengan mudahnya dia menikah lagi dengan wanita kaya.Untung saja kami belum mempunyai anak selama menikah. Permintaan Mas Hilman untuk menunda kehamilan memberikan kemudahan tersendiri buatku untuk berpisah darinya. Tidak ada yang menah
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Menurutku, akhir pekan datang lebih cepat dari biasanya. Apa mungkin hanya perasaanku saja? Entahlah.Aku memilin ujung baju yang aku kenakan, aku merasa gugup sekali. Aku sedang berada di dalam perjalanan menuju rumah Mas Alif. Tepat pukul tujuh tadi, Mas Alif sudah menjemputku di kontrakan."Kamu kenapa, Ra?" tanya Mas Alif karena aku sedari tadi hanya diam saja. Aku sedang mengatur debaran di dadaku. Sungguh aku sangat gugup sekali.Aku menoleh, menatap Mas Alif dengan resah. Dia tidak tahu saja jika sedari tadi aku sedang resah, takut jika pertemuanku dengan ayahnya nanti akan berakhir buruk."Kamu gugup ya, Ra?" tanyanya lagi ketika aku tak kunjung menjawab pertanyaannya."Iya, Mas. Aku gugup sekali. Hatiku resah sekali sejak tadi," jawabku.Mas Alif tersenyum kecil, dapat aku lihat sudut bibirnya terangkat, hingga bibirnya membentuk lengkungan. Bisa-bisanya dia tersenyum seperti itu, sementara aku sedang dilanda keresahan seperti ini. Aku
Aku mengerjapkan mata pelan, netraku terasa berat saat akan terbuka. Sebuah sinar terang menyilaukan mataku, saat kedua mataku terbuka sempurna.Aku segera bangun dari posisiku, netraku menatap suasana di sekelilingku. Sunyi, tidak ada suara apapun yang terdengar di telingaku. Aku mengernyitkan kening, merasa heran dengan tempatku berada sekarang."Aku di mana? Kenapa aku tidak ingat apa-apa?" gumamku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi terakhir kali.Aku pun memutuskan untuk berdiri dan melangkahkan kakiku, mencoba mencari petunjuk di mana sebenarnya aku berada. Barangkali aku bisa menemukan seseorang untuk aku tanyai.Aku merasa tubuhku lebih ringan dari biasanya, langkahku pun lebih panjang-panjang. Aku merasa aneh dengan tubuhku sendiri. Padahal sudah lama sekali aku berjalan, tapi aku tidak punya lelah sedikit pun. Entah, apa yang sebenarnya terjadi padaku.Aku berjalan menyusuri jalan yang tidak ada ujungnya, kakiku menapak di atas jalanan yang berpasir tanpa alas kaki. Tap
"Sudah, Mas. Aku sudah kenyang," ucapku menutup mulutku saat Mas Alif menyuapkan makanan padaku."Satu kali saja, Ra," sahutnya, masih memaksaku untuk makan.Aku sedari tadi sudah menolak makanan yang diberikan padaku. Rasanya aku tidak berselera untuk makan melihat makanan yang disediakan oleh rumah sakit yang terlihat tidak menarik. Tapi Mas Alif tetap memaksaku untuk memakannya."Baiklah." Dengan berat hati aku menerima suapan dari Mas Alif."Baiklah, sekarang sudah selesai. Aku bereskan dulu ini," ucapnya lagi.Sudut bibirku terangkat ketika melihat Mas Alif membereskan alat makanku. Sedari tadi dia juga menyuapiku dengan sabar. Karena aku sudah terlalu bosan dengan makanan rumah sakit, aku sempat menolak untuk makan. Rasa makanannya selalu hambar menurutku.Sudah lebih dari satu minggu aku berada di rumah sakit, lukaku pun sudah tidak terlalu sakit lagi. Tidak seperti saat pertama aku membuka mata, luka di perutku masih terasa perih menyengat.Aku masih belum mengalihkan pandanga
Kuedarkan pandangan menuju tempat akad, dapat kulihat punggung seorang lelaki yang memakai setelan jas yang senada dengan gaun pernikahanku. Keningku berkerut melihat punggungnya, dalam hati aku bertanya-tanya siapa lelaki tersebut.Ada apa ini? Bukankah hari ini aku akan menikah dengan Mas Atar? Lalu, kenapa bukan dia yang duduk di sana? Kenapa dia malah berdiri seperti tamu undangan yang lainnya?Banyak sekali pertanyaan yang bersarang di otakku. Ya Allah ... apa lagi yang Engkau tetapkan untuk hamba-Mu ini? Aku menghiba, rasanya sudah tidak kuasa lagi jika harus menanggung penderitaan lebih lagi."Ra ... ayo. Para tamu undangan sudah menunggu mempelai perempuannya turun," ucap Mila membuatku menoleh padanya.Aku menatap Mila dengan pandangan penuh tanya, aku menuntut jawabannya melalui tatapan, karena untuk membuka mulut pun aku seakan tak kuasa lagi.Mila menerbitkan senyumnya dan berkata, "Sudah saatnya kamu bahagia, Ra. Sudah cukup selama ini kamu menderita. Berbahagialah dengan
"Apa kamu sudah benar-benar yakin, Ra?" tanya Mila di saat aku sedang mengepak baju-bajuku.Mila sekarang sedang berada di rumahku karena besok aku akan menikah dengan Mas Atar. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Besok aku akan benar-benar menikah dengan Mas Atar. Jujur, hatiku masih berat sekali, tapi aku tidak bisa lari begitu saja setelah memupuk harapan semua orang.Aku terdiam, lalu memandang Mila dengan senyum tipis menghiasi bibirku untuk meyakinkan Mila bahwa aku baik-baik saja. Aku tahu jika Mila mengkhawatirkanku, mengingat besok sudah hari pernikahanku dengan Mas Atar. Tapi aku sudah tidak bisa mundur lagi. Tidak mungkin aku membatalkan pernikahan yang sudah di depan mata. Aku akan membuat semua orang malu. Jika hanya aku yang malu tidak mengapa, tapi jangan keluarga Ibu Rani. Beliau adalah orang baik. Tidak sepatutnya aku membuat beliau malu."Kumohon pikirkan sekali lagi, Ra. Pumpung pernikahanmu belum terjadi." Kembali, Mila membujukku untuk memikirkan tentang keputus
"Ayo kita pergi, Ra." Masih pagi tapi Mas Atar sudah datang ke butik, membuatku tidak bisa fokus pada pekerjaanku. Dia sedang duduk di depan meja kerjaku dengan posisi tangan bertopang dagu. Sementara aku baru saja akan mengerjakan pekerjaanku.Aku meletakkan pena ke atas meja, lalu memandang jengah lelaki yang bergelar calon suamiku itu. Aku sedang sangat sibuk hari ini. Pekerjaanku sedang menumpuk dan harus segera aku selesaikan, mengingat sebentar lagi aku akan disibukkan dengan pernikahanku."Memang mau kemana, Mas? Kamu tahu aku sedang sibuk, bukan?" tanyaku dengan nada datar.Mas Atar terdengar mendecakkan lidahnya. "Aku sudah meminta ijin pada ibu, beliau pun menyetujuinya. Apalagi saat aku mengatakan ingin mencari cincin untuk pernikahan kita, beliau langsung bersemangat untuk menyuruhku menemuimu," jawabnya. "Bahkan beliau yang paling antusias dengan pernikahan kita. Sebegitu bahagianya ibu ketika tahu kita akan segera menikah," imbuhnya dengan senyum melebar.Aku membulatkan
"Jelaskan padaku, Ra. Jelaskan apa yang aku dengar dari Bayu kalau kamu akan menikah dengan Mas Atar itu salah." Suara Mila sedikit meninggi dari balik sambungan telepon.Aku mendesah, aku memang sudah memperkirakan jika Mila akan menuntut penjelasan padaku jika mendengar berita pernikahanku dengan Mas Atar.Tak terasa satu bulan telah berlalu semenjak aku meminta penjelasan pada Mas Atar. Kini, pernikahanku tinggal satu bulan lagi. Ibu Rani meminta kami cepat-cepat menikah. Jadilah bulan depan pernikahan kami akan diadakan.Memang terkesan terburu-buru, tapi aku sudah pasrah. Jalan hidupku akan bagaimana, aku serahkan semuanya pada Yang Kuasa. Entah kebahagiaan ataupun kesengsaraan yang akan menemani sisa hidupku. Aku tidak tahu. Biar takdir yang akan menentukan nasibku kedepannya.Selama ini aku tidak menceritakan tentang pernikahanku dengan Mas Atar pada Mila. Aku tidak mau mengganggu bulan madu Mila. Di pikiranku, nanti saja saat hari pernikahan sudah dekat, agar Mila tidak terlal
Aku melangkah dengan gontai setelah keluar dari ruangan Ibu Rani. Rasanya seluruh kekuatan tubuhku seolah menghilang. Semua yang baru saja terjadi mampu membuatku kehilangan semangat untuk memulai hariku."Kamu kenapa, Ra? Tidak enak badan?" tanya Sarah ketika aku telah sampai di meja kerjaku.Aku hanya menatap Sarah dengan tidak bersemangat. Sarah pun berjalan mendekat ke arahku. Disentuhnya keningku dengan punggung tangannya."Tidak demam. Tapi kenapa wajahmu terlihat pucat," ucapnya sembari mengerutkan kening."Aku tidak apa-apa, Sar. Mungkin aku hanya kecapekan saja," sahutku, tidak mau membuat Sarah semakin khawatir."Iya kali, Ra. Harusnya kamu istirahat saja di rumah."Aku menggelengkan kepala, "Tidak, Sar. Pekerjaanku sudah banyak. Aku tidak mau menunda-nunda pekerjaanku."Sarah tampak menghela napas. "Ya sudah, kalau kamu inginnya begitu, Ra. Aku nggak akan mengganggumu kalau begitu." Sarah pun beranjak menuju meja kerjanya.Aku pun mulai mengerjakan pekerjaanku yang sudah me
"Wah ... kamu sudah datang, Ra." Sarah menatapku dengan senyum yang aneh. Sorot matanya seolah sedang memandang takjub padaku.Aku baru saja datang, dan langsung menuju meja kerjaku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak datang ke butik."Ada apa, Sar?" tanyaku penasaran dengan senyum Sarah, biasanya aku juga tidak mau tahu urusan orang lain. Tapi entah kenapa, senyum Sarah terasa aneh bagiku."Kamu jangan pura-pura deh, Ra," sahut Sarah.Aku mengernyitkan keningku, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Sarah. Pura-pura? Pura-pura apa maksudnya? Aku memandang Sarah dengan raut wajah penuh tanya."Ck ... kamu gimana sih, Ra. Masak nggak tahu. Kamu itu jangan pura-pura nggak tahu apa-apa. Mentang-mentang sebentar lagi jadi mantunya Bu Rani, kamu nggak mau berbagi kabar bahagia dengan kami," tutur Sarah mendecakkan lidahnya.Netraku membulat sempurna mendengar penuturan Sarah. Tidak. Dia pasti salah bicara. Aku ... aku tidak mungkin menjadi calon menantu Ibu Rani."Menantu Ibu Rani?
"Ah, aku juga permisi, Mas," pamitku.Aku harus segera pergi sebelum Mas Atar menginterogasiku dengan berbagai pertanyaan yang menyulitkanku. Dan aku tidak mau itu terjadi. Aku langsung melangkah meninggalkan Mas Atar dan Kiara yang berada di dalam gendongannya."Tunggu, Ra. Kamu berhutang sesuatu padaku," ucapnya menahan langkahku. Aku berhenti seketika mendengar ucapan Mas Atar.Aku menoleh ke arahnya, menatap takut-takut padanya. Tapi aku terperangah ketika melihatnya tersenyum tipis ke arahku. Aku mengusap-usap mataku, mencoba memastikan jika mataku tidak salah lihat. Barusan aku benar-benar melihatnya tersenyum.Mas Atar tersenyum? Lelaki es itu tersenyum? Aku sampai melongo melihatnya. Rasanya tidak percaya jika lelaki yang selalu berwajah datar itu tersenyum walaupun tidak begitu terlihat. Tapi aku yakin dia sedang tersenyum tadi."Ada apa? Kenapa melihatku seperti itu?" tanyanya terlihat mengernyitkan kening. Sepertinya dia heran karena aku melihatnya sembari mengusap-usap mat
"Apa?" tanya Mas Alif tampak terkejut dengan jawabanku. Wajahnya pun tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutannya.'Maaf, Mas. Aku harus berbohong demi kebaikan semuanya.'Perlahan aku meriah tangan Kiara dan mengajaknya melangkah mendekat ke arah Mas Alif. Setelah sampai di depannya, aku berjongkok menyejajarkan tinggiku dengan Kiara. Kutatap mata polos gadis kecil di hadapanku itu dengan lembut.'Maafkan aku karena memanfaatkanmu ya, Nak. Semoga kamu mau membantu.'Aku menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. "Sayang, salim dulu sama Om Alif, ya," ucapku pada Kiara dengan nada lembut.Netra bening Kiara menatapku dengan polosnya, tapi tak urung juga dia menganggukkan kepalanya, mengikuti perintahku. Tangan mungilnya terulur ke arah Mas Alif, sementara Mas Alif masih berdiri mematung. Tampak sekali jika dia benar-benar terkejut dengan kebohonganku."Halo, Om," tutur Kiara dengan tangan yang masih terulur.Mas Alif tersentak, lalu kemudian dia ikut berjongkok dan membalas
Aku mematut diriku di cermin, mencoba menyembunyikan mata bengkakku sebaik mungkin. Setelah dirasa mataku yang bengkak tertutup make up, aku pun bangkit dari duduk. Lalu aku segera keluar dari kamar.Aku memandang takjub suasana pesta yang sangat ramai. Mila benar-benar menjadi ratu di hari pernikahannya. Pernikahan Mila sangatlah mewah, benar-benar pernikahan impian setiap wanita. Aku pun dulu sangat memimpikan pernikahan seperti ini. Tapi dulu aku sudah bahagia dengan pernikahan sederhana yang Mas Hilman berikan.Akan tetapi semuanya telah hancur sia-sia. Dan aku pun telah menempuh hidupku sendirian.Aku mendesah kasar. Tidak baik mengingat-ingat hal yang menyakitkan. Hari ini adalah hari bahagia untuk Mila. Aku harusnya mengesampingkan perasaanku.Aku melangkah menuruni tangga, mencoba bergabung dengan orang-orang yang hadir di pesta pernikahan Mila. Tapi setelah sampai di ujung tangga, seseorang menarik tanganku. Aku pun menoleh, menatap orang yang menarik tanganku. Netraku membul