"Sudah, Mas. Aku sudah kenyang," ucapku menutup mulutku saat Mas Alif menyuapkan makanan padaku."Satu kali saja, Ra," sahutnya, masih memaksaku untuk makan.Aku sedari tadi sudah menolak makanan yang diberikan padaku. Rasanya aku tidak berselera untuk makan melihat makanan yang disediakan oleh rumah sakit yang terlihat tidak menarik. Tapi Mas Alif tetap memaksaku untuk memakannya."Baiklah." Dengan berat hati aku menerima suapan dari Mas Alif."Baiklah, sekarang sudah selesai. Aku bereskan dulu ini," ucapnya lagi.Sudut bibirku terangkat ketika melihat Mas Alif membereskan alat makanku. Sedari tadi dia juga menyuapiku dengan sabar. Karena aku sudah terlalu bosan dengan makanan rumah sakit, aku sempat menolak untuk makan. Rasa makanannya selalu hambar menurutku.Sudah lebih dari satu minggu aku berada di rumah sakit, lukaku pun sudah tidak terlalu sakit lagi. Tidak seperti saat pertama aku membuka mata, luka di perutku masih terasa perih menyengat.Aku masih belum mengalihkan pandanga
"Ah ... akhirnya aku bisa pulang juga. Rasanya aku seperti terbebas dari penjara," ucapku sembari merebahkan diri di ranjang kamarku. Aku sangat rindu kamarku.Aku baru saja sampai di rumah setelah keluar dari rumah sakit. Akhirnya aku bisa terbebas dari aroma obat-obatan di sana. Rasanya aku sudah jenuh, setiap hari hanya berbaring di ranjang rumah sakit yang sempit itu.Aku menatap langit-langit kamar yang sudah aku tempati semenjak keluar dari rumah ibu. Tak terasa, aku sudah tinggal di sini lebih dari setengah tahun. Rasanya baru kemarin ibu masih bersamaku, terkadang aku merasa ibu masih ada di sampingku. Menemani hari-hariku yang sekarang tidak lagi sepi. Ada Mila yang selalu bersamaku.Aku jadi ingat Mbak Nuri ketika mengenang mendiang ibu. Mantan kakak iparku itu masih berhubungan baik denganku. Bahkan kami sering bertukar kabar di sela-sela kesibukanku. Aku jadi teringat sesuatu.Tanganku meraih ponsel di saku bajuku, tapi aku tidak menemukannya. Aku berpikir sejenak, di mana
"Sudah selesai mengobrolnya, Mil?" tanyaku begitu Mila masuk ke dalam rumah. Aku masih tetap pada posisiku tadi. Aku masih berada di balik pintu, mendengar pembicaraan Mila dan Mas Alif.Mila pun menghentikan langkahnya begitu mendapat pertanyaan dariku. "Ra ... ka-kamu, se-jak kapan kamu di—.""Iya, aku ada di sini sejak tadi, Mil. Dan aku ingin mendengar semua penjelasan darimu," ucapku sembari menatapnya tajam, memotong kata-kata Mila yang terbata. Dia pasti terkejut dengan kehadiranku. "Kita perlu bicara, Mil," imbuhku.Mila tampak gelagapan mendapat tatapan tajam dariku. Dia tidak berani menatap mataku. Dia pasti tidak menyangka jika aku ada di sini dan mendengar apa yang dia bicarakan dengan Mas Alif."Mungkin kita bisa duduk, sepertinya penjelasanmu akan sangat panjang," ucapku lagi sembari melangkah menuju sofa.Setelah tiba di sofa, aku pun duduk dengan santai seolah tidak terpengaruh oleh apa yang baru saja kudengar dari pembicaran Mila dan Mas Alif. Tapi sejujurnya hatiku s
"Bagaimana kabarmu hari ini, Ra?" tanya Mas Alif, pagi-pagi dia sudah datang kemari. Padahal aku sedang enggan untuk bertemu dengannya.Tadi setelah Mila berangkat kerja, aku memilih duduk di teras sembari memikirkan rencanaku ke depannya. Sekalian mencari udara di luar, sejak masuk rumah sakit aku hanya terbaring saja di ranjang."Baik, Mas. Sangat baik malah," jawabku sembari menatapnya dalam. Jujur aku tidak mengharapkan kedatangannya. Aku masih menyimpan amarah padanya yang seenaknya melemparkanku pada Mas Hilman."Ada apa, Ra? Kenapa kamu memandangku seperti itu?" tanyanya lagi.Aku tersenyum, mencoba menutupi bagaimana rasanya hatiku melihat kedatangannya pagi ini. Aku harus bisa bersikap seperti biasanya. Aku tidak mau Mas Alif tahu jika aku sudah mengetahui semuanya."Tidak ada apa-apa, Mas. Oh ya, apa kamu mau kopi? Mau aku buatkan?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan menawarinya kopi.Mas Alif menatapku sejenak, lalu kemudian dia berkata, "tidak perlu repot-repot, Ra
"Perlu aku temani nanti, Ra?" tanya Mila sembari meletakkan sepiring nasi goreng yang baru saja dimasaknya di depanku.Aku menggeleng, "Tidak perlu, Mil. Aku pergi sendiri saja. Keadaanku sudah benar-benar pulih. Bahkan aku sudah bisa berlari sekarang," jawabku mencoba meyakinkan Mila.Aku tahu dia pasti khawatir jika aku pergi menemui Mas Hilman sendirian. Tapi aku sedang ingin berbicara empat mata dengan Mas Hilman. Ada sesuatu yang ingin aku tegaskan pada Mas Hilman. Dia tidak boleh terus mengusikku. Kehidupan kami sudah berbeda sekarang."Kamu yakin, Ra?" tanya Mila lagi, sepertinya dia tidak terlalu yakin dengan keputusanku untuk pergi sendiri."Iya, Mil. Sudahlah, mari kita sarapan dulu. Keburu siang ini, kamu juga harus ke restoran kan?"Mila menghela napas pelan lalu berkata, "baiklah jika memang kamu sudah yakin ingin pergi sendiri, tapi jangan lupa telepon aku jika kamu butuh apa-apa."Aku tersenyum tipis, perhatian Mila membuatku merasa terharu. Ah, Mila. Aku sangat berteri
Aku menerawang jauh, menatap arus sungai yang bergerak pelan. Permukaan sungai terlihat tenang, membuat yang memandangnya juga ikut merasakan ketenangan.Aku sedang duduk di tepi jembatan, tadi setelah dari cafe aku melajukan motor kemari, tempat yang pernah Mas Alif tunjukkan padaku dulu. Tadi hatiku sedang gundah, bertemu Mas Hilman sedikit banyak membuatku merasa tidak enak hati. Bukan karena aku masih memiliki perasaan padanya. Tapi memang perasaanku sangat sensitif sejak mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi tanpa aku ketahui.Di sini sangat tenang, yang ada hanya suara gemerisik suara angin. Dari kejauhan dapat kulihat burung-burung terbang dengan bebasnya. Ah, aku ingin sekali bisa terbang bebas seperti itu. Aku ingin mengepakkan sayapku, menjauh dari orang-orang yang telah menyakitiku.Aku tertegun, memikirkan jalan hidupku yang masih belum tentu arah. Aku harus menemukan tempat untuk berlabuh lagi. Mencari apa sebenarnya tujuan hidupku. Tapi yang pasti, aku tidak akan
"Makanlah, Ra," ucap Mas Alif begitu pesanan kami telah datang. Dia membawaku ke sebuah restoran yang terlihat mewah. Entah apa maksudnya membawaku kemari. Aku pun tidak mau menebak-nebaknya.Aku mengangguk, lalu tanganku mulai menyuap makanan yang telah dihidangkan. Sejujurnya aku teramat malas untuk makan, tapi aku butuh asupan tenaga.Hari ini, aku ingin mengakhiri semua hubungan yang kumiliki. Baik dengan Mas Hilman ataupun dengan Mas Alif. Dan aku berharap semua bisa berjalan dengan lancar seperti tadi pagi aku menemui Mas Hilman.Kami makan dalam diam, tidak ada obrolan yang keluar di antara kami. Sejak tadi, aku memang hanya diam saja. Sedangkan Mas Alif juga tidak mengajakku bicara. Dia tampak sedang memikirkan sesuatu. Dan aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan.Apa mungkin dia sedang memikirkan bagaimana caranya melemparku pada Mas Hilman? Entahlah, aku tidak mau berprasangka buruk.Beberapa menit berlalu, kami pun telah selesai menyantap hidangan yang telah tersedia. A
Aku tersenyum menatap layar laptop di depanku. Akhirnya pekerjaanku telah selesai. Aku merenggangkan tanganku yang terasa kaku, sejak semalam aku begadang mengerjakan desain gaun yang diminta oleh customer di tempatku bekerja.Ah ya, lima tahun berlalu semenjak aku meninggalkan Mas Alif. Dan tidak terasa kini aku telah menemukan tempat yang sangat damai menurutku. Tidak ada lagi yang mengusikku seperti dulu.Setelah aku meninggalkan Mas Alif malam itu, dia tidak henti-hentinya mencoba untuk menemuiku, tapi aku tidak pernah mau menemuinya. Bahkan nomer ponselku pun telah aku ganti. Aku tidak mau jika hatiku goyah jika bertemu dengannya. Aku sudah bertekad untuk mengakhiri semua kisah masa laluku.Lalu dua hari setelah malam itu, aku pun pergi dari tempat tinggalku. Aku meninggalkan semuanya, kemudian membuka lembaran baru. Dan sekarang di sinilah aku. Di sebuah kota yang dijuluki dengan Paris van Java karena keindahannya.Beruntungnya aku karena mempunyai teman seperti Mila, dialah yan
Kuedarkan pandangan menuju tempat akad, dapat kulihat punggung seorang lelaki yang memakai setelan jas yang senada dengan gaun pernikahanku. Keningku berkerut melihat punggungnya, dalam hati aku bertanya-tanya siapa lelaki tersebut.Ada apa ini? Bukankah hari ini aku akan menikah dengan Mas Atar? Lalu, kenapa bukan dia yang duduk di sana? Kenapa dia malah berdiri seperti tamu undangan yang lainnya?Banyak sekali pertanyaan yang bersarang di otakku. Ya Allah ... apa lagi yang Engkau tetapkan untuk hamba-Mu ini? Aku menghiba, rasanya sudah tidak kuasa lagi jika harus menanggung penderitaan lebih lagi."Ra ... ayo. Para tamu undangan sudah menunggu mempelai perempuannya turun," ucap Mila membuatku menoleh padanya.Aku menatap Mila dengan pandangan penuh tanya, aku menuntut jawabannya melalui tatapan, karena untuk membuka mulut pun aku seakan tak kuasa lagi.Mila menerbitkan senyumnya dan berkata, "Sudah saatnya kamu bahagia, Ra. Sudah cukup selama ini kamu menderita. Berbahagialah dengan
"Apa kamu sudah benar-benar yakin, Ra?" tanya Mila di saat aku sedang mengepak baju-bajuku.Mila sekarang sedang berada di rumahku karena besok aku akan menikah dengan Mas Atar. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Besok aku akan benar-benar menikah dengan Mas Atar. Jujur, hatiku masih berat sekali, tapi aku tidak bisa lari begitu saja setelah memupuk harapan semua orang.Aku terdiam, lalu memandang Mila dengan senyum tipis menghiasi bibirku untuk meyakinkan Mila bahwa aku baik-baik saja. Aku tahu jika Mila mengkhawatirkanku, mengingat besok sudah hari pernikahanku dengan Mas Atar. Tapi aku sudah tidak bisa mundur lagi. Tidak mungkin aku membatalkan pernikahan yang sudah di depan mata. Aku akan membuat semua orang malu. Jika hanya aku yang malu tidak mengapa, tapi jangan keluarga Ibu Rani. Beliau adalah orang baik. Tidak sepatutnya aku membuat beliau malu."Kumohon pikirkan sekali lagi, Ra. Pumpung pernikahanmu belum terjadi." Kembali, Mila membujukku untuk memikirkan tentang keputus
"Ayo kita pergi, Ra." Masih pagi tapi Mas Atar sudah datang ke butik, membuatku tidak bisa fokus pada pekerjaanku. Dia sedang duduk di depan meja kerjaku dengan posisi tangan bertopang dagu. Sementara aku baru saja akan mengerjakan pekerjaanku.Aku meletakkan pena ke atas meja, lalu memandang jengah lelaki yang bergelar calon suamiku itu. Aku sedang sangat sibuk hari ini. Pekerjaanku sedang menumpuk dan harus segera aku selesaikan, mengingat sebentar lagi aku akan disibukkan dengan pernikahanku."Memang mau kemana, Mas? Kamu tahu aku sedang sibuk, bukan?" tanyaku dengan nada datar.Mas Atar terdengar mendecakkan lidahnya. "Aku sudah meminta ijin pada ibu, beliau pun menyetujuinya. Apalagi saat aku mengatakan ingin mencari cincin untuk pernikahan kita, beliau langsung bersemangat untuk menyuruhku menemuimu," jawabnya. "Bahkan beliau yang paling antusias dengan pernikahan kita. Sebegitu bahagianya ibu ketika tahu kita akan segera menikah," imbuhnya dengan senyum melebar.Aku membulatkan
"Jelaskan padaku, Ra. Jelaskan apa yang aku dengar dari Bayu kalau kamu akan menikah dengan Mas Atar itu salah." Suara Mila sedikit meninggi dari balik sambungan telepon.Aku mendesah, aku memang sudah memperkirakan jika Mila akan menuntut penjelasan padaku jika mendengar berita pernikahanku dengan Mas Atar.Tak terasa satu bulan telah berlalu semenjak aku meminta penjelasan pada Mas Atar. Kini, pernikahanku tinggal satu bulan lagi. Ibu Rani meminta kami cepat-cepat menikah. Jadilah bulan depan pernikahan kami akan diadakan.Memang terkesan terburu-buru, tapi aku sudah pasrah. Jalan hidupku akan bagaimana, aku serahkan semuanya pada Yang Kuasa. Entah kebahagiaan ataupun kesengsaraan yang akan menemani sisa hidupku. Aku tidak tahu. Biar takdir yang akan menentukan nasibku kedepannya.Selama ini aku tidak menceritakan tentang pernikahanku dengan Mas Atar pada Mila. Aku tidak mau mengganggu bulan madu Mila. Di pikiranku, nanti saja saat hari pernikahan sudah dekat, agar Mila tidak terlal
Aku melangkah dengan gontai setelah keluar dari ruangan Ibu Rani. Rasanya seluruh kekuatan tubuhku seolah menghilang. Semua yang baru saja terjadi mampu membuatku kehilangan semangat untuk memulai hariku."Kamu kenapa, Ra? Tidak enak badan?" tanya Sarah ketika aku telah sampai di meja kerjaku.Aku hanya menatap Sarah dengan tidak bersemangat. Sarah pun berjalan mendekat ke arahku. Disentuhnya keningku dengan punggung tangannya."Tidak demam. Tapi kenapa wajahmu terlihat pucat," ucapnya sembari mengerutkan kening."Aku tidak apa-apa, Sar. Mungkin aku hanya kecapekan saja," sahutku, tidak mau membuat Sarah semakin khawatir."Iya kali, Ra. Harusnya kamu istirahat saja di rumah."Aku menggelengkan kepala, "Tidak, Sar. Pekerjaanku sudah banyak. Aku tidak mau menunda-nunda pekerjaanku."Sarah tampak menghela napas. "Ya sudah, kalau kamu inginnya begitu, Ra. Aku nggak akan mengganggumu kalau begitu." Sarah pun beranjak menuju meja kerjanya.Aku pun mulai mengerjakan pekerjaanku yang sudah me
"Wah ... kamu sudah datang, Ra." Sarah menatapku dengan senyum yang aneh. Sorot matanya seolah sedang memandang takjub padaku.Aku baru saja datang, dan langsung menuju meja kerjaku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak datang ke butik."Ada apa, Sar?" tanyaku penasaran dengan senyum Sarah, biasanya aku juga tidak mau tahu urusan orang lain. Tapi entah kenapa, senyum Sarah terasa aneh bagiku."Kamu jangan pura-pura deh, Ra," sahut Sarah.Aku mengernyitkan keningku, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Sarah. Pura-pura? Pura-pura apa maksudnya? Aku memandang Sarah dengan raut wajah penuh tanya."Ck ... kamu gimana sih, Ra. Masak nggak tahu. Kamu itu jangan pura-pura nggak tahu apa-apa. Mentang-mentang sebentar lagi jadi mantunya Bu Rani, kamu nggak mau berbagi kabar bahagia dengan kami," tutur Sarah mendecakkan lidahnya.Netraku membulat sempurna mendengar penuturan Sarah. Tidak. Dia pasti salah bicara. Aku ... aku tidak mungkin menjadi calon menantu Ibu Rani."Menantu Ibu Rani?
"Ah, aku juga permisi, Mas," pamitku.Aku harus segera pergi sebelum Mas Atar menginterogasiku dengan berbagai pertanyaan yang menyulitkanku. Dan aku tidak mau itu terjadi. Aku langsung melangkah meninggalkan Mas Atar dan Kiara yang berada di dalam gendongannya."Tunggu, Ra. Kamu berhutang sesuatu padaku," ucapnya menahan langkahku. Aku berhenti seketika mendengar ucapan Mas Atar.Aku menoleh ke arahnya, menatap takut-takut padanya. Tapi aku terperangah ketika melihatnya tersenyum tipis ke arahku. Aku mengusap-usap mataku, mencoba memastikan jika mataku tidak salah lihat. Barusan aku benar-benar melihatnya tersenyum.Mas Atar tersenyum? Lelaki es itu tersenyum? Aku sampai melongo melihatnya. Rasanya tidak percaya jika lelaki yang selalu berwajah datar itu tersenyum walaupun tidak begitu terlihat. Tapi aku yakin dia sedang tersenyum tadi."Ada apa? Kenapa melihatku seperti itu?" tanyanya terlihat mengernyitkan kening. Sepertinya dia heran karena aku melihatnya sembari mengusap-usap mat
"Apa?" tanya Mas Alif tampak terkejut dengan jawabanku. Wajahnya pun tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutannya.'Maaf, Mas. Aku harus berbohong demi kebaikan semuanya.'Perlahan aku meriah tangan Kiara dan mengajaknya melangkah mendekat ke arah Mas Alif. Setelah sampai di depannya, aku berjongkok menyejajarkan tinggiku dengan Kiara. Kutatap mata polos gadis kecil di hadapanku itu dengan lembut.'Maafkan aku karena memanfaatkanmu ya, Nak. Semoga kamu mau membantu.'Aku menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. "Sayang, salim dulu sama Om Alif, ya," ucapku pada Kiara dengan nada lembut.Netra bening Kiara menatapku dengan polosnya, tapi tak urung juga dia menganggukkan kepalanya, mengikuti perintahku. Tangan mungilnya terulur ke arah Mas Alif, sementara Mas Alif masih berdiri mematung. Tampak sekali jika dia benar-benar terkejut dengan kebohonganku."Halo, Om," tutur Kiara dengan tangan yang masih terulur.Mas Alif tersentak, lalu kemudian dia ikut berjongkok dan membalas
Aku mematut diriku di cermin, mencoba menyembunyikan mata bengkakku sebaik mungkin. Setelah dirasa mataku yang bengkak tertutup make up, aku pun bangkit dari duduk. Lalu aku segera keluar dari kamar.Aku memandang takjub suasana pesta yang sangat ramai. Mila benar-benar menjadi ratu di hari pernikahannya. Pernikahan Mila sangatlah mewah, benar-benar pernikahan impian setiap wanita. Aku pun dulu sangat memimpikan pernikahan seperti ini. Tapi dulu aku sudah bahagia dengan pernikahan sederhana yang Mas Hilman berikan.Akan tetapi semuanya telah hancur sia-sia. Dan aku pun telah menempuh hidupku sendirian.Aku mendesah kasar. Tidak baik mengingat-ingat hal yang menyakitkan. Hari ini adalah hari bahagia untuk Mila. Aku harusnya mengesampingkan perasaanku.Aku melangkah menuruni tangga, mencoba bergabung dengan orang-orang yang hadir di pesta pernikahan Mila. Tapi setelah sampai di ujung tangga, seseorang menarik tanganku. Aku pun menoleh, menatap orang yang menarik tanganku. Netraku membul