Share

Keresahan dan kesedihanku

Author: Rinz sugianto
last update Last Updated: 2022-04-07 23:27:02

Pagi yang cerah di langit Jogja, hari ini suamiku meliburkan diri dari pekerjaannya. Ia bermaksud ingin menemaniku ke rumah sakit sesuai dengan janjinya.

Ku ulurkan hijabku dengan balutan riasan tipis di wajahku. Terlihat Mas Tama sudah bersiap menungguku di ruang tamu.

"Mas kita sarapan dulu yuk," ajakku.

"Ayo Dek," ucap Mas Tama.

Tangan kekarnya membelai lembut rambutku dan menggandeng erat tanganku. Kami segera menuju meja makan untuk sarapan.

"Mas mau sarapan pake lauk apa?" tanyaku.

"Telur bali aja Dek, sama kerupuk ya," jawab suamiku.

"Nggak mau pakai ayam mas?" tanyaku lagi.

"Enggak Dek," jawab Mas Tama lembut.

Tanganku segera meraih piring dan menyajikan hidangan untuk suamiku.

Nampak suamiku dengan lahap menyantap menu yang ku olah pagi ini. Sarapan pun usai, kami duduk sejenak di meja makan. Sesekali Mas Tama tersenyum memandangku.

"Mas, ayo berangkat sekarang?" ajaku menghampiri Mas Tama.

"Ayo sayang," ucap Mas Tama menggandeng tangan mungilku.

Kami bergegas menuju garasi mobil yang berada di sudut sebelah kanan rumah kami.

"Masuk sayang," kata suamiku membukakan pintu mobil.

Aku memasuki mobil dan di susul oleh Mas Tama dari pintu sebelah kanan,"

Mobil mulai berjalan, dan aku dengan perasaan rancu memberanikan diri membuka obrolan.

"Mas jadi kemarin ceritanya aku di suruh USG, waktu aku mau ngasih hasilnya ke dokter dia nya lagi ada operasi." kataku.

"Iya Dek nggak apa-apa, Mas juga pengen nemenin kamu kok," ucap Mas Tama.

"Oh iya Mas, misal ada apa-apa sama rahim aku gimana?" tanyaku menatap Mas Tama.

"Kita cari solusinya bareng-bareng Dek, ini kan kita sedang ikhtiar juga," jawab suamiku santai.

Dadaku agak lega mendengar ucapan yang keluar dari bibir imamku itu.

Sepanjang perjalanan, kami sibuk dengan obrolan-obrolan ringan dan lawakan suamiku. Aku tahu itu hanya untuk menghiburku yang sedang resah.

Akhirnya kami tiba di rumah sakit, Aku mengajak mas Tama menemui Om Dian dulu sebelum mendaftar kembali.

Tok tok tok, aku mengetuk pintu ruangan Om Dian.

"Masuk," terdengar teriakan Om Dian dari dalam ruangannya.

Aku segera membuka pintu dan memasuki ruangan Om ku yang bertugas sebagai staff di rumah sakit tersebut.

"Assalamualaikum," ucapku mencium tangan Om Dian.

"Waalaukumsalam," jawab Omku.

Mas Tama pun bergantian mencium tangan adik kandung Mama itu.

"Apakabar Om?" tanya suamiku.

"Baik Tam, kamu sendiri baik kan?" tanya balik Om Dian.

"Alhamdulillah Tama baik juga Om, lama nggak ketemu ya Om" jawab Mas Tama.

"Iya Tam, kamu sibuk terus sih," jawab Om Dian.

Om Dian mempersilahkan kami singgah lebih lama di ruangannya.

"Oh iya, kalian tunggu disini dulu aja ya. Dokter Liza belum datang," kata Om Dian.

"Baik Om,nggak apa-apa nih kami nunggu disini?" ucapku.

"Nggak apa-apa," sanggah Om Dian.

Kami berdua menunggu dokter Liza di ruangan ini. Tak terasa sejam berlalu di isi dengan obrolan suamiku dan Om Dian.

Dretty drett drett, ponsel Om Dian berbunyi.

Ternyata sebuah pesan singkat mendarat di nomor ponselnya.

"Ayo Rin, dokter Liza sudah ada di tempat," ajak Om Dian.

"Baik Om," kataku.

Om Dian pun melangkahkan kaki dari ruangannya, kamipun mengikuti langkah nya dari belakang.

Tibalah di ruang praktek dokter Liza.

"Selamat pagi dok," sapaku.

"Pagi," jawab dokter Liza tersenyum.

"Silahkan duduk," sambung dokter cantik itu.

Tanganku segera mengambil hasil USG kemarin dari dalam tas selempangku.

"Ini dok hasilnya," kataku mengulurkan amplop yang berisi hasil USG kemarin.

Perasaan cemas mulai mengintaiku, ku tarik nafas dalam-dalam dan berusaha tenang. Sesekali kulihat ekspresi tak enak dari wajah cantik dokter yang berada di depanku ini.

"Bu Rina, berdasarkan hasil USG di dalam rahim ibu terdapat miom," kata dokter Liza.

Seketika tubuhku lemas, denyut nadiku melemah, dan jantungku sejenak serasa berhenti berdetak. Mas Tama berusaha menguatkanku dengan memeluku dan mencium keningku serta memegang erat tanganku. Kuakui support Mas Tama sebagai seorang suami memang patut diacungi jempol.

"Ibu yang sabar, semua penyakit ada obatnya," ucap dokter cantik itu.

"Iya dek, kamu tenang jangan sedih dan panik," sambung suamiku.

Kepalaku tertunduk, penyakit yang selama ini kuduga adalah kista ternyata salah. Penyakit yang kuderita ternyata lebih parah.

Setelah selesai berkonsultasi dengan dokter Liza, kami pun beranjak dari ruang tersebut.

Mas Tama segera menebus resep yang di berikan oleh dokter Liza, kemudian kami kembali menghampiri Om Dian ke ruangan nya untuk berpamitan.

"Assalamualaikum, Om kami pamit dulu ya," ucapku tersenyum.

Kusembunyikan kesedihanku karena aku tak mau keluargaku tahu tentang penyakitku.

"Oh iya? Sudah selesai konsultasinya? Gimana hasilnya?" tanya Om Dian.

"Sudah Om, Rina baik-baik saja," jawab suamiku.

Aku hanya terdiam membisu, lidahku kelu tak kuasa menjawab pertanyaan yang di lontarkan Om Dian.

Di perjalalan dan dirumah, suamiku berusaha menenangkan ku, nampak suamiku tak ada masalah dengan keadaanku. Namun sebagai wanita aku merasa tak sempurna.

"Sayang kamu yang tenang ya, kita pasti akan punya momongan," ucap suamiku.

Bibirku tak mampu berucap, hanya air mata yang tercucur sebagai jawaban atas kesedihanku.

"Dek, kamu jangan sedih lagi dong," hibur mas Tama.

"Aku merasa tidak sempurna mas," jawabku.

"Kamu sempurna buat aku dek," tegas Mas Tama.

"Aku bingung mas, gimana jelasin keadaanku yang sekarang ke keluarga kita," teriaku.

"Jangan mikir kesana dulu, yamg oenting kamu sekarang tenang dulu," kata Mas Tama menenangkanku.

"Yuk masuk, kita udah sampai rumah," ajak Mas Tama.

Ia pun membukakan pintu mobil dan meraih tanganku, tubuh kekarnya menyangga tubuhku yang masih terkulai lemas. Pikiranku masih tak tenang, bayang-bayang tentang penyakit yang kuderita terus menghantui dan meracuni pikiranku.

"Kamu makan dulu ya dek, terus minum obatnya," pinta suamiku.

Aku hanya mengangguk, suamiku segera mengambilkan makan dan segelas air putih untuk ku

"Makan yuk dek, Mas suapin ya," ucap Mas Tama.

"Iya Mas," jawabku sesenggukan.

Lidahku menguyah beberapa suap nasi dari tangan Mas Tama.

"Udah Mas, aku udah kenyang," kataku lirih.

"Yaudah, kamu minum obatnya ya," pinta Suamiku lembut.

"Iya Mas," jawabku.

Tanganku segera meraih obat dan aku mulai membuka mulutku, ku telan sekaligus beberapa obat yang telah di berikan oelh dokter Liza.

"Kamu istirahat ya dek, hari ini nggak usah ngapa-ngapain, Biar Mas aja yang beres-beres," ucap Mas Tama.

"Iya Mas, makasih ya," kataku.

"Yaudah, ayo Mas antar kamu ke kamar," sambung Mas Tama.

Kami pun melangkahkan kaki menuju tempat peraduan kami.

"Kamu istirahat ya, Mas beres-beres dulu," ucap suamiku. Ia segera melangkahkan kaki keluar dari kamar.

Tak biasanya aku mengizinkan suamiku menyeleseikan pekerjaan rumah. Karena menurutku itu adalah tugas seorang istri.

Namun kali ini ku izinkan ia mengambil alih tugasku, karena aku ingin menenangkan hati serta pikiranku.

Related chapters

  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Berkunjung kerumah Orang Tuaku

    Semakin hari tubuhku terasa lunglai, lemas dan letih seringkali menghampiriku. Namun aku tak berniat untuk mengutarakan tentang kesehatanku pada suamiku. Aku takut hal ini mengganggu aktivitasnya. Hari ini Mas Tama berangkat ke kantor lebih awal, karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Tut tut tut, aku mencoba menelpon suamiku."Assalamualaikum Mas, hari ini aku mau ke rumah Mama boleh?" tanyaku melalui telepon. "Boleh dek, kamu hati-hati ya," jawab suamiku. "Iya Mas, Assalamualaikum," ucapku menutup telepon. Segera kulangkahkan kaki menuju kamar mengambil tas dan pashmina. Kembali ku raih ponselku yang tergeletak di meja ruang tamu untuk menelpon mama dan memesan taksi online. "Assalamualaikum Mah, Mama di rumah? Rina mau kesana," ucapku. "Di rumah nak, mama tunggu ya," balas Mama. Ku akhiri obrolan bersama Mama dengan ucapan salam. Taksi yang aku pesan melalui aplikasi pun sudah datang. "Ibu Rina?" tanya pengemudi taksi online tersebut. "Iya Pak," kataku menata

    Last Updated : 2022-04-07
  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Tamparan Keras untukku

    Hari ini aku berencana mengunjungi mertua ku, kediaman orang tua suamiku kebetulan tak jauh dari rumah kami. Mereka tinggal bersama iparku di kota yang sama denganku, hanya saja kami tinggal di kecamatan yang berbeda. Pagi ini sedikit mendung, tapi tampaknya hujan tak berpotensi turun. Aku mengunjungi rumah mertuaku di antar oleh mas Tama, sekalian suamiku berangkat menuju tempat kerjanya. Mobil kesayangan mas Tama terhenti di depan pagar rumah orang tuanya. Kamipun bergegas turun dari mobil yang kami tumpangi. "Assalamualaikum," ucap kami. "Waalaikusalam, jawab Mbak Rara iparku. Mengetahui kedatangan kami, ia pun segera membukakan pintu pagar rumah mewah yang ia tinggali."Masuk yuk," sambung Mbak Rara tersenyum. "Iya Mbak," jawabku mengembalikan senyuman iparku. Aku dan suami melangkahkan kaki memasuki rumah mewah tempat dimana suamiku lahirkan serta di besarkan. Di Istana ini tidak hanya di huni oleh mertuaku, ada kedua saudara kandung suamiku dan kedua iparnya serta anak-anak

    Last Updated : 2022-04-07
  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Kunjungan ke Panti Asuhan

    Pagi yang Indah di kota kelahiranku, lazuardi nampak merah ceria. Sesuai dengan kesepakatan keluarga besar suamiku, hari ini kami akan berkunjung ke panti asuhan. Keluarga suamiku sudah menjadi donatur tetap di panti asuhan tersebut. Terlihat semua penghuni istana ini sudah berkumpul di ruang keluarga. "Assalamualaikum semua," sapa ku ceria. "Wa'alaikum salam," jawab serentak semua penghuni ruang keluarga.Sudah siap Rin? Kami nunggu kalian dari tadi. Kamu kayak lagi ngerawat anak kecil aja, lama banget. Apalagi nanti kalau kamu udah punya anak, pasti lebih lelet," ucap Mbak Wulan tersenyum."Maaf ya lama nunggu kami," kataku dengan perasaan tak enak hati. Meskipun apa yang di lontarkan mbak Wulan itu mungkin hanya sekedar gurauan, tapi jika disangkut pautkan dengan momongan, jatungku rasanya berdebar tak beraturan. Hatikuku seakan terpekik mendengar perkataan yang keluar dari mulut iparku itu. Sikap mbak Wulan terkesan labil, dan itu berlaku bukan hanya kepadaku. Terkadang dia bi

    Last Updated : 2022-04-29
  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Kupilihkan Madu untuk Mas Tama

    Waktu bergulir, tak terasa pagi telah kembali menghampiri. Waktu menunjukan pukul tiga dini hari. Saatnya kami melaksanakan ibadah malam seperti biasa. "Mas bangun, sholat yuk," bisikku. Suami ku hanya mengangguk, tak berapa lama matanya mulai perlahan terbuka. "Jam berapa Dek?" tanya suamiku. "Jam tiga lebih lima menit Mas," jawabku. Kami segera beranjak dari tempat tidur dan segera mengambil air wudhu. "Dek habis sholat malam kita langsung pulang ke rumah gimana?" ajak Mas Tama. "Jangan deh Mas, nggak enak sama mama," jawabku. Suamiku mengangguk menyetujui penolakanku. Kami segera melakukan sholat malam dan ibadah yang lain sembari menunggu datangnya waktu subuh. Tiba-tiba sembelit menghampiri perutku, aku bergegas menuju kamar mandi. "Mas, aku mau ke kamar mandi sebentar ya," pamitku. "Iya sayang sekalian wudhu lagi ya, sebentar lagi mau tiba waktu subuh,"ucap suamiku lirih. "Iya Mas," jawabku singkat menahan perut yang tak karuan ini. Saat menuju kamar mandi, tak senga

    Last Updated : 2022-04-29
  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Penolakan Mas Tama

    Sepertiga malam yang sunyi, aku bangunkan Mas Tama dari tidur lelapnya, untuk melaksanakan aktifitas seperti biasa. "Mas bangun, sudah jam tiga. Ayo sholat malam," ajakku menepuk pundak suamiku. "Iya Dek," ucap suamiku yang masih memejamkan mata. "Aku ambil wudhlu dulu ya Mas," izinku. Mas Tama hanya mengangguk dengan mata masih terpejam, kuberanjak dari ranjang peraduan kami. Tak berapa lama Mas Tama sudah berada di tubuhku, untuk menyusul ku mengambil air wudhlu. Kami pun segera melaksanakan ibadah malam dengan khusuk. Selesai sholat kucium tangan kanan suamiku, ia membalas dengan mengelus kepalaku lembut. "Dek, kamu nggak usah masak ya. Ini kan hari libur, aku mau ngajak kamu makan di luar," pinta Suamiku. "Baik mas," jawabku. Kami pun melanjutkan rutinitas ibadah menunggu datangnya waktu shubuh. Hari ini ku beranikan diri untuk meminta izin kepada suamiku, untuk menyetujui niatku. Pelan_pelan ku utarakan maksud hati serta tujuanku kepada imamku. "Dek, kita cari sarapan

    Last Updated : 2022-04-29
  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Rencana Berlibur

    Hari ini aku berniat menemui Raya di panti asuhan. Namun aku masih ragu untuk meminta izin kepada suamiku. Disisi lain jiwaku berkecamuk ingin segera mendapatkan jawaban, entah nantinya akan mengecewakan atau membahagiakan yang pasti aku ingin segera menemukan kepastian. "Pagi sayang, kamu kenapa kok bengong? " sapa suamiku kala melihatku termangu di teras. "Mas Tama sejak kapan disini?" tanyaku kaget. "Baru saja, tadi aku nyari kamu di belakang tapi tidak ada. Kamu kenapa dek , kok sepertinya ada yang sedang dipikirkan?" tanya suamiku lagi. "Engga apa-apa Mas, aku tadi cuma sekedar melamun saja," ucapku. Terpaksa aku memendam dan tak mengutarakan apa yang ada di benakku. Hal tersebut sengaja kulakukan untuk menjaga perasaan suamiku yang mungkin masih syok dengan permintaanku untuk dimadu. "Kamu yakin tidak apa-apa sayang? Tapi aku lihat kamu tidak seperti biasa Dek?" desak Imamku. "yakin Mas, Mas hari ini ke kantor jam berapa? Jam segini kok belum siap-siap?" tanyaku."Aku hari

    Last Updated : 2022-05-06
  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Kesinisan Mbak Wulan

    Mbak Wulan kembali berikap sinis padaku, kali ini kesinisannya ia luapkan melalui pesan w******p yang ia kirim. Ia mengirimkan bebrapa kali pesan w******p yang kurasa terlalu mencampuri urusan rumah tanggaku."Rin, kamu jadi mencarikan istri untuk suamimu?" isi chat iparku."Insha Alloh jadi Mbak," balasku santai."Kamu sudah tidak waras atau gimana sih Rin? Aku nggak ngerti dengan jalan pikiran kamu," tanya iparku ketus.Baru kali ini aku mendapati iparku sesadis ini dalam bertutur kata. Entah ada hal lain yang menyebabkan emosional nya terganggu atau ini adalah sifat aslinya, aku belum mengerti."Maksud Mbak Wulan apa bicara seperti itu?" tanyaku berlagak polos."Kamu masih muda, sehat, dan sedang menjalankan program hamil. Kenapa kamu mencari perempuan hanya untuk menyewa rahimnya? Kecuali kalau kamu terbukti mandul!" jawaban Mbak Wulan semakin memanas."Aku tidak menyewa rahim siapapun Mbak. Maduku kelak selamanya akan bersama kami jika sang pencipta mengizinkan kami bertiga bersam

    Last Updated : 2022-05-10
  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Usahaku Menemui Raya

    Sebelum keberangkatan kami menuju pulau Dewata, ku manfaatkan hari-hari yang tersisa untuk menemui Raya. Wanita yang ku harapkan bersedia untuk menjadi Madu ku.Aku berencana meminta izin kepada Mas Tama supaya hari ini bisa menemui Raya, otakku berusaha mencari cara agar tetap bisamenemui Raya tanpa menyinggung perasaannya.Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku, aku tetap akan meminta izin kepada Mas Tama untukberkunjung ke panti tanpa memberitahukan tujuan utamaku berkunjung kesana. Terpaksa aku sedikit tidak jujur hari ini demi menjaga perasaan imam ku itu."Mas, hari ini aku mau ke panti asuhan, boleh ya?" rengek ku manja."Ada perlu apa kesana Dek? Aku antar ya Dek," cecar suamiku memelukku."Pengen kesana aja sih Mas Nggak usah Mas, kemarin Mas kan udah libur kerja. Masa ini mau libur lagi, kan minggudepan kamu juga mau libur panjang buat liburan kita ke Bali," rayuku.Ku coba merayu suamiku, agar tak mengantarku ke panti. Yang aku

    Last Updated : 2022-05-12

Latest chapter

  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Memaksa Mas Tama

    Pernyataanku dan Raya tentu membuat mbak Rara merasa bingung. "Rina, apa kamu sudah mantap untuk berbagi hati dengan Raya? Sebentar lagi kamu kan mau berobat ke Penang. Jangan buru-buru menikahkan Tama. Siapa tahu setelah kanu berobat, kamu bisa hamil.""Kata dokter butuh waktu lama, Mbak. Aku nggak bisa nunggu lagi. Papa sudah mulai sakit-sakitan, begitu juga dengan umi. Aku mau lihat mereka tersenyum menyambut cucu yang mereka dambakan. Meskipun bukan dari rahimku.""Kalau itu udah jadi keputusanmu, mbak nggak bisa nglarang, Rin. Tapi mbak mohon pikirkan lagi. Pilihan kamu itu nantinya juga akan memberatkan diri kamu.""Aku pasrahkan sama Alloh, Mbak.""Apa Tama setuju?""Setuju nggak setuju, dia harus menikah lagi," tandasku. Aku memang terkesan egois, tak munafik aku pun merasa sakit, namun aku menyadari kekuranganku. Setelah itu, kami pun kembali ke rumah. Tak lupa aku mampir ke supermarket untuk membeli beberapa barang sebelum mengantarkan mbak Rara pulang. Hal itu aku lakukan

  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Kabar yang Tak Terduga

    Mungkin apa yang aku ucapkan telah menyinggung perasaan Raya. "Mbak Rina, sebelumnya saya minta maaf. Lebih baik Mbak pergi dari sini. Saya memang belum menikah di usia yang cukup matang. Tapi bukan bearti saya mau dijadikan istri kedua.""Maaf jika kedatangan kami mengganggu kalian, dan maaf jika perkataan saya menyinggung kamu Ray. kami permisi dulu." Naira terlihat lega dengan penolakan Raya. "Ayo kita pergi dari sini," imbuh Naira sembari menarik tangan kananku. Aku pun terpaksa menuruti perintah Naira, sesekali ku arahkan pandanganku melihat Raya dan ibunya. Rasa iba dan bersalah, kian menggelayut di hatiku. 'Ya Alloh, seharusnya aku meminta maaf pada Raya atas kelancanganku ini,' sesalku dalam hati kian berkecamuk. ***Beberapa hari kemudian, sebuah pesan singkat yang tak pernah aku duga mendarat di ponselku. Raya : Mbak Rina, apakah kita bisa bertemu hari ini?Aku : Tentu saja, Ray. Aku akan datang ke rumah sakit tempat ayahmu di rawat. Sekalian aku mau jenguk beliau. Ray

  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Naira Keberatan

    Tanpa mengindahkan permintaan Naira, Rina masuk ke halaman rumah Raya. Kebetulan pagi itu, pagar rumahnya tak terkunci. "Assalamu'alaikum,” ucapku. Tak ada jawaban dari sang pemilik rumah. Namun terdengar suara gaduh dari dalam rumah. "Ibu nggak apa-apa?""Ibu baik-baik saja, Ray. Hanya saja ibu nggak kuat nahan tubuh ayah kamu, makanya ibu ikut jatuh.""Astaghfirullah, kenapa ibu nggak panggil Raya tadi.""Sudahlah, ayo kita bantu ayah kamu naik ke kursi roda lagi."Di luar, Aku kembali mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum."Kali ini aku mendapat jawaban dari sang pemilik rumah. "Waalaikumsalam." Suara telapak kaki Raya terdengar berjalan bergegas menuju ke arah pintu utama dan meraih handle pintu. "Mbak Rina?" Raya seolah terkejut dengan kedatangan ku. "Pagi, Ray. Kamu masih inget saya?" tanya ku. "Tentu saja, Mbak. Silahkan masuk," jawab Raya sembari mengumumkan senyum. Rina dan Naira memasuki rumah sederhana milik orang tua Raya. "Silahkan duduk, Mbak. Saya buatkan minum s

  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Menemui Raya

    Setelah beberapa hari kami kembali ke Jogja, keadaan papa mulai membaik. Namun, beliau masih sangat lemah diatas kursi rodanya. Aku dan mas Tama memutuskan untuk tinggal bersama dengan orang tuaku. "Pah, Mah. Rina mau keluar sebentar, ya.""Mau kemana kamu, Rin?" tanya mamaku. "Rina mau ke Panti Asuhan, Ma.""Oh.. Panti Asuhan yang biasa kalian datangi itu?""Iya, Mah.""Yaudah, kamu hati-hati, ya."Aku sudah meminta izin kepada Mas Tama sebelumnya, dan ia mengizinkan aku untuk pergi. Beruntung sahabat baik ku Naira bersedia untuk menemaniku. Pagi itu, aku menjemputnya di rumahnya yang tak jauh dari kediaman orang tuaku. Rupanya Naira sudah menungguku di depan pagar rumahnya. Mobil yang aku tumpangi berhenti tepat dihadapannya. "Assalamu'alaiku.””Waalaikumsalam," jawab Naira sembari memasuki mobilku. Sesaat setelah ia duduk di sampingku, ia terlihat menarik nafas panjang. "Rin, apa kamu yakin akan melakukan ini?" Naira memegang pundak dan menatapku.Kedua netra kami berpandang

  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Menjenguk Papa

    Rasa ingin tahuku mendadak muncul. 'Siapa pria yang sedang berkomunikasi dengan mbak Wulan?' tanyaku dalam hati. Namun dering handphone yang ada di dalam tasku membuat mbak Wulan menghentikan obrolannya dan mencari asal sumber suara itu. Dalam keadaan terpojok, aku pun menyapa iparku. "Mbak… aku sama yang lain mau ke rumah sakit dulu, ya." Aku berusaha menutup telinga dan membuang jauh-jauh kegugupanku. "Kamu sudah dari tadi disini, Rin?""Nggak kok, Mbak. Aku baru saja sampai di dapur. Aku tadi nyari Mbak Wulan ke kamar, tapi nggak ada," kilahku. "Oh gitu.""Sebentar ya, Mbak. Aku angkat telepon dari mas Tama.""Iya, Rin.""Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam, Dek. Kalau kamu kesini, tolong bawakan dompetku yang tertinggal diruang tamu, ya.""Baik, Mas."Aku mengakhiri obrolan dari suamiku. Kepanikan di wajah iparku itu seketika menghilang. Ia menghela nafas panjang dan mengelus dadanya. "Yaudah, Mbak. Kalau gitu, aku pergi ke rumah sakit dulu, ya.""Iya, Rin. Kalian hati-hati,

  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Curiga

    Umi melihat kami bertiga secara bergantian. "Apa yang sedang kalian perdebatkan? Kenapa kalian mengobrol disini?" tanya umi dengan mata sayu. Beruntung ibu mertuaku tidak mendengar apa yang sedang kami perbincangkan. "Kami cuma ngobrol hal yang nggak penting aja, Mi. Kok, Umi tiba-tiba ada disini?" ucap Mbak Rara. "Umi mau ke kamar mandi, mau buang air kecil.""Yaudah, ayo Rina antar," ucapku. "Nggak usah, Rin. Biar Rara aja yang ngantar, kamu disini aja sama Wulan." umi menolaku dan mbak Wulan terlihat tersenyum sinis melihatku. Setelah ibu mertua dan kakak iparku meninggalkan kami, mbak Wulan mulai mengejekku. "Sepertinya umi udah mulai nggak respect sama kamu, Rin. Apa umi ngerasa kalau kamu akan menghianati keluarga dengan mencarikan menantu baru untuk istri kedua suamimu?" Sifat asli mbak Wulan perlahan-lahan mulai terlihat. Aku tahu itu hanya tipu muslihat mbak Wulan untuk mengecoh ku, supaya aku mengurungkan niatku untuk mencarikan istri untuk mas Tama. Tapi jujur, aku mer

  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Berunding dengan Mbak Rara

    Ketegangan terjadi cukup lama, peristiwa di udara itu tentu membuat kami merasa syok dan depresi. Hingga beberapa saat kemudian pesawat kembali stabil dan semua penumpang merasa lega. "Mas, perutku sakit." Aku memegang perutku dengan erat. Suamiku terlihat panik. "Sebentar, Dek. Aku carikan obat kamu dulu, ya."Mas Tama membuka tasku dan menemukan obat pereda nyeri yang biasa aku konsumsi saat rasa sakitku tak bisa aku tahan."Minum, Dek." sebutir obat dan sebotol air mineral diberikan oleh Mas Tama."Mungkin karena kamu merasa ketakutan, jadi berpengaruh sama sakit kamu, Dek.""Mungkin aja, Mas.""Mudah-mudahan setelah minum obat, keadaanmu semakin membaik, ya.""Aamiin… iya, Mas.""Yaudah, kamu istirahat. Jangan tegang, yakin pasti selamat sampai tujuan. Hidup dan mati kita ada di tangan Allah. Kalaupun kita harus kehilangan nyawa disini, itu sudah takdir." Suamiku tampak tenang. Meskipun aku merasa sedikit tenang, namun peristiwaa itu sangat membuatku ketakutan. Belasan menit k

  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Kembali Ke Jogja

    Kepanikan terus berlanjut, aku masih belum merasa tenang karena mama belum memberikan aku jawaban. "Mah, istighfar dan ceritakan apa yang terjadi," pintaku. Terdengar tarikan hela nafas panjang dan lantunan istighfar dari balik telepon. "Papamu terkena serangan jantung, Nak. Sekarang papa koma dirumah sakit."Ucapan mama itu membuat jantungku hampir berdiri berdetak, lidahku seketika kelu. Seketika aku matikan telepon dan berusaha untuk menghubungi mas Tama. Namun, handphone suamiku ternyata tergeletak di atas ranjang. "Astagfirullah, mas Tama nggak bawa handphone rupanya." Aku semakin kacau dan bingung, air mataku begitu deras menetes. Rasanya ingin sekali aku meninggalkan kamar dan bertolak ke Jogja. Hampir setengah jam, aku menunggu dalam ketidakpastian. "Mas Tama, kamu kemana sih? Aku takut terjadi sesuatu sama papa." Aku mengeluh dan hampir putus asa. Di sini aku hanya bisa pasrah dan berdoa. "Ya Allah, semoga papa baik-baik saja."Lima belas menit kemudian, suamiku datang

  • Madu yang Kupilih untuk Suamiku   Sindiran Mbak Wulan

    Pagi datang kembali, waktu begitu cepat berlalu silih berganti. Aku terpaksa meminta suamiku untuk mempercepat kembali ke rumah. "Mas, kita pulang hari ini, ya. Mas kan, harus kerja. Kita udah cukup lama disini." Aku menggelayut di pundak mas Tama dengan manja. "Kamu udah bosen disini? Katanya kamu betah di pulau ini?""Iya, Mas. Lain kali kita kesini lagi. Aku kangen mama sama papa dan keluarga kita yang lain." Aku berkilah sembari menahan perutku yang mulai terasa nyeri. "Ya udah, kita jalan-jalan dulu sebentar. Setelah itu mas nyari tiket buat kita pulang." "Iya, Mas. Tapi, aku mau tidur sebentar nggak apa-apa, kan?""Iya nggak apa-apa. Kamu masih ngantuk?" Mas Tama menatapku dan membelai rambutku."Iya, Mas. Semalam aku nggak bisa tidur.""Kenapa nggak bisa tidur? Kenapa nggak bangunin aku, Dek?" Mas Tama terlihat khawatir."Maaf, Mas. Aku nggak mau Mas Tama ikut insom seperri aku. Mungkin semalam itu, aku terlalu asik melihat pemandangan di luar sana sampai aku lupa waktu.""

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status