Sepertiga malam yang sunyi, aku bangunkan Mas Tama dari tidur lelapnya, untuk melaksanakan aktifitas seperti biasa. "Mas bangun, sudah jam tiga. Ayo sholat malam," ajakku menepuk pundak suamiku. "Iya Dek," ucap suamiku yang masih memejamkan mata. "Aku ambil wudhlu dulu ya Mas," izinku. Mas Tama hanya mengangguk dengan mata masih terpejam, kuberanjak dari ranjang peraduan kami. Tak berapa lama Mas Tama sudah berada di tubuhku, untuk menyusul ku mengambil air wudhlu. Kami pun segera melaksanakan ibadah malam dengan khusuk. Selesai sholat kucium tangan kanan suamiku, ia membalas dengan mengelus kepalaku lembut. "Dek, kamu nggak usah masak ya. Ini kan hari libur, aku mau ngajak kamu makan di luar," pinta Suamiku. "Baik mas," jawabku. Kami pun melanjutkan rutinitas ibadah menunggu datangnya waktu shubuh. Hari ini ku beranikan diri untuk meminta izin kepada suamiku, untuk menyetujui niatku. Pelan_pelan ku utarakan maksud hati serta tujuanku kepada imamku. "Dek, kita cari sarapan
Hari ini aku berniat menemui Raya di panti asuhan. Namun aku masih ragu untuk meminta izin kepada suamiku. Disisi lain jiwaku berkecamuk ingin segera mendapatkan jawaban, entah nantinya akan mengecewakan atau membahagiakan yang pasti aku ingin segera menemukan kepastian. "Pagi sayang, kamu kenapa kok bengong? " sapa suamiku kala melihatku termangu di teras. "Mas Tama sejak kapan disini?" tanyaku kaget. "Baru saja, tadi aku nyari kamu di belakang tapi tidak ada. Kamu kenapa dek , kok sepertinya ada yang sedang dipikirkan?" tanya suamiku lagi. "Engga apa-apa Mas, aku tadi cuma sekedar melamun saja," ucapku. Terpaksa aku memendam dan tak mengutarakan apa yang ada di benakku. Hal tersebut sengaja kulakukan untuk menjaga perasaan suamiku yang mungkin masih syok dengan permintaanku untuk dimadu. "Kamu yakin tidak apa-apa sayang? Tapi aku lihat kamu tidak seperti biasa Dek?" desak Imamku. "yakin Mas, Mas hari ini ke kantor jam berapa? Jam segini kok belum siap-siap?" tanyaku."Aku hari
Mbak Wulan kembali berikap sinis padaku, kali ini kesinisannya ia luapkan melalui pesan w******p yang ia kirim. Ia mengirimkan bebrapa kali pesan w******p yang kurasa terlalu mencampuri urusan rumah tanggaku."Rin, kamu jadi mencarikan istri untuk suamimu?" isi chat iparku."Insha Alloh jadi Mbak," balasku santai."Kamu sudah tidak waras atau gimana sih Rin? Aku nggak ngerti dengan jalan pikiran kamu," tanya iparku ketus.Baru kali ini aku mendapati iparku sesadis ini dalam bertutur kata. Entah ada hal lain yang menyebabkan emosional nya terganggu atau ini adalah sifat aslinya, aku belum mengerti."Maksud Mbak Wulan apa bicara seperti itu?" tanyaku berlagak polos."Kamu masih muda, sehat, dan sedang menjalankan program hamil. Kenapa kamu mencari perempuan hanya untuk menyewa rahimnya? Kecuali kalau kamu terbukti mandul!" jawaban Mbak Wulan semakin memanas."Aku tidak menyewa rahim siapapun Mbak. Maduku kelak selamanya akan bersama kami jika sang pencipta mengizinkan kami bertiga bersam
Sebelum keberangkatan kami menuju pulau Dewata, ku manfaatkan hari-hari yang tersisa untuk menemui Raya. Wanita yang ku harapkan bersedia untuk menjadi Madu ku.Aku berencana meminta izin kepada Mas Tama supaya hari ini bisa menemui Raya, otakku berusaha mencari cara agar tetap bisamenemui Raya tanpa menyinggung perasaannya.Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku, aku tetap akan meminta izin kepada Mas Tama untukberkunjung ke panti tanpa memberitahukan tujuan utamaku berkunjung kesana. Terpaksa aku sedikit tidak jujur hari ini demi menjaga perasaan imam ku itu."Mas, hari ini aku mau ke panti asuhan, boleh ya?" rengek ku manja."Ada perlu apa kesana Dek? Aku antar ya Dek," cecar suamiku memelukku."Pengen kesana aja sih Mas Nggak usah Mas, kemarin Mas kan udah libur kerja. Masa ini mau libur lagi, kan minggudepan kamu juga mau libur panjang buat liburan kita ke Bali," rayuku.Ku coba merayu suamiku, agar tak mengantarku ke panti. Yang aku
Sesuai informasi yang kudapat dari Bu Ratna kalau Raya akan kembali pada hari ini ke panti asuhan, aku pun tak maumembuang waktu. Segera kulangkahkan kembali kakiku menuju panti asuhan untukmenemui calon maduku itu."Mas, aku nanti izin ke panti asuhan lagi ya," pintaku merayu."Kamu sepertinya sekarang rajin ke panti Dek," ucap suamiku."Iya Mas, mumpung kita belum berangkat liburan ke Bali," dalih ku."Terus hubungannya apa Dek?" tanya suamiku lagi."Mau minta do'a sama anak-anak panti Mas biar liburan kita diberi kelancaran," dalih ku.Terpaksa aku kembali tak sepenuhnya jujur pada imamku itu demi menjaga perasaannya."Oh begitu, iya Dek. Tapi Mas nggak bisa antar kamu kesana soalnya kerjaan lagi banyak,"ucapnya menatapku lembut."Nggak apa-apa Mas, aku naik taksi online aja," tolak ku.Mas Tama yang sudah nampak rapi dengan pakaian kantornya segera berpamitan padaku."Dek aku berangkat ya," pamitnya."Mas, dasinya belum aku pasang," kataku tertawa."Sengaja aku mau
Bab 12Menunda pertemuan dengan rayaHari keberangkatan kami menuju pulau dewata semakin dekat. Sebenarnya hatiku belumtenang karena belum bisa berjumpa dengan Raya. Pagi ini suamiku nampak sudah bersiapdengan pakaian rapi nya."Mas Tama jam segini kok sudah rapi?" tanyaku."Iya Dek, Mas mau kerjaan sudah selesai sebelum kita ke Bali," jawabnya."Sarapan dulu ya Mas," pintaku."Iya Dek," ucap suamiku.Beruntung aku memasak hidangan yang bisa dikonsumsi beberapa kali."Sebentar aku panaskan dulu rawon nya Mas," kataku."Iya Dek, Mas tunggu di meja makan ya," ucapnya."Iya Mas," kataku.Aku berlari kecil menuju dapur untuk memanaskan rawon yang kemarin ku olah.Kemudian diletakan di meja makan dan kulayani suamiku."Mas nasinya sedikit apa banyak?" tanyaku."Seperti biasa saja Dek," jawabnya."Ini Mas," kataku mengulurkan piring berisi nasi dan rawon."Terima kasih ya Dek," ucapnya menatapku mesra."Sama-sama Mas," ucapku.Kami pun menikmati menu sarapan berdua sep
Waktu keberangkatan kami menuju pulau Dewata telah tiba. Aku dan suami di antar oleh kedua orang tua Mas Tama beserta Mbak Rara menuju Bandara. Kedua orang tuaku tidak bisa mengiringi keberangkatan kami karena mereka sedang sibuk dengan urusan pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan.Sesampainya di bandara kami segera melakukan prosedur keberangkatan penumpang."Semuanya kami berangkat dulu ya, mohon do'a nya supaya selamat sampai tujuan," pintaku kepada semua keluarga suamiku yang mengantar kami."Pasti Rin," ucap Mbak Rara memelukku."Jangan lupa berdo'a ya," pesan Mama mertuaku."Iya Mah, do'akan kami berangkat dan pulang dengan selamat ya," sahut Mas Tama."Iya Tam," jawab Mama.Selesai berpamitan, kami segera menuju waiting room untuk menunggu kedatangan pesawat. Akhirnya waktu yang di tunggu telah tiba, pihak bandara menginformasikan bahwa pesawat yang akan kami tumpangi telah tiba. Kami pun segera menuju kabin pesawat. "Ayo dek," ajak suamiku menuju kabin pesawat."Iya Mas, ja
Keromantisan yang terajut selama kami berada di pulau dewata, sangatlah mengesankan hatiku. Aku dan suamiku bak pengantin baru yang sedang menikmati bulan madu. Tak hanya berlibur, kami juga memadu kasih disini di pulau ini. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. "Dek, sudah sore. Kita sholat dulu terus jalan-jalan ke pantai yuk," ajak mas Tama. "Baik Mas, aku mandi dulu ya." ucapku menuruti perintah suamiku.Selesai membersihkan diri, kami pun segera melaksanakan sholat berjamaah di kamar kami. "Dek kamu minum vitamin dulu ya biar badan kamu fit," pinta Suamiku. "Iya Mas, aku ambil vitaminnya dulu ya," kataku. "Vitaminnya dimana Dek? Biar Mas yang ambilin," ucap suamiku. "Beneran nggak apa-apa Mas yang ambil? Ada di tas aku Mas," jawabku. "Iya Dek nggak apa-apa," ucapnya. Ia pun segera mengambilkan vitamin yang biasa aku konsumsi dari dalam tas jinjing ku, dan memberikanku sebotol air mineral.
Pernyataanku dan Raya tentu membuat mbak Rara merasa bingung. "Rina, apa kamu sudah mantap untuk berbagi hati dengan Raya? Sebentar lagi kamu kan mau berobat ke Penang. Jangan buru-buru menikahkan Tama. Siapa tahu setelah kanu berobat, kamu bisa hamil.""Kata dokter butuh waktu lama, Mbak. Aku nggak bisa nunggu lagi. Papa sudah mulai sakit-sakitan, begitu juga dengan umi. Aku mau lihat mereka tersenyum menyambut cucu yang mereka dambakan. Meskipun bukan dari rahimku.""Kalau itu udah jadi keputusanmu, mbak nggak bisa nglarang, Rin. Tapi mbak mohon pikirkan lagi. Pilihan kamu itu nantinya juga akan memberatkan diri kamu.""Aku pasrahkan sama Alloh, Mbak.""Apa Tama setuju?""Setuju nggak setuju, dia harus menikah lagi," tandasku. Aku memang terkesan egois, tak munafik aku pun merasa sakit, namun aku menyadari kekuranganku. Setelah itu, kami pun kembali ke rumah. Tak lupa aku mampir ke supermarket untuk membeli beberapa barang sebelum mengantarkan mbak Rara pulang. Hal itu aku lakukan
Mungkin apa yang aku ucapkan telah menyinggung perasaan Raya. "Mbak Rina, sebelumnya saya minta maaf. Lebih baik Mbak pergi dari sini. Saya memang belum menikah di usia yang cukup matang. Tapi bukan bearti saya mau dijadikan istri kedua.""Maaf jika kedatangan kami mengganggu kalian, dan maaf jika perkataan saya menyinggung kamu Ray. kami permisi dulu." Naira terlihat lega dengan penolakan Raya. "Ayo kita pergi dari sini," imbuh Naira sembari menarik tangan kananku. Aku pun terpaksa menuruti perintah Naira, sesekali ku arahkan pandanganku melihat Raya dan ibunya. Rasa iba dan bersalah, kian menggelayut di hatiku. 'Ya Alloh, seharusnya aku meminta maaf pada Raya atas kelancanganku ini,' sesalku dalam hati kian berkecamuk. ***Beberapa hari kemudian, sebuah pesan singkat yang tak pernah aku duga mendarat di ponselku. Raya : Mbak Rina, apakah kita bisa bertemu hari ini?Aku : Tentu saja, Ray. Aku akan datang ke rumah sakit tempat ayahmu di rawat. Sekalian aku mau jenguk beliau. Ray
Tanpa mengindahkan permintaan Naira, Rina masuk ke halaman rumah Raya. Kebetulan pagi itu, pagar rumahnya tak terkunci. "Assalamu'alaikum,” ucapku. Tak ada jawaban dari sang pemilik rumah. Namun terdengar suara gaduh dari dalam rumah. "Ibu nggak apa-apa?""Ibu baik-baik saja, Ray. Hanya saja ibu nggak kuat nahan tubuh ayah kamu, makanya ibu ikut jatuh.""Astaghfirullah, kenapa ibu nggak panggil Raya tadi.""Sudahlah, ayo kita bantu ayah kamu naik ke kursi roda lagi."Di luar, Aku kembali mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum."Kali ini aku mendapat jawaban dari sang pemilik rumah. "Waalaikumsalam." Suara telapak kaki Raya terdengar berjalan bergegas menuju ke arah pintu utama dan meraih handle pintu. "Mbak Rina?" Raya seolah terkejut dengan kedatangan ku. "Pagi, Ray. Kamu masih inget saya?" tanya ku. "Tentu saja, Mbak. Silahkan masuk," jawab Raya sembari mengumumkan senyum. Rina dan Naira memasuki rumah sederhana milik orang tua Raya. "Silahkan duduk, Mbak. Saya buatkan minum s
Setelah beberapa hari kami kembali ke Jogja, keadaan papa mulai membaik. Namun, beliau masih sangat lemah diatas kursi rodanya. Aku dan mas Tama memutuskan untuk tinggal bersama dengan orang tuaku. "Pah, Mah. Rina mau keluar sebentar, ya.""Mau kemana kamu, Rin?" tanya mamaku. "Rina mau ke Panti Asuhan, Ma.""Oh.. Panti Asuhan yang biasa kalian datangi itu?""Iya, Mah.""Yaudah, kamu hati-hati, ya."Aku sudah meminta izin kepada Mas Tama sebelumnya, dan ia mengizinkan aku untuk pergi. Beruntung sahabat baik ku Naira bersedia untuk menemaniku. Pagi itu, aku menjemputnya di rumahnya yang tak jauh dari kediaman orang tuaku. Rupanya Naira sudah menungguku di depan pagar rumahnya. Mobil yang aku tumpangi berhenti tepat dihadapannya. "Assalamu'alaiku.””Waalaikumsalam," jawab Naira sembari memasuki mobilku. Sesaat setelah ia duduk di sampingku, ia terlihat menarik nafas panjang. "Rin, apa kamu yakin akan melakukan ini?" Naira memegang pundak dan menatapku.Kedua netra kami berpandang
Rasa ingin tahuku mendadak muncul. 'Siapa pria yang sedang berkomunikasi dengan mbak Wulan?' tanyaku dalam hati. Namun dering handphone yang ada di dalam tasku membuat mbak Wulan menghentikan obrolannya dan mencari asal sumber suara itu. Dalam keadaan terpojok, aku pun menyapa iparku. "Mbak… aku sama yang lain mau ke rumah sakit dulu, ya." Aku berusaha menutup telinga dan membuang jauh-jauh kegugupanku. "Kamu sudah dari tadi disini, Rin?""Nggak kok, Mbak. Aku baru saja sampai di dapur. Aku tadi nyari Mbak Wulan ke kamar, tapi nggak ada," kilahku. "Oh gitu.""Sebentar ya, Mbak. Aku angkat telepon dari mas Tama.""Iya, Rin.""Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam, Dek. Kalau kamu kesini, tolong bawakan dompetku yang tertinggal diruang tamu, ya.""Baik, Mas."Aku mengakhiri obrolan dari suamiku. Kepanikan di wajah iparku itu seketika menghilang. Ia menghela nafas panjang dan mengelus dadanya. "Yaudah, Mbak. Kalau gitu, aku pergi ke rumah sakit dulu, ya.""Iya, Rin. Kalian hati-hati,
Umi melihat kami bertiga secara bergantian. "Apa yang sedang kalian perdebatkan? Kenapa kalian mengobrol disini?" tanya umi dengan mata sayu. Beruntung ibu mertuaku tidak mendengar apa yang sedang kami perbincangkan. "Kami cuma ngobrol hal yang nggak penting aja, Mi. Kok, Umi tiba-tiba ada disini?" ucap Mbak Rara. "Umi mau ke kamar mandi, mau buang air kecil.""Yaudah, ayo Rina antar," ucapku. "Nggak usah, Rin. Biar Rara aja yang ngantar, kamu disini aja sama Wulan." umi menolaku dan mbak Wulan terlihat tersenyum sinis melihatku. Setelah ibu mertua dan kakak iparku meninggalkan kami, mbak Wulan mulai mengejekku. "Sepertinya umi udah mulai nggak respect sama kamu, Rin. Apa umi ngerasa kalau kamu akan menghianati keluarga dengan mencarikan menantu baru untuk istri kedua suamimu?" Sifat asli mbak Wulan perlahan-lahan mulai terlihat. Aku tahu itu hanya tipu muslihat mbak Wulan untuk mengecoh ku, supaya aku mengurungkan niatku untuk mencarikan istri untuk mas Tama. Tapi jujur, aku mer
Ketegangan terjadi cukup lama, peristiwa di udara itu tentu membuat kami merasa syok dan depresi. Hingga beberapa saat kemudian pesawat kembali stabil dan semua penumpang merasa lega. "Mas, perutku sakit." Aku memegang perutku dengan erat. Suamiku terlihat panik. "Sebentar, Dek. Aku carikan obat kamu dulu, ya."Mas Tama membuka tasku dan menemukan obat pereda nyeri yang biasa aku konsumsi saat rasa sakitku tak bisa aku tahan."Minum, Dek." sebutir obat dan sebotol air mineral diberikan oleh Mas Tama."Mungkin karena kamu merasa ketakutan, jadi berpengaruh sama sakit kamu, Dek.""Mungkin aja, Mas.""Mudah-mudahan setelah minum obat, keadaanmu semakin membaik, ya.""Aamiin… iya, Mas.""Yaudah, kamu istirahat. Jangan tegang, yakin pasti selamat sampai tujuan. Hidup dan mati kita ada di tangan Allah. Kalaupun kita harus kehilangan nyawa disini, itu sudah takdir." Suamiku tampak tenang. Meskipun aku merasa sedikit tenang, namun peristiwaa itu sangat membuatku ketakutan. Belasan menit k
Kepanikan terus berlanjut, aku masih belum merasa tenang karena mama belum memberikan aku jawaban. "Mah, istighfar dan ceritakan apa yang terjadi," pintaku. Terdengar tarikan hela nafas panjang dan lantunan istighfar dari balik telepon. "Papamu terkena serangan jantung, Nak. Sekarang papa koma dirumah sakit."Ucapan mama itu membuat jantungku hampir berdiri berdetak, lidahku seketika kelu. Seketika aku matikan telepon dan berusaha untuk menghubungi mas Tama. Namun, handphone suamiku ternyata tergeletak di atas ranjang. "Astagfirullah, mas Tama nggak bawa handphone rupanya." Aku semakin kacau dan bingung, air mataku begitu deras menetes. Rasanya ingin sekali aku meninggalkan kamar dan bertolak ke Jogja. Hampir setengah jam, aku menunggu dalam ketidakpastian. "Mas Tama, kamu kemana sih? Aku takut terjadi sesuatu sama papa." Aku mengeluh dan hampir putus asa. Di sini aku hanya bisa pasrah dan berdoa. "Ya Allah, semoga papa baik-baik saja."Lima belas menit kemudian, suamiku datang
Pagi datang kembali, waktu begitu cepat berlalu silih berganti. Aku terpaksa meminta suamiku untuk mempercepat kembali ke rumah. "Mas, kita pulang hari ini, ya. Mas kan, harus kerja. Kita udah cukup lama disini." Aku menggelayut di pundak mas Tama dengan manja. "Kamu udah bosen disini? Katanya kamu betah di pulau ini?""Iya, Mas. Lain kali kita kesini lagi. Aku kangen mama sama papa dan keluarga kita yang lain." Aku berkilah sembari menahan perutku yang mulai terasa nyeri. "Ya udah, kita jalan-jalan dulu sebentar. Setelah itu mas nyari tiket buat kita pulang." "Iya, Mas. Tapi, aku mau tidur sebentar nggak apa-apa, kan?""Iya nggak apa-apa. Kamu masih ngantuk?" Mas Tama menatapku dan membelai rambutku."Iya, Mas. Semalam aku nggak bisa tidur.""Kenapa nggak bisa tidur? Kenapa nggak bangunin aku, Dek?" Mas Tama terlihat khawatir."Maaf, Mas. Aku nggak mau Mas Tama ikut insom seperri aku. Mungkin semalam itu, aku terlalu asik melihat pemandangan di luar sana sampai aku lupa waktu.""