Darren pun turun tangan sendiri mengecek keadaan mesin tersebut. Rupanya hanya kabel yang terputus karena tergigit oleh semut merah. Lalu, dia mencoba menyambung kembali dan hasilnya mesin itu kembali beroperasi dengan baik.
"Lain kali kalau ada kerusakan apa pun yang ada di apartemen ini, jangan sembarangan menyuruh orang memperbaikinya. Kamu paham?"Nada itu terdengar sedikit lembut. Darren harus menguasai diri dan menyadari bahwa wanita di depan bukanlah Jasmine seperti dugaannya. Kedua wanita itu mirip wajahnya saja. Sikap dan akhlak jauh berbeda. Baginya, Jasmine itu lembut dan beritikad baik. Giandra sedikit kasar dan terlalu berani. Namun, ada satu yang nyaris tak berbeda yaitu cara Gian bertatap sama dengan mata wanita masa lalunya."Ya, sudah. Kamu mandi dan istirahat."Pria itu memutar badan dan keluar kamar lalu menutup pintu. Gian merasa sedikit heran dengan perubahan sikap itu, pun bisa mengelus dada, lega. Lantaran si atasan tidak meMungkin, Darren kecewa dengan jawaban singkat tersebut. Air muka itu berubah sangat kentara. Sikapnya masih terlihat acuh dan masa bodoh. Namun siapa tahu, jika hati dan otaknya menolak untuk menerima kenyataan yang baru diakui Giandra."Sebenarnya kamu tak perlu membuat hidupmu menjadi serumit ini. Demi uang, kamu rela menjatuhkan harga diri lalu diinjak seenaknya ...."Kali ini, gantian Giandra memotong pembicaraan dengan cepat. Dia tak terima dengan kata menjatuhkan harga diri demi uang yang dinobatkan untuknya."Rumit? Setiap orang mempunyai definisi rumit yang berbeda-beda. Jika kutanya, apakah ada kehidupan yang mudah tanpa hambatan? Jika ada, bisakah Bapak tunjukkan jalannya kepadaku?"Nada penuh penekanan yang sengaja dibumbui dengan sapaan hormat 'Bapak'. Dada Gian terlihat naik turun saat mengucapkan apa yang dirasakan sekarang. Belum puas menghardik, dia pun melanjutkan sebelum Darren berhasil membuka mulut dengan salah satu alis yang t
Usai mendengar nada ketus dan kepergian Gian di meja makan tadi pagi, Darren merasa sedikit bersalah. Pria itu merasa khilaf karena tak pandai memilah kata dengan benar. Si wanita pasti sakit hati dengan kalimat yang tak sengaja diucapkannya. Niat bukan meremehkan. Dia hanya ingin mengingatkan, betapa besar harga diri seorang wanita dan tidak perlu melakukan hal seperti itu. Namun, siapa sangka cara penyampaiannya disalahartikan wanita tersebut.Diam-diam sang atasan sempat melirik ruangan Gian sebelum melangkah masuk ke ruangannya. Tentu saja, wanita tersebut tak tahu karena posisi duduknya menyamping dan tampak serius dengan layar yang ada di depannya. Begitu pula waktu jam istirahat, Darren melihat Gian keluar dari ruangan dengan wajah murung. Lalu, dia pun ingin tahu apa yang akan dilakukannya. Dengan langkah pelan, si lelaki tampan membuntuti kaki Gian berjalan. Aneh, wanita itu sepertinya tak tahu kalau ada yang sedang mengikuti dirinya.Namun, Dar
"Bentar, Mas. Itu kayaknya Gian, deh. Ke kiri bentar."Emma yang sudah berada di mobil Darren sore jam lima lewat, melihat si adik madu sedang berdiri di halte dekat kantor. Gian seperti sedang menunggu seseorang, lantaran matanya tampak menoleh ke kanan dan kiri dengan tangan menggenggam ponsel."Gi, kamu mau ke mana?"Kaca jendela diturunkan setelah mobil menepi tepat di mana Gian berdiri. Di sana lumayan ramai, orang-orang sedang menunggu mobil angkutan umum atau mungkin menunggu jemputan. Jam segitu memang sedang rawan macet. Kini mobil mereka berada di jalur khusus yang akan berhenti di halte."Aku mau ke supermarket, Bu."Setelah mendekati mobil, Gian sedikit menunduk dan menjawab pertanyaan Emma. Tak sengaja matanya bertemu dengan mata Darren di balik kemudi. Namun, dia buru-buru mengalihkan ke belakang jok, ada sosok Puspa yang duduk di sana. Gian tahu wanita itu adalah ibu Emma. Hanya beberapa detik saja, pemilik rambut cokelat i
"Kamu biasa di supermarket ini?"Wajah Emma terlihat sumringah ketika bertemu dengan teman yang bisa diajak belanja bersama. Darren memilih menunggu di kafe kawasan sekitar karena tidak suka menghabiskan waktu untuk berkeliling di tempat itu."Iya, Bu. Biasanya supermarket ini suka ada diskon besar-besaran. Kemarin aku dapat iklan kalau ayam panggangnya diskon 50% di jam tujuh nanti."Gian dan Emma menaikkan tangan dan melirik jam serempak. "Tapi, ya, gitu deh, Bu. Siapa cepat dia dapat." Si pemilik hobi menggambar komik itu pun cengar-cengir sambil melempar pandangan ke sekeliling tempat perbelanjaan. Dia berharap pelanggan hari itu tidak begitu ramai sehingga bisa menjadi salah satu orang yang beruntung mendapatkan barang super murah tanpa berebutan.Bukan sok kaya, Emma tidak suka dengan kaidah tersebut yang akan membuatnya saling berdesakan dengan para calon pemenang barang diskon. Dia juga belum terbiasa dengan sistem siap
"Kamu nggak apa-apa, maksud aku pacarmu nggak masalah kalau kamu pernah jadi istri orang?" tanya Emma kala mereka sampai ke apartemen setelah mengantar Puspa pulang terlebih dahulu."Pacar?" Gian yang merapikan barang belanjaannya di lemari, masih belum paham maksudnya."Iya, lelaki yang sering aku lihat mengantarmu pulang. Dia pacar kamu, kan?"Setelah mengerti arti pacar tersebut, Gian tertawa sumbang sembari melirik ke arah Darren yang sedang duduk, berpura-pura fokus dengan ponselnya. Tadi, pria itu tidak mau naik ke apartemen karena khawatir jebakan Emma terulang lagi. Namun, dia harus siaga dan tak akan meminum apa pun yang akan disuguhkan sang istri."Oh, kalau untuk masalah itu, bukankah kita sudah sepakat untuk merahasiakannya? Tidak boleh ada yang tahu. Bu Emma masih ingat, kan?""Iya, tapi kalau nanti di malam pertama kalian, dia tahu kalau kamu sudah tidak virgin lagi. Bagaimana kamu menjelaskannya?"Emma tampak tak p
Iris mata elang itu bergerak, mengamati kedalaman mata Gian. Dia ingin membaca reaksi apa yang akan diberikan istri muda itu setelah pembahasan tadi pagi belum terselesaikan. Lalu, dia melanjutkan kalimat yang terjeda dan kepala menoleh ke arah istri pertama."Atau sebaliknya, jika dia sudah melahirkan anakku. Tapi kamu, Emma tidak memberikan uang sesuai kesepakatan kalian, dia bisa apa? Nuntut? Pake apa? Surat perjanjian yang tak sah di mata negara itu?""Mas!""Pak!"Kedua istri berseru serentak dan kompak berdiri. Berbeda dengan Emma yang menunjukkan raut wajah keragu-raguan, Gian malah menampilkan air muka kegeraman. Heran, berbicara dengan Darren selalu membuat pegal hati.Setelah menyaksikan kedua wajah istri, Darren menarik sedikit salah satu sudut bibir. Puas rasanya dia bisa mengutarakan apa yang mengusik hati selama ini. Pria itu mundur dan memilih keluar dari apartemen dan pulang ke rumah. Dia rasa cukup sudah pembahasan itu da
Gian langsung mengambil duduk dan memeriksa pakaian yang dikenakan. Wanita penyuka mi Aceh tersebut mengelus dada lega ketika mengintip baju yang dipakai masih utuh. Tampak dia menarik dan membuang napas berulang kali.Sebelum Darren ikut duduk, wanita itu mengambil ponsel. Jari lentiknya dengan lincah mengusap dan membuka aplikasi hijau. Dengan cepat, dia membaca pesan yang ditinggalkan Emma kepadanya semalam."Gi, malam ini harus berhasil. Aku sudah capek menunggu kamu hamil. Segeralah lakukan dengan suamiku. Jangan terus menunda-nunda. Atau aku potong uang yang sudah kita sepakati."Astaga, Gian ketiduran dan tidak sempat membaca pesan tersebut. Dia bahkan tak tahu kapan dan mengapa si suami palsu masuk ke kamarnya. Bagaimana ini? Dia sudah melewati satu kesempatan emas yang sudah disediakan Emma. Rasa bersalah mulai menyusup di hati. Dia tak ingin disangka melalaikan tanggung jawab."Aku di sini hanya ingin menumpang. Jangan gede rasa. Sudah b
Tentu saja dengan kecerdasan yang dimiliki, Gian tahu maksud dari penuturan Emma. Dia berdeham untuk membersihkan sesuatu yang tertahan di tenggorokan. Sekaligus menetralisir perasaan tak nyaman setiap kali topik itu dimulai. Hawa di sekeliling terasa gerah meski ruangan Emma cukup sejuk dan nyaman. Pembahasan mengenai hal itu selalu membuat Gian harus menekan egonya."Pak Darren memang setiap malam mampir ke apartemen tapi ...."Tak sanggup dia melanjutkan fakta yang akan membuat kakak madunya kecewa untuk kesekian kali. Sementara Emma masih menunggu jawaban dan Gian sibuk memilah kalimat yang cocok. Namun, Gian berjerih payah menyelami bagaimana sakitnya jika si suami harus berbagi selimut dengan wanita lain.Lalu, Gian membasahi bibir, menjilat dengan lidah sebelum meneruskan kalimat yang akan membuat Emma membuang napas kasar demi menetralisir gejolak aneh di dada."Tapi Bapak tidak mau diajak begituan."Emma berdiri setelah mendengar