Tentu saja dengan kecerdasan yang dimiliki, Gian tahu maksud dari penuturan Emma. Dia berdeham untuk membersihkan sesuatu yang tertahan di tenggorokan. Sekaligus menetralisir perasaan tak nyaman setiap kali topik itu dimulai. Hawa di sekeliling terasa gerah meski ruangan Emma cukup sejuk dan nyaman. Pembahasan mengenai hal itu selalu membuat Gian harus menekan egonya.
"Pak Darren memang setiap malam mampir ke apartemen tapi ...."Tak sanggup dia melanjutkan fakta yang akan membuat kakak madunya kecewa untuk kesekian kali. Sementara Emma masih menunggu jawaban dan Gian sibuk memilah kalimat yang cocok. Namun, Gian berjerih payah menyelami bagaimana sakitnya jika si suami harus berbagi selimut dengan wanita lain.Lalu, Gian membasahi bibir, menjilat dengan lidah sebelum meneruskan kalimat yang akan membuat Emma membuang napas kasar demi menetralisir gejolak aneh di dada."Tapi Bapak tidak mau diajak begituan."Emma berdiri setelah mendengar"Gi, kamu jangan membuatku takut. Apa yang terjadi? Kamu kenapa?"Wanita yang ditanyai keadaannya, tak sanggup menyahuti. Dia mencoba menahan rasa nyeri hebat yang sudah hampir delapan tahun menderanya. Hanya obat anti nyeri yang selalu mampu mengurangi rasa sakit tersebut. Dia pernah beberapa kali mencoba untuk tidak menggantungkan hidup dengan obat tersebut, tetapi sia-sia. Rasa sakit itu tak bisa hilang jika dia tak mengkonsumsinya."Gi, are you okay?""Maaf, Bu. Aku butuh obat. Aku harus minum obat anti nyeriku. Permisi!"Tanpa dipersilakan, Giandra pun melangkah keluar dari ruangan. Segera dia menuju ke meja dan merogoh tas. Satu butir obat berwarna putih dimasukkan ke mulut, lalu dia meneguk air dengan rakus. Belum, rasa yang menyakitkan itu belum lenyap. Denyut nyeri menguasai seluruh kepala. Dia duduk menunduk dan kepalanya menindih kedua tangan yang terlipat di atas meja.Karina, entah ke mana gadis itu berada. Biasanya, dia akan
30 menit pertama pertemuan, Giandra terlihat hangat dan menikmati suasana. Kafe di sana tidak terlalu besar tetapi banyak menu makanan enak yang bisa dipesan. Musik instrumen yang menenangkan mampu membuat para pengunjungnya betah berlama-lama. Namun di menit berikutnya, Gian mendadak menjadi pendiam dan canggung. Ternyata tak sengaja mata wanita itu bertemu dengan Darren yang sedang menatap serius ke arah meja yang dihuni Giandra dan teman EO-nya. Pria itu sudah mengamati sejak istri mudanya masuk, menyapa temannya dan duduk di samping Jacky. Darren juga menonton berkali-kali istri mudanya tertawa terbahak-bahak, seperti sangat menikmati kebersamaan dan lelucon dari mereka. Pembawaan Gian yang ceria dan hangat sukses menarik perhatiannya. Menyaksikan pemandangan itu, tanpa sadar dia mengulas sedikit senyuman.Tanpa sengaja saat hendak memanggil pelayan, Gian yang duduk menyamping, menangkap sosok Daren yang tak melepas pandangan ke arahnya. Dia kira dir
Usai berkomentar, tanpa segan Darren menarik tangan Gian dan spontan wanita itu menepis. Namun, gagal sebab cengkelan tangan Darren begitu erat."Lepas, Pak! Anda tidak bisa memaksa aku melakukan apa yang tidak ingin aku lakukan. Ikuti saja aturannya, waktu istirahat di kantor masih ada 15 menit lagi. Dan aku akan kembali sendiri jika waktunya tiba."Pria itu memalingkan wajah dan menatap mata Gian yang menantang. Dengan satu sudut bibir terangkat, Darren menyeringai sinis. Namun, sebuah hentakan di tangan Darren membuat pria itu hilang kendali dan otomatis genggamannya terlepas."Hei, lepasin tangannya!"Jacky yang melakukannya."Kalau kamu menganggap dirimu laki-laki, kamu tak akan melakukan hal ini padanya. Pemaksa dan sikap kasarmu tidak mencerminkan pria sejati!"Jacky berdiri di samping Gian sambil menunjuk wajah Darren dengan mata melebar. Lima menit setelah Gian izin pergi ke toilet, dia melihat Darren juga masuk ke sana.
"Pak, Anda sungguh keterlaluan. Seharusnya Anda tidak berkata itu di depan umum. Anda sudah melanggar aturan dari kesepakatan itu."Setelah mencicipi suasana menegangkan di kafe, Gian pun segera pamit dan mengikuti ajakan Darren yang tadi sempat dia tolak. Daripada jadi viral dan menjadi tontonan gratis para pengunjung, wanita itu memilih mengalah dan memisahkan kedua pria yang sama-sama tengah mempertahankan harga diri."Tidak ada yang salah. Semua yang kukatakan adalah fakta."Langkah pria itu lebar meninggalkan kafe dan menyebrangi jalan menuju ke kantor. Letak gedung empat lantai dan tempat tongkrongan Gian tadi tidak begitu jauh. Mereka tinggal menyebrang jalan dua jalur dan akan sampai ke parkiran ruko kantor."Tapi Anda tidak bisa sesuka hati membeberkan sesuatu yang sudah menjadi rahasia antara kita bertiga."Gian masih mengikuti langkah dari belakang meski sedikit kesulitan pada saat menyebrang tadi. Para pengemudi mobil seperti
"Lembur jika belum dapat Acc dari Pak Darren?"Nada sedikit berteriak karena kaget, Gian sepertinya tidak terima aturan baru tersebut. Lawan bicara pun hanya bisa pasrah dan mangut-mangut menanggapi. Wajah itu bukan ceria tetapi mendung yang sebentar lagi akan turun gerimis."Astaga, kenapa dia tidak pernah sehari aja tidak membuatku kesal?"Gian bergumam pelan sambil menyandarkan punggung. Muak dengan situasi seperti ini sudah tak bisa ditoleransi. Tingkat kebosanan bekerja dengan kondisi seperti itu hampir mencapai klimaks. Ingin menjatuhkan air mata tetapi dia malu melakukannya di depan teman tim."Aku punya ide yang lain. Kalau kamu mau pakai, ambil saja. Barangkali Pak Darren suka dan kamu juga tidak perlu lembur."Kinara yang mendengar gumaman Gian pun menawarkan bantuan. Wajah sedih yang ditunjukkan bukan lantaran harus ikut lembur tetapi ikut merasakan simpati kepada timnya. Dia melihat wajah lesu mereka setelah beberapa kali kelu
"Tolong! Tolong!"Dia tak sanggup berdiri berlama-lama lagi di tempat itu ketika mendengar decitan aneh. Fobia itu sudah merobohkan tiang keberanian yang sudah melekat dalam diri. Hewan tersebut sangat menjijikan di matanya.Gian berteriak sambil menutup telinga dan minta tolong sampai lima kali sebelum pintu itu terbuka. Sosok Darren dengan kemeja hitam yang dikenakan tadi pagi, memasang wajah khawatir. Ternyata suara jeritan si staff desain terdengar sampai di ruangan, yang pintunya memang sengaja dibuka."Ada apa? Kamu kenapa?"Sang atasan bertanya ketika mengedar pandangan ke sekeliling dan tidak menemukan sesuatu yang aneh. Dia mendekat tatkala tidak mendapat respons Gian. Wanita itu masih menutup telinga sembari menampilkan air muka penuh ketakutan."Kamu kenapa? Hei!" Tak sabar, Darren mengguncang bahu Gian dengan sedikit keras. Detik itu pula, si wanita berambut cokelat memeluk Darren dan menyembunyikan wajah di balik da
"Ini perintah Bapak, Bu Gian akan aku antar pulang."Baru saja, kaki Gian menjejaki pintu utama hendak menuju ke halte, Pak Dadang pun menghampiri dan menawarkan tumpangan."Tapi tadi di atas, Pak Darren tidak bilang apa-apa, Pak."Masih setengah percaya dengan apa yang baru didengar, Gian hanya ingin memastikan. Memang benar, tadi saat dirinya menyerahkan hasil desain di ruangan sang atasan, beliau tidak membahas tentang hal itu. Gian hanya melihat wajah penuh serius sedang mendetail kertas putih yang diserahkan Gian. Hanya satu menit, lalu pria itu memperbolehkan dia untuk meninggalkan kantor. Dia tak diberitahu akan pulang diantar oleh supir kantor."Barusan, Bu. Ini Bapak baru telepon menyuruh saya mengantar Bu Gian. Kalau tidak percaya, Ibu boleh telepon Bapak kembali."Malas, Gian tak mau berkomunikasi dengannya. Kalau itu yang dikatakan sang supir, tentu saja dia akan menerima tumpangan dengan senang hati. Mana hari semakin larut,
Kata 'dia' di sini tertuju pada Gian. Wanita itu memang selalu membantah. Apalagi umpatan terakhir Gian yang menerobos ke indra pendengarannya cukup meyakinkan jika Gian memang wanita yang tak tahu sopan santun dan tak punya rasa hormat kepadanya.Darren menghabiskan 50 menit waktunya untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda, pun sambil menunggu Pak Dadang kembali ke kantor. Dia mengecek data penjualan dan keuangan dengan berkonsentrasi penuh. Ada sesuatu yang janggal dan dia ingin membongkarnya. Dua orang menjadi tersangka yang diduga telah melakukan kecurangan sehingga menyebabkan perusahaan merugi hampir satu milyar dua bulan yang lalu."Pak, saya sudah di parkiran."Pesan dari Pak Dadang langsung ditanggapi Darren."Terima kasih. Pak Dadang boleh pulang terlebih dahulu. Kunci dititipkan bagian security.""Baik, Pak."Lantaran belum selesai mengecek laporan tersebut, Darren tak ingin pulang di menit itu. Dia merasa har