Tak lama terdengar deru sepeda motor, mungkin Mas Bendu mau berangkat kerja, "Maaf Mas, hari ini aku tidak melepas kamu pergi kerja. Selamatkan suamiku dalam perjalanan Yaa Allah." bisikku dalam hati.
Aku tak menyangka dapat mertua dan ipar jahat untuk kedua kalinya. Cukup rasanya aku ditindas ketika pernikahanku yang pertama. Cukup juga sebulan lebih aku menerima sindiran, umpatan, dan sergahan dari mertua. Belum lagi ipar tidak tahu diri, dia harusnya lebih giat mencari kerja, bukan lenyeh-lenyeh seperti anak bayi di rumah."Yaa Rabb kuatkan hatiku untuk menghadapi mereka. Beri aku kesabaran yang lebih banyak dan jauhkan aku dari fitnah mematikan. Lindungilah keluarga kecilku yang baru seumur jagung ini Yaa Allah.""Lio, Liodra, buka pintunya. Kamu jadi menantu tahu diri dikit. Ini rumah ibu saya bukan kamu. Ingat kamu hanya numpang di sini." pintu kamarku digedor tanpa jeda bahkan bunyinya sangat kuat, kalau bukan karena segan enggan sekali aku meresponnya.Liodra? Kamu? Nini berani memanggilku selancang itu? Dasar anak bau kencur."Ada apalagi sih, Ni. Kamu bisa sopan nggak sama aku. Bagaimanapun aku lebih tua dari kamu." serangku ketika pintu sudah kubuka."Lancang kamu, ya. Ingat ini rumah saya, kamu cuma numpang di sini. Dasar mantan janda tidak tahu diri. Persetan dengan umurmu yang tua itu. Udah tua, pernah janda lagi." tangannya melipat di depan perut ditambah ujung bibirnya yang menyungging. Kalau tidak menghargai Mas Bendu, sudah ku mutilasi nih anak. "Cukup ya, Ni. Aku sudah berusaha menahan hati untuk tetap menghormati kamu sebagai adik iparku. Tapi kalau kamu terus-terusan seperti ini, aku juga tidak akan tinggal diam. Terus kalau aku mantan janda, memangnya ada masalah dengan kamu" tantangku."Iya, sejak kamu masuk di keluarga ini saja sudah menjadi suatu bencana besar bagi kami. Hohoho, berani kamu ya sekarang nantangin saya. Lihat saja akan saya adukan pada Mas Bendu. Kita lihat saja siapa yang akan dipercaya oleh Mas Bendu, aku dan ibu atau kamu istri yang pernah menjadi janda." "Silakan saja. Aku terima tantangan kamu, kita lihat siapa yang akan menang pada akhirnya." serangku dengan menghadiahkannya sebuah senyum tipis. Dia mendengkus kesal meninggalkan aku yang masih berdiri di pintu kamar. Lalu berlalu keluar dari rumah. Aku tidak tahu dia kemana dan juga tidak mau tahu.Aku menjorokan kepala sedikit keluar menyisir seluruh ruangan. Tidak tampak batang hidung ibu, mungkin dia di kamar atau sedang kelayapan seperti rutinitasnya.Di depan kamar ada ruang tengah yang biasa kami jadikan tempat makan. Kamar Nini paling depan sejajar dengan ruang tamu. Sedangkan kamar ibu sejajar dengan dapur tetapi pintunya mengarah ke ruang tengah. Minimalis saja tidak terlalu kecil dan juga tidak terlalu besar.Ku henyakkan pantat di bibir ranjang, bulir bening jatuh perlahan membasahi pipiku. Memang ada yang salah dengan status janda yang pernah ku sandang? Tidak ada satupun wanita yang ingin gagal dalam pernikahan.Ku ambil gawai di dalam tas, bermaksud untuk mencari informasi lowongan kerja lewat instegriem. Mana tauan ada posisi yang cocok dengan ku. Semoga langkahku mendapatkan pekerjaan di ridhoi Allah. Bukan bermaksud niat membalas pada mereka yang menzolimiku. Aku hanya ingin 'bercanda cantik' dengan ibu dan Nini. Lihat saja, waktu yang akan membuktikan bahwa Nini dan ibu akan bertekuk lutut di hadapanku.🌟🌟🌟Sepeda motor Mas Bendu menderu di halaman rumah, aku tentu sudah hafal."Assalamualaikum." sahut Mas Bendu, "Waalaikumsalam." akupun membalas salam suamiku, berjalan menjemputnya ke pintu depan.Belum sempat aku meraih tangannya, dia sudah menyentakan kasar memberi kode jika Mas Bendu tak sudi ku sentuh. Dia melangkah cepat masuk ke dalam kamar. Ibu dan Nini yang sedang nonton pun dia lengahi.Ku tutup pintu depan lalu menyusul Mas Bendu ke kamar, "Rasain lu, Lio. Hahahha." terdengar kikikan Nini. Feeling ku berkata lain, ada sesuatu yang dia lakukan."Mas, yuk kita makan dulu." ajakku. Tak ada jawaban apapun yang keluar dari mulutnya. Padahal aku tahu dia sedang berpura-pura tidur.Lama aku menunggu sambil duduk di bibir ranjang, tak juga ada sahutan apapun. Kuputuskan untuk tidur, sengaja ku miringkan tubuh ini supaya bisa berhadap-hadapan dengan Mas Bendu, rupanya dengan sigap dia memutar posisi tidurnya yang kini memunggungiku.Ada dua kemungkinan yang membuat dia semakin marah padaku. Ah sudahlah, besok saja ku pikirkan masalah ini. Aku juga butuh istirahat supaya lebih kuat hati menghadapi dua lucknut di rumah ini.🌟🌟🌟Suara alarm bersahutan membangunkan aku dari tidur. Kubuka mata perlahan, sontak aku terbelalak melihat Mas Bendu sudah sholat duluan, tanpa membangunkan ku untuk melaksanakan sholat berjamaah seperti rutinitas yang biasa kami lakukan."Semarah itukah kamu padaku, Mas. Tidaklah terbuka matamu untuk melihat siapa yang tersakiti oleh kejadian kemarin." keluhku dalam hati."Mas, kok kamu nggak bangunin aku?" sapaku memulai pembicaraan.Tidak ada sahutan, malah Mas Bendu meraih gadgetnya yang diletakkan di bawah bantal. Karena tidak ada respon dari dia, aku mengambil wudhu untuk melaksanakan Sholat Subuh.Seusai sholat akupun masih berusaha mencairkan suasana."Mas, kamu marah?" ucapku sambil menggoyang-goyangkan kakinya.Jangankan direspon dia malah menyentak kakinya. "Yasudahlah aku sudah berusaha, lebih baik aku biarkan saja." bisikku di dalam hati.Aku bertolak ke dapur menyiapkan sarapan seperti biasa. Ketika ku buka kulkas tidak ada satupun stok yang bisa dimasak untuk makan siang. Hanya bumbu untuk nasi goreng yang tersedia. Setelah selesai membuat nasi goreng akupun menjemput Mas Bendu ke kamar untuk mengajaknya sarapan."Mas, yuk sarapan. Aku sudah bikinin nasi goreng kesukaanmu." ajakku pada suami yang sudah ready untuk berangkat kerja.Ku raih pergelangan tangannya, lagi dan lagi dia menyentak tanpa menghiraukan pintaku, lalu berlalu keluar ka
Tak lama ibu bertolak pergi dari kamarku, Nini datang menyambar pintu yang ingin ku tutup."Hei tunggu." sergah Nini menyambar pintu kamar yang hendak ku tutup."Apa-apaan sih, Ni!" sungutku dengan tatapan tajam sembari menahan pintu kamar."Kamu yang apa-apaan. Bilang apa tadi sama ibu, itu mulut di sekolahin dulu biar tahu sopan santun.""Lah 'kan emang bener makan apa yang ada aja. Salah aku dimana coba? Yang harus disekolahin itu mulut kamu. Tahu sopan santun nggak?' sindirku."Niniiii, udah Nak nggak usah ngomong sama mantan janda. Nanti kamu ketularan lho, kalau Mas mu sudah pulang biar kita aduin saja." sorak ibu dari dapur."Awas ya, kalau saja ibu nggak ngelarang udah aku jambak rambut mu." ancamnya disertai mata membulat, aku tidak takut sama sekali.Perlakuan sama dengan ibu, Nini kuberi senyum lebar merekah sebelum dia berbalik badan meninggalkan kamarku. Biar saja dia yang sesak nafas melihat sikap ku yang masa bodoh.Sekalipun aku memang numpang di sini tapi bukan berart
"Mas, akhirnya kamu sampai rumah juga, syukurlah kalau kamu tidak apa-apa. Aku khawatir sama kamu." sapaku lalu meraih tangannya hendak mencium ketika kaki Mas Bendu baru melangkah memasuki rumah."Eh Bendu kamu sudah pulang, gimana tadi acaranya? Lancar?" ibu menyerobot datang dari belakang ku, menyenggol tubuh idealku ke tepi dinding hingga tubuhku sedikit terhempas.Aku mundur beberapa menjaga jarak aman, jangan sampai nanti dia sengaja menyenggolku lagi."Lancar, Bu Alhamdulillah." jawabnya sambil menghenyakkan pantat di sofa ruang tamu lalu membuka balutan jaket dari tubuhnya.Mas Bendu tidak merespon ataupun menjulurkan tangannya padaku. Dia malah melengah seakan sosokku tidak terlihat oleh kedua netranya. Sungguh membuat kesabaran ku habis diperlakukan seperti ini.Ku hela nafas kesal lalu bertolak menuju kamar. Ku baringkan tubuh ini di peraduan, kepala ku mulai terasa sakit mungkin efek aku kurang makan dan juga lelah pikiran. Ku pijit ringan meredakan rasa sakit.🌟🌟🌟Subu
"Ribut apaan sih, Bu. Ganggu orang lagi tidur aja." suara Nini menggema protes, mungkin tidurnya yang masih lelap terusik.Umurnya saja yang sudah dewasa, tapi tingkahnya seperti bocah kalau tidur masih dibangunin sama ibunya. Aku yakin jika tidak ada keributan mana mungkin mata minus itu akan terjaga. Bisa-bisa dia akan molor sampai waktu Sholat Dhuha abis."Itu, kakak ipar kamu yang bikin ribut. Dia maksa Bendu buat ngontrak. Gaji Bendu juga dikuasain."Feeling ku ibu pasti sedang duduk di ruang tamu."Ih, ogah ah punya ipar macam dia. Mana udah pernah jadi janda lagi. 'Kan aku sedari awal emang nggak restuin Mas Bendu nikah sama dia, Bu. Ibu aja tuh yang kasih restu. Apa Bu? Gaji Mas Bendu mau dikuasain sama dia. Dasar matre memang." tuduhnya.Matre? Kalau aku matre pasti aku mencari lelaki yang lebih kaya akan harta. Dasar pemikiran dangkal, gaji segitu dicerecokin. Apa dia nggak nyadar kalau gaji Mas Bendu cuma sebesar UMR, syukur-syukur lembur bisa dapat tambahan.Bukannya ingin
"Aku pamit ya, Bu," tambahku biar hatinya semakin marah padam.Biar semakin sesak rasa dalam dadanya, kugandengan tangan Mas Bendu ketika kami berjalan ke arah pintu depan.Tidak ada satupun kata lagi yang keluar dari mulutnya. Jika ada Nini di luar, akupun akan melakukan hal yang sama membuatnya sesak nafas seperti ibu. Rupanya kurang seru, anak bau kencur itu tidak ku temukan batang hidungnya.Sepertinya berlaku pura-pura lembut seperti ini lebih mengesankan untuk bergelut dengan manusia seperti ibu dan Nini. Tetapi aku memang harus banyak menghela nafas untuk mengontrol emosi supaya tidak terpancing.Eeiiitttsss, tapi bukan berarti ini akan permanen. Seperti yang aku pernah katakan tentu batasannya pengontrolan emosiku. Jika mereka lebih melunjak, oh tentu aku akan memberi pergelutan yang sebanding."Mas, nanti kita cari kontrakannya dekat kantor kamu saja ya. Jadi kamu bisa agak nyantai dikit di pagi hari." ucapku ketika aku sedang memakai helm.Mas Bendu hanya mengangguk pelan, di
Gelak tawa yang tadi terdengar begitu semarak, sekejab hilang, hening, sunyi, sepi bagai kuburan ketika ibu, Nini, dan perempuan itu melihat aku memasuki rumah. Mereka terperangah menatapku yang sudah berdiri di depan mereka. Sebegitu kagetkah sampai salam yang ku ucapkan tak terdengar oleh mereka.Apalagi ibu dan Nini seperti kerasukan setan, mata membulat penuh, mulut menganga untung saja tidak ada lalat yang memasuki ruang penuh julid itu. Sedangkan perempuan itu memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala, begitu yang terekam dari pandangan sudut mataku."Kok salamku nggak satupun yang jawab," sindirku sembari melangkah masuk memecahkan lamunan mereka."Eh, kamu udah pulang Lio?" sapa ibu salah tingkah, berpura-pura menggaruk keningnya seakan gatal. Mungkin dia menyangka aku tidak tahu kalau dia sedang berpura-pura."Seperti yang ibu lihat, aku sudah di dalam rumah sekarang." jawabku sembari senyum tipis mata menyipit."Mana Mas Bendu?" serobot Nini, tapi matanya terfokus ke ara
Tujuan utama ku adalah membuka aplikasi chatting. Ku buka whatsapp Mas Bendu, terbaru ada pesan dari Umar begitu nama yang tertera, karena itu yang terbaru dan ada beberapa pesannya yang belum dibuka Mas Bendu, tentu aku pengen tahu apa isi chatnya.[P][P][Mas, keluar dong. Masa kamu anggurin aku sih.] disertai emot nangisDasar gelay, gerutu dalam hati.Ternyata cuma tiga itu pesan yang ada. Aku yakin ada pesan sebelumnya.Oke, Mas. Kamu berani bermain api, akan ku tambahkan minyak tanah supaya apimu semakin berkobar.Aku lanjut membuka pesan dari Nini, 'Adikku Nini' begitu nama kontak perempuan bau kencur itu. Ada dua pesan yang belum dibaca.[P][Mas][Ish][Mas, kamu hargai Leria dong. Masa di kamar terus sih. Sini temenin dia, dasar susis] disertai emot marah.Tak ada pesan lain, pasti sudah dihapusnya. "Oh, jadi nama perempuan yang sedang dirumah ibu namanya Leria, sengaja diganti nama Umar dikontak Mas Bendu. Jika memang tidak ada sesuatu 'hal' buat apa namanya disamarkan, b
"Nggak ada beli apa-apa, Bu." jawab Mas Bendu menghadap ke arah ibu."Nggak beli apa-apa gimana? Itu kantong asoy yang ditenteng sama Liodra apaan?" tanyanya kepo maksimal, ibu tua masuk perangkap lagi. Aku yakin ketika pas masuk tadi netranya pasti terfokus pada kantong asoy yang kupegang."Oh itu, nasi bungkus punya Lio, Bu." sahut Mas Bendu yang masih berdiri di ambang pintu."Punya Lio? Buat ibu mana?" tagihnya."Bu, tadi aku 'kan udah nanya sama ibu mau dibawain apa! Ibu jawab nggak usah. Makanya buat ibu dan Nini nggak dibeliin." jelasku menyerobot sekalian menyindir terang-terangan."Diam kamu, Lio. Ibu lagi nggak bicara sama kamu. Nimbrung aja." bisanya gitu doang, dibilang nimbrung lah, lagi nggak ngomong sama aku lah, kebanyakan drama memang."Udahlah, Bu! Lio! Aku capek dengerin kalian berlawanan terus." pintupun dibanting Mas Bendu memasuki kamar.Sebodo amat, mau banting pintu kek, mau dicopotin pintu lama gigi kek, terserah. Sebodo aja. Mas Bendu yang ku kenal agak kalem