"Ribut apaan sih, Bu. Ganggu orang lagi tidur aja." suara Nini menggema protes, mungkin tidurnya yang masih lelap terusik.
Umurnya saja yang sudah dewasa, tapi tingkahnya seperti bocah kalau tidur masih dibangunin sama ibunya. Aku yakin jika tidak ada keributan mana mungkin mata minus itu akan terjaga. Bisa-bisa dia akan molor sampai waktu Sholat Dhuha abis."Itu, kakak ipar kamu yang bikin ribut. Dia maksa Bendu buat ngontrak. Gaji Bendu juga dikuasain."Feeling ku ibu pasti sedang duduk di ruang tamu."Ih, ogah ah punya ipar macam dia. Mana udah pernah jadi janda lagi. 'Kan aku sedari awal emang nggak restuin Mas Bendu nikah sama dia, Bu. Ibu aja tuh yang kasih restu. Apa Bu? Gaji Mas Bendu mau dikuasain sama dia. Dasar matre memang." tuduhnya.Matre? Kalau aku matre pasti aku mencari lelaki yang lebih kaya akan harta. Dasar pemikiran dangkal, gaji segitu dicerecokin. Apa dia nggak nyadar kalau gaji Mas Bendu cuma sebesar UMR, syukur-syukur lembur bisa dapat tambahan.Bukannya ingin menyombongkan diri, tapi kalau dibandingin, gajiku di tempat yang lama jauh lebih besar dari Mas Bendu. Posisi terakhirku adalah Supervisor di salah satu perusahaan obat kecantikan."Ibu juga terpaksa ngizinin Bendu, Ni. Kamu pikir ibu seneng punya menantu pengangguran kayak dia yang bisanya cuma meras Mas kamu aja. Apalagi mata duitan kayak begitu."Ya ampun, tuh nenek-nenek dicocolin juga nanti mulutnya pake cabe rawit setan .Mereka bersahut-sahutan bagai suara mercun yang diledakkan, sungguh membuat telingaku sakit. Ku atur nafas lalu melepasnya perlahan. Berusaha menjaga kewarasan otakku dalam mengontrol emosi meski jantungku semakin berdebar kencang. Mas Bendu melihat lirih padaku."Maafkan ibu dan Nini ya, Dik." pintanya berbisik seraya menggenggam erat tangan kananku."Maaf katamu, Mas? Dayamu hanya bisa berucap maaf padaku dengan gampangnya karena kamu tidak merasakan betapa teririsnya hatiku dihujat seperti itu." gumamku dalam hati.Ku lempar senyum tipis pada Mas Bendu, mulutku terkunci untuk mengatakan iya padanya. Bukankah setiap kita punya batas toleransi, manusia mana yang harus diberi toleransi lebih dan manusia mana yang harus diberi pelajaran.Aku pura-pura terpaku dekat lemari di depan Mas Bendu, akan kubuat dia semakin merasa bersalah padaku atas perlakuan ibu dan adiknya sendiri. Pintu kamar masih terbuka, ketika Mas Bendu hendak menutupnya. Nini datang bagai petir disambar gledek, mendorong paksa."Mas, apa-apaan sih pakai ngontrak segala. Kamu jangan manut saja sama istri macam dia, bukannya untung malah bikin rugi. Gaji bulanan juga kamu stor ke dia semua. Buka mata kamu, Mas." erangnya pada Mas Bendu sambil menatapku tajam.Dia pikir aku takut dengan tatapannya, kalau bisa bakal ku congkel manik-manik matanya yang berwarna hitam pekat itu."Udahlah, Ni. Ini urusan rumah tangga Mas, kamu nggak usah ikut campur. Lagian kamu juga sudah dewasa sebentar lagi juga mau nikah katanya dengan Tito. Harusnya kamu giat cari kerjanya biar pas nikah nanti ada tabungan untuk biaya.""Payah ngomong sama kamu, Mas. Dasar perempuan matre." semburnya sebelum meninggalkan kamarku.Selepas Nini pergi meninggalkan kamarku, Mas Bendu pun menutup kembali pintu kamar.Aku ingin sekali tahu kemana Mas Bendu pergi semalam, tapi biarlah ku tahan kekepoan akan itu. Ada hal lain yang penting dibahas."Mas, sekarang kebetulan hari Minggu, kita nyari kontrakan yuk siang. Man tauan dapat langsung sesuai keinginan dan harga sesuai kantong." ajakku pada Mas Bendu yang sedang memindahkan bajuku di dalam koper ke lemari, sedangkan aku sedang rebahan santai di atas ranjang.Bukan berlaku tidak sopan, aku sebagai istri tentu memanfaatkan segala celah yang muncul ke permukaan bumi. Anggap saja kebaikan Mas Bendu seperti itu sebagai tebusan perlakuan ibu dan Nini."Apa tidak terlalu cepat kalau nyari sekarang, Dik?" tanyanya lalu menatapku mengharap iba."Oh tidak bisa Mas. Aku mau carinya tidak ada tawar menawar lagi. Lagian juga kamu udah gajian. Ibu dan Nini bisa kamu bohongi Mas, tapi tidak padaku."Yasudah, nanti siang selepas Sholat Ashar kita cari kontrakannya." jawabannya penuh pasrah.Sudah kuterka, Mas Bendu pasti sudah gajian dari hari Jumat. Aku sebenarnya sudah curiga ketika dia bilang belum gajian dua hari yang lalu.Tapi tak apa, nanti juga bakalan ketahuan belangnya jika berbohong denganku.🌟🌟🌟"Bu, kami pamit keluar sebentar ya." ujar Mas Bendu.""Mau kemana kalian emangnya? Kok rapi bener?" tanya ibu penuh curiga."Nyari angin aja, Bu." jawabku semringah sengaja berbohong."Saya tidak sedang nanya sama kamu, Lio." raut kekesalan semakin bersinar di wajahnya yang sudah senja, tetapi masih suka julid. Aku hanya tersenyum padanya."Udah ya, Bu. Bendu pamit dulu." ucap Mas Bendu lagi seraya meraih tangan ibu.Aku pun ikut meraih tangannya, walaupun aku sudah feeling ibu pasti akan menyentak kasar tangannya.Dan benar saja, ibu menyentak kasar tangannya ketika kuraih."Aku pamit ya, Bu," tambahku biar hatinya semakin marah padam.Biar semakin sesak rasa dalam dadanya, kugandengan tangan Mas Bendu ketika kami berjalan ke arah pintu depan.Tidak ada satupun kata lagi yang keluar dari mulutnya. Jika ada Nini di luar, akupun akan melakukan hal yang sama membuatnya sesak nafas seperti ibu. Rupanya kurang seru, anak bau kencur itu tidak ku temukan batang hidungnya.Sepertinya berlaku pura-pura lembut seperti ini lebih mengesankan untuk bergelut dengan manusia seperti ibu dan Nini. Tetapi aku memang harus banyak menghela nafas untuk mengontrol emosi supaya tidak terpancing.Eeiiitttsss, tapi bukan berarti ini akan permanen. Seperti yang aku pernah katakan tentu batasannya pengontrolan emosiku. Jika mereka lebih melunjak, oh tentu aku akan memberi pergelutan yang sebanding."Mas, nanti kita cari kontrakannya dekat kantor kamu saja ya. Jadi kamu bisa agak nyantai dikit di pagi hari." ucapku ketika aku sedang memakai helm.Mas Bendu hanya mengangguk pelan, di
Gelak tawa yang tadi terdengar begitu semarak, sekejab hilang, hening, sunyi, sepi bagai kuburan ketika ibu, Nini, dan perempuan itu melihat aku memasuki rumah. Mereka terperangah menatapku yang sudah berdiri di depan mereka. Sebegitu kagetkah sampai salam yang ku ucapkan tak terdengar oleh mereka.Apalagi ibu dan Nini seperti kerasukan setan, mata membulat penuh, mulut menganga untung saja tidak ada lalat yang memasuki ruang penuh julid itu. Sedangkan perempuan itu memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala, begitu yang terekam dari pandangan sudut mataku."Kok salamku nggak satupun yang jawab," sindirku sembari melangkah masuk memecahkan lamunan mereka."Eh, kamu udah pulang Lio?" sapa ibu salah tingkah, berpura-pura menggaruk keningnya seakan gatal. Mungkin dia menyangka aku tidak tahu kalau dia sedang berpura-pura."Seperti yang ibu lihat, aku sudah di dalam rumah sekarang." jawabku sembari senyum tipis mata menyipit."Mana Mas Bendu?" serobot Nini, tapi matanya terfokus ke ara
Tujuan utama ku adalah membuka aplikasi chatting. Ku buka whatsapp Mas Bendu, terbaru ada pesan dari Umar begitu nama yang tertera, karena itu yang terbaru dan ada beberapa pesannya yang belum dibuka Mas Bendu, tentu aku pengen tahu apa isi chatnya.[P][P][Mas, keluar dong. Masa kamu anggurin aku sih.] disertai emot nangisDasar gelay, gerutu dalam hati.Ternyata cuma tiga itu pesan yang ada. Aku yakin ada pesan sebelumnya.Oke, Mas. Kamu berani bermain api, akan ku tambahkan minyak tanah supaya apimu semakin berkobar.Aku lanjut membuka pesan dari Nini, 'Adikku Nini' begitu nama kontak perempuan bau kencur itu. Ada dua pesan yang belum dibaca.[P][Mas][Ish][Mas, kamu hargai Leria dong. Masa di kamar terus sih. Sini temenin dia, dasar susis] disertai emot marah.Tak ada pesan lain, pasti sudah dihapusnya. "Oh, jadi nama perempuan yang sedang dirumah ibu namanya Leria, sengaja diganti nama Umar dikontak Mas Bendu. Jika memang tidak ada sesuatu 'hal' buat apa namanya disamarkan, b
"Nggak ada beli apa-apa, Bu." jawab Mas Bendu menghadap ke arah ibu."Nggak beli apa-apa gimana? Itu kantong asoy yang ditenteng sama Liodra apaan?" tanyanya kepo maksimal, ibu tua masuk perangkap lagi. Aku yakin ketika pas masuk tadi netranya pasti terfokus pada kantong asoy yang kupegang."Oh itu, nasi bungkus punya Lio, Bu." sahut Mas Bendu yang masih berdiri di ambang pintu."Punya Lio? Buat ibu mana?" tagihnya."Bu, tadi aku 'kan udah nanya sama ibu mau dibawain apa! Ibu jawab nggak usah. Makanya buat ibu dan Nini nggak dibeliin." jelasku menyerobot sekalian menyindir terang-terangan."Diam kamu, Lio. Ibu lagi nggak bicara sama kamu. Nimbrung aja." bisanya gitu doang, dibilang nimbrung lah, lagi nggak ngomong sama aku lah, kebanyakan drama memang."Udahlah, Bu! Lio! Aku capek dengerin kalian berlawanan terus." pintupun dibanting Mas Bendu memasuki kamar.Sebodo amat, mau banting pintu kek, mau dicopotin pintu lama gigi kek, terserah. Sebodo aja. Mas Bendu yang ku kenal agak kalem
"Apa?! Kamu mau menikahi janda itu? Jangan gila Bendu. Ibu tidak setuju." jantungku berpacu kencang hingga ubun-ubun menggelegak, mendengar Bendu meminta restu untuk menikahi Liodra-seorang janda."Buuu...""Kamu tahu 'kan kenapa Liodra menjadi janda, dia dicerai mantan suaminya karena bermain serong dengan mantan kekasihnya dulu. Perempuan seperti itu yang akan kamu jadikan istri. Bodoh betul kamu Bendu." bentakku."Bu, tapi Bendu harus ngelakuin itu, Bendu harus menikahi Liodra, Bu." dia bertekuk lutut seraya memegang kakiku."Harus apa Bendu. Jawab! Jangan bertingkah, kamu akan ibu malu. Mau ditarok dimana muka ibu, Benduuuu!" "Bu, tapi Bendu mohon tolong restui pernikahan kami." dia tidak menyerah sedikit pun."Kamu benar-benar sudah sarap yah Ben. Masa nikahi perempuan yang sudah janda, belum lagi umurnya lebih tua, nanti kalau kamu nggak punya keturunan gimana. Kayak nggak ada perempuan lain saja yang kamu nikahi.""Iya, Bu. Bendu tahu itu, ta-tapi....""Tapi apa, Hah? Sudahlah
Sampai diambang pintu, kubuka seperempat saja agar tidak ketahuan, karena dari sumber suara yang kucerna, mereka sedang duduk di ruang tamu.Suara yang tadinya samar, kini mulai jelas terdengar di kuping ku. Itu kamu Mas, siapa lagi laki-laki di rumah ini selain kamu. Dan tak salah lagi suara lawan bicara Mas Bendu ialah Leria, wanita berita suara sedikit cempreng.Sedari tadi ketika tidak menemukan Mas Bendu di sampingku, hati sudah tidak karuan.Walaupun begitu, ku coba untuk mengumpulkan energi agar tidak salah sangka. Ku jorokan kepala keluar sedikit, memastikan seperti apa posisi duduknya.Tubuhku semakin terasa bergetar hebat dikala netraku menangkap basah suami yang baru menikahiku itu telah menodai ikatan sakral.'Romantis' itu yang tertangkap di kedua netraku, mereka duduk berdampingan Leria tampak menyandarkan tubuhnya pada bidang dada Mas Bendu. Sedangkan tangan kanan Mas Bendu tampak memegang tangan Leria.Perlahan kutarik kepala kembali, tak kuasa netraku melihat pemandan
"Iya, Mas. Barusan aku dapat email ada interview di salah satu perusahaan yang pernah ku kirimkan lamaran via email." jelasku."Wah, iya kah? Alhamdulillah, semoga kamu diterima yah Dik." ucapnya penuh harap."Dik? Piiuuuhhh, dasar mulut mur*han." gumamku."Jadi bagaimana? Kamu tetap mengantarkan Leria atau memilih mengantar ku untuk pergi interview?" tawarku.Menawar sepertinya lebih pantas ketimbang aku memaksa dia.Belum sempat dia menjawab tawaran yang kusuguhkan. Netranya terfokus ke pintu utama rumah, ku toleh pandanganku ke sana. Oh ternyata perempuan bersuara agak cempreng itu sedang melaksanakan aksinya, dia di papah oleh ibu dan Nini."Ben, bantuin dong, jangan malah berdiam diri menatap seperti itu." keluh ibu."Bu, maaf. Kayaknya Bendu nggak bisa ngantar Leria pulang, soalnya Bendu harus ngantar Liodra interview dulu.""Lho, nggak bisa gitu dong Ben." raut wajah mereka bertiga berubah seratus delapan puluh derajat, skenario mereka meleset dari sasaran. Tatapan semakin ngga
"Nah lho, nah lho kalau memang Leria loyalnya lebih terbaik dari aku, kenapa masih ribet sih dengan jinjingan kantong plastikku yang berisikan makanan ya 'kan." racauku dalam hati. Ingin sekali mulut ini menyuarakan isi hati, akan tetapi aku masih saja memilih urung melakukannya.Sengaja ku biarkan mereka bersahutan menghujatku bergantian. Biar saja mereka merasa menang di awal. Mungkin mereka akan menang bergelut denganku.Untung menu sore ini ayam lada hitam plus sayur capcay plus nasi disegarkan dengan satu gelas es teh manis melunturkan emosi yang tadi sempat terpancing ulah kata-kata mereka.Aku tidak ingin ceroboh, melabrak mereka sama saja mengotori tanganku yang indah ini. Terdengar samar mereka masih bersahutan, aku tetap tidak ambil pusing.Tak lama kemudian, ketika aku masih asyik menikmati suap demi suap santapanku sore ini."Lio, buka pintunya!" pinta ibu."Lio, kamu beneran menantu kurang ajar ya. Wajar saja kalau feeling saya nggak enak pas Bendu mau minta nikahin kamu.
Flashback, Siapa Sangka💙💙💙Tok... Tok... Tok..."Assalamu'alaikum, Pak." sapa Pak Heru sembari mengetuk pintu ruangan GM."Waalaikumsalam, silakan masuk." sahut Pak GM. Pak Heru pun membuka menekan handle pintu dan membiarkan pintu terbuka lebar."Yuk, mari masuk Bu," ajak Pak Heru. Aku mengikuti langkah pelan dari belakang, ada rasa gugup mungkin sekian bulan off kerja.Ruangan kerja GM lumayan luas, ada meja kerja, ada kursi tamu, dan beberapa lemari berkas. Ku sisir ruangan Pak GM ketika melangkah mendekati meja kerjanya. Berjalan beberapa langkah, kini aku dan Pak Heru tepat berada di depan meja kerja Pak GM, yang berada di dekat kaca jendela, lebih tepatnya kaca jendela berada di sebelah kiri Pak GM."Pak, ini dia karyawan baru yang saya sampaikan di telepon tadi," ujar Pak Heru membuka pembicaraan."Oh, iya, terima kasih. Silakan kembali!" Pak Heru pun meninggalkan ruangan GM tak lupa juga dia menutup pintu."Silakan duduk, saudari Liodra!" suruhnya. Dia tampak membuka berka
Flashback, Bertemu dengan Aryo💙💙💙"Hallo, Assalamualaikum,""Hallo, Waalaikumsalam, Lio. Apa kabar?" tanya seseorang dibalik sana, hanya nomor saja yang muncul di layar handphoneku ketika panggilan masuk yang berdering."Ini, siapa yah?" tanyaku balik."Aryo, Lio. Ingat nggak?"Tentu saja aku ingat, mood ku yang tadinya netral sekarang berubah seketika setelah tahu siapa lelaki yang meneleponku. Dia juga salah satu lelaki yang tak punya hati. "Ngapain kamu nelfon?!" tanyaku ketus."Lio, kebetulan aku lagi di Padang, bisa kita bertemu?""Buat apa?! Buat nambah beban hidupku lagi? Iya?!" tanpa mengontrol bahasa ku menyelekit menjawab permintaan Aryo."Astagfirullah, tidak Lio. Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin memperbaiki semuanya yang terjadi.""Apa? Memperbaiki semuanya? Semua sudah jadi bubur Aryo. Nggak penting juga untukku." suaraku semakin meninggi.Untung saja aku bisa sedikit bersuara keras dikarenakan Pak GM, dengan Ningrum dan juga Aruma sedang tidak berada di tempat. Ni
Flashback, Perceraian yang RumitRongga dadaku terasa sedikit lapang ketika sudah mengutarakan semuanya pada Mama, Papa, dan adik-adikku. Walau tak mudah bagi mereka menerima perlakuan mantan keluarga suamiku. Dan, untuk keluarga besar biarlah seiring berjalan waktu mereka tahu.Tepat dua minggu bercerai secara agama, setelah melengkapi semua berkas yang diperlukan, aku mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama tempat mantan suamiku. Siang ini aku akan melakukan pendaftaran gugatan cerai secara online, untung juga ada wabah begini, jadi aku tak perlu banyak meminta izin tidak masuk kantor. 'Kan nggak etis juga anak baru udah izin terus kerjaannya. Ketika sedang meng-upload beberapa berkas persyaratan, selalu saja banyak notif yang muncul di gawaiku, siapa lagi kalau bukan dari lelaki yang tak punya hati. Dia menerorrorku semenjak keributan di akad nikahnya bersama Leria.Tak sedikit chat yang berisi ancaman, terlebih dia tidak senang atas sikapku yang tak mau tahu ketika ibunya te
Flashback, Pulang Kampung"Assalamu'alaikum, Mama!" panggilku sembari mengetuk pintu rumah. Sabtu kali ini aku memutuskan untuk pulang kampung, sampai saat ini hampir seminggu lamanya Mama dan keluarga ku yang lain belum tahu akan nasib akhir rumah tangga keduaku.Aku sengaja menutupinya, tak etis ku jelaskan lewat sambungan telfon. Pasti juga akan berbeda tanggapan Mama dan keluarga ku yang lainnya. Untung saja hari kerja efektifku hanya dari hari Senin hingga Jumat.Setelah menempuh perjalanan dari kota tempatku bekerja bisa atau kota yang menaruh penuh luka di pernikahan keduaku. Aku menaiki sebuah mobil minibus dan menempuh perjalanan lebih kurang 4 jam untuk sampai di kampung halaman."Waalaikumsalam," terdengar sahutan suara Mama dari dalam rumah. Jantungku berirama dengan tempo nggak karuan, ada rasa gundah, rasa takut, takut penyakit Mama kambuh, dan banyak hal lainnya semua bagai benang kusut dibenakku.Krek..."Masya Allah, kamu pulang, Nak." Spontan Mama memeluk tubuhku, pi
Turun dari angkot lalu melenggang dengan mengatur nafas memasuki gedung Perusahaan Suka Jaya. Hari ini adalah hari pertama ku bekerja tentunya menjadi hari yang bersejarahh setelah beberapa bulan fakum dengan dunia pekerjaan.Rasaku masih campur aduk. Sedih dan rapuh masih terasa tetapi ada kelegaan setelah mengungkap semua kebusukan Bendu, Nini, dan mantan mertuaku. Nini dibawa oleh polisi untuk dimintai keterangan lebih lanjut tentang obat Narkotika jenis sabu yang dia konsumsi dibuktikan dengan beberapa barang bukti yang ditemukan di kamarnya.Doaku buruk, semoga saja dia tidak mendapatkan hak untuk direhabilitasi dan diberikan kurungan jeruji besi seberat-beratnya. Mulutnya yang tidak berbudi membuat pintu maaf ku untuknya tertutup. Sedangkan Bendu secara resmi telah batal menikah dengan Leria, Papanya sangat murka setelah mendengar semua kebusukan calon menantunya itu. Betapa tidak, dengan gamblang aku membongkar hutang piutang Bendu dan juga Papa Leria sudah mendengar dengan je
Aku mendehem, tampak mereka dengan seksama menunggu kata-kata apa yang akan keluar dari mulutku yang selama ini diam membungkam. Untung saja aku masih waras, waras menghadapi orang gila seperti mereka."Sudahlah, tak perlu bermukadimah di sini. Aku hanya butuh talak dari lelaki tak tahu diri seperti kamu yang menjadikan pernikahan sebuah ajang pertaruhan hanya demi uang.""Lio, Mas bisa jelasin semuanya sama kamu, Dik. Mas minta maaf, tapi semuanya bisa Mas jelasin kok. Kamu jangan ngomong gitu. Kasihan calon anak kita, dia tidak salah apa-apa Lio.""Pak Bendu, mending diselesaikan dulu permasalahannya saya masih ada urusan untuk menikahkan pasangan pengantin yang lain, jadi mohon maaf." Pak Penghulu beserta dua orang temannya pun beranjak lalu meninggalkan rumah neraka ini."Pak, pak pak penghulu tunggu sebentar Pak." Leria berlari kecil untuk menahan kepergian Pak Penghulu, tetapi hasilnya nihil."Lio, maafkan Mas, Dik. Mas janji akan menjadi imam yang baik untuk kamu. Semua yang te
"Nggak apa-apa Bu," ujarku berbohong, kuambil satu tarikan nafas, "Bu, sampaikan salamku pada Yumna ya. Aku sungguh merasa terbantu.""Sama-sama, Nak Lio. Ibu juga seadanya membantu kamu. Semoga masalah yang sedang kamu hadapi cepat selesai yah. Nanti ibu sampaikan pada Yumna." Ujar Bu Yeye sembari mengelus-elus pelan pundakku.Tak lama kemudian terdengar suara mobil, aku pun menoleh ke belakang dan sebuah mobil Toyota Avanza berwarna hitam berhenti di depan rumahku, dan membunyikan klaksonnya. "Aku pamit ya Bu." Ucapku sekali lagi."Iya." Jawabnya singkat dengan memberikan senyuman padaku.Aku pun berjalan ke mobil tersebut, belum sempat aku menanyakan untuk memastikan taksi online yang kupesan, lelaki paruh baya itu sudah lebih duluan menyapaku."Dengan Bu Liodra?" tanyanya dari dalam mobil dengan pintu kaca terbuka abis.'Iya, Pak. Saya Liodra. Minta tolong dibantu ambilkan barang-barang di sana Pak."Dengan sigap lelaki berbadan agak kekar itu turun dari mobil dan mengambil semua
Siapa lagi yang menguatkan diriku kalau tidak aku sendiri. Ini hanya soal waktu, aku yakin aku pasti kuat. Bukankah perceraian hampir enam tahun lalu sudah memberi penguatan untukku. Aku tidak akan menyerah bahkan kalah dengan perpegangan yang menurutku sangat murahan ini.🌟🌟🌟Flashback Awal Perkenalan"Ma, kemarin kok nggak bilang kalau Bendu datang ke sini waktu itu sama Aryo." ujarku kesal sama Mama ketika Bendu dan Aryo sudah pulang."Mama lupa Nak. Ya maklum lah kemarin Mama fokusnya pada maksud kedatangan Bendu saja." Jawab Mama mengelak.Ku rapikan gelas bekas pakai Bendu dan Aryo lalu meletakkannya ke dapur."Lio, gimana soal keseriusan Bendu? Apa kamu sudah mempertimbangkannya?" Tanya Mama lekat-lekat menatapku yang mengisyaratkan penuh harap.Aku pun menatap Mama balik, kami yang ketika itu sedang duduk di meja makan, "Ma, bukan aku menutup diri. Tapi sekarang pikiranku belum terfokus untuk menikah." "Iya Lio, tapi sampai kapan Nak.""Sampai aku benar-benar siap, Ma."M
Ku tutup notebook karena tidak ada info terbaru yang kudapatkan dan memutuskan untuk tidur. Tetapi, sudah satu jam aku membaringkan badan. Mengubah posisi tidur, mungkin dalam waktu 5 menit ada 4-6 kali aku merubah posisi tidur. Tetapi sama sekali menemukan posisi yang pas.Mata ini masih enggan terpejam. Pikiranku mengarahkan pada tutur Leria dua hari yang lalu. Soal pertaruhan yang dilakukan oleh lelaki itu. Aku merasakan apa yang diutarakan Leria seperti nyata.Menatap langit-langit kamar, seakan semua ini terasa mimpi bagiku. Pernikahan yang ku arungi seumur jagung ternyata penuh dengan noda dusta. Dan aku mesti sebatang kara menghadapi mereka yang saling bergandengan tangan satu sama lain.Ku tarik kembali semua kejadian yang terekam di memori, mencerna setiap kejadian mulai dari awal bertemu. Rasanya memang ada yang ganjal dari pertemuanku dengan Bendu. Alasan yang pernah dia utarakan sewaktu itu memang aneh, tapi kala itu aku mencoba menepisnya mengingat tak mau terlalu su'udzo