"Ribut apaan sih, Bu. Ganggu orang lagi tidur aja." suara Nini menggema protes, mungkin tidurnya yang masih lelap terusik.
Umurnya saja yang sudah dewasa, tapi tingkahnya seperti bocah kalau tidur masih dibangunin sama ibunya. Aku yakin jika tidak ada keributan mana mungkin mata minus itu akan terjaga. Bisa-bisa dia akan molor sampai waktu Sholat Dhuha abis."Itu, kakak ipar kamu yang bikin ribut. Dia maksa Bendu buat ngontrak. Gaji Bendu juga dikuasain."Feeling ku ibu pasti sedang duduk di ruang tamu."Ih, ogah ah punya ipar macam dia. Mana udah pernah jadi janda lagi. 'Kan aku sedari awal emang nggak restuin Mas Bendu nikah sama dia, Bu. Ibu aja tuh yang kasih restu. Apa Bu? Gaji Mas Bendu mau dikuasain sama dia. Dasar matre memang." tuduhnya.Matre? Kalau aku matre pasti aku mencari lelaki yang lebih kaya akan harta. Dasar pemikiran dangkal, gaji segitu dicerecokin. Apa dia nggak nyadar kalau gaji Mas Bendu cuma sebesar UMR, syukur-syukur lembur bisa dapat tambahan.Bukannya ingin menyombongkan diri, tapi kalau dibandingin, gajiku di tempat yang lama jauh lebih besar dari Mas Bendu. Posisi terakhirku adalah Supervisor di salah satu perusahaan obat kecantikan."Ibu juga terpaksa ngizinin Bendu, Ni. Kamu pikir ibu seneng punya menantu pengangguran kayak dia yang bisanya cuma meras Mas kamu aja. Apalagi mata duitan kayak begitu."Ya ampun, tuh nenek-nenek dicocolin juga nanti mulutnya pake cabe rawit setan .Mereka bersahut-sahutan bagai suara mercun yang diledakkan, sungguh membuat telingaku sakit. Ku atur nafas lalu melepasnya perlahan. Berusaha menjaga kewarasan otakku dalam mengontrol emosi meski jantungku semakin berdebar kencang. Mas Bendu melihat lirih padaku."Maafkan ibu dan Nini ya, Dik." pintanya berbisik seraya menggenggam erat tangan kananku."Maaf katamu, Mas? Dayamu hanya bisa berucap maaf padaku dengan gampangnya karena kamu tidak merasakan betapa teririsnya hatiku dihujat seperti itu." gumamku dalam hati.Ku lempar senyum tipis pada Mas Bendu, mulutku terkunci untuk mengatakan iya padanya. Bukankah setiap kita punya batas toleransi, manusia mana yang harus diberi toleransi lebih dan manusia mana yang harus diberi pelajaran.Aku pura-pura terpaku dekat lemari di depan Mas Bendu, akan kubuat dia semakin merasa bersalah padaku atas perlakuan ibu dan adiknya sendiri. Pintu kamar masih terbuka, ketika Mas Bendu hendak menutupnya. Nini datang bagai petir disambar gledek, mendorong paksa."Mas, apa-apaan sih pakai ngontrak segala. Kamu jangan manut saja sama istri macam dia, bukannya untung malah bikin rugi. Gaji bulanan juga kamu stor ke dia semua. Buka mata kamu, Mas." erangnya pada Mas Bendu sambil menatapku tajam.Dia pikir aku takut dengan tatapannya, kalau bisa bakal ku congkel manik-manik matanya yang berwarna hitam pekat itu."Udahlah, Ni. Ini urusan rumah tangga Mas, kamu nggak usah ikut campur. Lagian kamu juga sudah dewasa sebentar lagi juga mau nikah katanya dengan Tito. Harusnya kamu giat cari kerjanya biar pas nikah nanti ada tabungan untuk biaya.""Payah ngomong sama kamu, Mas. Dasar perempuan matre." semburnya sebelum meninggalkan kamarku.Selepas Nini pergi meninggalkan kamarku, Mas Bendu pun menutup kembali pintu kamar.Aku ingin sekali tahu kemana Mas Bendu pergi semalam, tapi biarlah ku tahan kekepoan akan itu. Ada hal lain yang penting dibahas."Mas, sekarang kebetulan hari Minggu, kita nyari kontrakan yuk siang. Man tauan dapat langsung sesuai keinginan dan harga sesuai kantong." ajakku pada Mas Bendu yang sedang memindahkan bajuku di dalam koper ke lemari, sedangkan aku sedang rebahan santai di atas ranjang.Bukan berlaku tidak sopan, aku sebagai istri tentu memanfaatkan segala celah yang muncul ke permukaan bumi. Anggap saja kebaikan Mas Bendu seperti itu sebagai tebusan perlakuan ibu dan Nini."Apa tidak terlalu cepat kalau nyari sekarang, Dik?" tanyanya lalu menatapku mengharap iba."Oh tidak bisa Mas. Aku mau carinya tidak ada tawar menawar lagi. Lagian juga kamu udah gajian. Ibu dan Nini bisa kamu bohongi Mas, tapi tidak padaku."Yasudah, nanti siang selepas Sholat Ashar kita cari kontrakannya." jawabannya penuh pasrah.Sudah kuterka, Mas Bendu pasti sudah gajian dari hari Jumat. Aku sebenarnya sudah curiga ketika dia bilang belum gajian dua hari yang lalu.Tapi tak apa, nanti juga bakalan ketahuan belangnya jika berbohong denganku.🌟🌟🌟"Bu, kami pamit keluar sebentar ya." ujar Mas Bendu.""Mau kemana kalian emangnya? Kok rapi bener?" tanya ibu penuh curiga."Nyari angin aja, Bu." jawabku semringah sengaja berbohong."Saya tidak sedang nanya sama kamu, Lio." raut kekesalan semakin bersinar di wajahnya yang sudah senja, tetapi masih suka julid. Aku hanya tersenyum padanya."Udah ya, Bu. Bendu pamit dulu." ucap Mas Bendu lagi seraya meraih tangan ibu.Aku pun ikut meraih tangannya, walaupun aku sudah feeling ibu pasti akan menyentak kasar tangannya.Dan benar saja, ibu menyentak kasar tangannya ketika kuraih."Aku pamit ya, Bu," tambahku biar hatinya semakin marah padam.Biar semakin sesak rasa dalam dadanya, kugandengan tangan Mas Bendu ketika kami berjalan ke arah pintu depan.Tidak ada satupun kata lagi yang keluar dari mulutnya. Jika ada Nini di luar, akupun akan melakukan hal yang sama membuatnya sesak nafas seperti ibu. Rupanya kurang seru, anak bau kencur itu tidak ku temukan batang hidungnya.Sepertinya berlaku pura-pura lembut seperti ini lebih mengesankan untuk bergelut dengan manusia seperti ibu dan Nini. Tetapi aku memang harus banyak menghela nafas untuk mengontrol emosi supaya tidak terpancing.Eeiiitttsss, tapi bukan berarti ini akan permanen. Seperti yang aku pernah katakan tentu batasannya pengontrolan emosiku. Jika mereka lebih melunjak, oh tentu aku akan memberi pergelutan yang sebanding."Mas, nanti kita cari kontrakannya dekat kantor kamu saja ya. Jadi kamu bisa agak nyantai dikit di pagi hari." ucapku ketika aku sedang memakai helm.Mas Bendu hanya mengangguk pelan, di
Gelak tawa yang tadi terdengar begitu semarak, sekejab hilang, hening, sunyi, sepi bagai kuburan ketika ibu, Nini, dan perempuan itu melihat aku memasuki rumah. Mereka terperangah menatapku yang sudah berdiri di depan mereka. Sebegitu kagetkah sampai salam yang ku ucapkan tak terdengar oleh mereka.Apalagi ibu dan Nini seperti kerasukan setan, mata membulat penuh, mulut menganga untung saja tidak ada lalat yang memasuki ruang penuh julid itu. Sedangkan perempuan itu memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala, begitu yang terekam dari pandangan sudut mataku."Kok salamku nggak satupun yang jawab," sindirku sembari melangkah masuk memecahkan lamunan mereka."Eh, kamu udah pulang Lio?" sapa ibu salah tingkah, berpura-pura menggaruk keningnya seakan gatal. Mungkin dia menyangka aku tidak tahu kalau dia sedang berpura-pura."Seperti yang ibu lihat, aku sudah di dalam rumah sekarang." jawabku sembari senyum tipis mata menyipit."Mana Mas Bendu?" serobot Nini, tapi matanya terfokus ke ara
Tujuan utama ku adalah membuka aplikasi chatting. Ku buka whatsapp Mas Bendu, terbaru ada pesan dari Umar begitu nama yang tertera, karena itu yang terbaru dan ada beberapa pesannya yang belum dibuka Mas Bendu, tentu aku pengen tahu apa isi chatnya.[P][P][Mas, keluar dong. Masa kamu anggurin aku sih.] disertai emot nangisDasar gelay, gerutu dalam hati.Ternyata cuma tiga itu pesan yang ada. Aku yakin ada pesan sebelumnya.Oke, Mas. Kamu berani bermain api, akan ku tambahkan minyak tanah supaya apimu semakin berkobar.Aku lanjut membuka pesan dari Nini, 'Adikku Nini' begitu nama kontak perempuan bau kencur itu. Ada dua pesan yang belum dibaca.[P][Mas][Ish][Mas, kamu hargai Leria dong. Masa di kamar terus sih. Sini temenin dia, dasar susis] disertai emot marah.Tak ada pesan lain, pasti sudah dihapusnya. "Oh, jadi nama perempuan yang sedang dirumah ibu namanya Leria, sengaja diganti nama Umar dikontak Mas Bendu. Jika memang tidak ada sesuatu 'hal' buat apa namanya disamarkan, b
"Nggak ada beli apa-apa, Bu." jawab Mas Bendu menghadap ke arah ibu."Nggak beli apa-apa gimana? Itu kantong asoy yang ditenteng sama Liodra apaan?" tanyanya kepo maksimal, ibu tua masuk perangkap lagi. Aku yakin ketika pas masuk tadi netranya pasti terfokus pada kantong asoy yang kupegang."Oh itu, nasi bungkus punya Lio, Bu." sahut Mas Bendu yang masih berdiri di ambang pintu."Punya Lio? Buat ibu mana?" tagihnya."Bu, tadi aku 'kan udah nanya sama ibu mau dibawain apa! Ibu jawab nggak usah. Makanya buat ibu dan Nini nggak dibeliin." jelasku menyerobot sekalian menyindir terang-terangan."Diam kamu, Lio. Ibu lagi nggak bicara sama kamu. Nimbrung aja." bisanya gitu doang, dibilang nimbrung lah, lagi nggak ngomong sama aku lah, kebanyakan drama memang."Udahlah, Bu! Lio! Aku capek dengerin kalian berlawanan terus." pintupun dibanting Mas Bendu memasuki kamar.Sebodo amat, mau banting pintu kek, mau dicopotin pintu lama gigi kek, terserah. Sebodo aja. Mas Bendu yang ku kenal agak kalem
"Apa?! Kamu mau menikahi janda itu? Jangan gila Bendu. Ibu tidak setuju." jantungku berpacu kencang hingga ubun-ubun menggelegak, mendengar Bendu meminta restu untuk menikahi Liodra-seorang janda."Buuu...""Kamu tahu 'kan kenapa Liodra menjadi janda, dia dicerai mantan suaminya karena bermain serong dengan mantan kekasihnya dulu. Perempuan seperti itu yang akan kamu jadikan istri. Bodoh betul kamu Bendu." bentakku."Bu, tapi Bendu harus ngelakuin itu, Bendu harus menikahi Liodra, Bu." dia bertekuk lutut seraya memegang kakiku."Harus apa Bendu. Jawab! Jangan bertingkah, kamu akan ibu malu. Mau ditarok dimana muka ibu, Benduuuu!" "Bu, tapi Bendu mohon tolong restui pernikahan kami." dia tidak menyerah sedikit pun."Kamu benar-benar sudah sarap yah Ben. Masa nikahi perempuan yang sudah janda, belum lagi umurnya lebih tua, nanti kalau kamu nggak punya keturunan gimana. Kayak nggak ada perempuan lain saja yang kamu nikahi.""Iya, Bu. Bendu tahu itu, ta-tapi....""Tapi apa, Hah? Sudahlah
Sampai diambang pintu, kubuka seperempat saja agar tidak ketahuan, karena dari sumber suara yang kucerna, mereka sedang duduk di ruang tamu.Suara yang tadinya samar, kini mulai jelas terdengar di kuping ku. Itu kamu Mas, siapa lagi laki-laki di rumah ini selain kamu. Dan tak salah lagi suara lawan bicara Mas Bendu ialah Leria, wanita berita suara sedikit cempreng.Sedari tadi ketika tidak menemukan Mas Bendu di sampingku, hati sudah tidak karuan.Walaupun begitu, ku coba untuk mengumpulkan energi agar tidak salah sangka. Ku jorokan kepala keluar sedikit, memastikan seperti apa posisi duduknya.Tubuhku semakin terasa bergetar hebat dikala netraku menangkap basah suami yang baru menikahiku itu telah menodai ikatan sakral.'Romantis' itu yang tertangkap di kedua netraku, mereka duduk berdampingan Leria tampak menyandarkan tubuhnya pada bidang dada Mas Bendu. Sedangkan tangan kanan Mas Bendu tampak memegang tangan Leria.Perlahan kutarik kepala kembali, tak kuasa netraku melihat pemandan
"Iya, Mas. Barusan aku dapat email ada interview di salah satu perusahaan yang pernah ku kirimkan lamaran via email." jelasku."Wah, iya kah? Alhamdulillah, semoga kamu diterima yah Dik." ucapnya penuh harap."Dik? Piiuuuhhh, dasar mulut mur*han." gumamku."Jadi bagaimana? Kamu tetap mengantarkan Leria atau memilih mengantar ku untuk pergi interview?" tawarku.Menawar sepertinya lebih pantas ketimbang aku memaksa dia.Belum sempat dia menjawab tawaran yang kusuguhkan. Netranya terfokus ke pintu utama rumah, ku toleh pandanganku ke sana. Oh ternyata perempuan bersuara agak cempreng itu sedang melaksanakan aksinya, dia di papah oleh ibu dan Nini."Ben, bantuin dong, jangan malah berdiam diri menatap seperti itu." keluh ibu."Bu, maaf. Kayaknya Bendu nggak bisa ngantar Leria pulang, soalnya Bendu harus ngantar Liodra interview dulu.""Lho, nggak bisa gitu dong Ben." raut wajah mereka bertiga berubah seratus delapan puluh derajat, skenario mereka meleset dari sasaran. Tatapan semakin ngga
"Nah lho, nah lho kalau memang Leria loyalnya lebih terbaik dari aku, kenapa masih ribet sih dengan jinjingan kantong plastikku yang berisikan makanan ya 'kan." racauku dalam hati. Ingin sekali mulut ini menyuarakan isi hati, akan tetapi aku masih saja memilih urung melakukannya.Sengaja ku biarkan mereka bersahutan menghujatku bergantian. Biar saja mereka merasa menang di awal. Mungkin mereka akan menang bergelut denganku.Untung menu sore ini ayam lada hitam plus sayur capcay plus nasi disegarkan dengan satu gelas es teh manis melunturkan emosi yang tadi sempat terpancing ulah kata-kata mereka.Aku tidak ingin ceroboh, melabrak mereka sama saja mengotori tanganku yang indah ini. Terdengar samar mereka masih bersahutan, aku tetap tidak ambil pusing.Tak lama kemudian, ketika aku masih asyik menikmati suap demi suap santapanku sore ini."Lio, buka pintunya!" pinta ibu."Lio, kamu beneran menantu kurang ajar ya. Wajar saja kalau feeling saya nggak enak pas Bendu mau minta nikahin kamu.