Ditengah perjalanan tiba-tiba mobil Eros mogok. Lelaki itu segera turun dan membuka kap mobil, tangannya mengotak-atik di sana."Ma! Tolong ambilkan air," titah Eros. Jenar pun meraih air mineral yang tersedia di kabin mobil, sebelum turun dia melirik sang putri yang terlelap di kursi belakang. "Kasihan anak Mama."Jenar menyipitkan mata dengan sebelah tangan beranda di atas kepala menghalangi sinar matahari menyengat wajah langsung. "Aduh, panas sekali," gumam Jenar.Eros meraih botol mineral yang diberikan oleh sang istri, Jenar pun ingin cepat-cepat masuk ke dalam mobil."Ada air lagi, Ma?"Jenar menghentikan langkah. "Tidak ada, Mas. Cuma itu satu-satunya." Eros berdiri tegap sambil matanya melayangkan pandangan ke sekeliling."Di sana ada minimarket, kau bisa membelikannya?" tunjuk Eros."Iya, Mas." Jenar masuk ke dalam mobil mengambil dompet, setelahnya dia melenggang menuju mimimarket."Mama …!" teriak Embun tidak lama setelah kepergian Jenar."Iya, Sayang." Eros berjalan mende
"Kamu tidak apa-apa?" "Aku tidak apa-apa." Embun mencoba berdiri. Saat terpeleset satu tangannya berhasil menangkap pembatas tangga sehingga dia tidak menggelinding ke bawah.Embun kembali menapaki anak tangga pelan-pelan dengan langkah agak pincang. Sementara itu, Jasmine yang melihat dari sofa tertawa pelan sambil menyayangkan istri pertama suaminya tidak terjadi sesuatu yang serius."Kau sungguh tidak apa-apa?" Lintang masih berdiri di tempatnya."Iya," sahut Embun singkat. Setelah itu, Lintang pun turun dan kembali ke sofa."Tidak ada niatmu menyusulku, Mas. Berikan sedikit perhatian atau hanya sekadar mengusap kaki yang terasa sakit ini," gumam Embun sambil berjalan menuju tempat tidur. "Hah! Kenapa aku selalu lupa kalau aku ini tidak penting," ujarnya sambil meluruskan kaki dan bersandar di kepala ranjang. "Mas," rengek Jasmine, "aku tiba-tiba pingin makan nasi goreng," lanjutnya."Bukannya tadi kita sudah makan?""Lapar lagi." Jasmine mengembangkan senyum menampakkan barisan
"Terima kasih karena sudah mencintaiku.""Kamu kenapa, Sayang." Tangan Eros terulur mengacak rambut Jenar. "Aneh sekali hari ini.""Tidak, Mas. Aku hanya ingin mengungkapkan isi hatiku saja," sahutnya, "aku bersyukur pada Tuhan karena telah mengirimkan lelaki sebaik kamu untuk menemani di sisa umurku.""Aku juga bersyukur memiliki istri sebaik kamu, kamu juga telah memberikan banyak kebahagiaan untukku. Terima kasih bidadariku."Jenar tersanjung mendengar kalimat itu, bibirnya otomatis tertarik membentuk sebuah senyuman. Namun, tetap saja tidak bisa menyingkirkan rasa gelisahnya."Aku tidak sebaik yang kau kira, Mas," batin Jenar sedih. Merasa bersalah karena telah membohongi lelaki sebaik Eros selama ini."Mas …," ucap Jenar ragu-ragu."Iya, Sayang.""Andai suatu hari nanti aku membuat kesalahan besar, apa Mas bisa memaafkanku?""Tergantung kesalahannya, bisa dimaafkan atau tidak," jawab Eros santai. "Kesalahan yang tidak bisa dimaafkan yang seperti apa?""Salah satunya selingkuh,"
Jenar pergi ke sebuah supermarket bersama salah satu PRTnya untuk belanja bulanan. Wanita itu memang tidak pernah melepaskan PRTnya untuk berbelanja sendiri, dia ingin memastikan sendiri bahan makanan yang dipilih berkualitas. Jenar dan sang PRT turun dari mobil dan melenggang menuju ke dalam supermarket. Namun, langkah Jenar terhenti ketika mendengar seseorang berbicara padanya. "Bu, Jenar … kita bertemu lagi." Jenar terkejut mendengar suara yang cukup familiar itu. Saat menoleh jantungnya serasa ingin melompat ke luar. Namun, dia berusaha terlihat tenang. Jenar pun menyuruh sang PRT menunggu di dalam. "Jafar! Buat apa kau di sini? Kau mengikutiku?" ucap Jenar pelan. Namun, sarkas. Lelaki yang bernama Jafar itu terkekeh membuat Jenar bergidik ngeri. "Tuhan yang telah mempertemukan kita di sini." "Maaf saya tidak ada waktu untuk meladeni Anda, saya sibuk, permisi!" Jenar berlalu dari hadapan Jafar. "Tunggu!" Jafar mencekal lengan Jenar dan menyeretnya ke tempat yang agak sepi. "
Jasmine mengambil ponsel dan mencari kontak suaminya. Dia akan mengadukan perbuatan Embun, tentu saja dengan sedikit tambahan bahan-bahan yang akan mematik api kemarahan Lintang. Jasmine tertawa kecil sebelum menekan kontak bernamakan suaminya, ia membayangkan bagaimana lelaki itu memarahi Embun. Embun pasti sangat menderita. "Terima dan nikmatilah ini wanita mandul," gumamnya lalu menekan kontak suaminya. Sementara itu, di kantor Lintang sedang berbicara dengan sekretaris menanyakan jadwalnya "Apa hari ini saya ada jadwal meeting?" "Hari tidak ada, Pak. Jadwal meeting Bapak baru ada di hari kamis pukul 01.00 WIB siang, restrospective bersama seluruh tim," sahut Oscania sembari melihat ke dalam map yang dibawanya. Ponsel Lintang bergetar menandakan ada panggilan masuk, mata lelaki itu melirik benda pipih yang terletak di atas meja. "Jasmine? ada apa dia menelponku?" batin Lintang. "Baiklah, kau boleh keluar sekarang," titah Lintang. Sekretaris cantik tersebut pun undur diri dari
"Apa menurutmu aku sejahat itu, Mas? Kau tahu aku seperti apa, tapi mengapa kau sangat mudah percaya dengan omongan yang belum tentu kebenarannya." Mata Embun berkaca-kaca, adanya sesak."Seseorang bisa saja berubah, terlebih kalau sudah memiliki rasa iri dalam hatinya," ucap Lintang dingin dan menusuk.Kata-kata yang keluar dari mulut lelaki itu sangat menyakiti, tidak ada lagi tutur lembut nan manis yang dulu selalu Embun dengar. Suara tinggi yang dulu tidak pernah Lintang keluarkan, kini sering ia terima. Embun rasanya ingin menangis. Namun, air mata itu masih tetap menggenang membuat dadanya semakin sesak."Hanya karena dia sedang mengandung lantas kau percaya begitu saja tanpa mau mendengarkan aku dulu!" ujar Embun, "aku yang selalu disalahkan di sini apapun yang terjadi padanya, entah dia mengarang atau sungguhan kau tidak peduli!" lanjutnya meledak-ledak."Tidak mungkin Jasmine hanya mengarang, kaulah yang mengada-ada untuk mengalihkan kesalahanmu!" Suara Lintang tidak kalah ti
Ponsel Jenar berdering, sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Wanita itu mengerutkan kening menatap layar yang masih memekik itu. "Halo, maaf, ini siapa?" tanya Jenar setelah mengangkat panggilan tersebut. "Jenar …," Suara di seberang telepon membuat Jenar terlonjak kaget, dia bingung bagaimana bisa Jafar mendapatkan nomor ponselnya. Tidak lama kemudian Dia menepuk jidat, ingat jika lelaki itu pernah meminjam benda pipih tersebut. Mata Jenar melirik ke pintu kamar mandi berharap suaminya masih betah berlama-lama di dalam sana. Dia pun berjalan menuju balkon. "Ada apa kau menelponku malam-malam?" ujar Jenar pelan. Namun, tajam. "Transfer lima puluh juta lagi sekarang!" titah Jafar tanpa basa-basi lagi. "Aku sudah memberikanmu lima puluh juta beberapa hari yang lalu." "Kau sangat banyak bicara, transfer saja agar rahasiamu tetap aman!" "Kau mau memerasku? Aku bisa melaporkanmu ke polisi." "Ha-ha-ha! Kau mengancamku? Aku tidak takut! Silakan laporkan!" "Baiklah k
Lintang meletakkan kembali makanan itu di atas nakas dengan kasar, dia kesal karena niat baiknya tidak disambut baik oleh Embun. "Terserah! Mau kau makan atau kau buang!" ucap Lintang setelah itu melesat ke luar kamar. "Jasmine, kau sudah tidur?" tanya Lintang setelah memasuki kamar mereka. Ibu hamil itu berbaring di bawah selimut berpura-pura sudah tidur. "Sudah tidur rupanya, cepat sekali," gumam Lintang memandang wajah Jasmine sekilas, kemudian lelaki itu berjalan menuju kamar mandi. "Menyebalkan!" umpat Jasmine dalam hati sambil matanya sedikit terbuka mengintip suaminya yang masuk ke kamar mandi. ***** Pagi ini Lintang pergi ke kantor sengaja berputar lewat jalan toko kue Embun. Entah mengapa dia sangat ingin lewat sana, padahal itu membuat jarak ke kantor lebih jauh. Saat lewat tepat di depan toko tersebut, Lintang terkejut melihat tempat itu seperti habis terbakar. "Apa yang terjadi," gumam Lelaki itu kemudian membelokkan mobil ke bekas tempat usaha sang istri. Lintang t
Makan malam tiba, Bu Inggrid mendorong kursi roda suaminya mendekati meja makan. Mereka melihat Jasmine menunggu sendirian di sana.“Lho, Jasmine, Lintang mana? tanya Bu Inggrid sambil mengatur duduk suaminya.“Mas Lintang di rumah Mba Embun,” sahut Jasmine santai.“Ck! Anak itu, dasar keras kepala!” gerutu Bu Inggrid yang dapat terdengar jelas oleh Jasmine. Wanita hamil itu tersenyum tipis tanpa sepengetahuan mertuanya.“Telepon saja, Ma, suruh pulang anak itu biar dia tau tanggung jawabnya,” usul Pak Yolan. Beliau geram dengan tingkah Lintang yang meninggalkan istri yang sedang hamil.“Sebentar, Pa.” Bu Inggrid segera pergi dari ruang makan. Jasmine semakin senang, sedapat mungkin dia menahan bibir agar senyum jahatnya tidak lolos. Dia hanya memasang wajah polos.“Apa Lintang sering seperti ini?” tanya Pak Yolan pada menantu kesayangannya.“Ehm ….” Jasmine terlihat ragu-ragu untuk menjawab, padahal itu hanyalah sandiwara.“Katakan saja, tidak perlu merasa sungkan. Kamu sudah Papa an
“Tidak! Tidak sama sekali!” tukas Jenar berpura-pura. “Kaulah yang melakukan itu!” lanjutnya.“Kau yang memintanya!”“Aku memberimu uang!” sahut Jenar dengan ketus. “Kau saja yang bodoh, andai waktu itu ….” lanjutnya dan terhenti tatkala Jafar menyelanya.“Jika aku tidak pernah melakukan itu, tentu sampai saat ini kau tidak akan pernah memiliki Eros! Kau harusnya berterima kasih, permainamu yang bagus itu takluput dari peranku! Sekarang aku minta sedikit bagian dari apa yang kau capai dalam hidupmu itu dan kau menolak! Dasar tidak tahu diri!” sarkas Jafar.Air mata Embun meluncur begitu saja seiring luka lama yang kembali terbuka saat mengetahui fakta itu. Bibirnya bergetar menahan tangis, sedapat mungkin agar tidak menimbulkan suara.Embun beristighfar berkali-kali di dalam hati menahan sakit yang semakin menghunjam. rasanya pertahannya hampir runtuh. Segera dia menyudahi rekaman dan segera pergi dari cafe itu.Embun menepikan mobil di pinggir jalan karena pandangannya dipenuhi oleh
Embun tetap bergeming sambil menahan rasa yang ditimbulkan akibat sentuhan lembut itu. Tidak bisa dipungkiri tubuhnya sangat mendamba sentuhan itu, tetapi hatinya tidak siap."Sampai kapan kau akan terus berpura-pura tidur, padahal tubuhmu sangat menginginkan aku," ujar Lintang lalu perlahan menyingkirkan selimut yang membalut tubuh sang istri"Aku lelah, Mas. Mau tidur," sahut Embun menarik dan merapatkan selimutnya."Ayolah sayang …." Ucapan Lintang terhenti tatkala ponsel Embun di atas nakas memekik keras. Sang pemilik pun bangkit dan meraih benda pipih tersebut."Ganggu saja!" Gerutu Lintang dengan kesal. Lelaki itu mengusap wajah dengan frustasi karena dirinya sudah benar-benar diselimuti kabut napsu."Ada apa mama menelpon malam-malam seperti ini," batin Embun sambil menatap layar yang belum berhenti berdering itu."Siapa?" tanya Lintang dengan curiga, lantas Embun menunjukkan ponselnya pada sang suami dan berkata, "Mamamu!" Setelah itu Embun menjawab panggilan yang sudah tiga
Embun melayangkan tamparan keras pada pipi Lintang. "Aku tidak serendah itu, Mas!" sarkasnya dengan dada naik turun karena emosi.Lintang bergeming sambil menahan panas yang menjalar di pipi. Dia tidak menyangka sang istri berani melakukan itu padanya. Matanya menatap tajam."Lalu, untuk apa kau menemui laki-laki lain di luar sana selain suamimu kalau bukan untuk selingkuh!" Lintang masih terbawa emosi, terbayang Embun berbincang dengan seorang pria di tepi jalan.Embun terdiam sejenak, rupanya lelaki itu melihatnya dan Eros tadi. "Tidak seperti itu, Mas! Kamu salah paham!" ujar Embun, "lelaki yang kau lihat itu adalah adik iparmu, Mas! Dia membantuku mengganti ban mobil yang kempes," lanjutnya.Amarah Lintang perlahan mereda setelah mendengar penjelasan sang istri. Ia bernapas lega, meski masih tersisa sedikit kecemburuan di hatinya mengingat Eros adalah mantan suami Embun."Memangnya kau dari mana malam-malam sendiri?" Pertanyaan konyo
"Eros?""Ada yang bisa dibantu?" ujar mantan suami Embun tersebut. Embun terdiam sesaat dan nampak berpikir.""Embun." Suara Eros kembali mengejutkan wanita tersebut."Ban mobilku kempes dan aku tidak bisa menggantinya," ucap embun pada akhirnya. Setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya jika dia meminta bantuan lelaki itu, toh di antara mereka sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi. Lagi pula status mereka saat ini mereka adalah keluarga."Baiklah aku akan membantumu.""Terima kasih.""Tidak usah sungkan seperti itu, sudah seperti sama siapa saja," ujar Eros sambil mengikuti langkah Embun ke belakang mobil guna mengambil ban cadangan. Wanita itu hanya tersenyum canggung.Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan antara mereka, mata Embun menatap ke jalan melihat kendaraan yang berlalu lalang, sementara Eros sibuk mengganti ban."Habis dari luar?" tanya Eros memecah kebisuan."Iya," jawab Embun singkat tanpa menoleh ke arah lawan bicara."Sendiri saja? Lintang mana?"Embun berdecak dalam
Embun melangkah masuk ke dalam cafe, pemandangan pertama yang dilihatnya cukup membuatnya terkejut. Lintang dan Jasmine juga berada di sana, mereka terlihat bahagia diselingi canda tawa.Jantungnya berdenyut perih, kakinya terpaku di lantai, ia merasa dibohongi karena Lintang tadi mengatakan baru saja kembali dari rumah sakit. Seharusnya wanita hamil tersebut istirahat di rumah jika memang yang dikatakan sang suami benar. Embun meremas gaunnya karena api kebencian berkobar di dada."Permisi, Mba," ucap seorang pengunjung yang hendak masuk. Embun tersadar ternyata dirinya menghalangi di pintu masuk."Maaf," ucap Embun setelahnya mencari meia untuk duduk. Ia duduk tidak jauh dari mria suami dan madunya."Kenapa kau ha
Jenar menutup pintu setelah mobil Eros menghilang di balik pagar. Bibirnya tersenyum bahagia karena kehidupan pernikahannya yang sempurna, sesuai dengan apa yang pernah diimpikan. Memiliki suami yang tampan dan penyayang, anak-anak yang lucu dan ekonomi yang berkecukupan.Jenar merasa menjadi wanita paling beruntung karena menikah dengan Eros, meskipun telah merebut lelaki itu dari wanita lain. Dia justru merasa bangga atas dosanya dan tidak merasa bersalah sama sekali.Ponsel di genggaman Jenar berdering, tanpa melihat nama si penelpon dia langsung menjawab panggilan itu sambil mendaratkan bokong di sofa. Dia mengira itu adalah Eros."Halo, Mas ...," ucap Jenar dengan lembut."Jenar …." Suara di seberang tel
Lintang berjalan gontai menuruni anak tangga, kepalanya terasa berat memikirkan permasalahan rumah tangga. Dia melihat Embun di ujung tangga yang entah dari mana hendak naik ke lantai atas."Embun!" Lintang mempercepat langkah mendekati Embun, sementara yang dipanggil menghentikan langkah seraya kepalanya mendongak ke arah suara."Aku mau bicara," tukas Lintang dan langsung menarik tangan Embun menuju ke taman belakang."Bukankah kita tadi sudah bicara," ujar Embun sambil mengikuti langkah suaminya. Namun, Lintang tidak menjawab perkataan sang istri. Lelaki itu menghempas tangan Embun kasar setelah sampai di taman."Kau sangat keras kepala!" ketus Lintang. Embun mengernyitkan kening, bingung.
"Aku mau hakku! Kita sudah lama tidak melakukan ini, kan?" ujar Lintang, "kau pasti juga merindukan sentuhanku," lanjutnya."Tidak, aku tidak mau!""Kenapa? Aku suamimu, aku berhak melakukan apapun terhadap tubuhmu," tegas Lintang."Kau minta saja pada Jasmine!""Kau juga istriku! Aku tidak ingin kau merasa seperti tidak memiliki suami. Ini, kan, yang kau mau?""Ini bukan hanya soal melakukan hubungan saja!" pekik Embun dalam hati, Lintang sudah salah mengartikan ucapannya."Tapi, aku sedang datang bulan!"Perlahan cengkraman tangan