Malam bertabur bintang. Bulan sabit menggantung indah di ufuk timur. Dua insan yang tengah menikmati masa-masa pengantin baru itu tampak berbinar bahagia. Melewati jalanan kampung dengan suasana yang masih asri.Seperti biasa, Kiyada lebih suka menaiki motor daripada mobil. Kini ia tak lagi canggung untuk memeluk erat pinggang sang suami dari belakang. Menghirup aroma maskulin yang memberi efek menenangan tersendiri.“Kamu ingin makan apa?” tanya Ustaz Subhan sedikit keras, karena mereka mulai memasuki jalan raya.“Apa aja terserah.”“Mau makan nasi padang?” “Nggak mau, ah. Pedes menunya.”Ustaz Subhan mendesah pasrah. Ternyata kedua istrinya memiliki kesamaan, sama-sama sulit dimengerti ucapannya. Atau mungkin sebagian besar wanita memang seperti itu, pikirnya. “Terus maunya apa?”Beberapa meter lagi ada pertigaan. Ke kanan menuju aneka cafe dengan berbagai suasana. Sedangkan ke kiri, lebih banyak warung sederhana juga pedagang kaki lima di pinggiran taman kota.“Terserah, Mas,” jaw
Pagi ini Kiyada terbangun dengan perasaan yang sulit didefinisikan. Pasalnya sore nanti sang ibu akan melakukan penerbangan dari Singapura ke tanah air. Rindu, tentu saja. Namun, perihal pernikahannya dengan Ustaz Subhan bukanlah masalah yang ringan.Bahkan, hanya untuk membayangkan bagaimana reaksi ibu nantinya, Kiyada tak berani. Kecewa pasti, ibu mana yang rela putrinya menikah secara sembunyi-sembunyi seperti ini. Apalagi kini telah tumbuh janin dalam rahimnya.“Kamu cepatlah mencari pasangan hidup, Ki. Agar Ibu bisa tenang jika sewaktu-waktu dipanggil Yang Mahakuasa,” ungkap ibu suatu hari lewat sambungan telephon.Kiyada tercekat. Perkataan ibu seolah menamparnya. “Ibu harus sembuh dulu, ya. Jangan memikirkan yang lain-lain.”Selama sekitar dua bulan ibu berada di sana, Kiyada hanya tiga kali melakukan sambungan telephon dengan beliau. Alasannya, ibu ingin fokus berobat agar bisa segera pulang. Sebab beliau tak tega meninggalkan putrinya seorang diri di rumah.Kiyada mengembuska
“Tolong kamu antar Kiyada menjemput ibunya di bandara malam ini. Subhan tidak bisa, karena ia juga harus ke luar kota.”Titah abah sore itu benar-benar mengejutkan Farhan. Tentu saja ia tak dapat menolak dengan alasan apapun. Bertemu kembali dengan Kiyada adalah sesuatu yang ingin ia hidari untuk saat ini. Farhan butuh waktu untuk benar-benar menghapus rasa untuk wanita itu.Entah perintah abah tersebut dengan sepengetahuan Ustaz Subhan atau tidak. Sebab melihat dari sikap Ustaz Subhan yang tak sehangat dulu kepadanya, Farhan menduga jika Kiyada telah menceritakan hubungan mereka di masa lalu.“Jihan, kamu nanti ikut Farhan menjemput ibunya Kiyada di bandara,” pinta abah pada putri bungsunya yang saat itu tengah membawakan dua cangkir teh hangat.“Jihan sibuk, Bah,” tolak Jihan datar.Sudah bukan hal yang langka jika Jihan kerap menolak perintah abah. Jika Shofia sangat penurut dan hampir tak pernah membantah, maka lain halnya dengan Jihan. Gadis itu tak segan menolak sesuatu yang tak
Perjalanan menuju bandara mereka lalui dalam hening. Jihan tetap pada posisinya sejak berangkat dari rumah tadi, duduk di samping Farhan selaku pengemudi. Sedangkan Kiyada memilih duduk di belakang seorang diri.Berulang kali Kiyada melihat layar gawainya, menanti notifikasi dari Ustaz Subhan. Seperti kata Farhan tadi, Ustaz Subhan tengah ke luar kota. Namun, kenyataannya sang suami sampai detik ini belum mengkonfirmasi meski sekadar lewat pesan singkat. Dalam hati Kiyada juga bertanya-tanya, apakah Farhan mengantarnya ke bandara atas inisiatif Ustaz Subhan sendiri atau perintah dari Kyai Zuhair?Sementara Farhan dan Jihan seolah sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali Farhan melirik ke spion depan, di sana tampak Kiyada tengah fokus dengan gawai di tangannya. Bohong jika Farhan berkata telah melupakan Kiyada, wanita yang kini terlihat semakin menawan setelah diperistri Ustaz Subhan.Berulang kali Farhan menggumamkan istighfar dalam hati. Sebab tak seharusnya ia masih menyimpan r
Selepas kepergian Bu Aminah, Shofia terpekur seorang diri di kamar. Pembicaraan dengan wanita paruh baya tersebut masih terngiang dengan jelas. Bagaimana masa lalu Bu Aminah yang ternyata begitu suram.Namun, sejatinya Allah adalah dzat yang Maha Pengampun. Seburuk dan sebesar apapun kesalahan hamba di masa lalu, pintu maaf Allah akan selalu terbuka lebar selama manusia bertekat benar-benar ingin berubah.“Kenapa Ustazah menutup rapat penyakit ini dari keluarga?” tanya Bu Aminah saat pertama kali mengetahui penyakit yang dideritanya.Shofia terdiam sejenak. Ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menetralkan debar jantungnya. Mendadak Shofia merasa sangat bersalah pada Bu Aminah. Sebab keegoisannya, ia meminta Kiyada untuk menjadi istri ke dua sang suami. Dan itu semua tanpa sepengetahuan Bu Aminah, selaku satu-satunya keluarga yang Kiyada miliki.“Sama seperti yang Ibu lakukan, saya pun tak ingin Abah, Jihan, juga Mas Subhan merasa terbebani dengan sakit yang saya derita.” Shof
Kiyada menunggu sang ibu di terminal kedatangan luar negeri dengan jantung berdebar. Setelah dua bulan tak bersua, ia begitu merindukan sosok ibu. Tak sabar rasanya ingin memeluk tubuh yang selalu memberinya ketentraman tersebut.“Ibu ...,” lirih Kiyada dengan suara bergetar. Ia membekap mulutnya agar tak mengeluarkan suara isak tangis.Dari jarak beberapa meter ibu tampak dipapah oleh seorang wanita dengan rambut sebahu. Badan ibu terlihat jauh lebih kurus dari saat terakhir mereka bertemu. Dua pasang mata ibu dan anak tersebut saling menatap sendu.Kaki Kiyada serasa membeku tak dapat bergerak barang sejengkal pun. Saat ibu semakin mendekat, tangis keduanya pecah tak terbendung. Tak dipedulikan lagi lalu lalang oran-orang di area bandara. Toh kebanyakan dari mereka sibuk dengan kepentingan masing-masing.“Kiyada rindu, Bu,” ungkap Kiyada dengan suara tercekat. Ia masih tersedu di balik punggung ibu. Merasakan tubuh yang kini seolah tinggal tulang dan kulit. Keadaan yang membuat hati
Semenjak pertemuan dengan ibu tadi, Kiyada benar-benar melupakan telephon genggamnya. Luapan rundu yang selama ini terpendam, berhasil mengalihkan seluruh perhatiannya. Bahkan, ia seolah lupa jika kini tengah mengandung anak dari laki-laki bergelar suami tersebut.Dada Kiyada kian bergemuruh. Menebak tujuan apa kiranya Ustaz Subhan menunggu kepulangan mereka. Bukankah tadi ia telah berjanji untuk merahasiakan pernikahan ini dari ibu untuk sementara waktu?Sebelum Kiyada membuka pintu di sisi kanan sang ibu, ia sempat melihat pemandangan yang cukup mengusik hatinya. Farhan sedikit menyentuh pundak Jihan untuk membangunkan gadis yang tengah tertidur pulas tersebut.“Ada Ustaz Subhan, Ki?” Suara ibu segera mengalihkan perhatian Kiyada. Dengan cepat ia menepis perasaan yang tak seharusnya itu. “I-ya, Bu,” jawab Kiyada sedikit terbata.Dengan telaten Kiyada membantu ibu untuk turun dari mobil. Samar-samar ia masih mendengar Farhan membangunkan Jihan dengan lembut. Namun, sepertinya Jihan
Dada Bu Aminah berdebar hebat. Namun, ia masih berusaha menghalau segala pikiran negatif yang menghantui. Wanita itu memilih duduk di ranjang seraya harap-harap cemas menanti kadatangan Kiyada.Di sampingnya satu koper berukuran sedang masih utuh tak tersentuh. Dua hari sebelum kepulangannya, Ustazah Shofia sempat menitipkan oleh-oleh gamis untuk Kiyada. Mengingat kebaikan keluarga Ustaz Subhan, membuat hati Bu Aminah menghangat. Paling tidak jika suatu hari nanti Allah memanggilnya, masih ada orang-orang yang menyayangi Kiyada.“Ibu belum tidur?” Kiyada datang membawakan segelas teh hangat untuk sang ibu.“Kamu sakit? Kenapa tiba-tiba muntah, Ki?” Bu Aminah menghujani putri semata wayangnya dengan pertanyaan beruntun. Ia memandang Kiyada penuh selidik.Wajah Kiyada yang tampak lebih pucat, membuat Bu Aminah begitu khawatir. Wanita yang masih mengenakan gamis yang sama saat tadi di bandara memilih untuk menghindari tatapan sang ibu.“Palingan Cuma masuk angin biasa, Bu. Sekarang Ibu c
Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora
Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub
Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan
24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h
Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan
Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m
Malam itu perasaan Kiyada sungguh bahagia. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa dirinya juga teramat merindukan belaian sang suami. Meski tak banyak kalimat manis yang dilontarkan Ustaz Subhan, setidaknya senyuman dan satu kali panggilan-sayang- sudah lebih dari cukup bagi Kiyada.Namun, sepertinya harapan Kiyada terlampau tinggi. Nyatanya, saat terbangun menjelang waktu Subuh, Ustaz Subhan sudah tidak ada disisinya. Padahal tadi malam ia sempat berpesan untuk dibangunkan salat tahajud. “Mas?” Perlahan Kiyada bangkit dari tempat tidur. Mencari sosok Ustaz Subhan yang ternyata tidak ada di dalam kamar.Perut Kiyada yang semakin membesar membuat ia tak bisa bergerak selincah biasanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, barangkali Ustaz Subhan tengah mandi atau mengambil wudhu. Lagi-lagi tak ada siapapun di sana. Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam juga sesekali suara kokok ayam jantan.Tidak biasanya Ustaz Subhan berangkat ke masjid sebelum Subuh seperti
Sepertinya Aldi masih belum cukup puas dengan jawaban yang diberikan Ustaz Subhan. Sementara suara qiraat penanda akan masuknya waktu Isya sudah berkumandang dari arah masjid. Obrolan keduanya pun mau tak mau harus berakhir.“Kalau kapan-kapan saya silaturahim ke rumah Ustaz, boleh?” tanya Aldi sebelum Ustaz Subhan beranjak.Meski sempat ragu, Ustaz Subhan akhirnya mengangguk seraya tersenyum simpul. Tidak mungkin ia menolak seseorang yang ingin datang untuk bertanya perihal agama. Namun, Ustaz Subhan masih belum tahu apakah Aldi sudah tahu statusnya sebagai suami yang memiliki dua istri.Hingga selesai jamaah Isya dan menempuh perjalanan menuju rumah Kiyada, percakapan singkat dengan Aldi masih terus saja menghantui hati dan pikiran Ustaz Subhan. Bagaimana jika Aldi belum tahu akan statusnya? Pikiran yang berkelana di sepanjang perjalanan, membuat Ustaz Subhan tak sadar jika ia telah sampai di halaman rumah Kiyada. Suasana rumah itu tak lagi sepi seperti sebelum ia berangkat ke masj
Sejujurnya beberapa menit yang lalu Ustaz Subhan telah berbohong pada Kiyada, dengan mengatakan bahwa ia ada urusan dengan remaja masjid setempat. Ia hanya ingin memberi waktu jeda pada hubungan mereka. Sebab sejak perbincangan tadi semua terasa semakin canggung. Entah lah apa penyebab pastinya.Lalu tanpa diduga pertemuannya dengan seorang remaja laki-laki yang mempertanyakan persoalan poligami membuat Ustaz Subhan merasa terusik. Sebenarnya apa yang ingin dipertanyakan, dan mengapa harus dirinya yang mendapat pertanyaan?Benar saja, setelah turun dari salat jamaah, remaja tersebut menunggu di dekat gapura masjid. Ini baru kali pertama Ustaz Subhan bertemu dengan laki-laki itu. Dilihat dari tampilannya, bisa ditebak jika ia bukan seperti penduduk setempat.“Assalamualaikum, Ustaz.” Dengan takzim ia mencium punggung tangan Ustaz Subhan.“Waalaikumsalam.” Ustaz Subhan memasang mimik setenang mungkin.“Sebelumnya maaf, apa saya mengganggu waktunya Ustaz?”Waktu menuju Isya’ masih cukup