Saat melihat kalender di layar gawainya, Kiyada baru ingat jika hari ini adalah hari ulang tahun Ustaz Subhan. Usia sang suami genap memasuki 36 tahun. Kiyada berpikir keras bagaimana cara untuk memberi hadiah spesial di hari sakral kelahiran laki-laki yang kini bergelar suaminya tersebut.Untuk menemui Ustaz Subhan pun pasti akan sulit. Sebab sekarang ada ibu yang belum tahu perihal pernikahan mereka. Seumur hidup Kiyada tak pernah memberikan kejutan ulang tahun untuk laki-laki. Dulu saat bersama Farhan, ia hanya memberikan ucapan selamat juga doa-doa terbaik. Kali ini Kiyada bertekad harus memberikan sesuatu spesial yang tak akan terlupakan untuk sang suami. Berselancar di dunia maya adalah jalan ninja Kiyada mencari referensi hadiah ulang tahun.Saat jemarinya asyik menari di atas layar, sebuah panggilan masuk berhasil menyita perhatian Kiyada. Jantung Kiyada kembali berdebar, ia melihat ke arah ibu yang tampaknya masih tertidur pulas. Dengan gerakan sepelan mungkin Kiyada turun d
Kiyada bernapas lega begitu ibu kembali ke kamar. Beruntung beliau tak kembali mengajukan banyak pertanyaan setelahnya. Sebab Kiyada bukanlah tipe anak yang pandai berbohong pada ibu.“Besok ada kuliah jam enam, Bu. Jadi teman aku nelponnya sekarang,” urai Kiyada berbohong untuk yang kesekian kali.Entah sudah berapa banyak kebohongan yang Kiyada lakukan pada ibu semenjak kedatangannya dari Singapura. Padahal sebelum ini, ia nyaris selalu berkata jujur tentang masalah apapun pada ibu. Satu kebohongan saja akan melahirkan kebohongan-kebohongan berikutnya. Itulah yang dialami Kiyada kini."Terkadang kita perlu berbohong dalam beberapa hal demi kebaikan," ungkap Farhan dua tahun lalu. Saat itu ia tengah kebingungan mencari alasan sebab tak membawa tugas yang diminta dosen.Jadilah Farhan menyuruhnya untuk pura-pura sakit. Agar tak mendapat murka dari dosen paling kiler di fakultasnya.Apakah yang dilakukannya sekarang termasuk dosa? Entahlah, Kiyada benar-benar tak memiliki pilahan lain
Kiyada mematut diri di depan cermin. Memastikan penampilannya sempurna hari ini. Tak sabar rasanya ia ingin memberi kejutan sederhana ini untuk sang suami. Tadi ia juga telah berpamitan pada ibu jika ada keperluan di kampus. “Nasi kuningnya mau kamu bawa ke kampus, Ki?” tanya ibu begitu melihat Kiyada menata nasi dengan bentuk bulat menyerupai kue ulang tahun. “Iya, Bu. Mau aku kasih sama teman-teman kosan. Sekalian tasyakuran juga karena kemarin aku diterima jadi guru privat.” Kiyada menatap Ibu dengan raut berbinar. Apa yang ia katakan tak sepenuhnya bohong. Dirinya memang berencana pergi ke kampus hari ini untuk menyerahkan tugas. Namun, ia tak mengatakan jika ke sana di antarkan Ustaz Subhan.Kemarin sang suami juga telah mengajukan dirinya untuk menjadi guru privat bahasa inggris di tempat kursus yang dekat dengan rumah Ustaz Suban. Kesempatan itu tentu tak akan disia-siakan oleh Kiyada. Meski ia telah menjadi istri sah Ustaz Subhan, tetapi untuk menghidupi ibu tak mungkin diri
Air mata Kiyada luruh begitu saja. Ia menyesali kebodohannya yang bersikap terlalu percaya diri. Seolah-olah melupakan perannya yang hanya sebagai figuran. Hidup berdua dengan Ustaz Subhan selama beberapa minggu terakhir membuat Kiyada abai akan status yang cuma menjadi istri ke dua.Tawa renyah Ustaz Subhan bahkan masih terdengar dengan jelas. Disertai kata-kata memabukkan yang tak pernah Kiyada dapatkan dari sang suami tersebut. Jika pun Ustaz Subhan mengeluarkan kata-kata manis, pasti ada sesuatu di balik semua itu.Saat Ustaz Subhan melihat ke arah pintu, secepat kilat Kiyada menggeser tubuhnya. Terdengar derap langkah yang kian mendekat. Kiyada kembali menggeser tubuh, ia bersembunyi di balik tembok sisi kiri rumah megah itu.Jantung Kiyada kian bertalu saat Ustaz Subhan mengamati halaman depan. Beruntung letak motornya terhalang oleh mobil. Jika tidak, bisa dipastikan Ustaz Subhan akan mengetahui kedatangannya pagi ini.“Harusnya aku tak perlu mengabari jika mau menyusul ke sana
“Sebenarnya aku tadi mau ke kebun milik teman aku. Makanya jalan kaki.” Farhan memberikan penjelasan tanpa diminta.Sikap Farhan yang kembali ramah cukup melegakan Kiyada. Seridaknya Farhan tak mengungkit apa yang pernah terjadi pada mereka di masa lalu. Nyatanya laki-laki dapat menyesuaikan diri dengan baik.Menyusuri jalanan yang sedeikit licin, Farhan sengaja memelankan langkahnya. Ia tahu jika Kiyada tengah hamil muda, dan kemungkinan tidak boleh terlalu lelah. Keduanya berjalan dengan saling menjaga jarak. Beruntung letak bengkel tak terlalu jauh. Sehingga Farhan tak perlu khawatir Kiyada akan kelelahan berjalan. Bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu itu masih sepi. Sepertinya mereka adalah pelanggan pertama hari ini.“Kenapa motornya, Mas?” Seorang laki-laki paruh baya dengan kaus oblong yang telah lusuh menyambut kedatangan Farhan dan Kiyada.“Sepertinya bocor ban belakangnya, Pak,” jawab Farhan seraya meletakkan motor di dekat mesin pompa.Sementara Kiyada tampak men
Setelah sambungan telephon berakhir, Kiyada berjalan menuju motornya yang telah selesai ditambal. Ia juga menatap nasi kuning dengan tatanan yang tak lagi serapi tadi dengan perasaan kecewa. Tak mungkin juga Kiyada membawanya pulang kembali.“Kamu mau langsung pulang?” tanya Farhan begitu selesai mengecek kondisi motor Kiyada tak kekuarangan suatu apapun. Perjalanan menuju rumah Kiyada masih cukup jauh, dan Farhan tak ingin wanita yang dicintainya mengalami kejadian serupa di tengah jalan nanti.“Iya, Kak. Ibu di rumah sendirian.” Kiyada tersenyum simpul, berusaha menyembunyikan kesedihannya dari Farhan. “Oh, ya. ini tadi aku dikasih nasi kuning sama seorang murid yang sedang ulang tahun.”Memberikan nasi itu pada Farhan menjadi keputusan final Kiyada. Ia tak mau hasil kerja kerasanya di dapur sejak kemarin berakhir sia-sia. Setidaknya nasi beserta lauk ini tak terbuang mubadzir.Kening Farhan berkerut halus menatap Kiyada. “Kenapa kamu kasih buat aku? Kan bisa kamu bawa pulang.”“Ibu
Sesampainya di rumah, Kiyada mendapati ibu tengah duduk membuka sebuah album di ruang tamu. Mimik wajah ibu menegaskan sebuah kesedihan yang mendalam. Kiyada yang awalnya akan mengucap salam, kini berdiri mematung. Lidahnya kelu, ia paham foto siapa yang tengah dipandangi ibu.Entah masalah mana dulu yang harus diselesaikan Kiyada. Dalam beberapa minggu kedepan kehamilannya pasti akan semakin kentara. Memakai baju longgar adalah salah satu cara Kiyada menyamarkan perut yang saat ini mulai menyembul.“Assalamualaikum, Bu.” Kiyada menghampiri ibu setelah beberapa saat termangu di ambang pintu.Menyadari kedatangan sang putri, Bu Aminah segera menghapus jejak air mata yang masih menggenangi kedua pipinya yang semakin tirus. “Waalaikumsalam.”Kiyada bersimpuh di depan ibu. Ia cium tangan wanita yang telah melahirkannya ke dunia tersebut. Rasa bersalah seketika bergelayut dalam benaknya. Betapa besar kebohongan yang ia lakukan pada ibu, dan rasanya sampai kapanpun ia tak akan siap untuk
Ustaz Subhan menunggu detik-detik penerbangan dengan dada berdebar. Setelah pertemuan dengan Erlana kemarin, ia merasa ada yang disembunyikan Shofia darinya selama ini. Istrinya tersebut entah mengapa tak segera pulang ke Indonesia meski ibu Kiyada tak lagi berada di Singapura.“Kamu tidak berniat menyusul Shofia ke sana?” tanya Erlana saat mereka bertemu di sebuah masjid tempatnya biasa mengisi kajian.Erlana adalah salah satu sahabat dekat Shofia. Dulu mereka satu sekolah saat masih sekolah dasar, dan hubungan baik keduanya terjalin baik hingga kini. Mungkin karena dulu tempat tinggal Erlana tak jauh dari pesantrennya Shofia.Sang istri juga pernah bercerita jika Erlana belum menikah hingga usianya kini menjelang kepala empat. Padahal wajahnya juga cantik, apalagi ditunjang dengan prestasi akademik yang dimiliki. Laki-laki mana yang tak mau dengannya.“Iya, nanti tunggu jadwal sedikit longgar,” jawab Ustaz Subhan datar. Mereka tengah berbincang di dekat pintu gerbang Masjid. Bebera
Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora
Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub
Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan
24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h
Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan
Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m
Malam itu perasaan Kiyada sungguh bahagia. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa dirinya juga teramat merindukan belaian sang suami. Meski tak banyak kalimat manis yang dilontarkan Ustaz Subhan, setidaknya senyuman dan satu kali panggilan-sayang- sudah lebih dari cukup bagi Kiyada.Namun, sepertinya harapan Kiyada terlampau tinggi. Nyatanya, saat terbangun menjelang waktu Subuh, Ustaz Subhan sudah tidak ada disisinya. Padahal tadi malam ia sempat berpesan untuk dibangunkan salat tahajud. “Mas?” Perlahan Kiyada bangkit dari tempat tidur. Mencari sosok Ustaz Subhan yang ternyata tidak ada di dalam kamar.Perut Kiyada yang semakin membesar membuat ia tak bisa bergerak selincah biasanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, barangkali Ustaz Subhan tengah mandi atau mengambil wudhu. Lagi-lagi tak ada siapapun di sana. Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam juga sesekali suara kokok ayam jantan.Tidak biasanya Ustaz Subhan berangkat ke masjid sebelum Subuh seperti
Sepertinya Aldi masih belum cukup puas dengan jawaban yang diberikan Ustaz Subhan. Sementara suara qiraat penanda akan masuknya waktu Isya sudah berkumandang dari arah masjid. Obrolan keduanya pun mau tak mau harus berakhir.“Kalau kapan-kapan saya silaturahim ke rumah Ustaz, boleh?” tanya Aldi sebelum Ustaz Subhan beranjak.Meski sempat ragu, Ustaz Subhan akhirnya mengangguk seraya tersenyum simpul. Tidak mungkin ia menolak seseorang yang ingin datang untuk bertanya perihal agama. Namun, Ustaz Subhan masih belum tahu apakah Aldi sudah tahu statusnya sebagai suami yang memiliki dua istri.Hingga selesai jamaah Isya dan menempuh perjalanan menuju rumah Kiyada, percakapan singkat dengan Aldi masih terus saja menghantui hati dan pikiran Ustaz Subhan. Bagaimana jika Aldi belum tahu akan statusnya? Pikiran yang berkelana di sepanjang perjalanan, membuat Ustaz Subhan tak sadar jika ia telah sampai di halaman rumah Kiyada. Suasana rumah itu tak lagi sepi seperti sebelum ia berangkat ke masj
Sejujurnya beberapa menit yang lalu Ustaz Subhan telah berbohong pada Kiyada, dengan mengatakan bahwa ia ada urusan dengan remaja masjid setempat. Ia hanya ingin memberi waktu jeda pada hubungan mereka. Sebab sejak perbincangan tadi semua terasa semakin canggung. Entah lah apa penyebab pastinya.Lalu tanpa diduga pertemuannya dengan seorang remaja laki-laki yang mempertanyakan persoalan poligami membuat Ustaz Subhan merasa terusik. Sebenarnya apa yang ingin dipertanyakan, dan mengapa harus dirinya yang mendapat pertanyaan?Benar saja, setelah turun dari salat jamaah, remaja tersebut menunggu di dekat gapura masjid. Ini baru kali pertama Ustaz Subhan bertemu dengan laki-laki itu. Dilihat dari tampilannya, bisa ditebak jika ia bukan seperti penduduk setempat.“Assalamualaikum, Ustaz.” Dengan takzim ia mencium punggung tangan Ustaz Subhan.“Waalaikumsalam.” Ustaz Subhan memasang mimik setenang mungkin.“Sebelumnya maaf, apa saya mengganggu waktunya Ustaz?”Waktu menuju Isya’ masih cukup