“Kita pulang saja, ya?” tanya Ustaz Subhan dengan nada khawatir.
“Tidak perlu. Nanti setelah minum obat juga InsyaAllah sembuh,” jawab Kiyada ragu.
Ustaz Subhan termangu, rasanya ia tak tega jika harus meninggalkan Kiyada dalam keadaan seperti ini. Jika nanti terjadi sesuatu pada sang istri, maka ia tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.
Setelah memuntahkan semua isi perutnya Kiyada kembali menegakkan punggung. Ia duduk di teras indekos yang dalam keadaan sepi, seraya menarik napas panjang beberapa kali berharap rasa mual itu kian berkurang.
Beruntung di dalam mobil Ustaz Subhan selalu menyediakan botol air mineral. Dengan penuh kelembutan ia membimbing Kiyada untuk meminumnya perlahan. Melihat wajah sang istri yang tampak sedikit pucat, hatinya benar-benar bimbang.
“Kita ke dokter saja kalau kamu nggak mau pulang.” Putus Ustaz Subhan pada akhirnya.
Kiyada terdiam beberapa saat. Rasa mualnya perlahan mer
Kiyada tak tahu apakah memang ini benar-benar hasil yang ia harapkan atau bukan. Air matanya meluruh antara bahagia juga nestapa. Berbagai kemungkinan berdesakan melintasi pikirannya. Bagaimana cara ia memberitahukan hal ini pada ibu jika beliau pulang?Garis dua itu memang masih samar dan berwarna merah muda. Namun, Kiyada bukan wanita sepolos itu hingga tak tahu apa artinya. Bagaimapun cepat atau lambat ibu pasti mengetahuinya, karena kehamilan bukanlah masa yang singkat.Belum lagi kuliahnya yang pasti akan sedikit terbengkalai. Kiyada beberapa kali menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. Ia harus tenang, masalah tidak akan selesai jika hanya dihadapi dengan kepanikan.Kiyada menyimpan benda berwarna putih tersebut ke dalam tasnya. Untuk saat ini dirinya pengin fokus terlebih dahulu pada kuliah. Sebab tak ingin nilainya sudah buruk di awal semester.“Saya ingin kamu bisa melahirkan keturunan untuk anak saya. Subhan itu anak tun
Selama jam pelajaran, Kiyada sama sekali tak bisa konsentrasi dengan materi yang tengah dipaparkan. Sesekali rasa mual itu datang menyapa. Ditambah berbagai macam pikiran buruk melintas tanpa mampu ia kendalikan.Mungkin ini adalah yang diharapkan Ustaz Subhan juga Ustazah Shofia, karena tujuan utama ia menjadi istri ke dua adalah untuk melahirkan keturunan. Namun, ia tak rela jika kuliahnya kembali terbengkalai begitu saja.Dulu ia terpaksa mengambil cuti yang berakhir berhenti di awal semester sebab faktor biaya, juga kondisi ibu yang sakit-sakitan. Sekarang saat kuliahnya sudah ada yang menanggung, dan ibu telah mendapatkan perawatan terbaik, kondisi yang lebih rumit datang menghampiri.“Kamu pucat banget, Ki?” Fatimah menatap Kiyada khawatir.Sore itu keduanya baru saja keluar dari kelas. Selama jam pelajaran, Kiyada berusaha mati-matian menahan mual yang tiba-tiba datang dan pergi dengan sendirinya.“Kayaknya cuma masuk angin
Hari ini terasa begitu melelahkan bagi laki-laki berusia 25 tahun itu. Jadwal persiapan untuk seminar kepenulisan yang ia agendakan cukup menyita waktu. Farhan bahkan sampai rela mengorbankan jadwal bimbingan tesisnya, demi sebuah komunitas yang baru saja dirintis bersama teman-teman pegiat literasi.Menjelang Magrib Farhan memiliki janji untuk bertemu dengan salah satu dosen sastra di kampus. Motor yang dikendarainya melaju dengan kecepatan sedang. Tiba-tiba dari arah berlawanan ia melihat sebuah motor ninja menyerempet seorang mahasiswi.Kejadian itu begitu cepat, hingga ia mendekat dan matanya menangkap seorang gadis yang begitu ia cintai tengah tergolek lemah. Darah segar yang membasahi pelipis juga bagian depan jilbabnya membuat Farhan kalang kabut.“Kiyada?!” Farhan berseru panik.Direngkuhnya tubuh itu dalam dekapan, lalu salah seorang memberhentikan mobil untuk meminta tolong membawa korban ke rumah sakit. Tanpa berpikir panjang, Farhan me
“Kamu sudah sadar, Ki?” Farhan tersenyum samar.Kiyada mengerjap beberapa kali, ia berusaha bangkit tetapi kepalanya tiba-tiba berdenyut nyeri. “Aku di mana?”“Di rumah sakit. Tadi kamu terserempet pengendara motor.” Farhan berkata lembut seraya menampilkan senyum menawannya.Suasana ruangan mendadak sunyi sepi. Baik Kiyada maupun Farhan sama-sama saling terdiam. Mengeja rasa yang belum sepenuhnya sirna. Meresapi takdir yang terasa getir, juga mengubur mimpi yang terlanjur membumbung tinggi. Namun, bagaimanapun semua adalah rencana terindah dari-Nya. Allah adalah sebaik-baik perancang skenario kehidupan. Tak ada doa yang sia-sia, segala semoga pasti memiliki jawabannya. Tugas kita adalah menjalani semua dengan sebaik-baik penerimaan.Sedih juga kecewa pasti ada, itulah yang coba diredam oleh Kiyada juga Farhan. Sebab hidup harus terus berjalan. Masa lalu bukan untuk diratapi, cukup lah sebagai pengingat diri. Bahwa semua tak lagi sama.
Salah satu perang terhebat adalah perang melawan ego. Mengendapkan hawa nafsu yang kerap membelenggu. Saat Farhan memberi kabar bahwa Kiyada mengalami kecelakaan, Jihan tak berniat ambil pusing. Ia masih belum mampu berdamai dengan kenyataan.Bagi Jihan, Kiyada adalah salah satu penyebab sang kakak sering murung. Andai Kiyada menolak tawaran untuk menjadi madu dari kakaknya, pasti Shofia tetap menjadi istri tunggal. Tak harus memendam kecemburuan sebab dipoligami.Namun, nuraninya sebagai sesama manusia terketuk. Jihan berusaha sekuat tenaga membuang egonya sebagai manusia lemah. Bagaimanapun Kiyada adalah bagian dari keluarga sang kakak. Terlepas dari kehadirannya yang tak diharapkan oleh Jihan.“Kamu jangan membenci Kiyada, Dek. Dia itu yatim sejak dalam kandungan.” Ungkapan Shofia beberapa bulan lalu kembali terngiang.Akhirnya setelah meruntuhkan segala kebencian juga kekecewaan, di sini lah Jihan berada sekarang. Mendatangi wanita y
Mata teduh itu menatap Kiyada dari jarak beberapa meter. Di belakangnya Jihan berdiri dengan ekspresi yang sulit diartikan. Farhan tersenyum ke arahnya seraya mengangguk sekilas.Harusnya saat ini Kiyada bahagia bukan? Sosok yang ia harapkan telah datang ke sini. Namun, sudut hatinya masih saja terasa nyeri saat melihat luka di balik tatapan teduh itu. Jika tadi tak ada Farhan, Kiyada tak tahu bagaimana keadaannya sekarang.“Kamu tidak apa-apa?” Suara Ustaz Subhan mengalihkan perhatiannya.Kiyada menggeleng pelan. Walau kepalanya masih sedikit terasa nyeri, tetapi sungguh itu tak sebanding dengan nyeri di hatinya. Kiyada akan lebih bersyukur jika Farhan membencinya, daripada harus bermuka dua. Meski di luar seolah terlihat baik-baik saja, tetapi Kiyada tak terlalu bodoh hanya untuk melihat wajah sendu di balik senyumnya yang dulu menjadi candu.“Besok kalau sudah boleh pulang, kamu langsung pulang ke rumah, ya?”“Iya,” lirih Kiyada seraya mengangguk pelan. Kini ia fokus menatap suami
“Usia kandungan telah memasuki minggu ke empat,” ucap bidan paruh baya saat pertama kali Kiyada memeriksakan kandungannya.Dada Kiyada kembali berdebar hebat. Ia tak pernah menyangka akan segera menjadi ibu di usianya yang baru saja memasuki 20 tahun. Meski sebelumnya hasil test pack menunjukkan dua garis merah, tetapi mendengar kepastian dari bidan membuat perasaannya haru bercampur khawatir.Besok ia berencana akan pulang ke rumah dan memberi kejutan kabar bahagia ini kepada Ustaz Subhan. Tak sabar rasanya Kiyada ingin melihat ekspresi sang suami. Dalam beberapa film yang ia lihat, laki-laki selalu bahagia saat mendapat kabar hamil pertama dari istrinya.Namun, rencana yang telah ia susun rapi harus kandas begitu saja. Kejutan yang telah ia persiapkan terbengkalai sebab musibah yang dialaminya. Ustaz Subhan justru mendengar kabar kehamilan Kiyada dari orang lain.Kini di hadapannya Jihan tengah berdiri memandangnya dengan tatapan memohon.“Ustazah Shofia meminta saya untuk menjadi m
Malam ini Kiyada merasa dirinya bagaikan ratu. Ustaz Subhan melayani segala kebutuhannya dengan sangat baik. Bahkan untuk pertama kali sang suami menyuapinya makan malam.Besok pagi dokter telah memperbolehkan Kiyada untuk pulang, dengan syarat harus istirahat total selama satu minggu. Tampaknya Kiyada harus merelakan jam kuliahnya untuk sementara.“Kuliahkan kan bisa lewat via online,” bujuk Ustaz Subhan dengan lembut saat Kiyada mengkhawatirkan jadwal kuliahnya akan terbengkalai.Kiyada hanya bisa mengangguk patuh. Mungkin ini adalah saatnya ia menikmati masa-masa kehamilan pertamanya. Sesuatu yang belum tentu bisa terulang di masa mendatang.Saat Subuh menyapa, pemandangan yang pertama kali Kiyada lihat adalah Ustaz Subhan yang tengah khusuk berdzikir. Salah satu hal yang paling disukai Kiyada adalah menatap punggung sang suami ketika sibuk bercengkrama dengan Tuhannya. Di bawah bimbingan sosok Ustaz Subhan, Kiyada yakin anaknya akan bangga memiliki ayah seperti beliau.“Kamu mau s
Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora
Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub
Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan
24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h
Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan
Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m
Malam itu perasaan Kiyada sungguh bahagia. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa dirinya juga teramat merindukan belaian sang suami. Meski tak banyak kalimat manis yang dilontarkan Ustaz Subhan, setidaknya senyuman dan satu kali panggilan-sayang- sudah lebih dari cukup bagi Kiyada.Namun, sepertinya harapan Kiyada terlampau tinggi. Nyatanya, saat terbangun menjelang waktu Subuh, Ustaz Subhan sudah tidak ada disisinya. Padahal tadi malam ia sempat berpesan untuk dibangunkan salat tahajud. “Mas?” Perlahan Kiyada bangkit dari tempat tidur. Mencari sosok Ustaz Subhan yang ternyata tidak ada di dalam kamar.Perut Kiyada yang semakin membesar membuat ia tak bisa bergerak selincah biasanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, barangkali Ustaz Subhan tengah mandi atau mengambil wudhu. Lagi-lagi tak ada siapapun di sana. Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam juga sesekali suara kokok ayam jantan.Tidak biasanya Ustaz Subhan berangkat ke masjid sebelum Subuh seperti
Sepertinya Aldi masih belum cukup puas dengan jawaban yang diberikan Ustaz Subhan. Sementara suara qiraat penanda akan masuknya waktu Isya sudah berkumandang dari arah masjid. Obrolan keduanya pun mau tak mau harus berakhir.“Kalau kapan-kapan saya silaturahim ke rumah Ustaz, boleh?” tanya Aldi sebelum Ustaz Subhan beranjak.Meski sempat ragu, Ustaz Subhan akhirnya mengangguk seraya tersenyum simpul. Tidak mungkin ia menolak seseorang yang ingin datang untuk bertanya perihal agama. Namun, Ustaz Subhan masih belum tahu apakah Aldi sudah tahu statusnya sebagai suami yang memiliki dua istri.Hingga selesai jamaah Isya dan menempuh perjalanan menuju rumah Kiyada, percakapan singkat dengan Aldi masih terus saja menghantui hati dan pikiran Ustaz Subhan. Bagaimana jika Aldi belum tahu akan statusnya? Pikiran yang berkelana di sepanjang perjalanan, membuat Ustaz Subhan tak sadar jika ia telah sampai di halaman rumah Kiyada. Suasana rumah itu tak lagi sepi seperti sebelum ia berangkat ke masj
Sejujurnya beberapa menit yang lalu Ustaz Subhan telah berbohong pada Kiyada, dengan mengatakan bahwa ia ada urusan dengan remaja masjid setempat. Ia hanya ingin memberi waktu jeda pada hubungan mereka. Sebab sejak perbincangan tadi semua terasa semakin canggung. Entah lah apa penyebab pastinya.Lalu tanpa diduga pertemuannya dengan seorang remaja laki-laki yang mempertanyakan persoalan poligami membuat Ustaz Subhan merasa terusik. Sebenarnya apa yang ingin dipertanyakan, dan mengapa harus dirinya yang mendapat pertanyaan?Benar saja, setelah turun dari salat jamaah, remaja tersebut menunggu di dekat gapura masjid. Ini baru kali pertama Ustaz Subhan bertemu dengan laki-laki itu. Dilihat dari tampilannya, bisa ditebak jika ia bukan seperti penduduk setempat.“Assalamualaikum, Ustaz.” Dengan takzim ia mencium punggung tangan Ustaz Subhan.“Waalaikumsalam.” Ustaz Subhan memasang mimik setenang mungkin.“Sebelumnya maaf, apa saya mengganggu waktunya Ustaz?”Waktu menuju Isya’ masih cukup