“Usia kandungan telah memasuki minggu ke empat,” ucap bidan paruh baya saat pertama kali Kiyada memeriksakan kandungannya.Dada Kiyada kembali berdebar hebat. Ia tak pernah menyangka akan segera menjadi ibu di usianya yang baru saja memasuki 20 tahun. Meski sebelumnya hasil test pack menunjukkan dua garis merah, tetapi mendengar kepastian dari bidan membuat perasaannya haru bercampur khawatir.Besok ia berencana akan pulang ke rumah dan memberi kejutan kabar bahagia ini kepada Ustaz Subhan. Tak sabar rasanya Kiyada ingin melihat ekspresi sang suami. Dalam beberapa film yang ia lihat, laki-laki selalu bahagia saat mendapat kabar hamil pertama dari istrinya.Namun, rencana yang telah ia susun rapi harus kandas begitu saja. Kejutan yang telah ia persiapkan terbengkalai sebab musibah yang dialaminya. Ustaz Subhan justru mendengar kabar kehamilan Kiyada dari orang lain.Kini di hadapannya Jihan tengah berdiri memandangnya dengan tatapan memohon.“Ustazah Shofia meminta saya untuk menjadi m
Malam ini Kiyada merasa dirinya bagaikan ratu. Ustaz Subhan melayani segala kebutuhannya dengan sangat baik. Bahkan untuk pertama kali sang suami menyuapinya makan malam.Besok pagi dokter telah memperbolehkan Kiyada untuk pulang, dengan syarat harus istirahat total selama satu minggu. Tampaknya Kiyada harus merelakan jam kuliahnya untuk sementara.“Kuliahkan kan bisa lewat via online,” bujuk Ustaz Subhan dengan lembut saat Kiyada mengkhawatirkan jadwal kuliahnya akan terbengkalai.Kiyada hanya bisa mengangguk patuh. Mungkin ini adalah saatnya ia menikmati masa-masa kehamilan pertamanya. Sesuatu yang belum tentu bisa terulang di masa mendatang.Saat Subuh menyapa, pemandangan yang pertama kali Kiyada lihat adalah Ustaz Subhan yang tengah khusuk berdzikir. Salah satu hal yang paling disukai Kiyada adalah menatap punggung sang suami ketika sibuk bercengkrama dengan Tuhannya. Di bawah bimbingan sosok Ustaz Subhan, Kiyada yakin anaknya akan bangga memiliki ayah seperti beliau.“Kamu mau s
Tak ada wanita yang benar-benar rela jika harus berbagi rasa. Bahkan jika itu atas nama agama sekalipun. Rasa cemburu, cemas, dan khawatir itu pasti ada. Wanita memang lihai menutupi rasa cinta, tetapi begitu sulit mengendalikan cemburu di dada.“Kamu nggak akan pernah bisa bersandiwara di depanku, Shofi.”Satu kalimat yang berhasil membuat pertahanan Shofia jebol seketika. Air mata yang sekuat tenaga ia sembunyikan, perlahan mengaliri pipi bak pualam miliknya. Kembali ia tergugu dalam dekapan sang suami.“Kita tak perlu melakukan semua ini, Sayang. Aku nggak mau melihat kamu terluka.”“Aku tidak apa-apa, Mas. Ini hanya perasaan sesaat, nanti jika sudah terbiasa akan memudar dengan sendirinya.” Tercekat suara Shofia saat mengungkapkan kata-kata yang ia sendiri tak yakin akan hal itu.Serangkaian momen sebelum Ustaz Subhan menikahi Kiyada kembali berkelebat. Tak tega rasanya memberitahu Shofia perihal kehamilan Kiyada. Sebagai sosok yang telah delapan tahun mengarungi rumah tangga bers
Sang mentari kian menaiki cakrawala. Udara pagi yang sejuk mulai tercampur polusi kendaraan bermotor. Para pekerja juga pelajar seakan berlomba-lomba berkejaran dengan sang waktu.Setelah semalam Jihan mendengar fakta mengejutkan tentang hubungan Kiyada dan Farhan di masa lalu, pagi ini abah memaksanya untuk menjenguk wanita tersebut. Sepertinya Ustaz Subhan yang memberitahu abah perihal kecelakaan yang dialami Kiyada.“Kamu jenguk Kiyada kalau dia sudah pulang. Kasihan dia sudah tak memiliki keluarga lagi,” tutur abah saat Jihan tiba di rumah tadi malam.Jihan hanya mengangguk samar dengan ekspresi datar. Terlalu banyak peristiwa yang menguras emosi sejak siang tadi. Mulai dari kabar kecelekaan Kiyada, kehamilan wanita itu, juga masa lalunya dengan Farhan.Jihan sadar betul, ia bukan wanita kalem dan lemah lembut seperti kakaknya. Selama ini ia cukup kesulitan untuk menyembunyikan raut jutek di depan orang yang tak disukainya. Ia bukan wanita berhati malaikat yang dengan mudahnya men
“Kak Shofi minta uang dong,” rengek Jihan saat ia akan pergi bersama teman-temannya.Shofia masih fokus dengan PC di hadapannya, bersikap tuli dengan rengekan Jihan yang selalu meminta uang tiap mau keluar. Padahal saku yang diberikan abah bisa dibilang lebih dari cukup tiap minggunya.Tak putus asa, Jihan kini meraih PC di depan Shofia. Gadis itu tak akan berhenti merajuk jika permintaannya tak dituruti.“Kemarin kan sudah dikasih uang sama Abah, Jihan.” Shofia menekan suaranya.Ketika Jihan dan Shofia mulai berdebat masalah uang jajan, maka Ustaz Subhan yang selalu menjadi penengah antara keduanya. Tanpa banyak berkata-kata laki-laki tersebut akan memberikan sejumlah uang pada Jihan.“Jangan pelit sama adik sendiri.” Begitulah jawaban yang diberikan Ustaz Subhan tiap kali Shofia memprotes tindakannya yang terlalu royal pada Jihan.“Mas Subhan memang kakak aku yang paaliing baik.” Jihan melirik sekilas pada Shofia seraya menjulurkan lidah.Jika mengingat masa-masa itu Ustaz Subhan me
Hari-hari yang dilalui Kiyada selama masa pemulihan terasa membosankan. Ustaz Subhan benar-benar melarangnya terlalu banyak bergerak, kecuali dalam beberapa hal yang cukup mendesak saja.Bahkan sang suami mengurangi undangan ceramah di luar kota. Meski begitu, tak serta merta membuat Ustaz Subhan lebih sering berada di rumah bersama Kiyada. Laki-laki tersebut memakai jasa asisten rumah tangga yang berangkat pagi dan pulang sore dari rumah Kiyada.“Malam ini aku ada rapat di pesantren. Kamu mau ikut ke sana atau di rumah saja?”Siang itu Ustaz Subhan dan Shofia tengah bersantai di ruang tengah. Keduanya tengah menonton televisi dengan Kiyada yang berbaring di pangkuan Ustaz Subhan. Semenjak hamil entah mengapa Kiyada sangat menikmati aroma tubuh Ustaz Subhan.Kiyada terdiam sejenak, menimbang tawaran cukup menarik dari sang suami. Dari dulu Kiyada begitu memimpikan belajar di pesantren. Hanya saja keadaan tak memungkinkan ia untuk tinggal jauh dari ibu dalam kurun waktu yang tidak sebe
Beberapa hari terakhir Shofia kesulitan tidur di saat malam hari. Terlalu banyak kebohongan yang ia lakukan pada keluarganya. Termasuk keadaan Bu Aminah, ibu Kiyada. Wanita paruh baya itu melarangnya untuk memberitahu Kiyada tentang keadaan yang sesungguhnya.Dokter mengatakan jika kanker serviks yang dialami Bu Aminah telah mencapai stadium akhir, dan selnya telah menyebar. Meski telah dilakukan oprasi pengangkatan, tetap saja tak menjamin akan sembuh total.“Kanker serviks hanya dialami oleh wanita yang pernah melakukan hubungan badan dengan lawan jenis. Sedangkan dari cerita kamu, Bu Aminah ini ditinggal mati suaminya sekitar 20 tahun yang lalu.” Erlana menjeda kalimatnya, wanita itu kembali mengamati kertas hasil rekam medis Bu Aminah.Shofia masih terdiam, ia menunggu lanjutan ucapan Erlana. Ia menatap wanita di hadapannya dengan penuh tanya.“Virus HPV penyebab kanker serviks ini berkembang antara delapan sampai sepuluh tahun. Salah satu pemicu terkuatnya adalah berhubungan bada
Dari si kecil Lula, Shofia mendapat banyak pelajaran berharga. Kepolosan anak itu telah mengembalikan semangatnya untuk berjuang sembuh. Paling tidak, agar ia bisa bertahan hidup lebih lama lagi.Setelah beberapa hari menonaktifkan ponsel, karena menghindari panggilan dari Ustaz Subhan. Kini ia lebih sering menghubungi sang suami. Ia harus menikmati sisa hidup dengan cukup baik.“Aku kangen banget sama kamu, Sayang,” ungkap Ustaz Subhan mengawali sambungan telephon.“Assalamualaikum, Mas.”Ustaz Subhan terkekeh. “Iya, saking rindunya sampai lupa tak mengucap salam.”Shofia tertawa ringan. Ia membayangkan senyuman Ustaz Subhan yang selalu menyihirnya. Kumis tipis juga jambang yang sedikit kasar, Shofia sungguh rindu sentuhan itu. Sejenak ia melupakan penyakit yang menggerogoti tubuhnya.“Mas Subhan sedang apa di sana?” Meski sedikit ragu, akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari bibir Shofia.Berdebar dada Shofia menanti jawaban yang akan diberikan sang suami. Ia takut saat ini Ustaz
Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora
Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub
Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan
24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h
Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan
Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m
Malam itu perasaan Kiyada sungguh bahagia. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa dirinya juga teramat merindukan belaian sang suami. Meski tak banyak kalimat manis yang dilontarkan Ustaz Subhan, setidaknya senyuman dan satu kali panggilan-sayang- sudah lebih dari cukup bagi Kiyada.Namun, sepertinya harapan Kiyada terlampau tinggi. Nyatanya, saat terbangun menjelang waktu Subuh, Ustaz Subhan sudah tidak ada disisinya. Padahal tadi malam ia sempat berpesan untuk dibangunkan salat tahajud. “Mas?” Perlahan Kiyada bangkit dari tempat tidur. Mencari sosok Ustaz Subhan yang ternyata tidak ada di dalam kamar.Perut Kiyada yang semakin membesar membuat ia tak bisa bergerak selincah biasanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, barangkali Ustaz Subhan tengah mandi atau mengambil wudhu. Lagi-lagi tak ada siapapun di sana. Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam juga sesekali suara kokok ayam jantan.Tidak biasanya Ustaz Subhan berangkat ke masjid sebelum Subuh seperti
Sepertinya Aldi masih belum cukup puas dengan jawaban yang diberikan Ustaz Subhan. Sementara suara qiraat penanda akan masuknya waktu Isya sudah berkumandang dari arah masjid. Obrolan keduanya pun mau tak mau harus berakhir.“Kalau kapan-kapan saya silaturahim ke rumah Ustaz, boleh?” tanya Aldi sebelum Ustaz Subhan beranjak.Meski sempat ragu, Ustaz Subhan akhirnya mengangguk seraya tersenyum simpul. Tidak mungkin ia menolak seseorang yang ingin datang untuk bertanya perihal agama. Namun, Ustaz Subhan masih belum tahu apakah Aldi sudah tahu statusnya sebagai suami yang memiliki dua istri.Hingga selesai jamaah Isya dan menempuh perjalanan menuju rumah Kiyada, percakapan singkat dengan Aldi masih terus saja menghantui hati dan pikiran Ustaz Subhan. Bagaimana jika Aldi belum tahu akan statusnya? Pikiran yang berkelana di sepanjang perjalanan, membuat Ustaz Subhan tak sadar jika ia telah sampai di halaman rumah Kiyada. Suasana rumah itu tak lagi sepi seperti sebelum ia berangkat ke masj
Sejujurnya beberapa menit yang lalu Ustaz Subhan telah berbohong pada Kiyada, dengan mengatakan bahwa ia ada urusan dengan remaja masjid setempat. Ia hanya ingin memberi waktu jeda pada hubungan mereka. Sebab sejak perbincangan tadi semua terasa semakin canggung. Entah lah apa penyebab pastinya.Lalu tanpa diduga pertemuannya dengan seorang remaja laki-laki yang mempertanyakan persoalan poligami membuat Ustaz Subhan merasa terusik. Sebenarnya apa yang ingin dipertanyakan, dan mengapa harus dirinya yang mendapat pertanyaan?Benar saja, setelah turun dari salat jamaah, remaja tersebut menunggu di dekat gapura masjid. Ini baru kali pertama Ustaz Subhan bertemu dengan laki-laki itu. Dilihat dari tampilannya, bisa ditebak jika ia bukan seperti penduduk setempat.“Assalamualaikum, Ustaz.” Dengan takzim ia mencium punggung tangan Ustaz Subhan.“Waalaikumsalam.” Ustaz Subhan memasang mimik setenang mungkin.“Sebelumnya maaf, apa saya mengganggu waktunya Ustaz?”Waktu menuju Isya’ masih cukup