Pov Fitri. "Mas, apa mau ku buatkan kopi?" Aku mencoba membuka suara, meski kutau mereka tidaklah ingin aku bersuara."Boleh," sahut Mas Tian dengan nada ketus, wajahnya masih terlihat kesal.Aku menyunggingkan senyum tipis sebelum berjalan ke dapur. Tidak sampai sepuluh menit aku membawa nampan berisi secangkir kopi dari dapur dan roti kesukaan mas Tian. Namun, langkahku terhenti ketika mendengar sayup-sayup suara mertuaku sedang bicara dengan Mas Tian."Bas, Bunda mohon maaf sebelumnya, bukannya Bunda mau ikut campur urusan rumah tanggamu. Tapi, alangkah baiknya untuk sekarang ini, Fitri tidak usah kamu suruh dulu keluar rumah. Gosib kamu dan Fitri kemarin berhembus sangat cepat, Nak. Bunda malu, mendengar tetangga membicarakan kalian. Sesekali kamu tegaslah padanya,""Aku akan mempertimbangkannya, Bunda. Tapi aku juga meminta Bunda dan Mbak Rita bersikaplah baik pada Fitri, walaubagaimanapun dia masih istriku,""Terimakasih, Bas. Bunda juga minta maaf padamu, karna gara-gara sikap
"Bisakah kau tidak berteriak-teriak, Mbak, anakku nanti bangun! " Bastian berkata tegas, membungkam mulut Rita seketika.Rita kemudian mengalihkan pandangan ke arah Fitri."Tak apa, Mas, aku akan mengambilkan kalian minum, masuklah dulu."Kemudian Fitdi pergi kebelakang, selang beberapa menit, dia kembali lagi berjalan sangat hati-hati seraya membawa nampan berisikan teko besar dan beberapa gelas kaca.Namun, kakinya seketika terhenti, melihat di ujung sana Bastian sedang menggendong putrinya sembari mengecup kening Alice di hadapan semua orang.Tawa pun ikut menggema di ruang tamu, melihat bayi mungil dalam gendongan Bastian tersenyum.Entah mengapa, menyaksikan dan mendengar semua itu, cairan bening di sudut matanya lolos begitu saja. Segera ia bersembunyi di balik gorden sambil memegang dadanya dengan sebelah tangan, dadanya amat sesak saat ini. Dia pun tak tau kenapa dia tiba-tiba menangis."Ada apa denganku? Apa ini air mata kebahagian? ""Maafkan aku, Mas, karna tak bisa memberik
POV FITRI. "Aldi... " ucapku pelan, tak menyangka saja temanku itu akan ada di sini. Kemudian aku berusaha berdiri menghadap padanya."Aldi kenapa kamu bisa ada di sini?" tanyaku setelah menyeka air mata."Kamu tidak perlu tau kenapa aku bisa ada di sini. Justru sekarang aku yang ingin bertanya padamu, siapa yang mengatakan tak ada orang yang peduli denganmu? Dan satu lagi, apa kamu tak merasakan air hujan?"Pria yang kukenali sejak lama itu menatapku dengan tatapan yang tak biasa.Aku tak menyahut, malah kini kepala kutundukkan menatap tanah yang sudah becek di bawah kakiku."Sudahlah, lebih baik kita berteduh di pondok sekarang, apa kamu tak kasihan melihatku yang sudah basah kuyup begini," Dia mengulas senyum sembari menyilangkan kedua tangannya di dada, menunjukkan ia sedang kedinginan.Aku mengangguk pelan, kemudian mengekorinya menuju pondok yang tak jauh yang berada di sekitar pemakaman.Kini kami telah berada di bangunan kecil yang di dalamnya ada seorang pria tua, penjaga mak
[Mbak hari ini gak usah masak, kami berkunjung kerumah Abah. Sepertinya kami pulang agak sore, tolong jemuran Bunda Ira dan Mbak Rita diangkat ya]Fitri menghela nafas panjang setelah membaca pesan yang di kirim Alice ke ponselnya. Kemudian ia menaruh lagi benda pipih itu.Menjelang sore, Fitri menyibukkan diri membuat kue cake kesukaan suaminya. Sudah lama sekali ia tak pernah membuatkan kue kesukaan suaminya itu. Dulu, dirinya begitu sering membuatkan kue itu untuk suaminya.Selesai membuat kue, Fitri bergegas mengangkat pakaian milik mertua dan kakak iparnya, ketika melihat langit mulai berubah mendung."Fitri, kau kah itu?" tanya bunda Ira saat melihat seorang wanita kurus berdiri membelakanginya sambil mengangkat kain jemuran. Fitri berbalik badan menghadap ke arah mertuanya itu. "Iya Bunda, ini aku."Bunda Ira mengernyit. "Bunda kira siapa tadi? Tubuhmu sangat kurus sekali Fitri, seperti orang kelaparan saja! Sudahlah, Bunda mau kedalam dulu," katanya ketus.Fitri tersenyum geti
Di sebuah rumah sederhana berdinding papan, seorang wanita bertubuh kurus terbaring diatas kasur tanpa ranjang. Wajahnya tampak pucat dengan tubuh yang menggigil kedinginan. Wanita itu belum juga sadar setelah tadi di temukan pingsan di tepi jalan oleh bik Mar dan anaknya lalu di bawanya ke rumah."Apa sebenarnya yang terjadi denganmu, Non?" Sejak tadi, bik Mar duduk bersila di samping Fitri. Dia begitu mengkhawatirkan mantan majikannya tersebut. Entah kenapa ia merasa terjadi sesuatu dengan rumah tangganya terlebih lagi kondisi Fitri terlihat menggemaskan saat di bawa ke rumahnya."Buk, air hangat ini di letakkan di mana?" tanya Susi anak bik Mar yang membawa baskom berisi air hangat."Letakkan saja di situ," titah bik Mar seraya menunjuk.Setelah meletakkan baskom berisi air hangat. Susi ikut duduk di samping bi Mar,sambil memandang tubuh kurus di hadapannya.Tiba-tiba jemari Fitri mulai bergerak-gerak di susul dengan gumaman kecil keluar dari mulutnya. Perlahan matanya pun terbuka.
"Sudah berapa lama tidak datang bulan?" tanya sang dokter sambil menggerakkan benda di atas perut Fitri kesegala arah.Fitri tersentak, baru menyadari sudah beberapa bulan tak menstruasi. Ia pun mengingat-ingat kapan terakhit kali datang bulan."Hm, saya lupa-lupa ingat Dok, tapi sepertinya tiga bulan yang lalu," jawab Fitri saat teringat Bastian pernah menggaulinya dulu dalam keadaan marah. "Memangnya kenapa ya, Dok?"Dokter terkekeh sebentar. Kemudian menghidupkan layar monitor di dinding, menampilkan sesuatu yang membuat mata bik Mar dan Fitri terbelalak."Di dalam purut Mbak sekarang ada seorang bayi, selamat ya Mbak," ucap dokter sembari tersenyum tipis."Alhamdulillah." Bik Mar lansung mengucap syukur.Sementara Fitri masih terpaku. "Ta-tapi ba-bagaimana bisa Dok? I-itu ti-tidak mungkin," ucap Fitri terbata-bata, tak percaya akan perkataan Dokter."Tentu saja bisa. Apa yang tidak bisa terjadi jika Allah sudah berkehendak? Kun fayakun!" Dokter kemudian menutup pakaian Fitri dan me
Pov Fitri. Kuambil piring makanan yang di letakkan bik Mar tadi, lalu mulai menyantapnya. Tak butuh waktu lama, piring tersebut sudah kosong olehku. Alhamdulillah selama kehamilan, buah hatiku tidak pernah menyusahkanku. Malahan di kehamilan pertamaku ini, aku kuat makan meski hanya bagian perutku saja yang semakin besar.Tiap kali aku juga menanyakan pada Aldi semua keanehan yang terjadi pada tubuhku. Namun, Aldi bilang itu normal-normal saja. Teman baikku itu juga selalu berpesan agar aku semangat dan tak boleh banyak pikiran.Sekitar dua puluh menit kemudian, putri bik Mar datang. Wanita yang usianya sepantaran dengan Alice itu membawa buah-buahan untukku. Beberapa bulan ini dia memang hampir setiap hari berkunjung kerumah, semenjak pindah rumah dan tinggal bersama suaminya tidak jauh dari tempat tinggalku. Kamipun sering menghabiskan waktu di rumah dengan saling bersanda gurau hingga bik Mar datang. Seperti hari ini, ketika bik Mar datang, Susi pun lansung pamit pulang."Sebentar
Pov Bastian. Menjelang siang, aku pun berangkat ke kota hendak menjemput keluarga Alice. Aku yang datang lebih awal, memutuskan berjalan-jalan di pusat kota, lalu beristirahat sebentar di salah satu restoran ingin mengisi perut yang sudah keroncongan. Ayam goreng mentega adalah makanan yang kupesan, makanan kesukaan Fitri dulu. Aku tersenyum getir sambil menyuap makanan itu, pikiranku berkelana mengingat kebersamaan bersamanya dahulu.Seketika aku menghentikan kegiatanku yang tengah makan, saat melihat seseorang yang tidak asing berjalan keluar dari restoran.Bajingan! Ya dia bajingan itu, bajingan yang telah menghancurkan rumah tanggaku. Aku segera berlari mengejar pria bajingan itu keluar restoran."Berhenti kau!" teriakku di belakangnya. Namun, pria itu seperti tuli tak mendengar teriakanku. "Aldi bajingan! Berhenti kau!" Aku berlari bersiap menerjangnya.Bugh!Baru saja bajingan itu berbalik badan, tinjuku melayang tepat mengenai rahangnya. Bajingan itu terhuyung kebelakang. Yang
"Bik Mar!" Bastian mendekat kemudian lansung memeluk wanita paruh baya itu."Ya Alllah Den Bastian... " Bik Mar mengurai pelukan, lalu meraba-raba wajah Bastian sejenak. "Ternyata benar Den Bastian, tapi kenapa Aden bisa ada di sini?""Iya Bik ini saya Bastian. Ceritanya panjang Bik. Oh ya Bik, Fitri tinggal di sini kan?"Raut wajah bik Mar seketika berubah."Eh, Bibi sampai lupa mari masuk dulu Den." Bik Mar mempersilahkan Bastian masuk ke dalam rumahnya."Tidak usah Bik, di sini saja," cegah Bastian menahan tangan bik Mar, ia membawa wanita paruh baya itu duduk di teras rumah yang terdapat kursi kayu. "Bik, aku hanya ingin bertemu Fitri. Katakan dimana dia sekarang? Apa benar Fitri sedah mempunyai anak? Dan apa benar Fitri terkena kanker otak?" tanyanya tak sabaran.Bik Mar menghela nafas dalam. "Iya, Non Fitri terkena kanker otak, dia juga hamil ketika Aden menalaknya-""Nenek!"Kedua mata Bastian terbuka lebar saat menolehke arah sampingnya. Di sana berdiri seorang anak laki-laki y
Pov Bastian. Menjelang siang, aku pun berangkat ke kota hendak menjemput keluarga Alice. Aku yang datang lebih awal, memutuskan berjalan-jalan di pusat kota, lalu beristirahat sebentar di salah satu restoran ingin mengisi perut yang sudah keroncongan. Ayam goreng mentega adalah makanan yang kupesan, makanan kesukaan Fitri dulu. Aku tersenyum getir sambil menyuap makanan itu, pikiranku berkelana mengingat kebersamaan bersamanya dahulu.Seketika aku menghentikan kegiatanku yang tengah makan, saat melihat seseorang yang tidak asing berjalan keluar dari restoran.Bajingan! Ya dia bajingan itu, bajingan yang telah menghancurkan rumah tanggaku. Aku segera berlari mengejar pria bajingan itu keluar restoran."Berhenti kau!" teriakku di belakangnya. Namun, pria itu seperti tuli tak mendengar teriakanku. "Aldi bajingan! Berhenti kau!" Aku berlari bersiap menerjangnya.Bugh!Baru saja bajingan itu berbalik badan, tinjuku melayang tepat mengenai rahangnya. Bajingan itu terhuyung kebelakang. Yang
Pov Fitri. Kuambil piring makanan yang di letakkan bik Mar tadi, lalu mulai menyantapnya. Tak butuh waktu lama, piring tersebut sudah kosong olehku. Alhamdulillah selama kehamilan, buah hatiku tidak pernah menyusahkanku. Malahan di kehamilan pertamaku ini, aku kuat makan meski hanya bagian perutku saja yang semakin besar.Tiap kali aku juga menanyakan pada Aldi semua keanehan yang terjadi pada tubuhku. Namun, Aldi bilang itu normal-normal saja. Teman baikku itu juga selalu berpesan agar aku semangat dan tak boleh banyak pikiran.Sekitar dua puluh menit kemudian, putri bik Mar datang. Wanita yang usianya sepantaran dengan Alice itu membawa buah-buahan untukku. Beberapa bulan ini dia memang hampir setiap hari berkunjung kerumah, semenjak pindah rumah dan tinggal bersama suaminya tidak jauh dari tempat tinggalku. Kamipun sering menghabiskan waktu di rumah dengan saling bersanda gurau hingga bik Mar datang. Seperti hari ini, ketika bik Mar datang, Susi pun lansung pamit pulang."Sebentar
"Sudah berapa lama tidak datang bulan?" tanya sang dokter sambil menggerakkan benda di atas perut Fitri kesegala arah.Fitri tersentak, baru menyadari sudah beberapa bulan tak menstruasi. Ia pun mengingat-ingat kapan terakhit kali datang bulan."Hm, saya lupa-lupa ingat Dok, tapi sepertinya tiga bulan yang lalu," jawab Fitri saat teringat Bastian pernah menggaulinya dulu dalam keadaan marah. "Memangnya kenapa ya, Dok?"Dokter terkekeh sebentar. Kemudian menghidupkan layar monitor di dinding, menampilkan sesuatu yang membuat mata bik Mar dan Fitri terbelalak."Di dalam purut Mbak sekarang ada seorang bayi, selamat ya Mbak," ucap dokter sembari tersenyum tipis."Alhamdulillah." Bik Mar lansung mengucap syukur.Sementara Fitri masih terpaku. "Ta-tapi ba-bagaimana bisa Dok? I-itu ti-tidak mungkin," ucap Fitri terbata-bata, tak percaya akan perkataan Dokter."Tentu saja bisa. Apa yang tidak bisa terjadi jika Allah sudah berkehendak? Kun fayakun!" Dokter kemudian menutup pakaian Fitri dan me
Di sebuah rumah sederhana berdinding papan, seorang wanita bertubuh kurus terbaring diatas kasur tanpa ranjang. Wajahnya tampak pucat dengan tubuh yang menggigil kedinginan. Wanita itu belum juga sadar setelah tadi di temukan pingsan di tepi jalan oleh bik Mar dan anaknya lalu di bawanya ke rumah."Apa sebenarnya yang terjadi denganmu, Non?" Sejak tadi, bik Mar duduk bersila di samping Fitri. Dia begitu mengkhawatirkan mantan majikannya tersebut. Entah kenapa ia merasa terjadi sesuatu dengan rumah tangganya terlebih lagi kondisi Fitri terlihat menggemaskan saat di bawa ke rumahnya."Buk, air hangat ini di letakkan di mana?" tanya Susi anak bik Mar yang membawa baskom berisi air hangat."Letakkan saja di situ," titah bik Mar seraya menunjuk.Setelah meletakkan baskom berisi air hangat. Susi ikut duduk di samping bi Mar,sambil memandang tubuh kurus di hadapannya.Tiba-tiba jemari Fitri mulai bergerak-gerak di susul dengan gumaman kecil keluar dari mulutnya. Perlahan matanya pun terbuka.
[Mbak hari ini gak usah masak, kami berkunjung kerumah Abah. Sepertinya kami pulang agak sore, tolong jemuran Bunda Ira dan Mbak Rita diangkat ya]Fitri menghela nafas panjang setelah membaca pesan yang di kirim Alice ke ponselnya. Kemudian ia menaruh lagi benda pipih itu.Menjelang sore, Fitri menyibukkan diri membuat kue cake kesukaan suaminya. Sudah lama sekali ia tak pernah membuatkan kue kesukaan suaminya itu. Dulu, dirinya begitu sering membuatkan kue itu untuk suaminya.Selesai membuat kue, Fitri bergegas mengangkat pakaian milik mertua dan kakak iparnya, ketika melihat langit mulai berubah mendung."Fitri, kau kah itu?" tanya bunda Ira saat melihat seorang wanita kurus berdiri membelakanginya sambil mengangkat kain jemuran. Fitri berbalik badan menghadap ke arah mertuanya itu. "Iya Bunda, ini aku."Bunda Ira mengernyit. "Bunda kira siapa tadi? Tubuhmu sangat kurus sekali Fitri, seperti orang kelaparan saja! Sudahlah, Bunda mau kedalam dulu," katanya ketus.Fitri tersenyum geti
POV FITRI. "Aldi... " ucapku pelan, tak menyangka saja temanku itu akan ada di sini. Kemudian aku berusaha berdiri menghadap padanya."Aldi kenapa kamu bisa ada di sini?" tanyaku setelah menyeka air mata."Kamu tidak perlu tau kenapa aku bisa ada di sini. Justru sekarang aku yang ingin bertanya padamu, siapa yang mengatakan tak ada orang yang peduli denganmu? Dan satu lagi, apa kamu tak merasakan air hujan?"Pria yang kukenali sejak lama itu menatapku dengan tatapan yang tak biasa.Aku tak menyahut, malah kini kepala kutundukkan menatap tanah yang sudah becek di bawah kakiku."Sudahlah, lebih baik kita berteduh di pondok sekarang, apa kamu tak kasihan melihatku yang sudah basah kuyup begini," Dia mengulas senyum sembari menyilangkan kedua tangannya di dada, menunjukkan ia sedang kedinginan.Aku mengangguk pelan, kemudian mengekorinya menuju pondok yang tak jauh yang berada di sekitar pemakaman.Kini kami telah berada di bangunan kecil yang di dalamnya ada seorang pria tua, penjaga mak
"Bisakah kau tidak berteriak-teriak, Mbak, anakku nanti bangun! " Bastian berkata tegas, membungkam mulut Rita seketika.Rita kemudian mengalihkan pandangan ke arah Fitri."Tak apa, Mas, aku akan mengambilkan kalian minum, masuklah dulu."Kemudian Fitdi pergi kebelakang, selang beberapa menit, dia kembali lagi berjalan sangat hati-hati seraya membawa nampan berisikan teko besar dan beberapa gelas kaca.Namun, kakinya seketika terhenti, melihat di ujung sana Bastian sedang menggendong putrinya sembari mengecup kening Alice di hadapan semua orang.Tawa pun ikut menggema di ruang tamu, melihat bayi mungil dalam gendongan Bastian tersenyum.Entah mengapa, menyaksikan dan mendengar semua itu, cairan bening di sudut matanya lolos begitu saja. Segera ia bersembunyi di balik gorden sambil memegang dadanya dengan sebelah tangan, dadanya amat sesak saat ini. Dia pun tak tau kenapa dia tiba-tiba menangis."Ada apa denganku? Apa ini air mata kebahagian? ""Maafkan aku, Mas, karna tak bisa memberik
Pov Fitri. "Mas, apa mau ku buatkan kopi?" Aku mencoba membuka suara, meski kutau mereka tidaklah ingin aku bersuara."Boleh," sahut Mas Tian dengan nada ketus, wajahnya masih terlihat kesal.Aku menyunggingkan senyum tipis sebelum berjalan ke dapur. Tidak sampai sepuluh menit aku membawa nampan berisi secangkir kopi dari dapur dan roti kesukaan mas Tian. Namun, langkahku terhenti ketika mendengar sayup-sayup suara mertuaku sedang bicara dengan Mas Tian."Bas, Bunda mohon maaf sebelumnya, bukannya Bunda mau ikut campur urusan rumah tanggamu. Tapi, alangkah baiknya untuk sekarang ini, Fitri tidak usah kamu suruh dulu keluar rumah. Gosib kamu dan Fitri kemarin berhembus sangat cepat, Nak. Bunda malu, mendengar tetangga membicarakan kalian. Sesekali kamu tegaslah padanya,""Aku akan mempertimbangkannya, Bunda. Tapi aku juga meminta Bunda dan Mbak Rita bersikaplah baik pada Fitri, walaubagaimanapun dia masih istriku,""Terimakasih, Bas. Bunda juga minta maaf padamu, karna gara-gara sikap