"Pak Naga gagal tenderkah?" tanya salah satu karyawati dengan berbisik."Ga tahu. Kayaknya semua aman-aman saja." Kasak-kusuk itu semakin keras bergema di sepanjang kantor yang satu lantai dengan Naga.Akhir-akhir ini sikap Naga berubah seratus delapan puluh derajat. Sosok ambisius itu gagal menghancurkan Adhyatsa Grup. Hal yang dianggapnya mudah ternyata gagal. Revan bukan pengusaha yang mudah diremehkan.Sore ini Revan merasa pekerjaannya sudah selesai. Ia pun bergegas pulang saat jam di dinding masih menunjukkan pukul lima sore. Hal yang sangat langka ketika Revan memutuskan pulang saat hari masih terang. Semua karyawan dan karyawati menatap penuh hormat pada atasan mereka. Revan hanya menganggukkan kepala merespon mereka semua."Pak Revan sekarang sering pulang cepat. Pasti udah mau nikah," kata salah satu karyawati."Kangen kali sama calon istrinya itu." Gosip itu merebak dengan cepat seperti jamur saat musim hujan.Hardi mendengarnya saat keluar dari ruang kerjanya. Sore ini tid
"Aku ke ruanganku dulu. Ada berkas yang harus aku ambil." Revan segera turun dari mobilnya.Hardi mengangguk sebagai jawaban. Ia segera memarkirkan mobil milik atasannya itu. Hardi pun segera menyusul Revan saat ini. Benar saja, belum banyak karyawan dan karyawati yang datang."Pagi Pak Hardi." Ela menyapa Hardi dengan ramah dan wajahnya sangat berseri pagi ini."Pagi." Hardi hanya menjawabnya dengan singkat saja sebagai formalitasEla menghela napas panjang. Hardi sosok yang mengagumkan, tetapi sangat dingin. Sama halnya dengan Revan--bosnya. Entah harus bagaimana lagi mencari cara agar mendapatkan perhatian dari Hardi. Faktanya Ela tidak pernah menyerah hingga detik ini. "La, ga ada matinya kamu ngejar sekretaris dingin itu. Dia kaya bos kita ga akan mempan didekati cewek mana pun," kata Riani yang kebetulan baru datang dan sempat menyaksikan tontonan gratis tadi."Ish ... namanya juga usaha!" Ela mencebikan bibirnya karena kesal dan langsung menuju ke arah kubikelnya.Waktu rapat
Ara termenung, jawaban Hardi sama dengan penjelasan sang papa. Dua orang mengatakan hal yang sama dan artinya memang benar seperti itu. Ara percaya jika dirinya bukan orang ketiga. Walaupun hatinya sedikit ragu saat melihat sikap Revan padanya; sangat dingin."Baiklah, terima kasih atas informasinya. Aku pamit." Ara menghabiskan tiga perempat gelas minuman dingin yang disuguhkan oleh Hardi dan langsung beranjak dari duduknya. Hardi mengantarkan tamunya hingga ke depan gerbang rumah kontrakannya. Ara segera melajukan mobilnya dan menuju ke rumah. Hatinya sedikit lega karena sudah mendengar penjelasan dari Hardi. Semoga apa yang sudah diputuskan dan direncanakan bisa berjalan dengan semestinya.Ara sampai di rumah saat hari sudah petang. Hatinya sangat bahagia saat ini. Jawaban Hardi yang membuatnya sangat bahagia. Sesederhana itu cara Ara bahagia."Apa Mama melewatkan sesuatu?" tanya Inama yang melihat kedatangan sang putri dengan wajah berseri. Ibu mana yang tidak penasaran jika men
"Syukurlah. Enak banget kalo dikasih sampai delapan puluh persen. Emang uang jatuh dari langit apa?" Gita mencoba mengajak bercanda Ara yang saat ini tampak sedang sedikit sedih ketika membahas acara pertunangannya. "Kamu ini, mana ada uang jatuh dari langit." Ara mencebikan bibirnya saat mendengar ucapan Gita. Mereka terbahak bersama hanya karena hal sepele itu. Mereka terbiasa tertawa saat membahas hal yang sangat receh. Jangan ragukan lagi persahatan mereka. Meski Gita berbeda dengan Mayang, tetapi Ara tidak pernah mempermasalahkannya. Ada sedikit kelegaan dalam hati Gita saat mendengar penjelasan dari Ara. Dunia bisnis harus jeli, kerena jika sudah dimanfaatkan oleh orang lain sulit untuk kembali seperti semula. Dunia yang kejam karena siapa yang berkuasa dia-lah yang menang dan bisa menindas. Persaingan juga sangat ketat, ada yang memilih dengan cara kotor dan jujur."Ra, pernah dengar sesuatu ga tentang Adhyatsa Grup?" tanya Gita saat mereka sudah selesai tertawa bersama. "A
Ara melamun memikirkan perkataan sahabatnya yang berbeda dengan informasi yang diperolehnya dari Hardi. Gita seolah paham siapa wanita yang pernah mengisi hati Revan. Haruskah bertemu dengan Hardi sekali lagi untuk memastikan kebenaran itu? Rasanya terlalu banyak teka-teki yang nantinya harus Ara pecahkan ketika sudah menjadi istri Revan nanti. "Gita kok malah pulang, sih? Harusnya makan malam dulu bareng-bareng. Mama kangen sama gadis cerewet itu." Inama mendadak berdiri di belakang Ara dan membuat gadis tinggi semampai itu terkejut. "Mama ... ih ... ngagetin aja!" Ara bersungut kesal karena sangat terkejut dengan apa yang dilakukan oleh sang mama saat ini." Lamunan Ara buyar seketika karena terkejut. Inama dapat melihat perubahan wajah sang putri saat ini. Ada rasa gemas saat melihat wajah manis itu menekuk wajah karena terkejut. Ara memang masih seperti anak kecil ketika bersama dengan kedua orang tuanya."Loh? Kok malah marah. Mama ini tanya loh," kata Inama yang tidak paham ke
"Bun, semua itu pernah dibahas 'kan? Aku melepaskan Mayang, artinya sudah siap dengan konsekuensi. Bagi aku, pernikahan hanya sekali seumur hidup. Jadi Bunda tenang saja," kata Revan yang tidak sepenuhnya berdusta.Ucapan Revan hanya untuk menenangkan hati wanita yang telah melahirkannya saja. Tidak mungkin pewaris Adhyatsa grup itu akan berterus terang jika harinya menjadi suram tanpa Mayang. Ya, setelah berpisah dengan Mayang, semua menjadi hari duka cita mendalam untuk Revan. Dadanya selalu saja sesak ketika mengingat nama gadis dengan kulit putih itu. Murni menelisik wajah Revan, tidak ada kebohongan di mata sang putra. Revan mungkin saat ini belum bisa menerima kehadiran Ara. Akan tetapi, ia juga tidak pernah berusaha mencari tahu tentang Mayang. Hanya beberapa waktu yang lalu saja. Setelah tahu jika mantan kekasihnya sudah tidak aktif pada sosial media, Revan tidak mencarinya lebih lanjut. Bukan karena tidak cinta pada Mayang. Ia hanya ingin memberikan jeda pada hatinya agar t
Adhyatsa bersama dua anak perempuan dan dua menantunya telah sampai terlebih dahulu di rumah kediaman Haris Manggala. Mereka menyambut kedatangan calon besan mereka dengan ramah. Tidak menunjukkan jika mereka adalah keluarga konglomerat. Haris selalu bersikap sederhana dan menghormati siapa saja tanpa kecuali."Selamat datang Tuan Adhyatsa, kami menunggu Anda sejak tadi," kata Haris Manggala sambil menyalami kakek Revan itu."Maafkan keterlambatan kami semua. Revan sebentar lagi sampai," kata Adhyatsa yang saat ini cemas menunggu cucu pembangkang itu."Oh, tak, masalah. Yang penting selamat sampai tujuan. Tidak perlu kebut-kebutan juga di jalan." Haris menanggapi santai permintaan maaf dari ayah sahabat baiknya itu.Tak lama mobil Revan memasuki halaman rumah milik Haris Manggala. Ia segera memarkirkan mobilnya sedikit lebih jauh dari mobil sang kakek. Malas terlalu dekat dengan laki-laki tua tidak tahu diri itu. Revan segera membukakan pintu untuk sang bunda tercinta."Bunda ... ayo,
Mayang menoleh ke arah sang ibu. Ia segera mengusap air matanya. Dadanya mendadak sakit saat ini. Entahlah, ia sendiri tidak paham dengan apa yang sedang dirasakannya."Ikhlaskan Den Revan, Nak. Kita hanya manusia biasa yang berencana. Tapi, Allah tetap yang menentukan jodoh kalian. Kalian tidak berjodoh." Darsih seolah tahu apa yang dirasakan oleh Mayang saat ini. "Den Revan mungkin bukan laki-laki terbaik buat kamu," lanjut Darsih sambil mengelus puncak kepala sang putri semata wayangnya itu.Mayang benar-benar hancur saat diputuskan satu pihak oleh Revan. Alasan perjodohan dan restu orang tua membuatnya sangat berat. Tuan Adhyatsa adalah salah satu orang yang menentang hubungan keduanya. Perbedaan status sosial yang membuat keduanya harus berpisah. Setelah tangisnya reda, Mayang memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Wulan memang memutuskan untuk pulang ke kampung halaman sang ibu di Semarang setelah lulus kuliah. Tidak ada niat bekerja di Kota Bandung. Kenangan bersama Revan bena
Tidak butuh waktu lama, Angga segera menemui kedua orang tua Ara. Angga sama sekali tidak mau membuang waktu percuma. Ia benar-benar mencintai sosok Anggara Manggala. Angga tidak peduli dengan status janda yang melekat pada Ara.Keluarga besar Angga juga menerima siapa pun calon menantu mereka. Hal terpenting adalah, mereka bisa saling mencintai dan kelak hidup dengan bahagia. Calon mertua Angga adalah orang biasa. Mereka pernah dibantu oleh Haris Manggala secara finansial."Terima kasih Pak Haris menerima lamaran dari putra kami," kata Suminto yang merasa sangat bersyukur setelah lamaran mereka diterima baik oleh keluarga besar Haris Manggala. "Sama-sama. Saya tidak mungkin menolak lamaran Angga. Saya tahu bagaimana karakter Angga. Angga sosok pekerja keras dan satu, dia setia." Haris memuji sosok calon menantunya. "Ara pernah gagal dalam rumah tangga. Semoga Angga adalah jodoh terbaik untuk anak saya," kata Haris penuh harapan."Saya juga berharap seperti itu. Nak Ara orang yang ba
Revan menatap tajam Mayang. Ia menduga jika ibunya Kala mengatakan hal buruk pada Ara. Mayang tidak bisa ditebak isi pikiran dan hatinya. Revan merasa telah menikahi orang yang berbeda."Aku permisi," kata Ara tidak mau ikut campur masalah rumah tangga mereka.Ara melirik sekilas ke arah anak laki-laki kecil itu. Hatinya sangat sedih karena anak Revan berkebutuhan khusus. Anak itu tidak terawat dengan baik karena faktor ekonomi. Akan tetapi, Ara tidak bisa berbuat banyak untuk mereka."Ra, maukah kamu menikah kembali dengan Mas Revan?" Pertanyaan Mayang sukses membuat langkah Ara terhenti seketika. "Aku akan mundur dan tidak lagi mengganggu kalian nantinya. Aku sadar, aku banyak salah dan sudah sangat jahat padamu," lanjut Mayang yang saat ini meneteskan air mata.Tubuh Ara mendadak kaku dan tidak mau menoleh lagi. Ia merasa sakit ketika mendengar permintaan Mayang. Rasa cinta yang dipendam untuk Revan mendadak hilang begitu saja. Entahlah, hanya Ara dan Tuhan saja yang tahu."Ra, aku
Penundaan jadwal reuni kampus Ara membuat Revan frustasi. Ia harus semakin lama menunggu bertemu dengan mantan istri pertamanya itu. Padahal, Revan sudah mempersiapkan semua hal dengan baik. Kini terpaksa harus menyimpan semua itu.Sementara itu, Ara memutuskan untuk membuka hati untuk Angga. Ia menyadari satu hal, tidak semua laki-laki sama di dunia ini. Angga tampak sangat baik dan sopan. Sosok Dokter itu juga sangat menghormati wanita."Sudah lama di sini?" tanya Ara saat baru saja keluar dari dapur dan melihat Angga duduk seorang diri di ruang tamu.Angga terjengit kaget karena sedang sibuk melamun saat ini. Ia pun segera beranjak dari duduknya. Ara tersenyum melihat tingkah Angga. Ia menatap ke arah Dokter muda itu."Maaf, aku nggak bermaksud mengejutkan," kata Ara dengan tulus."Oh, tidak. Aku hanya ...." Angga tidak melanjutkan ucapannya."Ada apa? Ada yang ingin dibicarakan dengan Bu Salamah?" tanya Ara sambil menatap Angga yang tampak cemas.Biasanya Angga akan berbicara deng
Sejak kejadian itu, Angga dan Ara dekat. Hanya saja, Ara membatasi kedekatan itu dan hanya sebagai teman. Angga hingga saat ini tidak tahu siapa Ara. Andai ia tahu, maka akan sangat terkejut. Angga mengenal siapa sosok Haris Manggala.Ara sama sekali tidak pernah menyebutkan siapa kedua orang tuanya. Hanya sesekali saja ia menemui kedua orang tuanya. Padahal, sudah hampir tiga tahun bercerai dengan Revan. Ara masih ingin mengobati hatinya."Aku boleh datang ke rumah orang tua kamu?" tanya Angga saat berada di panti asuhan ini."Untuk apa?" tanya Ara sambil tersenyum ramah seperti biasa.Bukan tidak paham arah pembicaraan Angga, hanya saja, Ara tidak mau gegabah dalam banyak hal. Ia masih menutup hati untuk banyak orang. Entah akan sampai kapan, tidak ada yang tahu. Ara juga menolak mentah-mentah cinta Angga dan hanya ingin menjalin hubungan pertemanan saja."Aku ingin melamar kamu pada kedua orang tuamu. Kamu tidak mau pacaran bukan?" tanya Angga sambil menatap intens ke arah mata Ara
Revan akhirnya menjelaskan pada Mayang jika mengalami kelumpuhan akibat terjatuh tadi pagi. Tentu saja, Mayang sangat syok. Ia tidak bisa menerima keadaan dirinya saat ini. Menyakitkan karma yang harus diterimanya. Revan terpaksa membawa Mayang pulang karena biaya rumah sakit pasti akan membengkak jika Mayang lama dirawat."May, rumah itu mending dijual aja. Toh, itu semua aku yang beli." Revan memaksa Mayang untuk menjual rumah yang telah diubah menjadi kafe."Mas, itu satu-satunya aset kita, kalo kita jual, kita nggak akan punya apa-apa lagi," kata Mayang menolak menjual rumah pemberian Revan."Ck! Kamu tahu nggak? Kebutuhan semakin banyak dan aku banyak nganggur! Jual aja," kata Revan yang tidak sabar dengan sang istri.Mayang mengembuskan napas kasar saat ini. Ia hanya bisa duduk di kursi roda saja sekarang. Darsih tidak pernah datang lagi sejak kejadian beberapa waktu yang lalu. Mayang kali ini merasa sangat membutuhkan sosok sang ibu."Mas, kalo dijual dan kita nggak punya usaha
Masa lalu menyakitkan tidak akan membuat seseorang dengan mudahnya memaafkan. Rahman--saksi kunci yang dulu hampir dibunuh oleh Murni ternyata berhasil selamat. Kedatangan sosok laki-laki yang usianya hampir sama dengan Murni itu sontak mengejutkan banyak orang, terutama Murni dan Adhyatsa. Revan jelas tidak mengenal sosok yang kini berdiri dengan angkuh di depan mereka semua."Ka-kamu masih hidup?" tanya Murni yang saat ini wajahnya tampak sangat pias."Ya! Setelah kamu berusaha meleyapkan nyawaku, kini aku masih berada di sini. Tuhan masih berbaik hati denganku. Murni, bersiaplah menerima hukuman." Rahman mengatakan dengan nada dingin saat ini.Semua terdiam, suasana pun mendadak hening. Rahman dengan amarah dan dendamnya pada Murni. Akan tetapi, tak lama polisi datang untuk menangkap Murni. Revan tidak bisa berbuat banyak saat ini.Semua sudah jelas, Revan bukan anak kandung Panji Adhyatsa. Ia merasa sangat sakit saat ini. Revan salah satu korban dari keserakahan Murni. Tidak ada
Ara mengembuskan napas perlahan. Wajah Revan kali ini penuh permohonan agar Ara mau berbicara. Haris yang menatap tajam tidak membuat Revan takut. Ada hal yang harus mereka bicarakan."Pa, Ma, aku akan bicara sebentar pada Mas Revan. Papa dan Mama bisa tinggalkan kami berdua?" tanya Ara kepada kedua orang tuanya.Inama mengangguk sebagai jawaban dan segera mengamit lengan sang suami. Ia memberikan waktu kepada sang putri untuk berbicara pada mantan menantu mereka. Anak muda itu, mereka membuat rumah tangga yang awalnya adem ayem sekarang justru sangat rumit. Haris kadang tidak habis pikir dengan cara sang putri."Kita bicara di sana saja," kata Ara sambil menunjuk satu pohon besar dengan kursi taman di bawahnya.Revan mengikuti Ara dari belakang. Ia masih beruntung karena mantan istrinya masih memberikan kesempatan untuk berbicara. Meski Revan sadar, Ara tidak akan mau kembali rujuk. Setidaknya itu yang tampak pada wajah Ara saat ini."Mas, apa yang mau kamu bicarakan sekarang?" tanya
Gita berdiri tepat di depan Revan dan Murni. Ia tampak membenci kedua orang itu. Murni hanya bisa menunduk saat ini. Gita bukan gadis sembarangan.Gita adalah adik kandung Naga Cakra Wibowo, pemilik perusahaan Cakra Buana. Gita tidak akan membuang kesempatan emas untuk membalas Murni saat ini. Beberapa waktu yang lalu, ia menemui Adhyatsa di rumah sakit dan berbicara tentang masa lalu. Tentu hal ini akan sangat mengejutkan untuk semua orang."Aku akan katakan satu hal padamu, Revan Adhyatsa. Kamu tidak pantas menyandang nama belakang Adhyatsa karena kamu bukan anak kandung Panji Adhyatsa. Wanita ini menjebak ayahku, Panji Adhyatsa agar bisa menikahi dengan dalih hamil. Bukankah itu luar biasa?" Gita tersenyum miring setelah mengatakan hal itu. "Mamaku, ada di rumah sakit jiwa juga karena ulahnya," lanjut Gita dengan wajah mengerikan.Revan mundur beberapa langkah karena terkejut mendengar ucapan Gita. Ada apa dengan hidupnya saat ini? Revan seperti orang linglung. Berbeda dengan Murni
Wajah Mayang saat ini langsung seputih kapas. Ia takut karena Revan mempunyai bukti tentang kejahatannya. Mayang yang meletakkan obat itu di laci meja rias Ara. Pantas saja, mereka semua langsung menemukan obat itu tanpa mengobrak-abrik kamar Ara."Bagaimana?" tanya Revan dengan nada dingin dan syarat amarah yang luar biasa."A-aku bisa jelaskan, Mas. Semua ini karena ...." Mayang tidak bisa melanjutkan ucapannya.Revan langsung beranjak dari duduknya dengan kasar. Ia meletakkan laptop di atas meja. Masih dengan tatapan penuh kebencian, ia kembali mendekati Mayang. Revan tidak habis pikir dengan cara kotor istri keduanya. Entah apa yang direncanakan oleh wanita yang baru saja melahirkan itu."Kenapa? Kamu harus ingat, kita bisa menikah karena kebesaran hati Ara. Jika bukan karena dia, kita tidak bisa menikah!" Suara Revan menggelegar memenuhi kamar mereka berdua. "Apa isi otak kamu itu? Tega-teganya kamu berbuat seperti ini?!" bentak Revan sambil melempar gelas bekas minum Mayang."Ma