"Iya, Bunda. Revan baru saja datang. Bunda mau kemana?" tanya Revan yang langsung mengekori Murni karena melihat Adhyatsa keluar dari ruangan itu."Bunda mau ambil jemuran yang kering. Nanti mau diantar ke laundry buat disetrika. Mbak Gayah tidak datang untuk menyetrika karena sedang sakit," kata Murni yang tidak menyadari jika ada ayah mertuanya saat ini."Tunggu dulu! Kamu bilang mau bawa ke laundry? Enak saja! Kamu harus setrika!" Adhyatsa mendadak emosi saat ini.Revan mengembuskan napas dengan kasar lalu setelahnya menatap tajam ke arah sang kakek. Aura permusuhan sangat jelas pada keduanya. Revan jelas tidak terima dengan perlakuan sang kakek pada bundanya. Terlalu sewenang-wenang dan menganggap sang bunda adalah seorang pembantu."Kalo begitu, aku akan membatalkan pernikahanku dengan Andhara Manggala!" Satu kalimat yang keluar dari mulut Revan membuat Adhyatsa terkejut. "Aku tidak main-main!" ancam Revan dengan tatapan sangat tajam.Adhyatsa langsung terdiam dan tidak bisa menj
"Pak Hardi tuh orangnya cool, kaya Pak Revan. Ga pernah lihat mereka jalan sama cewek. Tapi, kalo Pak Revan dengar-dengar dah mau nikah, wah ... patah hati berjamaah ini namanya. Bos ganteng kita melepas masa lajang," kata Tari yang memang mengidolakan sosok bos perusahaan ini."Kamu mah ga ngaca, Ri. Jauh banget kalo sama Pak Revan." Salah satu karyawati menyahuti ucapan Tari."Lah? Namanya juga usaha. Ya, udah, kalo Pak Revan dah ga bujang lagi, Pak Hardi pun bisa-lah. Kegantengan mereka beda tipis," kata Tari yang memang terkenal periang di kantor ini.Hardi menggeleng pelan kemudian menutup pintu agar tidak mendengar lagi ucapan-ucapan dari karyawati yang masih berstatus jomlo. Hardi melanjutkan kembali pekerjaannya. Tidak terasa sudah pukul delapan malam. Hardi segera mematikan komputernya setelah mengirimkan email pada Revan.Hardi tidak ingin meninggalkan kantor jika belum menyelesaikan pekerjaannya. Jadi pekerjaan untuk besok pagi tidak terlalu berat. Hardi tidak lupa memberik
'Astaga! Ini tidak benar. Sejak awal Andhara memang akan menjadi milik Revan. Aku tidak boleh merebutnya.' Hardi merutuki kebodohannya dalam hati. Hardi segera memarkirkan mobil di depan rumah kontrakannya. Ia segera turun dan mengunci mobilnya. Tak lupa ia juga mengunci pintu gerbangnya. Hardi meninggalkan sepeda motor milinya di parkiran perusahaan dan sudah menitipkannya pada satpam yang berjaga karena harus membawa mobil milik Revan.Hardi segera membuka pintu rumahnya. Ia segera duduk di ruang tamu mini miliknya. Tidak banyak perabotan di rumah kontrakannnya. Sebab, ia seorang bujang dan belum ada keinginan untuk berumah tangga. Hardi mengeluarkan ponselnya dari dalam sakumya. Banyak sekali pesan dan panggilan masuk. Bukan dari Revan, rata-rata dari karyawati di kantornya. Isi pesan mereka sebagian menanyakan agenda rapat dan apa saja yang perlu dibawa agar disiapkan malam ini. Hardi menghela napas sangat panjang. Pasti ada saja yang bertanya. Seolah mereka tidak paham apa yan
Sudah menjadi rahasia umum Jika Ela memang selalu mencari perhatian Hardi. Anak buah Pak Heru--bagian pemasaran itu selalu saja datang awal. Contoh karyawati teladan dan mungkin nanti patut mendapatkan apresiasi dari perusahaan. Sayangnya, Hardi sama sekali tidak melirik gadis dengan rambut ikal sebahu itu. Revan sedang membereskan beberapa file miliknya pagi ini. File yang akan digunakan untuk rapat pagi ini. Mendadak ponselnya berdering, satu panggilan masuk. Revan mengernyitkan dahi karena merasa tidak mengenal nomor asing itu."Halo, maaf ini dengan siapa?" Revan akhirnya mengangkat panggilan itu karena merasa risih karena berkali-laki nomor itu menghubunginya."Kamu melupakan aku?" Revan menajamkan pendengarannya dan mengingat suara itu. Rivalnya menghubunginya pagi ini--Naga dari perusahaan Cakra Buana. Entah mengapa laki-laki itu menghubunginya pagi ini. Pasti ada hal yang sangat penting."Ada apa Pak Naga?" Revan berusaha sopan."Baguslah jika Anda sudah mengingat saya.""Ad
"Pak Naga gagal tenderkah?" tanya salah satu karyawati dengan berbisik."Ga tahu. Kayaknya semua aman-aman saja." Kasak-kusuk itu semakin keras bergema di sepanjang kantor yang satu lantai dengan Naga.Akhir-akhir ini sikap Naga berubah seratus delapan puluh derajat. Sosok ambisius itu gagal menghancurkan Adhyatsa Grup. Hal yang dianggapnya mudah ternyata gagal. Revan bukan pengusaha yang mudah diremehkan.Sore ini Revan merasa pekerjaannya sudah selesai. Ia pun bergegas pulang saat jam di dinding masih menunjukkan pukul lima sore. Hal yang sangat langka ketika Revan memutuskan pulang saat hari masih terang. Semua karyawan dan karyawati menatap penuh hormat pada atasan mereka. Revan hanya menganggukkan kepala merespon mereka semua."Pak Revan sekarang sering pulang cepat. Pasti udah mau nikah," kata salah satu karyawati."Kangen kali sama calon istrinya itu." Gosip itu merebak dengan cepat seperti jamur saat musim hujan.Hardi mendengarnya saat keluar dari ruang kerjanya. Sore ini tid
"Aku ke ruanganku dulu. Ada berkas yang harus aku ambil." Revan segera turun dari mobilnya.Hardi mengangguk sebagai jawaban. Ia segera memarkirkan mobil milik atasannya itu. Hardi pun segera menyusul Revan saat ini. Benar saja, belum banyak karyawan dan karyawati yang datang."Pagi Pak Hardi." Ela menyapa Hardi dengan ramah dan wajahnya sangat berseri pagi ini."Pagi." Hardi hanya menjawabnya dengan singkat saja sebagai formalitasEla menghela napas panjang. Hardi sosok yang mengagumkan, tetapi sangat dingin. Sama halnya dengan Revan--bosnya. Entah harus bagaimana lagi mencari cara agar mendapatkan perhatian dari Hardi. Faktanya Ela tidak pernah menyerah hingga detik ini. "La, ga ada matinya kamu ngejar sekretaris dingin itu. Dia kaya bos kita ga akan mempan didekati cewek mana pun," kata Riani yang kebetulan baru datang dan sempat menyaksikan tontonan gratis tadi."Ish ... namanya juga usaha!" Ela mencebikan bibirnya karena kesal dan langsung menuju ke arah kubikelnya.Waktu rapat
Ara termenung, jawaban Hardi sama dengan penjelasan sang papa. Dua orang mengatakan hal yang sama dan artinya memang benar seperti itu. Ara percaya jika dirinya bukan orang ketiga. Walaupun hatinya sedikit ragu saat melihat sikap Revan padanya; sangat dingin."Baiklah, terima kasih atas informasinya. Aku pamit." Ara menghabiskan tiga perempat gelas minuman dingin yang disuguhkan oleh Hardi dan langsung beranjak dari duduknya. Hardi mengantarkan tamunya hingga ke depan gerbang rumah kontrakannya. Ara segera melajukan mobilnya dan menuju ke rumah. Hatinya sedikit lega karena sudah mendengar penjelasan dari Hardi. Semoga apa yang sudah diputuskan dan direncanakan bisa berjalan dengan semestinya.Ara sampai di rumah saat hari sudah petang. Hatinya sangat bahagia saat ini. Jawaban Hardi yang membuatnya sangat bahagia. Sesederhana itu cara Ara bahagia."Apa Mama melewatkan sesuatu?" tanya Inama yang melihat kedatangan sang putri dengan wajah berseri. Ibu mana yang tidak penasaran jika men
"Syukurlah. Enak banget kalo dikasih sampai delapan puluh persen. Emang uang jatuh dari langit apa?" Gita mencoba mengajak bercanda Ara yang saat ini tampak sedang sedikit sedih ketika membahas acara pertunangannya. "Kamu ini, mana ada uang jatuh dari langit." Ara mencebikan bibirnya saat mendengar ucapan Gita. Mereka terbahak bersama hanya karena hal sepele itu. Mereka terbiasa tertawa saat membahas hal yang sangat receh. Jangan ragukan lagi persahatan mereka. Meski Gita berbeda dengan Mayang, tetapi Ara tidak pernah mempermasalahkannya. Ada sedikit kelegaan dalam hati Gita saat mendengar penjelasan dari Ara. Dunia bisnis harus jeli, kerena jika sudah dimanfaatkan oleh orang lain sulit untuk kembali seperti semula. Dunia yang kejam karena siapa yang berkuasa dia-lah yang menang dan bisa menindas. Persaingan juga sangat ketat, ada yang memilih dengan cara kotor dan jujur."Ra, pernah dengar sesuatu ga tentang Adhyatsa Grup?" tanya Gita saat mereka sudah selesai tertawa bersama. "A